Bab 39 - Forgive and Let Go (End)
39 - Forgive and Let Go
"Bagaimanapun, dalam kehidupan selalu ada tempat untuk sebuah maaf, tak peduli seberapa besar kesalahan yang telah terjadi." - Leo Tolstoy
***
Akbar menjalani fisioterapi sesuai anjuran dokter, setiap hari ia pun dijenguk oleh orang yang berbeda. Namun khusus fisioterapi, ia selalu ditemani Adel. Dan kali ini, Nayya memaksa ikut menemani.
Selama ada Nayya, Akbar lebih banyak diam dan menghindari tatapan gadis itu. Namun, Nayya selalu berusaha mengakrabkan diri.
Usai latihan peregangan, Adel mengajak Akbar jalan-jalan di taman rumah sakit bersama Nayya. Meskipun Akbar menolak, Adel tetap membawanya, mendorong kursi rodanya. Adel asyik bercengkerama dengan Nayya, sementara Akbar sibuk dalam pikirannya sendiri. Sementara, semua aktivitas Akbar tak pernah luput dari pantauan polisi, ke mana ia pergi, ia akan diikuti.
Mereka berhenti di sebuah bangku, lalu Adel pamit membeli minuman karena merasa haus setelah berceloteh panjang lebar pada Nayya. Kini, hanya ada Nayya dan Akbar. Dalam suasana hening dan canggung.
Akbar lebih memilih memerhatikan sekitar, melihat orang-orang yang kurang beruntung.
"Kak," panggil Nayya.
Akbar menoleh, Nayya pun tersenyum. Melihat itu Akbar semakin canggung. Lalu ia berdeham.
"Gimana kakinya? Udah ngerasa baikan?"
"Iya," jawab Akbar.
"Kak Adel orangnya asyik ya, baik, penyayang lagi."
"Iya."
"Cerita dong, awal kalian ketemu, gimana?"
Akbar terdiam. Cukup lama, lalu menatap Nayya yang menatapnya dengan mata berbinar, tanpa ragu, tanpa kepura-puraan.
"Kenapa?" Nayya bertanya sedikit kikuk karena ditatap sedemekian rupa.
"Apa kamu tidak membenciku?" tanya Akbar dengan nada serius.
Nayya tersenyum sambil menggeleng pelan. "Aku tidak bisa membencimu, Kak."
"Kenapa? Setelah semua yang aku lakukan padamu, bagaimana bisa kamu tidak membenciku?"
"Karena aku memahami perasaanmu, memahami alasan mengapa Kakak melakukan itu. Dan karena aku tahu, jauh dalam dasar hati, Kakak masih punya kepedulian padaku." Nayya berhenti sejenak, menatap pria yang kini menatapnya penuh tanya. "Bagaimana bisa aku membenci kakakku sendiri?" imbuhnya dengan senyum lirih.
Akbar terpana, lalu ia menunduk. "Tapi aku melakukan kesalahan yang seharusnya tidak bisa dimaafkan."
"Bagaimanapun, dalam kehidupan selalu ada tempat untuk sebuah maaf, tak peduli seberapa besar kesalahan yang telah terjadi."
Akbar semakin menunduk untuk menyembunyikan air matanya yang meleleh tanpa bisa ia kendalikan. Ia sadar ia begitu buta selama ini. Buta akan kasih sayang orang-orang di sekelilingnya.
"Maaf ...," ujarnya parau. "Maafkan aku ...."
Nayya turun dan berjongkok di hadapan Akbar. Dengan memberanikan diri, ia menyentuh tangan Akbar. Akbar nampak terkejut, Nayya pun merasa sangsi pada awalnya. Namun, ia mencoba untuk terbiasa melakukannya. Ia tersenyum lebar saat Akbar menatapnya penuh keterkejutan. Lalu ia mengeluarkan sapu tangan yang pernah Akbar berikan sebagai kado ulang tahunnya dulu.
Nayya menaruhnya di tangan Akbar. "Hapus kesedihanmu, Kak. Di sini, banyak orang yang menyayangimu. Kami semua adalah keluargamu. Kakak nggak pernah sendirian, dan Kakak pun pantas dicintai."
"Memaafkan dan melepaskan semuanya dengan hati ikhlas, akan membuat hati kita lebih damai. Itulah kenapa aku mudah memaafkan dan melupakan, meski awalnya sangat berat. Tapi ada orang-orang yang mendukungku. Dan aku punya Allah yang selalu bersamaku." Nayya tersenyum lirih. "Kakak juga ya ... mau kan, memaafkan kami dan melepaskan semuanya? Nayya yakin, ibu Kakak juga akan bahagia."
"Seharusnya aku yang meminta maaf. Aku ...."
