Bab 31 - Let It Flow

31
Let It Flow

"Belajarlah menerima kenyataan meski sulit. Semua itu sudah menjadi masa lalu, dan sekarang kita hidup di masa depan. Biarkan semuanya mengalir. Fokus saja dengan apa yang ingin kamu capai."

🍃🍃🍃

"Andai ia masih hidup, kamu pasti akan sangat senang, karena kamu memiliki seorang kakak."

Kata-kata papanya kemarin masih terngiang begitu jelas. Nayya berada di makam sendirian, menatap dua batu nisan di hadapannya. Lalu menatap batu nisan bertuliskan nama Adam. Benar, sejak dulu ia selalu meminta adik karena ia tak suka kesepian saat kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Sementara ia tidak dibolehkan pergi jauh-jauh. Dia sangat ingin memiliki saudara.

Apa yang akan terjadi jika papanya menikah dengan perempuan ini? Dirinya akan memiliki dua ibu, dan satu kakak laki-laki.

Kakak ....

Ya, papanya bilang bahwa Adam lahir terlebih dahulu sebelum dirinya. Nayya tersenyum lirih. "Halo, Kak. Perkenalkan, aku Ainayya," jeda sejenak. "Kita memiliki ayah yang sama," imbuhnya dengan senyum samar.

Ayah yang sama, ulangnya dalam hati. Lalu tenggorokanya tercekat. Serasa ada biji kedongdong yang menyangkut di sana.

"Aku adikmu. Maaf, baru mengunjungimu. Maaf, bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini. Maafkan papa, maafkan kami...." Nayya mulai menangis, terisak-isak. Ia saja begitu merasa bersalah pada mereka. Bagaimana dengan papanya? Ia pasti merasa begitu terpukul. Ia tidak bisa melindungi mereka, tidak bisa menebus kesalahannya di masa lalu.

Sementara itu, Akbar berada di sana tanpa Nayya tahu. Memperhatikannya dari kejauhan dengan wajah tanpa ekspresi, entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu ponselnya bergetar. Ia melihat nama Alfi tertera di sana. Ia pun menjawabnya.

"Halo, Om? Masih. Baik, saya bisa datang."

Sambungan terputus, Akbar menatap Nayya sejeank lalu berbalik setelah melepas pandangannya dari gadis yang masih terisak di sana.

***

"Kapan kamu kembali ke Jakarta?" tanya Alfi berbasa-basi. Kini mereka berada di sebuah kedai dekat kolam yang cukup sepi pengunjung.

"Mungkin besok lusa, Om." Akbar menjawab sekedarnya.

Alfi mengangguk. "Sendiri? Atau...?"

"Tidak. Saya bersama seseorang."

Alfi kembali mengangguk. Lalau berdehem. "Soal yang kemarin ... kamu bilang kamu teman Adam, dan kalian bertetangga?" Alfi mulai bertanya serius. Tatapannya tak sedikit pun lepas dari wajah Akbar. Begitu pula dengan Akbar.

"Iya, benar."

"Bisa kamu ceritakan semua yang kamu ketahui tentang mereka?" pinta Alfi.

"Jika boleh tahu, kenapa Om ingin tahu tentang mereka? Apa hubungan Om dengan mereka?" tanya Akbar dengan wajah tak beriak. Menatap Alfi lurus.

Alfi diam cukup lama. "Adam adalah anakku," jawabnya sambil memalingkan wajah.

Akbar mengepalkan tangan. Ia menutup mata sejenak lalu menghela napas. "Maksud Om?"

"Kamu tidak harus tahu semuanya, kan?" ujar Alfi tersenyum ramah.

"Kalau Om adalah ayahnya, kenapa Om tidak mencarinya?"

"Aku mencarinya, selalu mencarinya. Tapi selalu sia-sia...," tukas Alfi. "Aku hanya ingin tahu bagaimana mereka hidup...."

Akbar diam. Lalu seolah menerawang jauh, dia pun mulai bercerita. "Adam adalah satu-satunya temanku. Hanya dia yang mau berteman denganku. Dia tinggal bersama ibu dan neneknya. Ibunya pun sangat baik padaku, mereka adalah tetangga yang baik. Tapi aku tidak pernah melihat ayahnya, dia bilang dia tidak punya ayah." Akbar menatap Alfi.

