Bab 35 - Revenge
35
Revenge
"Aku telah membuang segala yang aku miliki. Aku tidak punya tujuan hidup lagi. Sampah? Iya mungkin benar, aku adalah sampah. Bahkan lebih rendah dari sampah. Sejak dulu, aku hanya buangan."
- Akbar Fahreza
***
Malam semakin larut, para detektif tak berhenti bekerja untuk mendapat petunjuk. Awalnya, mereka berhasil menemukan taksi yang membawa Nayya dengan melacak plat mobil yang sempat Arkan lihat sebelumnya, walau ada satu angka yang tidak ia ingat; membuat para detektif harus melacak plat mobil dengan percobaan sepuluh nomor yang menjadi peluang angka hilang.
Setelah melacak dan melihat dari bebagai sudut CCTV jalanan, mereka berhasil menemukan taksi yang menuju SMA N 101 Jakarta. Namun sayangnya, mereka harus mendapati kenyataan jika nomor plat mobil itu adalah buatan. Karena setelah mereka mencoba mencari taksi tersebut, mereka tidak menemukannya di mana pun. Laporan itu sampai pada Alfi.
"Aku tidak mau tahu! Kalian aku bayar untuk menemukan anakku. Lakukan apa pun untuk menemukannya!" Alfi membentak, nampak begitu frustasi.
"Al, mereka pasti melakukan yang terbaik, bersabarlah...." Ilham mencoba menenangkannya.
"Bagaimana aku bisa bersabar? Ini sudah malam kedua dan aku tidak tahu bagaimana keadaan Nayya sekarang! Ini Nayya, Ham ... Nayya." Alfi terlihat begitu putus asa.
"Kami akan melakukan yang terbaik. Kami masih berusaha semampu kami. Kalau begitu saya permisi dulu," ujar salah satu detektif yang malam itu menghadap Alfi.
Alfi tak lagi menyahut. Ia duduk di sofa dengan perasaan yang kacau. Arkan menyaksikan semuanya, lalu ia keluar dari rumah Alfi. Menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa ia lakukan, dan hal itu membuatnya merasa tak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa rasanya lebih menyesakkan dari pada tidak tahu apa-apa.
"Ar!"
Arkan menoleh saat seseorang memanggilnya. Rupanya ia adalah Kei.
"Gimana perkembangannya?"
Arkan menggeleng lemah. "Mereka kehilangan petunjuk."
Kei menghela napas panjang. "Harusnya gue cegah Nayya deket ma tu orang. Sejak dulu, dia mencurigakan."
Arkan menatap Kei. "Mencurigakan bagiamana?"
"Gue pernah ngeliat dia ngerokok di sekolah, dan tiap kali gue perhatiin ekspresinya ketika natap Nayya, he's so strange. Seems like hidden something bad."
Arkan hanya diam. Ia tak pernah curiga apa pun. Yang ia tahu, Akbar adalah murid teladan. Ketua OSIS panutannya. Tapi ternyata ... memang, hati seseorang, siapa yang tahu?
"Gue gak pernah berpikir hidup dia bakal seberat ini," ucap Kei menerawang. Teringat Nayya yang selalu nampak semangat dan ceria. "Apa kita cuma bisa diem aja?" Kei menoleh pada Arkan yang tak meresponnyaㅡmalah diam seribu bahasa. Kei berdecak. Ia tak tahu apa yang sedang temannya itu pikirkan. "Merenung juga gak bakal nyelesein apa pun, Ar."
Arkan menghela napas. Memang benar. Tak ada yang bisa ia lakukan. Dan ia merasa buruk untuk itu.
***
Sementara di sisi lain, Nayya masih dalam posisi yang sama dengan kondisi yang lebih buruk. Ia tidak terluka. Tapi hatinya, telah terluka begitu dalam. Pria yang selama ini ia kagumi, ia sukai, ternyata adalah kakaknya sendiri. Dan kini, entah apa yang diinginkan laki-laki itu dengan mengikatnya seperti ini di sini.
Akbar belum kembali setelah sebelumnya ia menjawab semua pertanyaan Nayya. Lalu meninggalkannya sendirian di ruang yang dingin dan minim cahaya.
"Apa Papa tahu? Tentang semua ini?" tanya Nayya kala itu.
"Sepertinya dia sudah tahu. Dia sudah menyuruh seseorang menyelidiki tentang kehidupan gue," Akbar tersenyum kecut. "Ya, dia pasti sudah tahu dan sadar kalau sekarang anaknya sedang dalam bahaya. Semua orang pasti sibuk nyariin lo sekarang." Akbar mendengus.
