Bab 29 - The Blur Mirror

29
The Blur Mirror

"Menatapnya seperti menatap kaca yang bening. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sejajar, aku adalah kaca yang buram. Tidak terlihat."
(Panji Ramdana)


🔹🔹🔹

"Kei!" Nayya berseru kemudian menghampiri sahabatnya dengan setengah berlari.

Kei tersenyum. "Hai, Princess," sapanya balik.

"Lemes amat," seloroh Nayya karena sapaan Kei yang tidak seperti biasanya.

Kei hanya tersenyum tanpa menjawab.

"Are you okay? Wajah lo pucet," ujar Nayya tampak khawatir.

"I'm okay."

"Jangan bohong!" sergah Nayya tajam.

"Gue nggak papa..., gue cuma lagi nyoba berhenti make."

Pernyataan Kei barusan membuat Nayya terkejut. Senang namun juga takut. "Really? Tapi itu kan bahaya kalau dilakuin sendiri tanpa arahan yang benar, Kei...."

"Yeah. I just try it. And it's so hard," Kei tertawa lirih.

"How was your Dad?" Nayya bertanya penuh harap.

Kei menggeleng. Pertanda belum ada perubahan atas jawaban ayahnya yang tidak memedulikan soal rehabilitasi. Menurutnya itu tidak penting dan Kei tidak perlu ikut rehabilitasi. "He always said that it's not important,"─Kei tertawa kecut─"See? He doesn't care if I live or die."

"Kei ... itu gak bener. Gue bantu bicara sama bokap lo, ya?"

Kei menggeleng. "No! Don't. Gue pengen dia ngelakuin atas kemauan dia sendiri."

"Tapi sampai kapan, Kei?" Nayya gemas. "Mau nunggu lo separah apa? Lebih cepat lebih baik!"

Kei tersenyum. "Gue masih kuat, kok."

"Tapi Kei ...."

"Nay ... gue nggak papa, oke?"

Nayya menghembuskan napas pasrah. Tidak tahu lagi harus bagaimana, padahal mungkin dia bisa membantu untuk membuat ayahnya sadar. Bahkan ia akan memakai ilmu karate-nya jika perlu.

Mereka pun menuju kelas bersama. Nayya memainkan ponselnya. Membalas pesan yang belum sempat ia balas. Sesekali sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman. Semua itu tak luput dari perhatian Kei. Ia menengok ponsel Nayya untuk mengetahui siapa orang yang membuat sahabatnya persis orang tidak waras; senyum-senyum sendiri.

Setelah melihat namanya, ia memutar bola mata. "Kayaknya lo makin deket sama dia," ujar Kei.

"Huh?"ㅡNayya menolehㅡ"maksudnya?"

"Akbar. Lo jadian sama dia?"

"What? Enggak ya!" seru Nayya sedikit berteriak.

Kei berjengit. "Biasa aja kali jawabnya. Sewot amat."

"Lagian lo sih...," Nayya membuang muka.

Kei berdecih mendapati wajah Nayya yang memerah. "Lo jangan deket-deket deh ama dia."

Nayya mengerutkan kening. "Kenapa?" tanyanya tak mengerti.

Kei mengedikkan bahu. "Feeling gue gak enak sama dia."

Dahi Nayya semakin berkerut. Ia tak mengerti. Kenapa semua orang seolah tak suka akan kedekatannya dengan Akbar. Padahal mereka pun tahu, ia pria yang baik. Tidak ada yang salah dengannya.

Memang, sejak pengakuan di perkemahan waktu itu. Mereka menjadi semakin dekat. Sering bertemu? Tentu tidak. Akbar punya kesibukan sendiri sebagai mahasiswa baru. Juga, bertemu dengannya sangat tidak mungkin bagi Nayya. Namun mereka intens bertukar kabar setiap hari, lewat chat atau mengobrol di telepon.

"Nay ...." Safira memanggil Nayya yang sejak awal pergi ke kantin sampai kembali ke kelas, masih asyik dengan ponselnya.