"Ibunya bekerja sebagai tukang cuci, dan ia sering sakit-sakitan, setiap aku ke rumahnya aku selalu mendapati Adam sedang menangis, mengkhawatirkan ibunya, tapi kami terlalu kecil untuk tahu apa yang harus dilakukan. Jadi yang dia lakukan hanya berusaha menjadi anak yang tidak menyulitkan ibunya. Berusaha membantu keluarganya. Sampai suatu hari keadaan ibunya semakin parah, dan nyawanya tidak bisa diselamatkan. Karena mereka tidak punya cukup biaya untuk berobat."

Alfi terpekur. Andai Larasati tak pernah pergi saat itu ... mungkin semuanya akan berbeda. Mungkin ia masih bisa diselamatkan.

"Aku masih ingat ketika melihatnya sendirian, dia selalu melamun lalu menangis tersedu-sedu. Yang dia miliki saat itu hanya neneknya. Dan aku berusaha menjadi teman yang baik untuknya. Hingga kejadian naas di malam itu. Aku kehilangannya."

Alfi tertunduk. "Semuanya memang salahku," lirihnya. Lalu hening untuk beberapa saat.

"Dengan segala kekuasaan yang Anda miliki, bagaimana Anda tidak berhasil menemukannya?" tanya Akbar kemudian. "Anda tidak tahu betapa menyedihkannya hidup mereka."

"Aku selalu mencarinya. Bertahun-tahun, hingga kabar yang kudengar hanyalah kabar kematian mereka."

Akbar mendengus. Alfi menaikkan sebelah alis heran. "Maaf, aku hanya terbawa suasana," ujar Akbar lalu hening. Alfi yang larut dalam penyesalan, dan Akbar yang entah memikirkan apa.

"Berarti, dulu kamu tinggal di sini?"

"Iya, bersama ayah dan ibuku. Kami orang miskin, setelah itu ayah dan ibuku pergi entah ke mana. Dan aku dititipkan di panti asuhan, hingga orang tuaku yang sekarang mengadopsiku."

Alfi mengangguk pelan. Ia pernah mencari tahu tentang Akbar saat awal ia dekat dengan Nayya. Kelahirannya di Bogor, dan ia pernah berada di panti asuhan. Dan orang tuanya yang sekarang bukanlah orang tua aslinya.

"Kamu tidak berniat mencari orang tuamu?"

Akbar tertawa sinis. "Untuk apa? Aku tidak perlu mencari orang yang sudah membuangku," ujarnya tegas.

"Mereka pasti memiliki alasan."

Akbar mendengus. "Alasan? Alasan apa bagi mereka sampai membuang anaknya sendiri? Kenapa tidak mereka saja yang mencariku? Aku tidak butuh mereka. Aku tidak butuh orang tua seperti mereka," ucap Akbar menatap Alfi lurus.

Alfi terdiam. Lalu seolah tersadar, Akbar cepat-cepat minta maaf. "Aku terbawa emosi, maaf."

"Tidak papa," ujar Alfi. Ia memandang Akbar lama.

"Ada yang mau Om tanyakan lagi?" Pertanyaan Akbar seolah menyadarkan Alfi yang malah terdiam menatapnya.

Alfi menggeleng. "Tidak. Terima kasih sudah bersedia datang," ucapnya tersenyum. "Kapan-kapan kita mengobrol lagi."

Akbar hanya mengangguk. "Kalau begitu saya pamit."

"Baiklah."

Akbar pun pergi setelah beruluk salam. Ia berjalan memasuki sebuah mobil. Menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi sambil menghela napas kasar.

"Bagaimana?" tanya seorang pria yang duduk di kursi kemudi.

"Sepertinya aku harus mempercepat rencanaku," ujar Akbar memijit pelipis sambil memejamkan mata.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya pria itu lagi nampak sedikit cemas.

"Mereka sudah tahu sampai sejauh ini, kemungkinan mereka segera tahu yang sebenarnya sangat besar."

"Kamu yakin?"

"Ya."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

Akbar terdiam sesaat. "Mereka tahu. Mereka adalah orang yang baik. Aku menyayangi mereka. Karena itu aku tak pantas menjadi anak mereka."

"Akbar...."

"Om tenang saja. Aku tidak akan melibatkan siapa pun. Baik ittu Om atau Adela sekali pun," ujar Akbar menoleh pada gadis yang tertidur di jok belakang. Lalu ia tersenyum. "Dia sudah terlalu banyak membantuku."

***

Keesokan harinya, Nayya dan keluarganya memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Selama perjalanan itu, suasana hening dan sedikit canggung. Nayya tak banyak bicara. Dia hanya akan berbicara ketika ditanya.

