Bab 7 - Mimpi?
7
~Mimpi?~
"Aku rela melepaskan mimpiku itu jika demi hal yang lebih baik, karena artinya aku akan mendapat sesuatu yang lebih baik, begitu bukan?"
***
"Ayo Kaaan, buruan ih! Lemot banget kayak siput! Pertandingannya udah dimulai tahu! Nanti telat!" Nayya bersungut-sungut karena Arkan berjalan dengan sangat santai. Sementara ia sudah beberapa langkah di depan Arkanㅡberjalan cepat.
Nayya berbalik dengan satu hentakkan, menatap Arkan geram karena ia masih saja berjalan dengan santainya. Ia mendesis frustrasi. "Dasar ngeselin! Ya udah gue duluan!" serunya lantas berjalan dengan sedikit berlari ke dalam GOR.
Sementara Arkan menghentikan langkah, menghela napas sejenak lalu memijit pelipis. Dari awal gadis itu sudah sangat heboh. Jika bukan karena Alfi yang memintanya, ia lebih memilih bersantai di rumah berkutat dengan matematikaㅡkesukaannyaㅡ daripada harus menemani sahabatnya itu. Arkan menatap pintu masuk di depannya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil, teringat masa lalu pada saat ia berumur sepuluh tahun.
Ketika itu, ia tengah berdiri di depan GOR bersama seorang gadis yang tingginya hampir sejajar dengannya. Menatap gedung itu penuh harap.
"Pokoknya, kita harus keluar dari sini sebagai pemenang," ucap gadis berkerudung di sampingnya mantap.
Arkan kecil mengangguk. "Kalau nggak menang, harus mau ngegendong dan nraktir es krim tiap hari selama seminggu."
"Em!" Gadis itu mengangguk mantap lalu menoleh pada Arkan sambil menampilkan senyum lebarnya. Pun dengan Arkan, ia tersenyum sangat lebar.
"Hwaiting!" seru gadis itu lagi mengepalkan tangannya di depan dada. Lalu mereka beriringan masuk ke dalam gedung dengan harapan memenuhi hati.
Arkan tersenyum ketir mengingat kenangan di hari itu, hari pertandingan yang menjadi pertandingan terakhir baginya. Menepis semua kenangan itu, ia pun masuk ke dalam gedung.
Di dalam GOR nampak pertandingan sudah dimulai, ia bisa melihat dua orang yang sedang berhadapan di tengah arena. Lalu ia mengedarkan pandangan ke arah kursi penonton yang cukup penuh oleh para pendukung. Tidak seperti hari pertama, di hari kedua ini hanya atlet yang lolos dari babak penyisihan−dari 320 peserta−di kategori masing-masing.
Ia mencari sosok perempuan yang bersamanya tadi. Lalu matanya berhenti pada seorang gadis berkerudung merah yang tengah melambai-lambaikan tangan ke atas, memberitahu Arkan untuk segera menghampirinya.
Arkan pun berjalan menuju tempat Nayya duduk, walau agak kesusahan karena terlalu banyak orang. Lalu ia duduk di tempat yang sudah disediakan oleh sahabatnya itu.
"Lama banget Ya Tuhan! Abis ngapain aja, heh?" semprot Nayya saat Arkan sudah mendaratkan bokongnya.
"Ke toilet," dustanya.
Nayya berdesis. "Untung aja Kak Akbar belum mulai," ucapnya nampak lega.
Nayya lalu fokus melihat pertandingan, begitu pula dengan Arkan. Mereka memperhatikan setiap peserta yang sedang bertanding dengan seksama.
"Woah!" Nayya berseru kagum. "Daebak!(1)"
"Eolgool Ap Chagi(2), ya?" tanya Arkan yang lebih ke sebuah pernyataan.
Nayya mengangguk. "Lawannya langsung K.O, keren. Pasti sakit, tuh."
"Gerakannya cepat dan tepat sasaran, kelihatannya tendangannya kuat," komentar Arkan yang disambut anggukan oleh Nayya. "Kayaknya bakal jadi saingan berat Kak Akbar nanti, kalau maju ke babak final sih," ucap Arkan lagi.
