Bab 4 - Larangan dan Bentuk Kasih Sayang

4

~Larangan dan Bentuk Kasih Sayang~

"Berperilakulah layaknya perempuan, sesungguhnya Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pun sebaliknya."

***

Rapat OSIS berjalan dengan semestinya, Arkan, Aldi dan Miftah dinobatkan sebagai bakal calon ketua OSIS selanjutnya berikut partner yang mereka pilih. Jika sebelumnya suara terbanyak kedua yang akan dipilih sebagai wakil, tahun ini mereka mencoba kembali sistem lama dengan mencalonkan ketua OSIS beserta wakilnya. Arkan dan Sadiya akan menjadi pasangan yang cocok, mengingat kepribadian mereka yang bertolak belakang.

Pukul setengah empat sore, rapat selesai, semua pengurus OSIS pun membubarkan diri. Karena sudah masuk waktu ashar, Ainayya dan beberapa orang lainnya melaksanakan sholat ashar di mushola sekolah. Sementara sebagian lagi memilih untuk langsung pulang.

"Ngobrolin apa aja tadi sama Retha?" Nayya berbisik di telinga Arkan ketika ia menyamai langkah Arkan di teras mesjid.

Arkan sontak menjauh sambil memegang kupingnya. "Ya Allah! Ada setan di mushola," ujarnya menatap Nayya ngeri.

"Kampret!" desis Nayya pelan.

"Itu mulut! Dijaga, Neng! Ni cewek satu, ngomongnya ampun dah. Gak ada manis-manisnya."

"Bodo!" sungutnya tak acuh.

Arkan menggeleng tak habis pikir. Begitu melihat seseorang yang sedang berjalan di belakang Nayya, ia pun tersenyum jenaka.

"Eh, lo tuh harusnya berterima kasih sama gue, karena gue, lo bisa ngobrol sama dia. Lo kan cemen, lihat dia aja, langsung melipir," cibir Nayya.

Arkan berdecak. "Ngaca dong! Buktiin kalo lo nggak kayak gue," ucapnya lalu tersenyum ke arah belakang Nayya.

"Lagi pada ngapain?" tanya Akbar yang sudah berdiri di samping Nayya, membuat gadis itu terlonjak kaget. Sementara Arkan tersenyum puas.

"Nggak papa, Bang. Ini tadi si Nayya nyariin Abang, nggak tahu deh, mau apa. Duluan ya, Bang." Arkan pun melengos pergi, sementara Nayya gelagapan, antara mau mengejar Arkan atau menghadap Akbar.

"Kenapa, Nay?" tanya Akbar. Kini perhatiannya tertuju pada Nayya, membuatnya salah tingkah.

"Duh! Jantuuung ... tenang dikit, napa! Arkan sialan! Dasar!" Nayya terus menggerutu yang tanpa sadari telah ia ucapkan. Kebiasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Meskipun pelan, namun cukup terdengar oleh Akbar dan hal itu membuatnya terkekeh.

"Emang kenapa sama jantungnya, Nay?" tanyanya tenang dan terdengar geli.

Mata Nayya melebar. Lalu menutup mulutnya. Dia yakin kalau ia telah mengucapkan kata batinnya lagi tanpa ia sadari. Kebiasaan buruk yang benar-benar menjadi malapetaka baginya. Akbar masih menertawakannya dengan tawa pelan. Dan sejurus kemudian, Nayya terpesona pada cara Akbar tertawa, membuatnya ikut menyunggingkan senyum. Mengingatkannya pada seseorang.

"Hey!" Akbar mengibaskan tangan di depan Nayya.

"Eh, iya, Kak." Nayya tersadar dari keterpanaan. "Duh, maaf, Kak. Si Arkan ngibul tuh tadi, aku gak nyariin Kakak, kok, aku masuk duluan, ya!" Satu kalimat itu ia ucapkan dengan satu tarikan napas. Lalu ngacir ke dalam mushola.

Akbar terkekeh sambil geleng-geleng kepala, tersenyum manis sekali. Lalu ia pun melangkahkan kakinya menuju tempat wudhu pria. Sementara Nayya mencak-mencak sendiri di dalam mushola. Merutuki Arkan dan kebodohan dirinya. Inilah kenapa ia tidak mau berhadapan dengan Akbar. Kalau tiba-tiba ia mengungkapkan isi hatinya, bisa berabe dia.