Nayya memainkan ponsel untuk membunuh bosan dan menghindar dari suasana tak nyaman antara dirinya dengan kedua orang tuanya. Ia melihat nama Akbar di deretan chat. Lalu teringat kata-katanya saat mereka tak sengaja berpapasan di perjalanan kemarin.

Dia bilang kalau dia adalah teman kakaknya. Dia pasti tahu banyak tentang kakaknya. Mungkin itu juga yang dipikirkan Alfi hingga ia ingin bertemu dengannya untuk berbicara. Sebenarnya Nayya penasaran dan ingin tahu apa saja yang dibicarakan papanya dan Akbar. Tapi ia terlalu canggung jika berbicara dengan papanya saat ini. Jadi ia berencana untuk bertemu dan bertanya pada Akbar nanti.

Nayya lalu mencari kontak seseorang. Arkan Gaydha R. Ia menatap nama itu lama.
Andai lo ada di sini, Kan. Gue nggak bakal ngelaluin ini sendirian. Gue pasti akan lebih mudah menerima semuanya.

"Lagi ngapain?" Nayya mengetikkan sebuah pesan di chat room-nya dengan Arkan. Centang dua, berarti sahabatnya sedang online. Tak lama, ia pun mendapat balasan.

"Lagi baca buku."
"Tumben."

"What a geek!"
"Tumben apaan?"

"Kkk~ abis bosen. Acha lagi tidur jadi gak ada yang bisa diajak maen."
"Tumben nanya gue lagi apa."

"Ck! Maen sama bocah mulu. Gak sama bocah, sama buku. Gak asik banget! Sana maen tuh godain cewek. Hahahah."
"Emang gak boleh gue nanya temen sendiri?"

"Dasar gila."
"Ya, nggak biasa aja."

"Gue kan udah gila dari dulu."

"Jadi, ada apa? Lo gak mungkin ngechat gue cuma buat ngebahas hal gak penting kayak gini, kan?"

"Emangnya gak boleh?!!!" Nayya tiba-tiba emosi.

"Kalo gak penting gak usah chat. Ganggu orang aja."

"Arrrgh! Dasar sialan! Nyebelin loo!" Nayya membalas chat dengan voice note. Tak peduli dengan tatapan orang tuanya. Ia hanya ingin meluapkan kekesalan.

"How was your holiday? Gimana Bogor? Asik?" Arkan membalas tanpa mempermasalahkan voice note Nayya barusan.

"Not good.."

"What's wrong?"

"Nope."

"Really? Your voice sounds not good...."

Nayya mendumel dalam hati. Jika setiap orang berkata bahwa laki-laki adalah makhluk tidak peka, maka Arkan adalah pengecualian. Lihat? Bahkan ia tahu hanya karena mendengar suaranya tadi yang sedikit serak. Padahal jelas-jelas ia berteriak.

"Are u okay?" Arkan kembali men-chat karena Nayya tak membalas sebelumnya.

"Yeah. I'm okay."

I'm not ....

"Lo tahu, lo bisa cerita apa aja ke gue, Nay. I'm here."

Nayya memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Rasanya ingin menangis. Rasanya ingin berlari. Tapi, dia sadar. Selama ini, dirinya terlalu bergantung padanya. Terlalu banyak menyusahkannya. Jadi mungkin kali ini tidak. Ia harus belajar menanganinya sendiri. Belajar melewatinya sendiri.

Nayya lalu mengetikkan balasan, "Gue tahu. Thank you so much. :)"

Kemudian ia memutuskan untuk tidur, tepatnya menidurkan diri. Dan berencana bangun saat sampai.

Saat ia sedang tidur. Ia bisa merasakan jika mobil berhenti. Lalu mendengar papanya yang meminta berganti tempat duduk dengan sang mama. Yang berarti, Alfi akan duduk di sampingnya.

Nayya tak bergeming. Tetap di posisinya; pura-pura tertidur. Setelah mobil berjalan, ia merasakan kepalanya dialihkan ke bahu sang papa. Lalu tangannya digenggam.

"Maafkan papa ...," lirih Alfi begitu pelan. Tangannya dielus secara perlahan dan terasa menenangkan. Seketika itu pula, Nayya ingin menangis. Namun ia menahannya mati-matian. Hingga rasa nyaman membuat kantuknya mendera dan akhirnya ia pun tertidur di bahu papanya.

Saat sampai, Nayya dibangunkan oleh mamanya dan ia tidak mendapati Alfi.