"Hm," sahut Nayya tanpa menoleh.

Safira menatapnya yang tengah asyik sendiri, senyum-senyum tidak jelas, dan kadang pipinya merona. Karena gemas, Safira merebut ponselnya.

"Loh! Saf? Apaan sih? Siniin ponsel gue,"

"Enggak," tolak Safira tegas.

"Ada apa sih, Safira sayang ...?"

"Jawab jujur. Kamu pacaran sama Kak Akbar?"

"Hah? Enggak Safira ... harus berapa kali sih gue bilang. Gue nggak pacaran atau jadian sama dia. Lo tahu kan gue gak mungkin pacaran, apalagi Papa ngelarang keras."

"Terus, ini apa? Chat tiap hari, senyum-senyum gak jelas kayak gitu."

Nayya mengerutkan dahi. "Emang kenapa? Kita kan cuma chat biasa, ngobrol biasa...."

"Tiap hari?"

"Iya...," cicit Nayya.

"Terus apa bedanya kamu sama mereka yang pacaran?"

Nayya tersentak. Kaget dengan pertanyaan sahabatnya. "Beda lah, kita gak sering ketemu dan ngelakuin hal-hal bareng yang jelas dilarang oleh agama. Nggak saling pandang, gak pegang tangan, gak jalan bareng...."

"Terus, menurut kamu dengan chat terus menerus seperti ini, tidak termasuk berkholwat?"

Nayya terdiam. Seolah ada palu yang memukul ulu hatinya keras-keras.

"Kamu merasa senang bukan setiap hari mengobrol dengannya? Lewat chat, lewat telepon. Kamu selalu cerita padaku dengan wajah berbinar-binar. Kalian berdua saling menyukai dan kalian sama-sama tahu hal itu."

Nayya tertunduk, memainkan jarinya. "Tapi kita enggak jadian...."

"Aku tahu. Aku tahu, Nay. Lalu apa bedanya? Apa perbedaan kamu dengan mereka yang menamai hubungan seperti ini dengan pacaran...?"

Nayya semakin tertunduk.

Safira menghela napas. "Setiap hari kamu bercerita tentang dia, artinya setiap hari pula kamu memikirkannya. Kamu bilang merasa senang dengan candaan ringan dan kepeduliannya terhadap kamu. Hati-hati zina hati, kamu Nay."

Nayya meremas tangannya sendiri. Zina hati ... benarkah dirinya tengah melakukan perbuatan tersebut? Nayya akui. Ia memang sering sekali memikirkannya, membayangkannya, dan berangan-angan....

Astagfirulloh .... Nayya beristigfar dalam hati. Salahkah dia selama ini? Ia terlalu larut dalam kebahagiaan semu.

"Mungkin kamu berpikir kalian hanya mengobrol hal biasa. Tapi kamu tahu Nay, setan itu ada di dalam setiap bagian tubuh melalui aliran darah berkeliling untuk mencari titik terlemah manusia. Aku hanya khawatir, kamu termakan tipu daya setan untuk terus berkhalwat dengannya."

Nayya tak berani menatap sahabatnya. Ia tahu, ia tahu ia salah. Tapi ....

"Terus gue harus gimana, Saf...?"

"Berhenti chat gak penting sama Kak Akbar."

"Tapi ... gue nggak enak kalau nggak bales pesannya ..."

Safira menghela napas. "Terus kamu mau terus seperti ini? Berkhalwat? Zina hati, begitu?"

Nayya menggeleng. "Tapi ...."

Safira membuang napas kasar. "Terserahlah! Capek ngomong sama kamu. Keras kepala." Safira pun memutuskan lanjut mengerjakan tugas sambil memasang earphone. Enggan mendengarkan pembelaan diri dari sahabatnya lagi.

Nayya pun tak lagi berbicara. Ia belum pernah melihat Safira sekesal ini. Sampai pulang sekolah pun Safira tidak berbicara padanya. Dan sepanjang perjalanan itu dia terus berpikir dan merenung. Hingga ia keluar gerbang, seseorang tiba-tiba memukul kepalanya pelan.