"Naay," panggil seseorang dengan lembutnya.

Nayya menoleh dengan tampang melas. Bibirnya mencebik. Tertekuk ke bawah. "Saf ... tolong bantu gue bunuh si Arkan."

Safira tertawa, pertama karena melihat tampang Nayya, kedua karena permintaan konyolnya. "Udah, ah! Ayo sholat, ntar pulangnya kesorean, lho."

Nayya menghela napas, lalu memakai mukena. Ia menenangkan diri sejenak lalu menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.

Usai melaksanakan sholat ashar, Nayya dan Safira segera berjalan menuju gerbang. Di sana, dia berpisah dengan Safira yang pulang terlebih dulu dengan naik angkot. Tidak seperti Nayya yang harus menunggu supir menjemputnya.

Sekarang, sekolah sudah sepi, sepertinya anak-anak sudah pulang semua. Ponsel yang sedang ia genggam bergetar, tanda panggilan masuk. Nama Pak Gigih−supirnya−terpampang di layar datar lima incinya itu.

"Halo, Pak? Di mana? Kok, lama?" Nayya langsung menyerbu Pak Gigih dengan rentetan pertanyaan.

"Duh, Non, jalanan macet. Sabar ya, Non. Ini lagi perjalanan ke sana, kok," sahut pak Gigih dari seberang.

Nayya mencebik. "Ya udah," tukasnya kesal, lalu memutus sambungan dan kembali menunggu. Ia bersender pada dinding gerbang sekolah. Menghela napas. Lalu mencari sosok yang bisa menolongnya. Siapa lagi jika bukan Arkan, tapi ia tak melihatnya sejak ia keluar dari mushola.

Kemudian ia melihat Aldi yang lewat dengan motor gedenya. Ia pun menghentikan Aldi dan bertanya soal keberadaan Arkan padanya, dan Adi berkata kalau Arkan sudah pulang sejak tadi.

Nayya kembali menghela napas. "Oh, ya udah. Thanks, nanya doang, kok." Nayya tersenyum sopan.

"Mau bareng?" tawar Aldi yang disambut gelengan dari Nayya.

"Gue dijemput, kok."

Bukannya tidak mau, sebenarnya ia mau saja, lagi pula niat Aldi baik. Tapi masalahnya bukan itu, alasan Nayya menolak adalah papanya yang melarang keras dia pulang diantar cowok, apalagi boncengan di motor, kecuali bersama Arkan.

"Ya udah kalo gitu, gue duluan."

Nayya mengangguk, Aldi pun kembali melajukan motornya. Nayya mencebik sebal. Di saat begini Arkan malah meninggalkannya. "Dasar makhluk tega! Nyebelin! Ngeselin!"

"Loh, belum pulang, Nay?"

Nayya tersentak begitu indra pendengarannya menangkap suara bariton khas seseorang yang selalu membuat jantungnya berdetak abnormal. Ia menoleh pada pria yang kini bertengger di atas motornya, menatap Nayya lewat kaca helm.

"Belum, Kak. Lagi nunggu dijemput, hee."

Lalu ponselnya kembali bergetar. "Maaf Kak, bentar." Nayya lalu mengangkat panggilan masuk di ponselnya.

"Halo?"

"Duh, Non. Ban mobilnya pecah. Ini saya lagi di bengkel, bentar lagi beres, kok." Ternyata Pak Gigih-lah yang menghubunginya.

"Haissh! Ya udah, Nayya naik bis aja!" tukasnya kesal.

"Eeh, jangan Non. Nanti Tuan marah, saya juga yang kena marah nanti." Pak Gigih terdengar gelagapan, kentara sekali ia takut Nayya benar-benar membuktikan ucapannya.

Nayya membuang napas kesal. "Biar Nayya yang bilang sama papa!"

"Tapi Non−"

Nayya memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Ia pun berniat menghubungi papanya.

"Kenapa?" Sebuah suara menginterupsi, mengingatkannya kalau ia sedang tidak sendrian.