"Papa di mana?" tanya Nayya sedikit linglung.

"Tadi Papa berhenti di kantor. Ada urusan katanya."

Nayya mengangguk paham. "Nayya langsung ke kamar ya, Ma," pamitnya lalu berjalan ke dalam rumah, langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur empuknya. Pikirannya pun mulai berkelana. Hingga pintu kamarnya terbuka dan Afanin masuk.

Afanin duduk di samping Nayya yang tidur menyamping. Mengusap kepala anak gadisnya secara perlahan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya. Nayya menggeleng pelan.

"Kamu marah sama Papa?" tanya Afanin lagi.

Kali ini Nayya bangun. "Nayya nggak marah, Nayya juga nggak bisa nyalahin Papa. Mungkin aku memang sedikit kecewa. Tapi Nayya tahu, hal ini juga pasti berat buat Papa ... dan, Nayya cuma butuh waktu untuk bisa mengerti semuanya. Mengerti keadaan Papa, menerima masa lalu Papa."

Afanin kembali mengusap kepala anak gadisnya. "Mama mengerti ... sekarang kamu sudah beranjak dewasa, mama yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."

Nayya tersenyum lirih. "Pasti sangat sulit kan, Ma? Pasti sangat berat..., "ㅡNayya menatap mamanya ibaㅡ"Bagaimana perasaan mama saat itu?"

Afanin bersandar pada headboard. Lalu menerawang. "Sulit, memang. Berat, tentu. Sakit hati, marah, kecewa, kesal. Saat itu mama mengabaikan papamu berhari-hari. Mama tahu itu salah, tapi mama tidak tahu lagi harus berbuat apa. Karena mama juga tidak bisa menyalahkan papamu seutuhnya. Padahal saat itu kami sangat bahagia, karena kehadiranmu...."

"Bagaimana Mama bisa tetap bertahan? Dengan Papa yang dulu...? Yang bahkan aku masih tidak bisa mempercayainya. Tidak pernahkah Mama berpikir untuk ...ㅡYa Tuhan." Nayya menutup wajahnya.

"Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan. Ada janji yang mengatasnamakan Tuhan. Ada komitmen akan yang selalu dipertanyakan.

"Sejak awal memutuskan menikah dengan papamu. Mama sudah berazzam, mama tidak akan mundur. Mama sudah siap menerima segala resikonya. Dan karena mama sudah terlalu bahagia. Mama bahagia dengan segala suka dan duka bersama papamu," Afanin tersenyum lirih. "Kami sudah melewati banyak hal. Jika mama menyerah, semua pengorbanan dan perjuangan mama akan sia-sia."

Nayya menghambur pelukan mamanya dan menangis terisak di sana. Mamanya adalah wanita terhebat yang ia kenal di dunia ini. Mamanya adalah idola untuknya. "Thanks to be my Mom," ucapnya lirih.

Afanin mengusap punggung Nayya. "Belajarlah menerima kenyataan meski sulit. Semua itu sudah menjadi masa lalu, dan sekarang kita hidup di masa depan. Biarkan semuanya mengalir. Fokus saja dengan apa yang ingin kamu capai."

Nayya semakin mengeratkan pelukannya. "I love you, Ma."

"Love you too, Dear."

Nayya lalu melepas pelukan mamanya. "Nayya mau nelpon Papa," ujarnya, lalu Afanin tersenyum.

***

Masuk sekolah kurang dari lima hari lagi, hari ini Nayya sudah berjanji dengan Arkan untuk pergi menjenguk Kei. Untuk awal-awal, sebenarnya Kei bisa menjalani proses sambil rawat jalan, karena menurut hasil, kasusnya tidak terlalu berat. Dan Kei cukup patuh menjalanin segala proses. Selama liburan semester ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di yayasan. Ia lebih senang berada di sana, bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang tidak jauh berbeda seperti dirinya.

Kei sedang melukis saat Arkan dan Nayya menemuinya hari itu. Dan ia tidak sendiri. Ada seorang perempuan di sampingnya, nampak antusias melihatnya melukis.

"Lagi lukis apa nih?" sapa Nayya.

Kei langsung mendongak dan tersenyum cerah. "Hei, Princess. Long time no see," ujarnya.

Nayya tertawa. "Kangen ya...?" candanya.

"Don't you?" balas Kei.

Nayya menggeleng. "But, I miss you so much!" ujarnya lalu mereka tertawa. Sementara perempuan di samping Kei hanya diam memperhatikan.

