Bab 5 - Manusia yang Bermanfaat

5

~Manusia yang Bermanfaat~

"Memang apa lagi cita-cita tertinggi manusia jika bukan menjadi manusia yang bermanfaat? Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."

***


"Masa muka gue jelek kayak gitu?" Arkan berseru protes melihat hasil karikatur yang dibuat oleh Kei.

Belum sempat Kei menimpali perkataan Arkan, Nayya mendahuluinya. "Eh, muka lo udah jelek, jadi nggak usah protes," ucap Nayya santai.

Mendengar hal itu, Kei menahan tawa, apalagi melihat ekspresi Arkan yang kesal bukan kepalang.

"Nay, jahat banget lo. Kalo muka si Arkan jelek, muka gue apa kabar, Nay?" Sadiya ikut menimpali. Sementara Safira fokus dengan bagiannya membuat slogan.

"Lo lebih ganteng dari si Arkan, tenang aja."

Sadiya terbahak, begitu pula dengan yang lain. Sementara Arkan hanya mendengkus. Malam itu, mereka sedang berkumpul di rumah Nayya; membuat slogan dan hal-hal lain untuk keperluan demo calon ketua OSIS senin depan.

"Gimana? Bagus, nggak?" Safira menunjukkan hasil tulisan tangannya. Ia menuliskan slogan yang dipakai Arkan dan Sadiya dalam bahasa arab berikut artinya.

"Khoirunnaas anfa'uhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain." Safira membacakan slogannya.

"Wihh keren, Pi!" seru Sadiya mengacungkan jempol. Begitu pula dengan Nayya dan Kei.

"Iya, Fi. Bagus. Suka buat kaligrafi, ya? Tulisan arabnya bagus, loh. Gue suka," ujar Arkan tampak puas dengan hasil dari Safira..

Safira hanya tersenyum tipis dan sedikit menunduk. Terlihat sedikit malu saat Arkan memujinya. "Cuma seneng aja, kok."

Nayya menaikkan sebelah alis menatap Safira yang dia rasa tidak seperti biasanya. Namun, ia berusaha tak acuh. Memilih kembali memperhatikan Kei yang sedang membuat karikatur wajah Arkan dan Sadiya, yang menurutnya keren luar biasa.

Berbeda dengan Arkan, ia hanya diam menonton yang lain. Sejak awal, menurutnya yang mereka lakukan itu tidak penting, tapi justru ialah yang banyak ptotes. Hal itu membuat Nayya kesal hingga percecokan tak pernah berhenti di antara mereka. Kegiatan seru mereka diinterupsi oleh suara adzan dari ponsel Safira, mereka pun serentak mengucap syukurㅡkecuali Kei.

Safira hendak mematikan bunyi adzan dari ponselnya namun Arkan melarang. "Gak baik, udah biarin aja."

Safira hanya mengangguk patuh dan kembali menaruh ponselnya. Tak lama, Alfi datang dan mengajak mereka sholat isya berjemaah. Mereka pun menurut dan segera menghentikan aktifitas mereka sejenak, kecuali Kei dan Nayya. Karena saat itu Nayya sedang berhalangan. Ia pun asyik bercengkerama dengan Kei.

"Kapan-kapan lukis gue dong, Kei, ya?"

Kei terkekeh. "Serius? Tapi gue takut."

"Takut kenapa?" Nayya mengernyit heran.

"Takut ngubah wajah cantik lo jadi buruk rupa di lukisan gue."

Nayya terbahak. "Dasar tukang gombal, lo! Gue serius, ih!"

Kei ikut tertawa bersama Nayya. "Gue juga serius, tahu. Ainayya, tanganku tak kuasa melukis wajah cantikmu yang melebihi cantiknya monalisa. Bagaimana mungkin, tangan yang hina ini berani melukis wajah cantik Tuan Putri?"

Nayya benar-benar tertawa keras akibat gombalan maut dari Kei. Kei terus saja menggodanya dan mengeluarkan kalimat rayuan kelas kakap hingga membuat Nayya tertawa sampai matanya mengeluarkan air.

Arkan dan yang lainnya sudah kembali ke ruang tamu. Melihat Nayya yang tertawa bersama Kei, Arkan diam sesaat. Menatapnya dengan tatapan yang tidak biasa.