Nayya mengalihkan pandangannya pada Akbar yang berdiri di pinggir arena, tangannya dilipat di dada, matanya fokus ke pertandingan, nampak serius ketika memperhatikan orang yang mengalahkan lawannya dalam waktu lima belas detik itu.
"Tapi Kak Akbar lebih hebat, lihat aja." Nayya berucap yakin. Arkan hanya menoleh tanpa berkomentar.
Hingga tiba giliran Akbar, Nayya berteriak heboh. "Kak Akbaaaar! Hwaiting!(3)"
Sementara Arkan menutup kuping. Dalam hati ia meurutuki sahabatnya itu, karena teriakannya membuat orang-orang menoleh pada mereka berdua.
"Loh? Nayya? Arkan?" sapa seseorang yang duduk di depan mereka.
Nayya dan Arkan tercenung, melihat Adel yang menatap mereka dengan senyum lebar.
"Kalian dateng juga? Dari kemaren?"
"Iya, Kak," jawab Nayya
"Sama Arkan juga?" tanyanya lagi yang dibalas anggukan oleh Nayya. Lalu Adel beralih menatap Arkan; tersenyum masam. "Jadi, ini alasan lo nolak ajakan gue waktu itu?"
Nayya menoleh pada Arkan dengan tatapan bertanya. Sementara Arkan hanya berdeham tanpa menjawab.
"Sijak!(4)"
Teriakan wasit mengalihkan perhatian Nayya dan Adel, mereka segera menoleh ke depan lalu memfokuskan pandangan pada Akbar yang tengah memulai aksinya. Sementara Arkan, ia menatap Nayya dari samping. Wajahnya terlihat begitu bahagia, matanya berbinar cerah, senyuman pun tak lepas dari bibir tipisnya. Sepertinya ia benar-benar menyukai pria itu.
"Woaaah daebak!!" Seruan Nayya berhasil menyentakkan kesadaran Arkan. Dengan gerakan cepat ia menolehkan kepala ke depan. Matanya menangkap poin yang diperoleh Akbar, 7-0. Akbar meraih poin gapㅡunggul tujuh poin di atas lawan.
"Kak Akbar keren ya, Kan !" seru Nayya heboh. "Apalagi pas tendangan 540, tendangan yang menjadi khas dan andalannya. Kerennn!"
"Iya, keren," jawab Arkan sekadarnya.
"Semua tehniknya memenuhi syarat, bahkan tendangan di wajah sekalipun." Nayya berdecak kagum.
Arkan hanya menanggapi sesekali. Mendengar pujian demi pujian yang dilontarkan sahabatnya itu untuk pria yang kini tengah bertanding di tengah arena.
Tiga ronde selesai, pertandingan usai dengan Akbar sebagai pemenang dan ia akan maju ke babak final. Nayya berteriak heboh sambil tepuk tangan, membuat Akbar menoleh padanya dan melempar sebuah senyuman.
Nayya terpaku seketika, dalam sekejap ia berubah menjadi seperti gadis yang tengah kasmaran. Tersipu malu dengan semburat merah di pipinya.
Mereka kembali fokus pada pertandingan, Nayya terus memperhatikan pria pemecah rekor tercepat tadi−yang kini tengah bertanding−yang ia tahu bernama Yoga Dinata. Ada rasa cemas jika nanti ia berhasil ke babak final dan menjadi lawan Akbar. Siapa pun bisa melihat kalau ia sangat kuat dan gerakannya akurat. Ia akan menjadi lawan yang seimbang untuk Akbar.
Pria bernama Yoga itu mengakhiri pertandingan dengan tendangan 540 seperti Akbar dan membuatnya menjadi pemenang. Nayya semakin cemas karena ia maju ke babak final dan akan melawan Akbar.
"Nay, Ar, mau ketemu Akbar dulu? Kalau iya, sekalian aja bareng," tawar Adel yang kini sudah berdiri di depan mereka.
