Bab 30 - Another Fact
30
Another Fact
"Mendapati kenyataan pahit untuk kedua kalinya, tetap saja rasanya masih tak menyenangkan dan rumit."
🍃🍃🍃
"Ma, sebenernya kita mau ziarah ke makam siapa? Kok jauh banget ke Bogor?" Nayya bertanya sebelum mereka berangkat di pagi itu.
Afanin tersenyum. "Temen papa," jawabnya. Hanya itu. Kemudian Alfi datang dan segera mengajak mereka naik mobil.
Nayya agak cemberut, pasalnya tadinya dia akan pergi bersama Arkan untuk menjenguk Kei. Setelah kejadian Kei collapse waktu itu, ayah Kei setuju untuk mendaftarkan dan memasukkan Kei ke rehabilitasi. Satu bulan sudah dia berada di sana. Dia tetap bisa beraktivitas seperti biasa, sekolah seperti biasa, namun ia memiliki jadwal sendiri, dipantau dan teratur. Bahkan Nayya tak memiliki acara liburan di semester ganjil ini. Tapi tiba-tiba saja orang tuanya mengajak ia pergi ke Bogor.
"Memangnya teman papa yang mana? Papa nggak pernah cerita kalau ada teman papa yang sudah meninggal?" Nayya kembali bertanya saat mobil sudah melaju. Ia duduk di belakang bersama mamanya, sementara papanya di depan bersama Pak Gigih.
"Papa baru tahu lokasi tempat ia dimakamkan, makanya papa baru sempat berziarah. Papa memang belum pernah bercerita tentangnya."
Nayya mengangguk namun juga heran, "Kok gitu, Pa? Emangnya nggak ada yang tahu?"
Alfi diam. Membuat Nayya semakin heran. "Nanti kamu juga tahu," ucap Afanin menyudahi percakapan.
Nayya mengerti, ia harus diam sekarang. Tapi otaknya tidak mau berhenti berpikir. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu tempatnya dimakamkan? Sampai papanya baru tahu setelah sekian lama?
Nayya menepis pikiran-pikirannya yang mulai melantur. Lalu ia mengambil ponsel untuk mengalihkan pikirannya. Membuka chat, ia mendesah ketika mendapati tidak ada chat dari Akbar. Sepertinya dia sedang sibuk. Pikirnya.
Karena bosan, Nayya pun memainkan game di ponselnya. Karena perjalanan yang cukup jauh, Nayya pun tertidur. Ketika ia bangun, ia melihat sekeliling. Mereka nampak memasuki pedesaan, karena banyaknya pohon-pohon dan kebun di sepanjang jalan, juga rumah-rumah sederhana.
"Masih jauh?" tanya Nayya.
"Lumayan," jawab Alfi. Ia pun semakin penasaran, sampai sejauh ini papanya mau berziarah. Pasti ia orang yang berarti untuk sang papa. Pikirnya.
Semakin jauh, udara semakin terasa sejuk. Mengingatkan Nayya pada kampung halaman mamanya. Ia membuka jendela dan menikmati udara segar. Melihat anak-anak yang nampak riang bermain. Ia tersenyum. Di Ibu kota tidak ada yang seperti ini.
Mobil pun berhenti. Alfi mengajak mereka semua turun. Nayya ikut tanpa bertanya ataupun protes apa-apa. Ia mengikuti langkah kedua orang tuanya begitu saja. Hingga mereka berhenti di depan tiga makam yang berdekatan. Nayya menengok dan membaca nama yang tertera batu nisan.
Larasati Ayu.
Jadi, teman Papa perempuan. Pikir Nayya dalam hati. Lalu di sebelah kiri bertuliskan 'Aminah' dan di sebelah kanan, ada kuburan yang lebih pendek. Bertuliskan Adam Nasrulloh.
"Ini teman Papa?" tanya Nayya berbisik pada mamanya. Afanin mengangguk.