"Eh, ini, Kak. Tadi supir Papa bilang kalau bannya pecah," ucap Nayya seadanya.

"Oh, ya udah bareng Kakak aja," tawar pria itu.

Nayya menggeleng. "Nggak usah, Kak. Duluan aja," tolaknya tersenyum sopan.

Pria itu, Akbar membuka helm. Lalu turun dari motornya setelah mematikan mesin. "Kenapa? Gak dibolehin ya, sama papanya?"

Nayya meringis, pasti ia terkesan manja di mata pria itu. Lalu ponselnya kembali bergetar. Sekarang, nama papa terpampang di layar ponselnya. Pas sekali! soraknya dalam hati. Ia pun segera mengangkatnya.

"Halo, Pa?"

"Assalamu'alaikum, kesayangan."

Nayya cengengesan. "Wa'alaikumussalam, Papaku. Maafkan anakmu yang sering khilaf ini."

Di seberang, Alfi terkekeh. "Jangan pulang naik bis, ya, Sayang. Apalagi angkot. Tunggu Pak Gigih aja," ucap Alfi kemudian.

Pupus sudah harapan Nayya, padahal tadinya ia ingin merajuk pada papanya agar ia dibolehkan naik angkutan umum. "Tapi kan, lama Paaa, yang lain udah pada pulang. Tinggal Nayya sendiri," rengeknya.

Akbar lalu berdeham. Nayya menoleh dan nyengir. Akbar mengisyaratkan pada Nayya kalau dia akan mengantarnya.

"Arkan mana?" tanya Alfi.

"Udah pulang duluan," jawab Nayya ketus. "Kalau dianterin temen, boleh?" Nayya melirik Akbar sekilas.

"Cewek? Boleh," jawab Alfi yang sekali lagi telah memupuskan harapannya.

Nayya kembali mencebik. "Bukan. Tapi cowok. Kak Akbar, ketua OSIS. Baik kok, orangnya. Dijamin!"

Mendengar hal itu, Akbar terkekeh. Ia terus memerhatikan Nayya yang asyik beradu mulut dengan papanya. Bersamaan senyuman yang tak luput dari wajah tampannya.

"Tidak ada jaminan orang itu baik atau tidak, Ainayya." Alfi masih tak bisa dibantah.

"Tapi kenapa kalau sama Arkan, Papa beda? Kan gak ada jaminan dia baik juga?" Nayya pun tak mau kalah, sifat keras kepala Alfi memang mutlak turun padannya.

"Papa sudah mengenal dia sejak dia lahir ke dunia."

Nayya berdesis. Cemberut. "Papa nggak adil!" serunya, lalu memutus sambungan telepon dan mematikan ponsel, karena ia tahu papanya pasti akan menghubunginya kembali. Nayya melipat tangan di dada dengan wajah ditekuk sempurna.

Akbar hanya tersenyum tipis melihat tingkahnya. "Kakak temenin, ya? Biar nggak sendirian."

Nayya menggigit bibir bawahnya. Merasa canggung dan tidak enak. "Nggak papa, kok, Kak. Paling bentar lagi juga dateng. Kakak pulang duluan aja."

Akbar menggeleng. "Kamu anggota dan bawahan saya, yang berarti menjadi tanggung jawab saya. Saya nggak mau terjadi apa-apa sama kamu."

Pipi Nayya memerah. Ia menunduk dalam untuk menyembunyikan rona di wajahnya.

"Oh ya, Kakak boleh nanya, nggak?" tanya Akbar setelah hening beberapa saat.

Nayya yang sudah menetralkan mimik wajahnya pun mendongak. "Kenapa, Kak?"

"Kenapa berhenti dari klub taekwondo? Padahal kamu punya bakat, loh. Sayang banget berhenti pas udah dapet sabuk hitam."

Nayya menunduk. Pertanyaannya mengingatkan ia pada satu kejadian tahu tahun lalu. Ketika ia bertengkar hebat dengan papanya.

Ketika itu, Nayya dan Alfi baru kembali dari klub taekwondo yang Nayya ikuti.