Nayya menoleh pada Arkan sejenak yang sedari tadi banyak diam. Arkan mnegedikkan bahu, lalu Nayya menoleh pada Adel. "Emm, nggak deh Kak," ucapnya kemudian.
"Oh, ya udah kalau gitu." Adel pun beranjak meninggalkan mereka menuju Akbar yang sedang berunding dengan Sabeum(5).
Nayya tak putus memperhatikan Akbar, hingga Adel menghampiri Akbar dan mereka nampak mengobrol. Ia bisa melihat Adel memberikan minuman yang segera diterima Akbar dan diminumnya. Lalu mereka membicarkan sesuatu yang−entah apa−nampak serius.
"Kayaknya mereka deket banget ya?" tanya Arkan yang juga melihat interaksi Adel dan Akbar.
"Katanya sih mereka temenan sejak kecil," sahut Nayya tanpa mengalihkan pandangan.
Arkan hanya menanggapi dengan kata 'Oh' yang bahkan tanpa suara. "Masih lama kan? Mau minum nggak?" tawar Arkan.
"Boleh, yuk." Nayya beranjak dari duduknya.
Arkan berdiri lalu kembali mendudukkan Nayya dengan cara mendorong bahunya ke bawah. "Gue aja yang beli," ucapnya lalu melengos begitu saja. Nayya hanya melongo di tempat. Entah ada setan apa tiba-tiba Arkan bersikap baik padanya. Namun ia tak ambil pusing, mungkin dia sedang dirasuki malaikat. Pikirnya ngaco.
Arkan berjalan ke luar GOR, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya sempat menangkap sosok yang tak asing di arah kanan. Ia menoleh dan menyipitkan mata.
"Kei?" Keningnya mengkerut membuat tiga garis di antara alis. Dan benaknya menerka-nerka apa yang sedang ia lakukan di sini. Arkan memperhatikan arah pandang Kei yang ternyata sedang melihat Akbar yang masih bersama Adel.
Siapa yang ia lihat? Akbar? Atau Adel? benaknya bertanya. Ia berpikir untuk menghampirinya atau tidak, namun belum sempat ia mengambil keputusan, Kei menoleh dan mereka bertemu pandang. Ia bisa melihat Kei menggumamkan sesuatu yang sepertinya umpatan, lalu Kei menyapa Arkan dengan senyuman tiga jari sambil mengangkat tangan kanannya.
Akbar tak merespon dan memilih melengos pergi. Ia putuskan untuk mengabaikannya.
"Argh. Sial!" umpat Kei pelan.
Sementara Arkan membeli dua botol minuman, dan saat ia kembali, babak final segera dimulai dan ia tak mendapati Kei─setelah melihat ke arah tadi. Mungkin sudah pergi atau berpindah tempat. Ia tak peduli. Namun benaknya terus bertanya alasan ia ada di sini dan menonton pertandingan yang kemungkinan ia datang untuk melihat Akbar.
"Lama banget deh," protes Nayya ketika Arkan sampai.
Arkan memberikan minuman pada Nayya yang segera diterimanya. "Tadi...," ucapan Arkan terhenti, kembali berpikir untuk memberitahu Nayya soal Kei.
"Kenapa?' tanya Nayya bingung.
"Nggak jadi," jawab Arkan disusul desisan kesal dari Nayya.
"Eh mau mulai!" Nayya mengambil sikap serius dengan konsentrasi penuh. Adel juga sudah ada di tempat duduknya tadi, nampak fokus namun tenang. Tidak seperti Nayya yang terlihat cemas.
Begitu pertandingan dimulai, Akbar langsung mendapat tendangan di perut. Ia membalas tendangan di kepala namun berhasil ditangkis. Nayya meremas jemarinya cemas. Sepertinya Akbar cukup kewalahan. Gerakan Yoga nampak lebih teratur dan luwes seolah ia sudah mempelajarirnya sekian lama. Yoga melakukan Twieo Ap Chagi(6) dan ronde pertama pun berakhir dengan kemenangan Yoga. Mereka diistirahatakan sejenak selama dua puluh detik sebelum lanjut ronde dua.