"Kenapa makamnya berdekatan dengan yang itu?" tanya Nayya heran menunjuk makam bertuliskan nama Adam.
"Itu anaknya," jawab Afanin. Nayya sedikit terkejut tapi ia tak bertanya apa-apa lagi. Ia mengikuti Alfi dan Afanin yang berjongkok di depan makam wanita bernama Larasati Ayu dan anaknya Adam Nasrulloh. Mereka pun mulai memanjatkan do'a.
Saat selesai berdo'a, Nayya dikejutkan dengan suara isak tangis papanya. Alfi menangis. Dan ia melihat namanya yang mengusap punggung Alfi untuk menenangkannya. Baiklah, ia semakin penasaran dan kebingungan. Ia sama sekali tak mengerti apa-apa. Hingga mereka beranjak dari tempat itu pun, Nayya masih belum diberi tahu apa-apa. Ia mengamati papanya yang nampak begitu murung. Ia ingin tahu apa hubungan papanya dengan wanita itu sampai-sampai papanya menangis dan bersedih seperti itu.
Saat di perjalanan kembali ke mobil, tiba-tiba langkah kedua orang tuanya berhenti. Nayya pun ikut berhenti dan melongok ke depan. Matanya membulat sempurna. "Kak Akbar?"
Akbar nampak tersenyum menyapa Nayya dan keluarganya. Mereka berjalan lebih dekat untuk bertegur sapa.
"Om, Tante," sapa Akbar lantas menyalami kedua orang tua Nayya.
"Mau ziarah juga?" tanya Alfi.
"Iya, Om."
"Siapa?" tanya Nayya penasaran.
"Teman," jawab Akbar sekadarnya.
Nayya melihat Akbar dengan pakaian yang rapi, kemeja panjang biru kotak-kotak dengan jeans biru, tangannya digulung sedikit, dan membawa dua buket bunga.
"Kebetulan sekali," ucap Afanin kemudian.
"Iya, saya tidak menyangka akan bertemu dengan Om dan Tante di sini," ujar Akbar tersenyum.
"Temannya dua orang, Kak?" tanya Nayya yang melihat Akbar membawa dua buket bunga.
Akbar tersenyum. "Tidak. Satu lagi untuk ibunya."
Alfi menatap Akbar lekat. Merasa penasaran, Alfi pun bertanya, "Kalau boleh tahu, siapa nama temanmu?"
Akbar terdiam beberapa saat. "Adam," jawabnya.
Seketika Alfi terbelalak. "Adam Nasrulloh?"
Akbar mengangguk.
"Kamu mengenalnya? Juga ibunya?"
"Ya, dulu mereka adalah tetanggaku. Mereka sangat baik. Adam adalah satu-satunya temanku saat itu," ujar Akbar dengan tatapan tertuju pada Alfi namun terlihat kosong.
"Ya Tuhan ...." Alfi mengusap wajah gusar. Afanin mengusap punggungnya lembut.
"Om mengenalnya?" tanya Akbar.
"Ya. Maaf menganggu waktumu. Jika ada kesempatan, saya ingin berbicara denganmu nanti."
Akbar hanya mengangguk, lalu mereka berpisah. Akbar melanjutkan langkah menuju tempat tujuannya. Sementara Alfi kembali ke mobil.
Akbar berdiri menatap tiga kuburan di depannya. Ia lalu menaruh bunga di makam yang bertuliskan nama Larasati Ayu dan Aminah. Lalu menatap nama Adam lama tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Pa, memangnya mereka siapa? Apa mereka sangat berarti buat papa?" tanya Nayya yang sudah tak tahan lagi dengan rasa penasarannya.
Mereka kini berada di sebuah tempat peristirahatan. Sebelum mereka mencari penginapan. Setelah memesan beberapa makanan. Nayya menikmati suasana desa dengan berdiri di dekat pembatas, menatap ke seluruh sudut. Lalu Alfi berdiri di sampingnya. Hening sejenak.