"Kenapa harus seperti ini ...? Tidak bisakah Kakak memaafkan Papa?" lirih Nayya.
"Memaafkan?" Akbar tertawa. "Andai memaafkan bisa mengembalikan ibu, nenek, dan sahabat gue. Andai, dengan memaafkan bisa mengubah masa lalu...,"─ia menggeleng─"enggak, Nay. Memaafkan gak bakal ngubah apa pun."
"Lalu, apa dengan membalas dendam bisa mengubah segalanya? Enggak, Kak...," ujar Nayya nanar. "yang kakak lakukan sekarang pun, gak akan ngubah apa pun."
Akbar menatap Nayya nyalang. "Seseorang yang memberikan rasa sakit, harus bisa merasakan rasa sakit yang sama," ucapnya penuh penekanan. "That's why I do this."
Nayya kembali menangis mengingat pembicaraannya dengan Akbar sebelumnya. Entah sejak kapan dia jadi mudah sekali menangis.
"Pa ... Kak Adam masih hidup, aku memiliki seorang kakak, Pa. Tapi .... " Nayya terisak. Ia merasa bahagia karena ternyata kakak laki-lakinya masih hidup. Namun, kenyataan lagi-lagi tak menyenangkan. Karena orang tersebut adalah orang yang selama ini ia sukai. Dan orang yang paling menginginkannya hancur.
"Aku tidak menginginkan apa-apa," ucap Akbar yang baru masuk sambil menggenggam ponsel di telinga. Nayya langsung memerhatikannya. "She's fine," ujar Akbar lagi sambil menoleh pada Nayya dan tersenyum licik. "Tapi aku tidak menjamin jika besok pagi dia masih baik-baik saja."
Nayya tercekat. Hatinya bertanya-tanya siapa yang sedang bertelepon dengan Akbar. Akbar lalu mengalihkan panggilan menjadi video call. Kemudian menunjukkannya pada Nayya. Nayya bisa melihat orang tuanya, seluruh kerabatnya, bahkan sahabatnya ada di sana. Mereka menatapnya dengan tatapan yang sama; penuh kekhawatiran.
"Nay ... kamu baik-baik saja sayang?" itu Alfi yang berbicara. Wajahnya benar-benar kusut.
Nayya mengangguk tanpa bersuara. Karena ia sedang menahan tangis mati-matian. Ia rindu dan takut di waktu yang sama. Namun melihat wajah orang-orang yang menyayanginya, ia tak kuasa menahan tangis. Apalagi papanya yang nampak begitu putus asa.
"Maafkan papa sayang ...," lirih Alfi penuh penyesalan.
Pecahlah tangis Nayya saat itu juga. "Kak Adam masih hidup, Pa ... Nayya sama Kak Adam sekarang," ujar Nayya di sela isak tangsinya tanpa Akbar duga sama sekali. Ia jelas terkejut, namun hal itu juga menyulut emosinya.
"Adam sudah mati!" bentaknya tiba-tiba membanting ponsel dengan sangat keras dan hancur berkeping-keping. Ia meraih kerah Nayya dengan marah. "Denger! Gue bukan Adam! Dan gue bukan kakak lo!"
Nayya tak takut, ia malah balas menatap Akbar lembut. "Kak ... ayo pulang. Papa pasti senang ...." ucapnya tersenyum lirih.
Akbar melepaskan cengkramannya dengan kasar. "Shit!"
"Asal Kakak tahu, Papa selalu mencari Kakak selama ini. Ia juga sangat terpukul dan tersiksa, Papa sangat menyesal. Ia ingin memperbaiki semuanya. Karena itu ...."
"Shut up!" tukas Akbar marah. Menatap Nayya nyalang. "Kalo dia bener-bener nyari gue, bokap lo pasti udah bisa nemuin gue jauh-jauh hari! Lo nggak tahu gimana rasanya kehilangan orang yang paling berharga di hidup lo! Lo nggak pernah tahu rasanya hidup miskin! Lo nggak pernah menderita! Lo nggak tahu..., gimana rasanya ngejalanin kehidupan bagai di neraka."
Nayya diam. Menatap pria itu penuh perasaan iba dan menyesal.