"Oh ya," Kei seolah tersadar kalau ia tidak sendiri. "Kenalian, ini Kirana." Kei mengenalkan teman barunya pada Nayya dan Arkan.

"Hai, panggil aja Nayya," sapa Nayya ramah, menjabat tangannya. Kirana tersenyum dan menyebutkan namanya, lalu beralih pada Arkan.

"Arkan," ucapnya singkat tanpa membalas uluran tangan Kirana. Membuat Kirana tersenyum canggung.

Nayya memukul bahu Arkan dan menegur sikapnya yang dingin. Lalu mereka pun mulai berdebat. Melihat itu Kei hanya menghela napas. Ia berkata pada Kirana kalau mereka berdua tak pernah sekali saja datang tanpa ribut-ribut. Kirana hanya tersenyum canggung.

"Kei, kalau gitu aku keluar dulu ya," ujar Kirana menghentikan cek-cok antara Nayya dan Arkan.

"Mau ke mana? Di sini aja, mereka teman-temanku, gak usah canggung. Ini lukisannya juga hampir selesai, kok."

Kirana menurut dan kembali duduk di kursi di samping Kei.

Nayya menatap Kei jenaka. Dan Kei memutar bola mata begitu tahu maksud tatapan sahabatnya. "What?"

"Cieee, gebetan ya?" godanya. Tidak salah, Nayya melihat pipi perempuan itu bloushing sementara Kei biasa saja dan menyangkal tuduhan Nayya. "She's just my friend."

Nayya melihat lukisan Kei yang ternyata sedang melukis Kirana. Dia pun semakin semangat menggoda keduanya. Dan Arkan hanya bisa geleng-geleng kepala.

***

"Sepertinya Kei bisa beradaptasi dengan baik, seneng deh lihatnya," ujar Nayya setelah mereka keluar dari yayasan. Sementara Arkan banyak diam.

"Langsung pulang?" tanya Arkan. Dijawab anggukan dari Nayya.

"Nay ...."

"Hm?" Nayya berhenti berjalan dan menoleh.

Arkan menatapnya sebentar. Dan Nayya malah memalingkan wajah. "Gak ada yang mau lo omongin?"

Nayya menggeleng cepat lalu tersenyum.

"Sure?" tanya Arkan tak yakin. Ia tahu ada yang disembunyikan oleh sahabatnya.

Nayya mengangguk mantap. "Don't worry me. All is well," ucapnya tersenyum.

"You know ... I'm still your friend. You can tell me anything."

"I know...," jawab Nayya lalu melanjutkan dalam hati. Tapi aku tidak bisa menceritakan tentang kenyataan ini. Ini masalah keluargaku, dan ini adalah aib yang tidak sepantasnya aku umbar pada siapa pun.

"Oke." ucap Arkan pada akhirnya dengan sedikit kecewa, katena Nayya tak kunjung bicara apa pun. Lalu ia berjalan mendahului Nayya menuju motornya.

Nayya pun tahu, jika Arkan kecewa karena ia tidak mau bercerita tentang masalahnya. Tapi, ia benar-benar tidak ingin menceritakannya. "Maaf...," gumamnya.

Ponsel Nayya berdering, nama Akbar tertera di sana. Ia pun segera menjawabnya setelah melirik Arkan sekilas.

"Assalamu'alaikum. Iya, Kak. Jadi. Iya, makasih banyak ya, Kak." Lalu sambungan berakhir.

Tanpa bertanya pun, Arkan tahu siapa orang yang menghubungi Nayya. Arkan mulai menyalakan motor, dan Nayya duduk di belakangnya tanpa kata.

Dan mulai saat itu, Arkan tahu, ia harus berhenti mencampuri urusan sahabatnya itu. Ia tidak lagi membutuhkan dirinya. Lalu bayangan-bayangan ketika Nayya bersama Akbar terlintas begitu saja. Saat di perkemahan, juga saat Akbar menjemputnya tempo hari. Ya, ia menyaksikan semuanya.

Okay, it's enough, Arkan. Kamu harus tahu batas. Tak perlu kau libatkan dirimu terlalu jauh. Cukup sampai di sini. Dan hanya biarkan semuanya mengalir. Seperti yang seharusnya.

***

TBC.

Hai, semoga dapet feel nya ya 😆
Gak tahu sih aku mau ngomong apa 😅😂
Pokoknya selamat baca dan semoga suka
Udah itu aja 😘
See you next time!
.

Tinny Najmi.

.

Subang,
22 April 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top