Di ronde kedua, Akbar masih cukup kewalahan, namun ia cukup bisa melawan balik dan mendapat poin. Setelah melakukan Dubal Dangsang Chagi(7), ia unggul dua poin di atas Yoga dan pertandingan pun berakhir dengan kemenangan untuknya.
Nayya tersenyum lebar, sisa satu ronde lagi. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya sudah lama ia tak merasakan perasaan ini saat menonton pertandingan taekwondo. Perasaan yang membuatnya ingin kembali ke arena dan bertanding di sana. Ia tersenyum ketir, dadanya sesak mendadak. Semua itu tak kan pernah terjadi lagi.
"Coba saja mencintai hal lain, masih banyak mimpi yang bisa lo raih selain ini." Arkan berucap tiba-tiba, membuat Nayya menoleh padanya lalu tersenyum. Jika banyak orang mengatakan kalau pria adalah makhluk tidak peka, maka Arkan pengecualian. Ia selalu memahami dirinya dalam kondisi apa pun, sejak dulu.
Nayya kembali menoleh ke depan melihat pertandingan yang akan dimulai.
Mimpi? Adakah mimpi lain yang ingin kuraih? Aku tidak menyerah, aku hanya melepaskan. Karena mimpiku bukan hanya untukku saja, tapi juga untuk mereka. Mereka yang selalu menjadi penopang hidupku. Aku rela melepaskan mimpiku itu jika demi hal yang lebih baik, karena artinya aku akan mendapat sesuatu yang lebih baik, begitu bukan?
Nayya tersentak begitu melihat Akbar mendapat serangan bertubi di perut, namun Akbar masih bisa bertahan.
"Kak Akbar fighting!!" Nayya berteriak sangat keras. Cukup menarik perhatian Yoga. Dan Akbar, seolah mendapat kekuatan tambahan, ia menegapkan tubuh lalu mengambil sikap menyerang.
Akbar berteriak lalu melayangkan tendangan 720, dan dalam satu serangan, Yoga tumbang.
Nayya terperangah. Mulutnya menganga lebar. Ini pertama kalinya, Nayya melihat Akbar menggunakan tehnik itu. Tehnik yang katanya sangat susah untuk ia kuasai. Tapi tadi, ia melakukannya dengan sempurna.
Wasit menghitung mundur dan Yoga tak bisa bangun lagi. Akbar menang. Ia memenangkan kejuaraan dalam kategori senior pria. Nayya menghela napas sambil tersenyum lebar. Sementara Arkan dan Adel diam dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Akbar berteriak sebagai ungkapan kemenangan. Ia lalu menghadap ke arah Nayya berada, memberikan senyuman kemenangan lalu membentuk love sign menggunakan kedua tangan di atas kepala. Membuat pendukung yang datang untuknya menjerit histeris.
Nayya membulat, terpaku. Dadanya bergemuruh hebat. Ia bahkan tak bisa berkutik. Apa ini?
Arkan hanya menyaksikan semua kejadian itu dalam diamnya. Tanpa ekspresi apa pun.
Sementara Adel tertawa melihat Nayya. "Ya ampun Nay, itu pipi lo udah kayak kepiting rebus tahu nggak?"
Refleks, Nayya memegang kedua pipinya yang terasa panas. Lalu menutup muka. Arkan berdecak sinis.
Melihat hal itu, Adel mendekati Arkan. "Ar, temen lo lagi jatuh cinta ya?"
"Iya kali," sahut Arkan kemudian beranjak dan berlalu dari hadapan mereka.
Nayya panik. "Eh! Mau ke mana?" serunya sambil berlari menyusul Arkan.
"Pulang," jawab Arkan singkat.
"Nggak mau nemuin Akbar dulu?" pertanyaan Adel menghentikan langkah Nayya dan Arkan. Mereka terdiam untuk sesaat. Sementara di bawah arena sedang dilakukan pengumuman juara.
"Kaaan...." Nayya mulai merajuk. "Bentar lagi, ya?"