"Awas nabrak, nunduk terus."

Nayya mendongak dan terkejut mendapati sosok tak asing di hadapannya. "Kak Akbar?!" pekiknya hampir berteriak karena kaget.

Akbar tersenyum. Sementara Nayya berusaha meyakinkan diri kalau dia tidak sedang berhalusinasi.

Melihat hal itu, Akbar tertawa. "Ya ampun. Ini beneran aku, Ainayya. Bukan hantu. Jangan bengong gitu, gemes jadinya."

Nayya menggeleng. Iya, ini nyata. Akbar datang ke sekolahmya! Dan lihatlah, dia sudah menjadi tontonan semua anak-anak. "Kakak ngapain ke sini?" tanya Nayya heran.

"Kenapa nggak bales chat terakhir tadi?"

"Oh i-itu ... tadi, em aku agak sibuk jadi gak sempet bales," kilah Nayya tergagap. Nyatanya ia sedang bingung setengah mati. "Kok malah nanya balik, sih. Kakak jawab dulu dong pertanyaan aku," Nayya cemberut.

"Mau jemput kamu. Aku udah dapet izin kok dari papa kamu."

Nayya semakin terbebelak. Tidak mungkin! Dia cepat-cepat mengambil ponselnya. Ada panggilan tak terjawab dari sang papa, dan satu pesan.

"Pak Gigih lagi ada urusan. Kebetulan Akbar menghubungi papa, kamu pulang dengannya hari ini. Ingat, langsung pulang! Jangan kemana-mana dulu."

Nayya terpana. Jadi, apa semesta ikut berkonspirasi untuk mengujinya?

"Nay? Kok malah bengong...."

"Eh? Itu, iya ... kok bisa sih, Papa kasih izin?" Nayya masih penasaran, apa yang dikatakan Akbar pada papanya itu.

Akbar tersenyum sambil mengedikkan bahu. "Udah ayo pulang. Nanti kesorean."

Nayya pun menurut, dan mereka segera menaiki motor. Nayya mengedarkan pandangan, dilihatnya beberapa anak menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik. Tapi bukan itu yang dia khawatirkan, melainkan sosok yang saat ini sedang berjalan menuju pintu gerbang sekolah.

"Kak, ayo!" Nayya bergegas menyuruh Akbar menjalankan motornya.

Akbar pun melajukan motornya dan Nayya menghela napas lega, mengetahui Arkan tak melihatnya tadi. Lalu ia menertawai dirinya sendiri dalam hati. Karena ia merasa sedang menjadi penjahat.

Akbar mengantar Nayya sampai rumah sesuai perintah Alfi. Tidak macam-macam dan tidak keluyuran.

"Makasih, Kak."

"Harusnya aku yang bilang makasih."

"Memangnya?"

Akbar menggeleng. "Nggak papa, aku cuma seneng aja bisa nganterin kamu."

Nayya tersipu dan menunduk. Lalu kata-kata Safira terngiang begitu saja.

"Apa bedanya kamu sama mereka?"

Nayya memejamkan mata sejenak, menghela napas lalu mendongak menatap pria yang beberapa minggu ini selalu menghiasi hari-harinya.

"Kak,"

"Ya?"

Nayya meremas jarinya sendiri. Kembali menunduk. "Aku rasa ... ini nggak bener...," ucapnya lirih.

"Apa? Aku gak denger."

Nayya kembali mendongak. "Kita ...ㅡmaksudku, aku rasa ini tidak benar. Kita terlalu jauh, Kak...."

Akbar mengernyit. "Maksud kamu...?"

Nayya berdehem. "Chat tiap hari, teleponan, saling melempar candaan ... setiap hari, dan semakin intens." Nayya menatap Akbar hati-hati. "Aku rasa, ini tidak benar ... Aku hanya takut, jika aku salah dan yang kita lakukan memang salah."