"Dulu, saat masih awal-awal menikah dengan mama, kami pernah bertengkar hebat. Berdebat tentang keyakinan dan Tuhan," Alfi pun mulai bercerita. "Papa kalah, tentu saja. Dan papa tidak terima dengan kekalahan. Papa selalu berpikir jika apa yang papa lakukan dan pikirkan itu adalah benar. Sampai mamamu menghancurkan semua pikiran papa."
Nayya menoleh memandangi wajah sang papa yang nampak menerawang jauh, jauh sekali hingga ia tak bisa melihatnya.
"Saat itu papa kesal, pada diri sendiri. Papa melampiaskan segalanya dengan minum-minum seperti biasa...." Nayya menutup mata. Ia selalu enggan mendengar cerita buruk tentang papanya. Ia tidak bisa dan tidak mau membayangkannya.
"Saat itu papa mabuk berat, sangat mabuk sampai tak sadar. Bahkan papa tidak ingat meniduri wanita mana...." Nayya merasakan tubuhnya menggigil. Merinding, ia tidak ingin mendengarnya. Tapi ia harus tahu ... apa relasi cerita papanya dengan wanita bernama Larasati itu.
"Papa tidak pernah peduli siapa yang papa tiduri, mengingat namanya hanya dalam satu malam,"ㅡAlfi tertawa ketirㅡ"papa hanya memberi mereka uang lalu selesai."
"Pa...."
"Ya ... sebejat itulah papa dulu." Alfi menunduk berusaha agar tidak nampak lemah di hadapan putri kesayangannya.
"Tapi papa tidak pernah memaksa wanita mana pun untuk tidur dengan papa, semuanya dilakukan dengan suka rela. Dan malam itu ... papa membuat kesalahan."
"Kesalahan?" tanya Nayya. Bukankah sejak awal papanya memang sudah melakukan kesalahan?
Alfi mengangguk. Menelan ludah dan menenangkan diri sejenak. "Papa meniduri wanita yang tidak mau tidur dengan papa. Tapi papa sama sekali tidak ingat. Papa hanya ingat saat itu papa tidak memakai pengaman. Papa pikir tidak akan apa-apa, papa pikir dia memakainya, namun kenyataannya dia bukan wanita yang datang untuk menjual harga dirinya, dan saat itu papa belum tahu jika papa terkena HIV...."
Tiba-tiba Nayya merasa pusing dan mual. Kakinya terasa lemas. Tangannya meremas pembatas dari kayu. Berpegangan kuat seolah jika tidak, ia akan ambruk. Benar, ia hampir terjatuh jika Alfi tak segera menopangnya.
"Sayang, kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanya Alfi penuh kekhawatiran.
Nayya yang memejamkan mata hanya menggeleng dan melepas tangan sang papa darinya secara perlahan. "Aku baik-baik saja. Jadi, dia adalah wanita itu?"
Alfi mengangguk pelan.
"Lalu bagaimana nasib wanita itu?"
"Sayang, wajah kamu pucat. Nanti papa ceritakan lagi. Sekarang kamu istirahat saja, ya?"
Nayya menggeleng. "Apa dia juga terkena virus HIV?" tanya Nayya kemudian menatap papanya nanar. Ia memang sudah tak kuat. Tapi ia ingin tahu semuanya.
"Ya...," jawab Alfi lirih.
Nayya meremas bajunya. "Lalu? Ceritakan semuanya sama Nayya, Pa...."
"Sayang...."
"Pa, please. Nayya harus tahu semuanya. Bukankah Nayya pernah bilang? Nayya tidak mau ada hal yang disembunyikan. Apa pun itu."
Alfi menghela napas panjang. "Papa tidak pernah tahu semua itu sampai papa berubah dan memilikimu," ucap Alfi kemudian mengingat kembali kejadian di masa lampau.