"Kei beneran loh, gue pengen."

"Oke Princess, apa sih, yang nggak buat lo." Kei mengedipkan sebelah mata.

"Dasar genit!" tukas Nayya. Kei hanya terkekeh.

"Elaah malah asik berdua nih anak. Ini udah beres semua, kan?" tanya Sadiya. Disambut anggukan dari Nayya.

"Kalian pulang aja, udah malem juga. Biar gue yang beresin ini,"─Nayya menatap Safira─"Saf, lo nginep aja, ya? Besok kan libur."

"Ehm ... nggak papa, Nay. Aku pulang aja."

"Nginep aja, udah malem, bahaya. Biar Om Alfi gak usah nganterin juga. Kasihan, baru pulang kerja pasti capek." Arkan menimpali.

"Ciyee Arkan perhatian, ciyeee," seloroh Nayya dengan usilnya. Arkan hanya memutar bola mata.

Safira tersenyum sekedarnya. "Ng...."

"Udah, Safira nginep, biar Nayya ada temen ngobrol, gak maen game terus." Kali ini Alfi yang berbicara. Membuat Nayya merenggut lucu.

Safira akhirnya mengalah, ia pun menghubungi keluarganya kalau ia akan tidur di rumah Nayya. Sementara Kei, Sadiya dan Arkan pamit pulang.

Setelah kepulangan mereka, Nayya dan Safira membereskan peralatan. Nayya lalu mengambil slogan yang dibuat Safira. "Lo dapet ide dari mana jadiin hadis ini slogan, Saf? Ini kece loh, gue jadi mikir, tanggung jawab si Arkan berat juga ya entar. Hahaha."

Safira mengulum senyum. "Awalnya aku nanya Arkan, sih. Dia bilang kalau dia mau jadi orang yang bermanfaat. Apalagi sebagai pemimpin, tentu dia harus bisa memberikan manfaat pada bawahannya.

"Aku juga selalu inget pesan dari Kak Nizar, dia pernah bilang, memang apalagi cita-cita tertinggi manusia kalau bukan menjadi manusia yang bermanfaat? Bermanfaat untuk agama, negara, orang lain, dan diri sendiri. Toh dunia ini hanya persinggahan sementara, penuh fatamorgana dan ketidakpastian."

Nayya mendengarkan dalam diam, lalu menyahut, "Karena yang pasti hanya kematian."

Safira tersenyum menanggapi. "Jadi...."

"Berusaha menjadi manusia yang bermanfaat!" sahut Nayya cepat. Ia tersenyum lebar lalu memeluk sahabatnya. "Aaahh ... Safira, I love you!"

"Ih, apaan, sih, Nay. Lepasin, nggak?" Safira berusaha melepas tangan Nayya yang melingkar di bahunya.

"Nggak mau!" Nayya malah makin erat memeluk Safira.

Safira menghela napas, lalu mereka tertawa.

***

Hari itu demonstrasi berjalan lancar, karena merupakan hari terakhir, Nayya mentraktir semua tim suksesnya di kantin.

"Nay, kok, lo yang traktir? Bukannya si Arkan atau si Sadiya?" tanya salah satu anggota tim suksesnya.

"Lah, emang kenapa kalo gue yang traktir? Orang gue mau sedekah, kok," ujar Nayya disambut suara batuk dari Sadiya.

"Apaan sih, lo, Di! Sirik aja! Minum sono!" sungutnya.

"Kesambet apa ni bocah satu mau traktir kita semua." Sadiya sampai tak habis pikir. "Eh, Ar, ini nggak ada udang di balik selimut, kan?"

Arkan mendelik dengan tatapan 'mana ada udang di balik selimut!' namun ia tak berkata apa-apa. Sadiya terkekeh, seolah tahu arti tatapan Arkan. "Abisnya, seorang Ainayya yang biasanya minta ditraktir terus, sekarang nraktir semua orang? Wow ... aneh, nggak, sih? Ya, kan, Ar?"

Arkan hanya memberinya tatapan 'Please, Di' dan hal itu membuat Sadiya terbahak.