Akbar diam sejenak. Nayya sudah kembali menunduk. Tidak sanggup menatap pria di hadapannya. Juga, takut jika Akbar akan kecewa. Namun ....

"Aku mengerti," ucap Akbar sukses membuat Nayya menatapnya.

"Maaf, karena keegoisanku, kamu jadi seperti ini."

Nayya menggeleng. "Tidak. Aku senang....ㅡ" ia kembali menelan kata-katanya. Tidak. Ia tidak boleh mengatakan hal seperti itu.

Akbar tersenyum. "Kalau begitu, aku akan mengurangi intensitasnya. Tapi, aku tetap boleh menghubungi kamu, kan? Emm sekitar dua minggu sekali?"

Nayya cemberut. "Itu sih kelamaan...," ucapnya pelan namun tetap terdengar.

Akbar terkekeh. "Aku mengerti. Maaf ya...."

Nayya menggeleng sambil tersenyum kecil.

"Ya udah, masuk gih. Istirahat."

Nayya mengangguk lalu masuk ke dalam gerbang rumahnya setelah saling mengucap salam perpisahan.

Nayya sudah merasa sedikit lega sekarang. Ia senang, karena Akbar selalu mengerti dirinya. Baginya, ia benar-benar pria yang baik. Dalam hatinya, ia selalu diam-diam berdo'a, berharap jika ia tidak salah menjatuhkan hatinya.

***

"Ma...," panggil Alfi pelan.

Afanin yang sedang bersiap untuk tidur pun kembali mengatur posisi duduk bersandar pada headboard. "Ada apa? Apa ada masalah?" tanyanya sedikit khawatir, karena saat Alfi memanggilnya seperti itu, ia selalu membicarakan masalah yang cukup serius.

Alfi menggeleng. "Aku teringat ucapan Nayya saat di rumah sakit. Menurutmu ... apa kita beritahu dia semuanya?"

Afanin meraih tangan Alfi dan mengusapnya dalam genggamannya. "Jika menurutmu itu yang terbaik, kenapa tidak? Aku pikir, dia berhak tahu segalanya."

"Menurutmu, dia akan kecewa padaku? Marah? Atau bahkan benci padaku?"

Afanin tersenyum lantas menggeleng pelan. "Dia sudah dewasa, dia pasti bisa mengerti...."

Alfi menghela napas panjang. Bimbang. Ada ketakutan yang sama seperti ketika dua tahun yang lalu. Afanin mengusap pipi Alfi dengan ibu jarinya, lembut, menenangkan. "Pikirkan saja dulu baik-baik ... jangan terburu-buru membuat keputusan."

Alfi tersenyum. Meraih tangan Afanin dan mengecupnya. "Terima kasih banyak."

***

Nayya begitu terkejut ketika mendengar kabar kalau Kei absen tanpa keterangan. Kei tidak mungkin melakukannya, tanpa memberitahunya. Kei memang sedikit nakal, tapi ia tidak pernah bolos sekolah tanpa keterangan apa-apa. Dan hal ini membuat Nayya cemas. Ia khawatir terjadi apa-apa padanya mengingat kondisi Kei terakhir kali. Tapi ia juga tidak bisa mengungkapkan kekhawatirannya pada Safira atau Sadiya, karena mereka tidak tahu tentang Kei yang seorang pemakai. Maka, begitu jam istirahat tiba, ia langsung bergegas menuju kelas Arkan. Namun ia tak langsung menemukannya, mereka bilang Arkan masih ada di lab biologi karena tadi mereka belajar di sana.

Nayya pun segera berlari menuju lab. Menemukan Arkan sedang menelungkupkan kepala di atas meja dan menutupnya dengan buku paket biologi. Sendirian. Nayya berdecak. Manusia macam apa dia itu? Ia mempercepat langkah menghampiri Arkan.

"Kan!"

Arkan terkesiap. Langsung mengangkat kepala dan membuat bukunya terjatuh. Nayya terkikik geli sementara Arkan menatapnya garang.