"Berat, ya?" pangkas Nayya. "Tidak papa, asal kakak mau memaafkan. Melepaskan akan lebih mudah. Yang harus Kakak tahu, kami semua di sini adalah keluarga. Dan kami menyayangimu, Kak. Luaskan hatimu, lepaskan semuanya."
Akbar menutup mata, meresapi semuanya dengan hatinya. Lalu ia mwmbuka mata dan perlahan, terukir senyum di bibir Akbar. Nayya sangat bahagia begitu melihatnya. Rasanya, ia ingin sekali memeluknya, tapi ia merasa hal itu akan menjadi aneh karena belum terbiasa.
"Hei heiii ada acara apa ini?" Adel datang dan menatap heran Nayya yang berlutut di depan Akbar. Lalu ia beralih menatap Akbar. "Lo apain Nayya, Bar?" tanyanya galak.
Akbar memutar bola mata. Dalam hati menggerutu, kalau perempuan selalu menyimpulkan sendiri dan bertindak seolah ia benar. "Gue nggak ngapa-ngapain Nayya, Del. Lo gak lihat gue gak bisa ngapa-ngapain?" ujarnya sambil meraih minuman yang dibawa Adel tanpa permisi.
Nayya terkekeh. Lalu ia bangkit. "Kak, Nayya seneeeeeeng banget!" Nayya berseru heboh pada Adel.
Adel menatap heran Nayya. "Kenapa lo?"
"Nayya punya Abang!" cengirnya lebar.
Akbar yang sedang minum pun tersedak. "Abang?" tanyanya nampak tak suka.
Nayya mengangguk antusias. "Iya. Nayya mau panggil Abang, boleh kan?"
"Nggak!"
Nayya merenggut. "Kok nggak, sih?"
"Kayak tukang becak aja," sahut Akbar enggan.
"Ihhh gak papa dong, ya, ya, Abaaaaang!"
Akbar melotot. "Jangan panggil Abang!"
Nayya berdesis cemberut. Sementara Adel sudah tergelak. Menertawakan perdebatan kakak adik yang mulai akur dan membaur. Akbar merasakan sesuatu yang membuncah di dada. Ia lalu menatap jauh ke depan, matanya menangkap adegan seorang anak kecil yang memakai pakaian yang sama dengannya sedang tertawa lepas bersama kedua orang tuanya. Tanpa sadar, Akbar ikut tersenyum. Ia lalu menengadah, menatap langit biru yang cerah tanpa awan, begitu luas.
Bu, mungkinkah ini yang mereka bilang bahagia karena merasa dicintai? Padahal aku hanya ingin pergi dari kehidupan mereka. Membuat mereka membenciku. Tapi, mereka memiliki hati yang luas seperti langit.
Nayya dan Adel saling tatap melihat Akbar yang melamun memandang langit. Lantas Nayya berdeham. Akbar pun seolah tersadar, ia menoleh.
"Lihat apaan sih di langit? Siang gini kan gak ada bintang," ujar Adel.
"Ada kok," jawab Akbar. Adel menaikkan sebelah alis. "Matahari kan bintang," ucap Akbar lagi dengan seringai menyebalkan. Nayya terkikik geli melihat ekspresi Adel.
"Nay ...," panggil Akbar.
"Ya?" sahut Nayya cepat.
"Terima kasih. Terima kasih sudah memaafkanku."
Nayya tersenyum. "Aku juga, terima kasih."
Akbar menatap dengan raut tanya.
"Terima kasih karena sudah mau jadi kakak Nayya," Nayya tiba-tiba menangis. Membuat Adel dan Akbar keheranan. "Maaf, Nayya cuma ngerasa bahagia. Nayya seneng banget punya kakak."
"Ya ampun, Nay ...." Adel memeluk Nayya dan menenangkannya. Memiliki saudara adalah hal yang sangat diinginkan Nayya dari dulu. Dan mengetahui kenyataan jika ia memiliki seorang kakak laki-laki, seperti kado terindah dari Tuhan untuknya.
"Aku akan menjalani hukumanku dengan baik, kamu boleh datang kapan pun. Ya ... kalau kamu mau sih," ujar Akbar.
Nayya sudah berhenti menangis. "Pasti, Kak. Nayya pasti sering-sering jenguk Kakak."
Akbar tersenyum. "Jangan sering-sering, biar kangen," cengirnya. Nayya dan Adel tertawa. "Kamu juga harus kuliah yang rajin," imbuh Akbar.
"Siap, Bos!" Nayya hormat lalu mereka tertawa. Dan hari itu mereka menghabiskan hari dengan banyak bercengkerama. Bercerita tentang hal apa pun yang menyenangkan.
