Bab 6 - Yang Tersembunyi
6
~Yang Tersembunyi~
"Setiap orang, menyimpan hal yang mereka sembunyikan. Sedekat apa pun kamu mengenal seseorang, selalu ada satu hal yang tidak ingin mereka bagi."
***
Seluruh warga SMA N 101 Jakarta nampak begitu antusias menyaksikan pemilihan ketua OSIS baru di lapangan sekolah. Panas terik mentari saat itu sama sekali tak mematahkan antusias dan semangat para tim sukses yang terus bersorak dan bertepuk tangan, kala calon mereka mendapatkan suara.
Nayya ikut menonton dari pinggir lapang, nampak agak cemas mellihat hasil voting. Rupanya, saingan Arkan cukup berat. Meskipun ia digemari banyak orang, tak sedikit pula yang tak menyukainya−terutama murid laki-laki−karena sikapnya yang terkesan angkuh di mata mereka. Namun, Arkan dan Sadiya tetap memimpin dengan perbedaan sepuluh poin. Hingga tersisa satu suara, mereka masih memimpin dengan selisih enam poin, Nayya menghela napas lega.
Ia tersenyum simpul ketika sang panitia menyebutkan nama Arkan dan Sadiya sebagai ketua dan wakil ketua OSIS terpilih. Tepuk tangan dan sorakan riuh memenuhi seluruh lapang. Kegiatan berjalan tertib sampai panitia menutup acara. Sebagian besar siswa membubarkan diri, sebagian lagi memilih bersantai di sekolah entah melakukan apa.
Nayya hendak menghampiri Arkan dan Sadiya, tapi urung ketika dilihatnya banyak orang mengerubungi mereka─memberi ucapan selamat. Ia dikejutkan oleh seseorang yanng menepuk bahunya pelan. Nayya menoleh dan mendapati Kei tengah tersenyum padanya.
"Hey," sapa Nayya. "Belom pulang?"
"Lo sendiri?" Kei balik bertanya.
"Emm... kayaknya entar deh. Bakal beres-beres dulu, lo duluan aja."
Kei mengangguk paham. "Ya udah kalo gitu," ucapnya lalu melengos pergi.
"Nggak mau ngasih selamat sama Arkan dulu?"
Pertanyaan Nayya sukses menghentikan langkah Kei. Ia berbalik, menatap ke arah Arkan sejenak, kemudian beralih menatap Nayya sambil tersenyum. "Gue rasa dia gak butuh itu," ujarnya lalu pergi.
Nayya menghela napas. Ia masih belum tahu ada masalah apa antara kedua sahabatnya itu. Sepertinya, ia harus berbicara pada Arkan nanti. Nayya membalikkan tubuh dan terkejut mendapati Arkan sudah berdiri di hadapannya. "Astagfirulloh...,"─Nayya mengelus dada─"kayak setan deh!"
Arkan mendengkus. "Gak usah lebay. Tadi ngobrolin apa?"
Belum sempat Nayya menjawab, Akbar datang menghampiri Arkan. Membuat Nayya menelan kata-katanya kembali.
"Hey, Ar!" sapa Akbar. "Congrats, ya. Semoga kamu bisa jadi ketua yang lebih baik dari ketua-ketua sebelumnya." Akbar mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Arkan.
"Iya Bang, mohon bantuannya aja." Arkan tersenyum sopan. Baginya, Akbar adalah panutan serta sosok yang ia kagumi dan hormati.
Akbar menepuk bahunya ramah. "Anytime. Jangan sungkan kalau butuh bantuan," ucapnya.
Arkan mengangguk sambil tersenyum. Akbar kemudian menyapa Nayya yang juga berada di sana. "Nanti jangan lupa, ya!" ujarnya sambil tersenyum.
Nayya balas dengan senyuman lebar, lalu mengacungkan ibu jarinya. "Siap, Kak!"