Saat itu Alfi dan Afanin sedang berjalan-jalan di sebuah taman. Afanin duduk di sebuah bangku sambil menggendong Nayya yang masih bayi, menunggu Alfi yang sedang berjogging. Saat putaran terakhir, Alfi memelankan langkah untuk menghampiri Afanin namun bahunya tak sengaja menyenggol seseorang. "Maaf," ucapnya refleks. "Anda tidak papa?" tanya Alfi pada seorang wanita yang tengah membawa bayi dalam stoller.
"Saya tidak ...." ucapan wanita itu terhenti tatkala ia menatap wajah Alfi. Lalu matanya membulat sempurna. "Kamu...."
Alfi menatap heran pada wanita itu. "Apa Anda mengenal saya?"
Rahang wanita itu mengeras. Menatap Alfi nyalang. Lalu sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi Alfi.
"Hey! Apa-apaan ini?" seru Alfi tak terima.
"Dasar berengsek! Bajingan! Sialan!" maki wanita itu sambil terus memukuli Alfi dengan tenaganya yang tidak seberapa. Namun cukup membuat Alfi kewalahan.
Afanin yang melihat itu pun beranjak untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
"Tunggu! Apa maksud Anda? Saya tidak mengenali Anda sama sekali!" bentak Alfi.
Wanita itu berhenti memukulinya. Menatap Alfi nanar dan penuh kebencian. "Tentu saja kau tidak akan ingat. Berengsek! Kau telah merampas kehormatanku dan menghancurkan hidupku!" ujarnya penuh emosi.
Deg. Sesuatu seolah menghantam dada Alfi keras-keras. Afanin yang sedang berjalan pun berhenti.
"Apa maksudmu?" Kali ini wajah Alfi berubah serius dan defensif.
"Mas, ada apa?" Afanin menghampiri keduanya. Wanita itu menoleh pada Afanin.
"Aku tidak tahu ...."
"Siapa kamu?" tanya wanita itu.
"Aku istrinya," ucap Afanin dengan ketenangan seperti biasa.
Wanita itu sukses terbelalak lalu tertawa keras-keras. "Hebat. Hebat sekali! Selama dua tahun lebih aku berjuang hidup dalam kehancuran. Sementara kau...,"ㅡwanita itu menunjuk Alfi tepat di wajahnyaㅡ"hidup bahagia tanpa rasa bersalah, bahkan memiliki seorang wanita yang ...ㅡluar biasa. Betapa tidak adilnya Tuhan padaku." Wanita itu tertawa sinis lalu menangis. Lalu menghapusnya dengan kasar. Wanita itu hendak berbalik namun Afanin menahannya.
"Tunggu. Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Afanin. Sebagai wanita, ia bisa merasakan kepedihan wanita di hadapannya. Dan karena ia tahu seperti apa masa lalu suaminya.
Wanita itu menatap Afanin nanar. "Apa kau tahu pria macam apa suamimu?"
"Aku tahu," jawab Afanin. "Maka dari itu kau bisa mengatakannya padaku."
"Uri ... aku tidak mengenalnya. Merampas kehormatan? Dengar, aku tidak pernah memaksa wanita untuk tidur denganku, apalagi kalau wanita itu masih menjaga kehormatannya."
"Biar dia saja yang menjelaskan," ucap Afanin pada Alfi. Lalu mengajak wanita tersebut berbicara.
Mereka duduk di bangku yang ada di sana. Afanin siap mendengarkan apa saja yang akan dikatakan oleh wanita itu, meski hal terburuk sekalipun. Sementara Alfi berdiri sambil menggendong bayinya.
"Aku tidak pernah berniat merusak kehormatan dan harga diriku. Aku datang ke sana karena aku sedang mengalami banyak masalah. Ya, aku tahu itu salah. Aku hanya ingin melepas stres dan bermain saat itu. Aku mabuk, tapi aku masih cukup sadar. Aku sedang menari dan dia menghampiriku, kami berdansa, dan dia mulai menyentuhku. Jujur, aku memang tertarik padanya. Aku hanya berniat bermain-main dengannya. Tapi...."