"Kenapa Papa nggak diskusi dulu sama Nayya?" tanya Nayya membuat langkah Alfi yang sudah berjalan di depannya terhenti. Berbalik menatap anak gadisnya.

"Karena papa tahu kamu akan menolaknya," jawab Alfi. Afanin yang baru muncul ikut menyaksikan perbincangan suami dan anaknya.

"Pa! Nayya suka taekwondo! Papa yang nyuruh Nayya belajar bela diri. Papa yang selalu dukung Nayya. Kenapa Papa malah nyuruh Nayya berhenti!?" Nayya menatap papanya dengan sorot kekecewaan dan amarah yang tidak bisa ia tahan.

"Nayya, dengerin Papa. Papa menyuruh kamu−"

"Agar Nayya bisa menjaga diri, begitu, kan? Karena Nayya cewek dan nggak ada yang bisa jaga Nayya. Karena Papa pun terlalu sibuk untuk menjaga Nayya!" tukas Nayya memenggal kalimat papanya.

"Ainayya!" Kali ini Afanin yang mebentaknya. Sementara Alfi terdiam. "Mama tidak pernah mengajari kamui berbicara kasar pada orang tua!"

Air sudah menggenang di pulupuk mata Nayya saat itu, namun tidak jatuh. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. "Mama sama Papa nggak pernah ngertiin Nayya!" tukasnya lalu berlari ke luar rumah.

"Nay?" Akbar menyentuh bahu Nayya, membuat ia tersadar dari lamunan panjangnya.

"Eh, iya, Kak. Maaf," sesalnya.

Akbar menarik tangannya kembali. Lantas tersenyum. "Nggak mau jawab juga nggak papa, kok."

Nayya tersenyum tipis. Lalu teringat kata-kata Afanin setelah pertengkaran itu. Saat itu ia tengah duduk di ayunan halaman samping rumahnya sendirian, lalu Afanin menghampirinya. Meminta maaf, dan memberinya penjelasan dengan lebih sabar. Seperti yang biasa ia lakukan.

"Sayang, kamu itu perempuan. Kami menyuruhmu bela diri, hanya agar kamu bisa menjaga dirimu di saat kami tidak ada di sampingmu. Bukan karena kami tidak bisa, tapi ada saatnya kamu harus menghadapi sesuatu tanpa kami. Cukup kamu bisa melindungi dirimu sendiri. Perempuan tidak pantas berkelahi, karena hakikatnya itu perilaku pria. Kamu tahu, kan, kalau Allah melarang perempuan yang menyerupai pria begitu pun sebaliknya?" Afanin tersenyum lembut seperti biasa, menatap anak gadisnya yang tertunduk. "Berperilakulah layaknya perempuan. Mama akan senang kalau Nayya mulai mau pakai rok dan jilbab."

Nayya kembali menatap Akbar sambil tersenyum. Senyuman yang membuat pria itu terpana untuk beberapa saat.

Lalu sebuah SUV hitam berhenti di hadapan mereka berdua. Pak Gigih turun dari mobil tersebut, menghampiri Nayya dengan badan sedikit membungkuk. "Duh, Non. Maaf, baru selesai, ini aja tadi saya ngebut."

"Iya, nggak papa," jawab Nayya−kembali menoleh pada Akbar. "Makasih, Kak. Udah nemenin," ucapnya tulus.

Akbar mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama, hati-hati pulangnya."

Nayya mengangguk dengan pipi merona, kemudian masuk ke dalam mobilnya diikuti Pak Gigih. Akbar pun kembali memakai helm dan menaiki motornya.

Dari dalam dalam mobil, Nayya masih sempat melirik pria itu yang tengah tersenyum padanya, ia bisa tahu hanya dengan melihat matanya, hingga mobilnya melaju meninggalkan Akbar yang masih di atas motornya. Nayya sibuk dengan perasaanya sendiri. Perasaan membuncah yang menyenangkan dan tak bisa ia tahan. Senyuman dan rona di pipinya bahkan terlihat dengan jelas.

Pak Gigih melihat majikannya yang senyum-senyum sendiri, kemudian ikut tersenyum. "Pacarnya, ya, Non?"

"Aamiin ... eh!" Sejurus kemudain Nayya tersadar. Pak Gigih terkekeh.