Sementara Arkan mengerutkan kening tak mengerti. Lalu Akbar pamit terlebih dulu karena ada urusan, meninggalkan dua orang yang belum selesai urusannya.
"Emang nanti ada apaan?" tanya Arkan penasaran.
"Ada deehhh... entar gue cerita," jawab Nayya celingukan seolah mencari seseorang. "Si Sadiya mana?"
"Tahu, kelelep di kloset kali." Arkan menjawab tak acuh. Tadi ia sempat bilang mau ke toilet, namun sampai sekarang masih belum kembali juga.
Mendengar jawaban Arkan, Nayya berdesis. Kemudian ia melihat Aretha yang sedang bercengkrama bersama teman-temannya, ia pun memanggilnya.
"Tha! Aretha!" seru Nayya melambaikan tangan pada gadis yang berdiri sekitar lima meter darinya.
Melihat hal itu, Arkan panik. "Eh, lo ngapain manggil-manggil dia segala? Awas aja kalo lo macem-macem lagi!" ancamnya.
"Yee... ge-er lo! Gue ada perlu tahu!"
Gadis itu menghampiri Nayya. "Iya Kak? Kenapa?" tanyanya ketika sampai di hadapan Nayya. Sadar akan kehadiran Arkan, ia pun menyapanya, sekaligus memberi Arkan ucapan selamat.
"Semoga bisa menjadi pemimpin yang baik, sesuai prinsipnya." Aretha tersenyum agak lebar namun tetap terlihat manis.
"Iya, makasih," jawab Arkan sedikit tersenyum, sambil mengusap tengkuk nampak agak kikuk.
Aretha tersenyum tipis, lesung pipit yang muncul di pipi sebelah kirinya membuatnya terlihat manis dan anggun. Nayya menahan senyum melihat reaksi Arkan. "Biasa aja kalii," cibir Nayya.
Arkan mendelik, nuraninya berkata kalau ia sebaiknya segera pergi dari hadapan sahabatnya itu. Namun, belum sempat ia melancarkan niatnya itu, seseorang datang menghampirinya.
"Hai," sapa perempuan dengan rambut hitan lurus itu, tak lupa senyum manis menghiasi wajah ayunya.
Arkan terdiam. Sementara Nayya memutar bola mata malas. Lalu pura-pura tersenyum menyapa kakak kelasnya itu. Dan Aretha hanya menyapa dengan santun.
"Ya udah, kita duluan yuk, Tha. Kakak mau ngomong sesuatu sama kamu," ajak Nayya pada adik kelasnya itu.
Aretha mengangguk, ia pamit pada Arkan dan Adel lalu mengikuti langkah Nayya. Kini tinggal Arkan yang menghadapi Adel dalam diamnya.
"Ada apa?" tanya Arkan tanpa basa-basi dan datar seperti biasa.
"Nggak papa, cuma mau ngasih selamat aja, kok," ucapnya mengulum senyum. "Selamat ya, udah kepilih jadi ketos baru." Adel mengulurkan tangan, tersenyum semanis mungkin.
Arkan hanya menjawab dengan gumaman tanpa membalas uluran tangannya. Adel pun kembali menarik tangannya secara perlahan, senyumnya berubah masam.
"Udah?" tanya Arkan kemudian.
Adel cemberut. "Jutek banget sih, Ar."
Arkan menghela napas sejenak. "Kalau nggak ada lagi yang perlu dibicaraian, aku mau pulang," ujarnya.
"Iya iya bentar. Emm ... besok sabtu, ada acara nggak?" Adel menggigit bibir bawahnya, nampak ragu. "Gue mau ajak loㅡ"
"Maaf Kak. Aku nggak bisa," tukas Arkan sebelum Adel menyelesaikan kalimatnya. Ada hening sejenak sebelum Arkan kembali berbicara. "Udah kan? Kalau gitu, aku duluan," pamit Arkan lalu pergi meninggalkan Adel yang masih berdiam diri dengan raut sedih, namun matanya mengatakan hal lain, sesuatu yang hanya ia yang tahu.