"Lo selalu bahagia. Lo selalu dapat segalanya, Nay. Lo nggak pernah kekurangan apa pun. You have everything...," nada bicara Akbar merendah. "Dan gue muak lihat semua itu. Gue benci lihat kalian bahagia. Sementara ibu gue sakit-sakitan sampai tak tertolong. Nenek ... Akbar ... kita semua menderita. Karena siapa? Bokap lo ... lalu apa, kalian hidup seolah-olah tak menanggung beban. Tanpa dosa. Kalian hidup dengan begitu sempurna ...." Akbar tersenyum ketir. "Apa gunanaya penyesalan bokap lo? Nggak ada, Nay. Nggak ada. Gue udah muak."
"Lalu bagiamana agar kami bisa menebus dosa kami? Tidak bisakah kita selesaikan baik-baik dan memulai semuanya dari awal? Lalu menjadi keluarga yang utuh...?"
Pintu ruangan terdengar diketuk, Akbar berdiri memunggungi Nayya. "Masuk," serunya. Tak memedulikan ucapan Nayya. Karena baginya, tidak ada kata kembali dan memulai dari awal.
Nayya sangat penasaran siapa yang datang. Begitu pintu terbuka, ia bisa melihat tiga sosok pria dewasa berperawakan kekar. Mereka menghampiri Akbar.
"Ada kerjaan lagi buat kita, Bos?" ucap salah satu dari tiga pria. Nayya trebelalak. Ia mengenal salah satunya. Yang mana adalah supir taksi yang membawanya saat itu. Rupanya, Akbar benar-benar merencanakan semuanya sejak awal.
"Ya, kerjaan terakhir buat kalian," ujar Akbar menoleh ke arah Nayya. Dan kini perasaan Nayya sudah tak karuan. "Lakukan apa pun yang kalian mau padanya," titahnya dingin.
Nayya terbelalak. Lalu menggeleng sambil terus menatap Akbar.
Ketiga pria itu terdiam, bingung dengan perintah Akbar. "Bos serius? Apa pun?"
"Ya," jawab Akbar tanpa ekspresi. "Apa pun."
Mereka bertiga menatap Nayya lalu saling pandang. "Termasuik menikmati tubuhnya?"
Nayya semakin terbelalak. Kini jantungnya berdebar sangat kencang karena rasa takut. "Kak ...."
"Ya," jawab Akbar tanpa Nayya duga. "Terserah kalian. Asal jangan membunuhnya."
Tiga pria itu saling tersenyum. "Bos yakin? Kita kira lo yang bakal nidurin dia, Bos."
Akbar tak menjawab. Sementara Nayya sudah panik. Ia tidak bodoh untuk menangkap arti pembicaraan mereka. Dengan satu gerakan kepala dari Akbar, mereka bertiga pun mulai menghampiri Nayya dengan seringai menjijikan.
Sementara di sisi lain, detektif mulai bergerak. Akibat Akbar yang menghubungi Alfi barusan, mereka bisa melacak posisi Akbar lewat GPS ponselnya. Dan mereka bisa mendapatkan lokasi Akbar dengan mudah. Detektif langsung menghubungi kepolisian untuk mengepung Akbar. Bukti sudah jelas, surat penangkapan pun sudah diturunkan.
Arkan yang selalu berada di sana pun langsung mengikuti mobil mereka menggunakan motornya bersama Kei. Selama perjalanan, yang ada dipikiran Arkan hanyalah Nayya. Melihat langsung kondisinya tadi, Nayya terlihat begitu mengkhawatirkan. Dan mendengar bagimana Akbar berbicara dengan Alfi membuat amarahnya naik ke ubun-ubun. Ia sama sekalli tak pernah menyangka jika orang yang menjadi panutannya selama ini adalah orang yang kejam.
***
Nayya berusaha melepaskan diri meski ia tahu akan percuma. "Mau apa kalian?" Nayya langsung defensif begitu mereka sampai di hadapannya.
Ketiga pria itu saling lirik dengan senyum menjijikkan. "Cantik, pasti mantep nih," ujar salah seorang dari mereka yang menarik dagu Nayya. Nayya memalingkan wajah.
"Singkirin jilbabnya," titah pria yang tampaknya paling muda.
"Janganㅡ" Belum sempat Nayya memberontak, kerudungnya sudah terlepas dan kini tergelatak di atas lantai. Nayya menggeram marah. "Kalian mau apa!? Singkirin tangan kotor kalian!"
"Cantik-cantik, galak juga."
"Tenang aja cantik, kita gak bakal ngapa-ngapain. Cuma nyicipin rasanya gadis perawan," ujar salah satunya lalu mereka tergelak.
Nayya menggeleng tegas. "Nggak! Jangan sentuh saya!" bentak Nayya karena mereka mulai kurang ajar menyentuh wajahnya. Nayya panik. Lalu ia melihat ke arah Akbar yang masih berdiri di sana membelakanginya. "Kak! Kak Akbar!" Nayya berusaha memanggilnya namun Akbar seolah tak mendengar.