"Lo udah kayak singa baru bangun tidur, tahu gak?" gelak Nayya.

"Dan lo, berani-beraninya gangguin singa yang lagi tidur."

Nayya terkekeh. "Sorry, sorry. Penting soalnya!"

"Jadi, ada apa? Sampe lo berani nyamperin dan gangguin singa yang lagi tidur."

Nayya sedikit tergelak. "Apa sih? Udah deh! Ini serius tahu!" Nayya mulai merubah raut mukanya. "Ini soal Kei."

"Kei? Kenapa lagi dia?"

"Hari ini dia nggak masuk, tanpa keterangan," ujar Nayya dengan wajah khawatirnya.

"Is it a big deal?" tanya Arkan menaikkan sebelah alis.

Nayya menghela napas. "Masalahnya, terakhir kali gue tanya...,"─Nayya melihat sekitar kemudian memelankan suaranya─"dia bilang dia nyoba berhenti make."

Arkan terbelalak. "Serius?"

Nayya mengangguk. "Waktu itu wajahnya pucet, keadaannya kurang baik. Lo juga pasti lihat. Itu karena dia nggak make." Nayya membuang napas kasar. "Dan bokapnya sama sekali nggak peduli. Arrgh! Pengen gue samperin terus gue tendang rasanya!"

"Oke, jadi ... lo khawatir sesuatu terjadi sama dia? Udah coba hubungin dia?"

Nayya mengangguk. "Dan nomornya gak bisa dihubungi. Gue beneran khawatir, Kan. Gimana kalo terjadi apa-apa? Perasaan gue gak enak ... lo tahu kan, feeling cewek itu kuat."

Arkan nampak berpikir. "Terus gimana? Lo mau apa sekarang?"

"Makanya gue nemuin lo, Arkaaan! Gue butuh solusi. Apa kita cari ke rumahnya?"

"Kita?"

"Iyalah! Masa gue sendiri? Tega banget lo."

"Sekarang? Jam istirahat gini?"

"Astaga Arkan lo napa jadi lemot gini? Tahun depan aja sekalian!" Nayya gemas. "Kalo nggak sekarang, gue takut terjadi apa-apa sama dia...."

Arkan nampak berpikir. Sedang mencari alasan agar mereka bisa izin keluar.

"Ayolah, Kaann ... ya?"

"Oke, biar gue yang izin."

Nayya tersenyum lebar. Mengangguk antusias. Mereka pun menuju pos satpam. Nayya menunggu Arkan yang sedang berbicara entah apa. Cukup lama, hingga ia kembali dan melihatnya tersenyum penuh kemenangan.

"Kalau dia nggak ada di rumahnya, giamana?" tanya Arkan.

"Hm, kita balik lagi. Kalau gitu seenggaknya dia gak lagi sendiri. Gue cuma takut dia kenapa-napa tapi gak ada yang satu orang pun di sampingnya."

Arkan mengangguk paham lalu segera mengambil motornya. Beruntunglah, jalanan tidak terlalu macet, mungkin karena masih termasuk jam kerja. Hingga mereka bisa sampai dengan cepat.

Nayya menekan bel hingga seorang pembantu membukakan pintu. Ia agak terkejut karena sepengetahuannya, mereka tidak pernah memakai pembantu.

"Cari siapa?"

"Maaf, Kei nya ada?" Nayya bertanya ramah.

Pembantu yang nampak mulai renta itu terlihat berpikir keras seperti mengingat-ingat, kemudian ia beristigfar sambil menepuk jidat. "Saya kira ini hari minggu. Saya lupa tidak membangunkan Aden," katanya pada diri sendiri.

Nayya dan Arkan saling lirik. Ketika pembantu itu kembali memasuki rumah yang terbilang megah, mereka mengikutinya hingga ke depan kamar Kei.

Pembantu tersebut mengetuk pintu kamar sedikit keras. mungkin agar terdengar oleh sang penghuni. "Den ... Aden ... ini ada temennya!" serunya namun tak ada sahutan. Hingga beberapa kali pun tetap sama.