"Bukan, lah, Pak! Awas ya kalau ngadu lagi sama Papa kayak tadi!"

Pak Gigih tersenyum canggung. "Maaf, Non. Habisnya, saya takut Non nekat naik bis kayak dulu. Ujung-ujungnya saya juga yang kena marah Tuan Alfi."

Nayya mengembuskan napas kesal. "Papa emang kebangetan! Gitu aja marah, padahal kan aku selamet sampe rumah. Sekarang juga," gerutunya.

Pak Gigih tersenyum maklum. "Namanya juga orang tua, Non. Itu tandanya Tuan sayang banget sama Non."

"Ya, tapi nggak gitu juga, kali." Nayya memutar bola mata. "Itu sih, over namanya!" Ia menghempaskan punggungnya ke punggung kursi. Memejamkan mata dan meminta Pak Gigih membangunkannya jika sudah sampai rumah.

"Cara setiap orang tua mendidik anaknya berbeda-beda, juga bagaimana mereka mengekspresikan rasa sayang mereka, ada yang lemah lembut, ada yang tegas, keras, bahkan kasar. Dan ini adalah cara Papa Non Nayya buat ngejagain Non, sebagai bentuk kasih sayang dan kepeduliannya." Pak Gigih berbicara panjang lebar yang tak dihiraukan Nayya, walau sebenarnya ia mendengarkan dengan baik, ia punpaham betul maksud perkataan panjang dari Pak Gigih. Intinya, papanya begitu menyayanginya.

Sekitar dua puluh menit perjalanan, Nayya sampai di rumahnya. Dengan wajah di tekuk ia beruluk salam. Afanin lekas menghampirinya lalu Nayya mencium tangan mamanya.

"Kenapa?" tanya Afanin melihat raut anak gadisnya yang ditekuk sempurna.

Inilah yang Nayya suka dari mamanya. Tanpa Nayya bercerita pun, Afanin selalu peka dengan keadaannya.

"Papa tuh! Ngeselin. Masa Nayya mau pulang naik angkutan umum gak dibolehin, dianter temen juga nggak boleh. Padahal kan udah sore banget. Yang lain udah pada pulang, dan Nayya harus nunggu Pak Gigih benerin ban yang tiba-tiba bocor. Hish! Ngeselin gak, sih, Ma?" cerocos Nayya panjang lebar, diakhiri dengan dengusan kesal.

Afanin hanya tersenyum tipis sebagai bentuk maklum. Suaminya memang suka berlebihan kalau sudah menyangkut soal anak gadisnya ini. Ia mengusap kepala Nayya dengan sayang. "Ya udah, mandi gih, temenin mama belanja, yuk?"

Nayya mengembuskan napas pelan. "Tumben? Iya deh. Ya udah Nayya ke atas dulu."

Afanin mengiyakan lalu Nayya pun pergi ke lantai dua di mana kamarnya berada. Setelah istirahat sejenak, ia membersihkan diri. Lalu bejalan menuju closet, memilah pakaian yang akan ia pakai. Berbagai jenis pakaian berjejer di sana, ada beberapa setel gamis, berbagai macam atasan dan bawahan. Nayya kembali teringat ucapan mamanya tentang bagaimana seharusnya ia berperilaku sebagai perempuan. Ia juga tahu mengenai perintah bagaimana seharusnya seorang wanita muslim berpakaian, dan larangan seorang wanita memakai celana. Al-ahzab ayat 59, An-Nur ayat 31, hadis, bahkan fatwa ulama yang tidak membolehkan perempuan memakai celana.

Ia pun mengambil gamis, menatapnya sebentar lalu menggeleng dan meletakkannya kembali. Sepertinya ia belum siap. Ia hanya memakainya saat hari raya atau ada acara pengajian bersama mamanya, itu pun terkadang ia masih suka pakai rok. Lama menimang, akhirnya pilihannya jatuh pada atasan panjang dan rok celana yang biasa ia pakai jika keluar rumah. Mungkin belum saatnya.

***

Tbc.

Vote sama komen jangan lupa, ya! 😆

Salam.

Subang,
26 Agustus 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top