Arkan menghela napas keras. "Terserah," tukasnya lalu melanjutkan langkah.
Nayya tersenyum lebar, artinya ia setuju. Ia harus kembali bersama Arkan, atau ia akan kena omel papanya.
Nayya lalu berjalan bersama Adel, sementara Arkan di depan mereka. Adel nampak mengajak Nayya ngobrol dan sepertinya Nayya mulai bisa akrab, karena ia sudah tertawa mendengar celotehan Adel.
Arkan menghela napas. Padahal belum lama ini gadis itu melarangnya dekat-dekat dengan Adel, tapi sekarang? Bahkan dia terlihat lebih akrab. Dasar aneh! desis Arkan dalam hati.
Mereka menunggu Akbar di bawah. Adel terlihat bersemangat ketika akan menemui Akbar. Setelah acara selesai, Akbar menghampiri mereka sambil membawa thropy, berkalungkan medali.
"Congrats, ya! Nih!" Adel menyerahkan botol minuman−lagi−pada Akbar.
"Thanks," ucap Akbar lalu mengambilnya dan menyerahkan thropy pada teman sejak kecilnya itu.
"Selamat ya, Kak!" Giliran Nayya yang memberi ucapan selamat, masih tersisa samar gurat merah di wajahnya, ia nampak malu-malu. Sementara Arkan menampilkan senyum tipis dan memberi selamat pada Akbar sekadarnya.
Akbar tersenyum. "Makasih ya udah pada dateng."
Nayya mengangguk, ia masih saja menunduk sambil memainkan jarinya. Akbar maju selangkah ke hadapan Nayya. Ia melepas medali yanng ia kalungkan di leher lalu memakaikannya pada Nayya.
Nayya terkesiap. Ia mendongak seketika. "Loh, Kak?"
"Itu buat kamu," ucap Akbar sambil tersenyum.
"Tapi Kak─"
"Udah, anggap aja kenang-kenangan dari aku. Simpen baik-baik ya."
Nayya menggigit bibir bawahnya. Lalu menunduk. "Iya," ucapnya pelan. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, yang jelas, jantungnya sudah berdetak tak karuan.
Melihat hal itu, Akbar mengusap tengkuk nampak salah tingkah. Adel berdeham keras. Dan rasanya Nayya ingin bersembunyi di balik tembok raksasa China atau tenggelam di Antartika. Ia sudah tak karuan diperlakukan sedemikian rupa oleh Akbar. Tadi Akbar memberinya love sign dan sekarang, ia memberi medali yang ia dapat susah payah padanya. Apa maksud semua ini? Apa mungkin....
"Oh ya, karena aku menang, sesuai janji kita nonton bareng ya, aku yang nraktir. Gimana?"
"Wah!" Nayya langsung merespon begitu mendengar kata traktir. Melihatnya, Akbar tersenyum dan Nayya nampak salah tingkah lagi─kembali menunduk.
Adel pun terkekeh. "Iya, pasti seru. Yuk Nay, Ar."
"Boleh," sahut Nayya sumringah lalu menatap Arkan. "Kaaannn...," rajuknya memohon.
Arkan memutar bola mata. "Inget kata Om Alfi," ucapnya pada Nayya.
"Hari ini doang. Papa bakal ngijinin kok, kalo sama lo. Jadi...─"
"Nggak," tukas Arkan tegas. "Kalo lo mau, pergi aja sendiri. Gue mau balik."
Dan Arkan benar-benar pergi dari hadapannya. Nayya melongo.
"Arkaaannnn...!"
***
Tbc.
Catatan:
(1) Luar biasa; keren.
(2) Tendangan ke arah kepala.
(3) Semangat.
(4) Mulai.
(5) Instruktur.
(6) Tendangan depan yang dilakukan sambil melompat.
(7) Tendangan dengan dua target sasaran.
Yosshh moga sukaaa. Maaf lama up. Makasih buat yang setia nunggu 😘
Ada playlist no more dream dari BTS, selamat menikmati 😍
Subang,
23 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top