"Berisik banget, sih, lo Di! Kalau gak mau ya bayar sendiri sana!" Nayya ingin sekali melemparnya dengan sepatu atau kursi atau apa pun yang ada di sana.

"Oke, oke, fine." Sadiya angkat tangan. Menyerah kala melihat raut muka Nayya yang sudah naik pitam. Bisa-bisa dia berakhir babak belur kalau meneruskan mengejeknya.

"Inget ya! Ini bukan sogokan! Tapi sedekah, dan gue harap kalian bisa balas budi dengan baik," ucap Nayya disambut koor-boo-dari semua anggota timnya.

"Sama aja, Coeg!" seru salah satu murid laki-laki.

Nayya terbahak. Arkan menyunggingkan senyum kecil sambil geleng-geleng. Di saat mereka sedang menikmati jajanan mereka, seseorang datang dan duduk begitu saja di kursi kosong depan Nayya dan Arkan. Menginterupsi canda tawa mereka.

"Hai, seru banget, kayaknya."

Nayya dan yang lainnya terdiam sejenak lalu ia tersenyumㅡsedikit dipaksakanㅡpada kakak senior di hadapannya. "Iya Kak, lagi doain supaya Arkan menang."

Perempuan cantik berambut lurus itu tertawa pelan. "Doain kok, berisik gini," ujarnya. "Ikut gabung boleh, ya?" tanyanya disambut anggukan dari Nayya dan yang lainㅡterlalu segan jika menolak.

Perempuan itu tersenyum lantas menatap Arkan. "Gimana persiapannya?"

"Alhamdulillah, udah mateng. Tinggal nyiapin mental buat hari kamis nanti," jawab Arkan sekedarnya.

"Kak Adel jangan lupa coblos nomer satu, ya!" seru Sadiya dengan cengiran khasnya.

Perempuan bernama Adel itu tersenyum lebar. "Tentu aja, gue pilih Arkan, kok," ucapnya kemudian tersenyum manis pada Arkan. "Semoga kayak slogan kalian, kalian jadi manusia yang bermanfaat. Jangan sampe jabatan jadi tempelan doang. Contoh Akbar, dia pemimpin yang baik, kan?"

Arkan mengangguk, membenarkan. Akbar memang sosok panutan sebagai ketua OSIS di SMA ini, bisa dibilang, masanya merupakan masa yang paling bersinar. Terbukti dengan suksesnya setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan olehnya. Ia juga selalu mendapat pujian dari pihak guru.

Hening sesaat, Adel kembali berbicara, "Soal yang waktu itu ... makasih ya, Ar." Ia tersenyum tulus.

Arkan hanya menanggapi dengan 'Hm' tanpa menatap Adel─lebih memilih melanjutkan makannya. Tidak tahu saja kalau Nayya sudah menatapnya penuh tanda tanya.

"Sorry baru bilang sekarang, gue nyariin lo, nggak ada terus," ucapnya lagi.

"Gak papa," jawab Arkan pendek.

"Oh ya, bentar lagi lo ultah, kan, Ar? Mau kado apa? Gue pengen ngasih sesuatu buat lo."

Suasana mendadak hening seketika, Arkan pun menghentikan pergerakan tangan dan beralih menatap perempuan di hadapannyaㅡyang masih saja tersenyun manis padanya.

"Uhuk! Uhuk! Aer dong! Keselek gue!" Nayya berseru sambil terbatuk, mendadak keselek dan rusuh sendiri.

Kei segera menyodorkan minuman milik Safiraㅡkarena milik Nayya sudah habis dan ia tahu Nayya tidak akan mau meminum miliknyaㅡyang segera diminum oleh Nayya.

"Ah ... Thanks, Kei." Nayya bernapas lega setelah menghabiskan es jeruk milik Safira.

"Urwell Princess," sahut Kei santai.

Safira cemberut membuat Nayya tersenyum tanpa dosa padanya, "Lo pesen lagi, ya."

"Makannya pelan-pelan, dong, Princess. Jadinya keselek, kan,"─Kei menepuk-nepuk pelan punggung Nayya─"Udah gak papa?"

Adel terkekeh pelan. "Nayya udah punya pangeran ya, sekarang."