***
"Nggak bisa diubah gitu keputusannya? Kuliah di sini aja sih, Kan ...." Nayya tidak menyerah untuk terus membujuk Arkan. Malam ini, mereka sedang mengadakan pesta barbeque di rumah Arkan. Teman-teman mereka yang lain pun ikut diundang.
Arkan hanya tersenyum dan menggeleng. "Keputusan aku udah bulat, Nay. Lagi pula aku kan udah keterima di sana, sayang kalau dibuang gitu aja."
Nayya cemberut. "Nggak papa lah. Buat orang lain yang lebih membutuhkan," ujarnya penuh penekanan. "Di sini juga pasti bakal keterima, yakin deh!"
Arkan terkekeh. "Kenapa sih? Dulu biasa aja, kok sekarang jadi nggak bolehin gini? Takut kangen?" ujarnya usil.
"Ish!" Nayya memukul lengan Arkan keras.
Arkan meringis. "Biasa aja dong mukulnya, gak usah pake full strength gitu. Benci banget kayaknya."
"Tahu! Nyebelin!" Nayya cemberut. Sementara Arkan hanya tertawa.
"Woiiii kalian! Jangan berduaan mulu, ada setan tahu rasa lo!" Sadiya berteriak dari tempat pemanggangan. Karena dia yang kebagian tugas memanggang daging.
"Berisik lo, Di! Panggil aja kalo dagingnya udah mateng!" sahut Arkan. Sadiya langsung mengomel namun tak terdengar oleh Arkan.
"Ini udah jadi keputusan aku, Nay. Meskipun berjauhan, kita kan bisa tetep komunikasi dan saling ngasih kabar," ujarnya tersenyum.
"Gak usah senyum gitu, deh! Geli banget,"
"Salah mulu deh."
Nayya menghela napas panjang. Ia paham. Ia menghargai keputusan sahabatnya itu. Hanya saja, ia merasa tidak siap akan berpisah dengan orang yang selalu bersamanya sejak kecilnya itu.
Lalu terdengar orang-orang memanggil mereka karena babrbeque sudah siap. Arkan menepuk kepala Nayya sekali sebelum bangkit dari duduknya di teras. "Yuk," ajaknya.
Nayya mendongak; menatap laki-laki yang terlihat lebih tinggi sekarang. Dan ia sadar; mereka telah tumbuh. Bukan lagi anak-anak yang pergi ke mana-mana main bersama. Bukan lagi anak SMA yang sering saling mengusili dan berdebat tentang hal yang tak penting.
Nayya kemudian bangkit, Arkan berjalan di depannya, dan ia menatap punggungnya yang terlihat semakin lebar. Terkadang, ia lupa jika pria itu lebih muda darinya. Tapi malah ia yang selalu dijaga olehnya.
Nayya tersenyum. Mengenang setiap kebersamaan mereka selama ini. Canda tawa, ejekan, perdebatan, pertengkaran, bahkan masalah perasaan. Mereka pernah melewati semua itu. Dan semuanya mengajarkan mereka agar semakin tumbuh dan menjadi lebih dewasa dalam menghadapi setiap persoalan.
"Jangan liatin terus, ntar lo jatuh cinta," ujar Arkan tanpa menoleh dan terus berjalan.
Nayya berdecih. "Emang cinta kok," ujar Nayya dengan senyum usil.
Arkan berhenti lalu berbalik. Menatap Nayya dengan satu alis terangkat.
"Apa?" Nayya menantang.
"Maksudnya?"
Nayya tertawa melihat ekspresi Arkan. "Why you so serious?"
Arkan memutar bola mata. "Not funny," tukasnya lalu kembali berjalan.
Nayya langsung menyamai langkahnya. "Gitu aja ngambek."
Arkan tak merespons, Nayya lalu mencolek pinggangnya, membuat Arkan berjengit kemudian memelototinya.
Nayya tergelak. Nanti dia pasti rindu menjahilinya seperti ini. Sementara Arkan pun malah tertawa sendiri. Betapa konyolnya mereka ini.
Nayya berhenti tertawa lalu berujar, "Cinta itu kan banyak jenisnya, Kan. Nggak melulu antara cewek dan cowok, sebagai pacar, tunangan, ataupun suami istri. And I love you, you know it. As a friend."
Arkan hanya membalas dengan senyum satir. Ia tahu, ia juga sudah sering mendengarnya. Namun tetap saja, rasanya sulit.
"Kalian abis ngobrolin apaan sih? Betah banget dari tadi. Toh gak bakal pisah selamanya ini," Sadiya langsung protes begitu Arkan dan Nayya sampai.
"Sirik aja Di, cemburu ya?" usil Nayya.
"Dih sorry ya, gak cemburu kalo sama lo mah. Kalo sama bebeb Sapi sih iya," ujarnya melirik Safira yang biasa-biasa saja. Tidak merasa menjadi topik pembicaraan.