"Pintunya dikunci, Mbok?" tanya Nayya tak sabar.

"Biasanya begitu," kata pembantu tersebut. Namun ketika ia mencoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. "Loh? Apa Aden sudah bangun, ya?" ucapnya pada diri sendiri. Kemudian ia masuk dan tak lama kemudian ia berseru mengucapkan istigfar.

Nayya dan Arkan bergegas masuk. "Ada apa, Mbok?"

"Astagfirulloh, Aden ... piye toh iki?"

Nayya dan Arkan terkejut begitu mendapati Kei yang tergeletak di atas lantai dengan wajah pucat; tak sadarkan diri. "Kei, Ya Tuhan!" Mereka segera menghampirinya.

Nayya mencoba membangunkannya namun sia-sia. "Bagiamana?" tanya Nayya pada Arkan yang sedang mengecek denyut nadinya.

"Masih ada, sangat lemah," ucap Arkan.

"Ambulans!" seru Nayya bergetar. Arkan langsung mengambil ponel dan menghubungi layanan darurat. "Please, Kei ... bertahanlah ..." Nayya menggengam erat tangannya. Air matanya sudah siap jatuh. Ia tak ingin membayangkan kemungkinan terburuk.

"Kita bawa dia ke bawah dulu," ucap Arkan yang kemudian langsung membawa Kei ke atas punggungnya. Lalu bergegas turun.

Pembantunya masih terisak. Nayya menenangkannya.

"Semuanya salah saya, saya sudah pikun dan lupa membangunkan Aden, coba saja tadi pagi saya membangunkannya ...," ucapnya tersedu.

"Sudah Mbok, tidak apa-apa, kita do'akan supaya dia baik-baik saja ya," ucap Nayya. Ia melihat sekeliling kamar Kei yang berantakan. Banyak benda berjatuhan di lantai. Dia bisa membayangkan bagaimana Kei menahan rasa sakit dan keinginannya untuk memakai obat. Hatinya sakit seketika. Di mana peran keluarga di saat seperti ini?

Tak lama kemudian terdengar suara ambulans. Mereka segera melakukan tugas mereka dengan cekatan. Nayya dan Arkan ikut naik. Sementara pembantunya tetap di rumah dan berkata akan memberitahu tuannya.

Kei langsung dibawa ke IGD untuk segera ditangani. Nayya dan Arkan terduduk lemas di kursi tunggu. Nayya menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hening. Tak ada yang berbicara di antara mereka. Mereka memiliki ketakutan yang sama.

"Gue nggak bisa bayangin kalau kita gak datengin rumahnya...," ucap Nayya lirih.

"Dia pasti baik-baik aja," Arkan menenangkan.

Nayya mengangguk. Penuh harap. Lalu kembali hening. Hingga seorang pria paruh baya datang dengan tergesa. Mereka pun berdiri.

"Di mana Kei?" tanyanya.

"Dia masih di dalam," Arkan yang menjawab. Sementara Nayya berdecih pelan.

"Masih peduli?" tanya Nayya sinis. "Masih ingat saya?"

Ayah Kei menatap Nayya tajam. Ia tentu masih ingat padanya. Gadis yang dulu pernah dengan berani membentaknya.

"Pasti kalian yang membuat Kei seperti ini!" sergahnya tajam.

"What?" Nayya hampir tertawa tak percaya. "Justru Anda yang membuatnya seperti ini, Tuan!"

Arkan memegang bahunya. Bermaksud menyuruh Nayya untuk tenang dan tidak terbawa emosi. Namun gagal. Nayya sudah menahannya selama ini. Dan sekarang emosinya sudah sampai di ubun-ubun.

"Apa Anda masih peduli pada kondisi Kei? Apa Anda tahu apa yang dilakukan Kei akhir-akhir ini?"

Ayah Kei tak menjawab.