Arkan berdecih sinis dan Nayya menangkap hal itu. "Kenapa?" tanya Nayya ketus pada Arkan.

"Nggak kenapa-napa," sahut Arkan tak acuh dan melanjutkan makan yang sempat tertunda.

Nayya menatapnya kesal. Rasanya ingin sekali meninju wajah sahabatnya itu.

"Gue duluan ya, pengen ke toilet!" ujarnya kemudian bangkit dengan satu hentakan lalu meninggalkan kantin.

Arkan diam, ia tahu, kalau itu hanya alasan yang dibuat-buat oleh Nayya saja. Tapi ia tak mau ambil peduli. Juga tak mau peduli dengan Kei yang menatapnya tidak suka. Ia tetap makan dengan tenang.

Nayya berjalan dengan kesal ke taman sekolah. Duduk di tempat favoritnya; sebuah bangku dekat pohon. Mengungkapkan kekesalan dengan sumpah serapah dari bibir tipisnya, hingga seseorang menginterupsi kalimatnya, Nayya terlonjak kaget.

"Kak Akbar...."

Pria itu tersenyum. Lalu duduk di samping Nayya. Nayya beringsut sedikit untuk menjaga jarak.

"Lagi ngapain? Ngomong sendirian lagi, nanti disangka orang gila, loh."

Nayya tersenyum lebar, menggaruk tengkuk yang terhalang hijab. "Enggak ... lagi kesel aja, sih...."

Akbar hanya bergumam dan mengangguk paham tanpa bertanya apa yang membuat gadis di sampingnya itu kesal. Karena ia tahu, Nayya pasti tidak akan bercerita padanya.

"Ada apa, Kak?"

"Ya?"

"Ada apa Kakak nyamperin aku?"

"Gak boleh, ya?"

"Eh, bukan gitu maksudnya... ya, kan...."

Akbar tertawa melihat gelagat Nayya yang serba salah. "Bercanda aja, kok. Emm ... mau bilang sesuatu, sih...."

Sesuatu? batin Nayya bertanya. Dan pikirannya sudah bercabang ke mana-mana, memikirkan apa yang Akbar bilang sesuatu itu. Ia mati-matian menahan mulutnya untuk tidak mengutarakan isi pikirannya.

"Soal apa, ya, Kak?" tanyanya dengan degup jantung yang tak bisa lagi ia kendalikan.

Akbar terlihat ragu mengatakannya, ia meremas jemarinya sendiri. "Jadi gini... Akhir pekan nanti, Kakak ada pertandingan. Emm ... Kamu dateng, ya? Kalau mau, sih...." Akbar menggaruk tengkuk.

"Serius? Wah! Pasti Kak! Aku pasti dateng!" seru Nayya heboh sendiri. Mana mungkin ia melewatkan pertandingan kakak seniornya ini.

"Sukurlah... takutnya kamu malah nolak, hee." Akbar nampak lega.

"Enggak dong, Kak. Kakak kan, idola aku, masa aku nggak dateng, eh!" Sejurus kemudian, Nayya menutup mulut. "Keceplosan,"gumamnya pelan dibalik tangan.

Akbar tertawa, membuat dada Nayya berdesir indah ketika melihatnya. Selalu, saja. Nayya menunduk malu. Di hadapan pria ini ia selalu mati gaya. Entah ke mana perginya Ainayya yang pecicilan itu.

"Ya udah, mau bilang itu aja, kok. Pertandingannya dua hari kayak biasa. Duluan ya, jangan keseringan bicara sendiri."

Nayya menggigit bibir bawahnya, tersenyum masam. "Iya, Kak...."

"Jangan lupa dateng ya," ucapnya lagi dengan senyum manis. Ia mengangkat satu tangan ke atas, "Bye."

Nayya membalas dengan senyum tipis. Hingga Akbar berlalu dari hadapannya.

Nayya heboh sendiri. Meghentak-hentakkan kakinya di atas tanah. Memegang jantungnya yang berdebar indah dengan senyum yang merekah. Rona di pipinya begitu jelas terlihat. Tanpa ia tahu, seseorang menatapnya dari kejauhan, dalam diamnya.

***

Tbc.

See u next part, ditunggu vommentnya jan lupa 😊

Subang,
02 September 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top