Arkan berjalan menuju kelasnya. Sekolah sudah cukup sepi, ia juga sudah tak ada kegiatan lagi. Jadi, ia memutuskan untuk pulang. Setelah mengambil tas, Arkan pun menuju tempat parkir. Di sana, ia melihat Adel yang tengah berjalan dengan langkah gontai. Ada perasaan tidak enak atas sikapnya tadi pada kakak kelasnya itu. Namun, ia abai. Mencoba untuk tidak peduli─seperti biasanya.
"Ngapain aja tadi?" Sebuah suara−yang tidak asing baginya−tiba-tiba menginterupsi, membuat Arkan yabg sedang membuka kunci motor terkejut hingga kunci yang sedang ia pegang itu terjatuh.
Melihat hal itu, Nayya terkekeh. Arkan menatap Nayya kesal, lalu mengambil kunci yang tadi jatuh.
"Nggak ngapa-ngapain," jawab Arkan cuek, lalu membuka kunci motor.
"Oh," sahut Nayya.
"Terus tadi apaan? Yang sama Kak Akbar." Arkan kembali bertanya.
"Ooh, itu. Jadi gini ... nanti sabtu kan, Kak Akbar ada pertandingan. Nah, dia minta gue dateng buat lihat pertandingannya. Dia minta gue langsung loh!" Nayya mengucapkannya dengan wajah berseri-seri, matanya berbinar namun pipinya agak memerah─sedikit tersipu, ia menundukkan kepala dan memainkan jemarinya.
"Oh," jawab Arkan datar.
Nayya mendongak. "Udah, gitu doang?" tanya Nayya tak percaya.
"Terus?"
Nayya berdesis sebal. "Dasar muka triplek!" ejeknya.
"Bodo!" balas Arkan.
"Lo nggak mau nemenin gue?" tanya Nayya menghentikan pergerakan tangan Arkan yang hendak memakaikan helm.
Arkan kembali menurunkan tangan dan menatap Nayya. "Gue kira lo mau kencan," ucapnya menekankan kata terakhir.
Nayya menendang kaki Arkan saking kesalnya, membuat Arkan mengaduh dan mengusap-usap kakinya, kesakitan setengah mati. "Sakit tahu!" geramnya. "Lagian kenapa, sih? Gue salah? Yang ada entar gue ganggu lo sama pujaan hati lo itu."
"What!?" Nayya berseru tak percaya atas apa yang dikatakan Arkan. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. "Lo kenapa, sih? Lo tuh aneh banget tahu gak!" Nayya mendesis geram lalu pergi dari hadapan Arkan dengan langkah lebar dan cepat. Mulutnya terus menggerutu, merutuki sahabatnya itu, rupanya ia benar-benar kesal pada Arkan.
Nayya bersender di dinding gerbang depan, menunggu Pak Gigih menjemputnya. Tidak lama, Arkan muncul dengan motornya. "Gak mau bareng?" tanyanya.
"Nggak!" ketus Nayya.
"Tadi Om Alfi nelpon kalau Pak Gigih nggak bisa jemput. Katanya hape lo mati."
Nayya mengecek ponsel, dan benar saja, ponselnya mati. Ia kembali mendesis kesal. Mau tak mau ia ikut Arkan, kalau tidak, ayahnya pasti akan mengomelinya nanti.
Arkan menyodorkan helm yang selalu ia bawa untuk kejadian mendadak seperti ini. Dengan terpaksa, Nayya menerimanya lalu memakai helm tersebut. Ia menyingkap roknya ke atas lalu naik ke motor Arkan dengan posisi duduk menghadap ke depan. Tidak khawatir kakinya terekspos, karena ia selalu memakai celana training sebagai daleman.