"Tidak, bukan? Anda bahkan tidak tahu apa-apa! Dia mencoba berhenti! Kami sudah susah payah membujuknya. Tapi Anda? Anda membiarkannya memakai narkoba, memberinya kebutuhan yang cukup untuk bersenang-senang, tanpa peduli pergaulannya seperti apa. Anda tahu tapi Anda membiarkannya. Sama saja dengan menghancurkan hidupnya secara perlahan.

"Kami ingin dia sembuh dan hidup normal. Hingga dia menemukan alasan untuk bertahan dan kembali sembuh. Tapi Anda bahkan tidak mau menjadi walinya di rehabilitasi? Tidak memberinya izin? Anda menginginkan dia mati?"

"Jaga bicaramu!" teriak Ayah Kei dengan wajah memerah. Arkan segera mengambul alih dan maju selangkah.

"Kalau Anda masih peduli padanya, seharusnya Anda tidak membiarkannya. Seharusnya Anda mendukung kemauannya untuk sembuh. Yang dibutuhkan seorang pasien adalah dukungan keluarga. Hal terpenting baginya adakah dukungan orang-orang terdekatnya. Dia hanya memiliki Anda sebagai ayah. Dia bisa saja meminta orang tua kami menjadi wali. Tapi dia ingin Anda yang melakukannya. Dia masih menganggap Anda seorang ayah." Kali ini Arkan yang berbicara, dengan nada tenang seperti biasa.

"Dia keluarga Anda satu-satunya, bukan? Anda rela masa depannya hancur karena narkoba? Apa Anda tidak ingin melihatnya hidup normal seperti anak-anak lain?"

Ayah Kei terdiam. Hingga dokter yang menangani Kei keluar. "Wali Keifer Parsha?"

"Saya, Dok." Ayah Kei langsung menghampirinya.

"Ikut saya," ucap dokter tersebut langsung berjalan menuju ruangannya diikuti oleh Ayah Kei. Sementara Kei dipindahkan ke ruang ICU. Karena ia masih harus mendapatkan pelayanan intensif.

"Kita kembali ke sekolah," ujar Arkan. Namun Nayya menggeleng.

"Nay, ini saja kita sudah lewat waktu yang disepakati."

"Gue nggak peduli. Gue mau nungguin dia sampe sadar." Nayya kembali duduk di kursi tunggu.

Arkan menghela napas. Lalu ikut duduk di samping Nayya tanpa kata.

"Kok malah ikut duduk? Lo balik aja, lo punya nama. Apa kata sekolah kalau ketua OSIS bolos sekolah?"

"Gue nggak akan balik kalo lo nggak balik."

"Kan ...."

"Dan ninggalin lo sendirian?"

"Gue bisa jaga diri."

"Nggak."

"Terserah. Jangan salahin gue kalo reputasi lo tercemar." Nayya berlagak tak peduli.

Arkan diam. Hingga beberapa menit kemudian Nayya berdiri dengan kesal. "Ya udah kita balik! Gue nggak mau disalahin kalau ada apa-apa!" ujarnya sambil lalu.

Arkan bangun dan tersenyum kecil. Lihat, siapa yang lebih khawatir pada reputasinya?

Nayya tiba-tiba berhenti berjalan dan berbalik. "Tapi pulang sekolah kita ke sini lagi."

Arkan mengangguk. "Oke."

Nayya pun kembali berjalan dengan Arkan di belakangnya. Menatapnya dalam diamnya. Seperti kemarin, dan kemarin yang telah lalu-lau.

Menatapnya seperti menatap kaca yang bening. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sejajar, aku adalah kaca yang buram. Tidak terlihat.

***

Tbc.

Hai, ketemu lagi ama saya. Ada yang nungguin? 😆😆 part ini panjang sekali! 😅 sampe harus beberapa kali edit jadilah baru sempat publish 😅
Nah, Arkannya udah banyak belum? Wkwk
Moga suka 😘
See you later!
Siap menerima kejutan? 😆

Salam.
Tinny Najmi.

Subang,
03 April 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top