Alfi menatapnya lekat. Ia benar-benar tak ingat apa-apa. Sementara wajah Afanin tak beriak. Dan ia menunggu dengan sabar.
"Aku sempat lupa diri, tapi aku masih sadar ketika itu. Aku menolak ajakannya, tapi dia memaksaku. Aku berusaha melawan namun sia-sia, dia seperti orang kesurupan, dia ... dia memperkosaku...," lirihnya diiringi isak tangis.
"Jangan mengada-ada! Aku tidak mungkin melakukannya!"
"Kau melakukannya! Berengsek! Dan ini adalah buktinya!" Wanita itu menunjuk bayinya dengan bercucuran air mata. Menatap Alfi penuh amarah, kebencian.
Alfi menatap wanita itu dengan emosi tertahan. "Bisa saja kalau dia bukan anakku."
Wanita itu tertawa kecut. "Kau pikir aku pelacur?"
"Aku tidak berkata seperti itu. Aku hanya bilang kalau bisa saja anak itu bukan anakku."
"Mas!" Afanin menegurnya. Lalu ia memberikan kartu nama pada wanita itu. "Aku harap kau mau menghubungiku dan membicarakan semuanya baik-baik." Setelah mengatakan itu, Afanin pergi tanpa menunggu Alfi.
"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanya Nayya. Menahan gemuruh di dada.
"Hal itu menjadi perdebatan hebat pertama dengan mamamu setelah sekian lama. Papa sungguh tidak tahu apa-apa saat itu. Papa kembali mencari perempuan itu, lalu menyuruh seseorang untuk mengambil sampel anaknya. Papa tidak bisa mempercayai perkataannya begitu saja meski bisa saja yang ia katakan memang benar adanya. Lalu papa melakukan tes DNA tanpa mamamu tahu. Dan hasilnya, 99 persen cocok ...,"
Nayya merosot. Berjongkok. Menutup wajahnya.
"Sayang, kamu tidak apa-apa?"
Nayya menepis tangan papanya. "Aku tidak papa," ujarnya.
Alfi terdiam. Ketakutan itu kembali datang. "Maafkan papa...," lirihnya dengan suara bergetar.
"Lalu...?" tanya Nayya setelah menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Sayang...."
"Nayya ingin tahu semuanya," ucap Nayya tegas.
Alfi menghela napas lalu duduk dan bersender di pembatas kayu. Kembali menerawang jauh.
"Mamamu tahu kalau papa melakukan tes DNA, dia pun tahu hasilnya. Papa tahu mama kecewa, marah bahkan mungkin sangat membenci papa. Papa memohon maafnya berkali-kali, tapi mamamu sama sekali tak mau berbicara dengan papa. Selama tiga hari mama mendiamkan papa. Papa sangat tersiksa. Papa pikir semuanya akan hancur..., namun mamamu memiliki hati secantk bidadari...,"ㅡAlfi tersenyum lirihㅡ"dia bilang dia akan memaafkan papa, dengan syarat papa harus membawa Larasati ke rumah dan menikahinya."
Nayya terbelalak. Tercekat. "Lalu, papa menikah dengannya?" tanya Nayya hati-hati.
Alfi menggeleng. Dan diam-diam Nayya bersyukur dalam hati. "Kami kembali menemuinya dan Mama mengatakan maksud kedatangan kami. Tapi dia menolak. Papa meminta maaf dengan tulus. Papa benar-benar tidak ingat apa-apa. Dan melihat anak itu ... rasanya menyakitkan." Alfi mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata. "Apalagi saat papa tahu jika Larasati mengidap HIV ..., papa tahu papa tak pantas dimaafkan...."