Sadiya menghela napas dengan wajah nelangsa. "Tuh kan, Nay. Nggak peka dia."
Nayya tergelak. "Saf, tuh!"
"Apaan sih? Namaku itu Safira, bukan sapi! Dan jangan manggil-manggil beb atau apapun itu. Aku kan udah sering bilang, Di. Aku nggak suka!" ujar Safira dengan nada tinggi.
Nayya dan Sadiya terdiam, saling pandang, Safira sepertinya benar-benar kesal atau bahkan marah.
Sadiya menelan ludah, pertama kalinya ia meihat Safira sekesal itu. "Ya ... maaf, Pi. Gue kan becanda doang, jangan marah gitu dong ...."
"Nggak lucu!" ketusnya.
"Iya, iya ... maaf. Jangan ngambek dong, besok gue pergi loh, ntar lo kangen."
Safira langsung memasang death glare.
"Iya, iyaaa nggak becandaan lagi. Ya ampun serem amat!" Sadiya beralih ke samping Arkan.
Safira masih nampak tak acuh dengan raut kesal. Nayya terkikik melihat tingkah dua sahabatnya itu. Sadiya yang terus main kode dan Safira yang tidak pernah peka. Entah Sadiya hanya bercanda atau sungguh-sungguh, entah Safira yang juga pura-pura tidak peka. Dia jadi gemas sendiri.
"Di, lo tuh gak paham banget sih. Itu tuh si Safira lagi ngerajuk, aslinya dia lagi sedih karena mau pisah ma lo, makanya ngambek."
"Ih, Nayya! Apaan sih, enggak tahu!" Safira langsung protes tidak terima dan Nayya sudah tergelak. Puas sekali menggoda sahabatnya itu.
Para orang tua hanya sesekali menimpali dan ikut tertawa kalau anak-anak mereka sudah berdebat hal tidak penting.
Arkan hanya memandangi Nayya sambil tersenyum tipis, wajahnya yang terkena sinar rembulan nampak mengagumkan di matanya. Tertawa tanpa beban dentan mata berbinar. Ia menatapnya seolah ia tak akan pernah melihatnya lagi. Ah, bukannya memang begitu? Sepertinya ia tidak akan melihatnya dalam waktu yang lama. Jadi, bolehkah jika saat ini ia egois akan keinginan dirinya?
Hanya untuk saat ini ....
Nayya yang merasa diperhatikan pun menoleh. Arkan cepat-cepat mengalihkan pandangan dan berbicara pada Sadiya. Melihat itu, Nayya pun hanya tersenyum tipis. Ia tahu, mungkin Arkan masih memiliki rasa yang sama padanya. Mungkin juga, membuat jarak adalah cara terbaik untuk mengendalikan perasaanya. Ia tidak tahu apakah perasaan Arkan padanya memang benar-benar cinta, atau hanya sekadar rasa peduli karena kedekatan mereka.
"Bukankah kita terlalu muda untuk jatuh cinta? Dan menamai perasaan itu dengan cinta? Aku harap dengan kepergianmu, kamu bisa menemukan sesorang yang bisa memberikan cinta yang sama besarnya denganmu. Karena bagiku, kamu tetaplah sahabat terbaikku. Selalu."
****
End.
Uh yeee! Finally! 😄
Gimana end nya? Happy kan? Apa gantung? 😂 ya ya aku tahu pasti banyak dari kalian yang bakal bilang,
Kok end nya gini doang?
Arkan gak sama Nayya?
Gak puas
Ah kecewa!
Yah kalian boleh berkomentar apa saja 😆 btw ini nanggung banget ya gak nyampe 40 😅 wkwk nanti deh semoga bisa buat epilog *semoga loh ya 😌
Kenapa sih end nya kayak gini? Ya emang gitu rencana sejak awal 😆 aku gak berniat menjodohkan ArNay, maafkan ya ArNay lovers 😆✌
Lagi pula, ini bukan tentang cinta, jadi end nya gak harus jadian atau apa pun itu.
Ini fiksi remaja. Di mana tokoh mengalami permasalahan pada remaja umumnya. Persahabatan, keluarga, cinta. Dan dari situ ada perubahan atau perkembangan yang terjadi pada si tokoh.
Oke, segitu aja cuap cuap nya. Sampai di sini aki ucapkan banyaaaaaaaaak terima kasih. For all readers yangudah ikutin sejak awal sampai akhir, yang selalu support aku. Makasih banyak tak terhingga ❤❤❤
Maaf juga jika selama ini saya ada kata-kata yang tak pantas, menyinggung atau menyakiti. 🙏
Semoga kita semua selalu berada dalam kebaikan. Aamiin.
💞
Salam,
Tinny Najmi.
Subang, 22 Juli 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top