Arkan berdecak. "Duduk nyamping kek, biar kayak cewek."
"Bawel. Buruan jalan!" titahnya masih dengan nada ketus.
Arkan pun melajukan motornya. Selama perjalanan itu, tak ada obrolan seperti biasanya. Jika biasanya Nayya akan berceloteh tentang apa pun─meski Arkan tak menyahut, sekarang dia diam seribu bahasa. Nampaknya, Nayya sedang benar-benar kesal pada Arkan.
Arkan menurunkan Nayya tepat di depan gerbang rumahnya. Nayya membuka helm dan menaruhnya di jok belakang tempat ia duduk tadi. Lalu melengos, namun tertahan karena Arkan yang masih duduk di atas motor−dengan cepat−menarik ranselnya.
"Iiih apaan, sih?!" sungutnya kembali menghadap Arkan.
Arkan membuka helm dan turun dari motornya. "Lo masih marah?"
Nayya tak menjawab, ia melipat tangan di dada dan memalingkan muka.
"Gue kan cuma bercanda. Sensi amat. Lagi PMS, heh?"
Nayya mendengkus, lalu menatap Arkan. "Bercanda lo ngeselin tahu nggak!? Pake nyebut-nyebut kencan segala. Meskipun gue suka sama dia, gue juga punya batas. Gue ke sana murni mau dukung dia. Gimana pun dia kakak senior gue di klub dulu."
Arkan hanya diam mendengarkan sahabatnya yang sepertinya belum selesai berbicara itu.
Nayya menarik napas sejenak. "Dan sikap lo akhir-akhir ini emang aneh."
"Oke, gue minta maaf. Dan soal─"
"Satu lagi." Nayya memenggal kalimat Arkan. "Jangan deket-deket sama Kak Adel, mending Aretha ke mana-mana."
Alis Arkan naik sebelah. Lalu tertawa tak percaya. "Siapa elo, ngatur-ngatur hidup gue?" tanyanya agak berbisik.
Nayya mendelik sebal lalu menjitak kepala Arkan.
"Awsh!"ㅡArkan mengusap kepalaㅡ"Apaan, sih!" serunya.
"Pokoknya gue nggak suka Kak Adel!" sungut Nayya.
"Terus masalah buat gue?" Jeda sejenak, Arkan menatap Nayya intens. "Kalo gue suruh lo jangan deket-deket si Kei, gimana?"
Nayya mengerutkan kening. "Kenapa? Emang si Kei salah apa?"
Arkan tersenyum sinis. "Itu pertanyaan yang sama dari gue soal Kak Adel buat lo. Oke?"
"Lo nggak bisa nyamain Kei sama Kak Adel gitu aja, dong!" sergah Nayya. "Lo punya masalah apa, sih, sama si Kei?"
Arkan memakai helm tanpa memperdulikan pertanyaan Nayya. Lalu kembali menaiki motornya. "Gak ada masalah apa-apa," ucapnya lalu menstarter motornya.
"Bohong!" tukas Nayya. "Ada yang kalian sembunyiin dari gue, kan? Kalian─"
"Gue balik," tukas Arkan menghentikan ucapan Nayya. Lantas ia pun melajukan motor menuju rumahnya yang masih berada dalam jarak pandang Nayya.
Nayya berdecak sebal. Lagi-lagi ia tak mendapat jawaban. Mereka selalu berkata kalau mereka baik-baik saja, tak ada masalah. Tapi nyatanya, sikap mereka menunjukkan sebaliknya. Ia yakin, ada sesuatu yang mereka sembunyikan darinya.
Tapi apa!? jerit batinnya frustrasi. Menghela napas panjang, lalu ia pun memutuskan masuk ke rumahnya.
***
Tbc.
Maaf baru up T.T kemaren agak-agak (sok) sibuk. 😅
Maaf kalau pendek wkwk. See u next part ;)
Tasikmalaya,
13 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top