"Karena itu pula, Larasati tidak menikah, meski ada laki-laki yang selalu berada di sampingnya dan menyayanginya dengan tulus."
"Lalu bagaimana dengan anaknya? Apa ia juga terkena virus?"
"Larasati tahu ia mengidap HIV sejak awal kehamilan. Karena ia sudah menduganya sejak awal, maka ia pun melakukan tes dan dugaannya benar, ia positif," tutur Alfi. "Ada sebuah program bernama PMTCT[1] yang bertujuan menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV. Bila seluruh langkah-langkah PMTCT itu diikuti, maka kemungkinan bayi tertular HIV dari ibunya juga bisa ditekan. Dan dia berhasil melaluinya. Hingga anaknya bersih dari HIV."
Nayya mengucap sukur dalam hati. Lalu teringat jika keduanya kini sudah tiada. "Lalu apa yang menyebabkan mereka meninggal? Kenapa papa tidak pernah bercerita apa pun tentang mereka? Apa yang terjadi setelah itu?"
"Papa selalu berusaha yang terbaik untuk menebus kesalahan papa, tapi suatu hari dia pergi, mwninggalakn surat. Dia bilang tidak ingin menganggu kehidupan papa dan mama. Kami selalu mencari mereka namun berakhir dengan data palsu. Selama bertahun-tahun ... kami sama sekali tidak tahu keberadaan mereka. Sampai akhirnya berita yang kami dengar, bahwa Larasati meninggal karena HIV, Adam yang baru berusia tujuh tahun pun hidup dengan neneknya. Namun saat ia beeumir sepuluh tahun rumah mereka kebakaran, dan keduanya tidak selamat...."
Nayya terdiam. Membayangkan nasib naas yang dialami oleh pria bernama Adam. "Apa Aminah itu neneknya?" tanya Nayya teringat nama di samping makam Larasati.
Alfi mengangguk. "Papa tahu semua penyesalan papa tidak ada artinya, tapi papa pun tidak tahu bagaimana harus memperbaiki segalanya." Alfi kemudian menatap anak gadisnya. "Sekarang kamu sudah tahu semuanya. Papa tahu kamu pasti kecewa, kamu juga berhak marah," ucap Alfi. Namun Nayya tak mengatakan apa-apa. Terlalu banyak hal baru yang masik di otaknya. Sampai ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Andai ia masih hidup, kamu pasti akan sangat senang, karena kamu memiliki seorang kakak," ujar Alfi kemudian. Membuat Nayya mendongak menatapnya.
Kakak....
Nayya termenung untuk sesaat, kemudian bangkit.
"Kamu mau ke mana?" tanya Alfi sedikit cemas.
"Mencari udara segar," jawab Nayya lalu melanjutkan langkahnya.
Ia berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong. Pikirannya berkecamuk. Kenyataan lain yang ia dapat meluluhlantahkan pikirannya. Membawanya ke kenangan dua tahun lalu. Apa seburuk itu ayahnya dulu? Nayya lalu berjongkok. Membenamkan wajah di atas lutut dengan tangan terlipat di atasnya. Kemudian terisak. Tanpa peduli orang-orang yang lewat menatapnya heran.
Mendapati kenyataan pahit untuk kedua kalinya, tetap saja rasanya masih tak menyenangkan dan rumit.
***
TBC.
Catatan:
[1] Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) yang bertujuan menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV.
PMTCT meliputi pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu yang positif HIV selama kehamilan, kelahiran dengan operasi caesar, dan pemberian makanan bagi bayi.
**
Haiii, maaf baru nongol lagi 😟 lagi hectic banget kemaren 😓 ada yang kangen? 😆 makasih banyak yang selalu nunggu, dan ngasih semangat. 😘
Nulis bab ini aku campur aduk rasanya. 😔 Yey berapa bab lagi ending 😆
Semoga suka 😙
Salam,
Tinny Najmi.
Subang, 15 April 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top