"Lo mau apa? Dia udah nyerahin lo sama kita. Kita bebas ngelakuin apa aja sama lo."
"Jangan kurang ajar kalian!" geramnya. Nayya lalu meludahi salah satu dari mereka. Hal itu menyulut amarah pria tersebut. Dan satu tamparan pun mendarat di pipi Nayya.
"Dasar kurang ajar! Berani lo ludahin gue, ha?"
Nayya merasakan rasa yang cukup perih di pipi akibat tamparan keras tersebut. "Kalian emang pantes diludahin. Dasar sampah masyarakat!"
Kata-kata Nayya semakin menyulut emosi ketiga pria itu. Hingga mereka tak segan berbuat kasar padanya. "Buka iketannya," ucap salah satu pria yang tadi Nayya ludahi.
Nayya menatap mereka tak gentar. Dilihatnya Akbar yang masih berdiri membelakanginya. Saat semua ikatannya kini terlepas, Nayya mencoba untuk melawan dan melarikan diri. Namun dia malah terjatuh. Ternyata tubuhnya tak memiliki tenaga akibat dua hari dalam posisi diikat, bahkan hanya untuk berdiri saja ia tidak mampu.
Ketiga pria itu menertawakannya. Ikut berjongkok dan menyentuh wajah Nayya. "Sudahlah gadis manis, mending lo muasin kita-kita."
Nayya menggeleng dan berusaha melawan. Namun sia-sia karena dua tangannya langsung ditahan. "Lepasin!" berontak Nayya. Kemudian ia melihat Akbar yang mulai melangkah pergi. Ia semakin panik.
"Kak! Kak Akbar! Kak Akbar!" Nayya berteriak semampunya, memanggilnya berulang kali. Namun Akbar tak acuh, bahkan ia tak menoleh sedikit pun ke belakang. Nayya putus asa, bahkan ia sudah menangis sekarang. Gelak tawa dan kata-kata ketiga pria tersebut kini terdengar mengerikan di telinganya.
"Kak Adam!" teriak Nayya lagi sekuat tenaga. Kali ini Akbar berhenti melangkah namun tidak berbalik. Nayya melihatnya, lalu dengan suara parau ia mengiba. "Tolongin Nayya, Kak...."
Akbar tak bergeming. Ia melanjutkan langkah tanpa memedulikan rintihan Nayya.
"Kak Adam ... aku adikmu, Kak ...." Nayya kembali terisak. Dadanya benar-benar sesak. Ketiga pria itu sejenak saling pandang mendengar apa yang Nayya ucapkan.
"Gak usah peduliin apa yang dia katakan, lakukan pekerjaan kalian seperti apa yang gue suruh. Inget, kalian udah gue bayar," ujar Akbar dingin dan datar.
Nayya semakin terisak. Hatinya benar-benar terluka. "Jadi ini maksud Kakak ingin menghancurkanku?"
"Darah dibalas darah. Dia udah ngancurin kehidupan ibu gue dengan merenggut kehormatannya dan membuatnya menderita dengan penyakit mematikan. Gue cuma ngebalas apa yang bokap lo lakuin. Bukankah itu adil?"
"Ini nggak adil ...," lirih Nayya menggeleng lemah. "Demi Allah ... aku lebih baik mati, dari pada harus hidup terhina. Lebih baik membunuhku, jika itu bisa membuatmu merasa puas."
Dan berapa kali pun Nayya meminta, apa pun yang Nayya katakan, Akbar tak kan peduli. "Cepat selesaikan," ujarnya lalu kembali berjalan pergi.
Ketiga pria itu pun kembali memulai aksinya. Menatap Nayya seperti harimau kelaparan. Nayya mencoba melawan semampunya, meski selalu berujung sia-sia. Tenaganya tidak cukup kuat melawan tiga pria dewasa. Selain karena fisiknya yang sedang dalam kondisi tidak baik, jiwanya juga telah terguncang. Dan ia hanya seorang gadis biasa.
Nayya tak henti menangis dan memohon pada mereka untuk melepaskannya. Namun sia-sia. Ia masih bisa melihat Akbar berdiri di depan pintu keluar. "Kak ... tolongin Nayya, Kak!" Nayya berteriak di sela-sela perlawanannya. "Kak Akbar! Kak Akbar!"
------
SELANJUTNYA TERSEDIA DALAM BUKU CETAK. TERIMA KASIH 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top