Bab 27 - Beban
27
~Beban~
"Karena jika beban hidup diibaratkan batu besar, kita akan kesulitan dan keberatan jika terus membawanya. Jadi, kita perlu menaruhnya sejenak. Menyimpannya. Beristirahat, untuk kembali mencoba menghancurkan batu itu."
🗻🗻🗻
Pagi-pagi sekali, Arkan sudah bergegas. Ia cepat-cepat menuruni tangga dengan perasaan senang. Subuh tadi, ia mendapat kabar kalau Nayya sudah siuman.
"Kamu mau ke mana?" tanya abi-nya menghentikan langkah Arkan.
Pria itu terdiam. Umi dan adiknya juga ada di sana. Ikut menatapnya heran. Bagaimana tidak? Pukul enam saja belum.
"Ngg ... Nayya sudah siuman," jawab Arkan.
Arham tertawa. "Jawaban kamu nggak relevan sama pertanyaan abi."
Arkan menggaruk tengkuk. "Iya ... maksudnya ini mau ke rumah sakit."
"Sepagi ini? Mau pergi sendiri? Nggak bareng abi sama umi?" Kali ini umi-nya yang berbicara. Nampak menggoda anak sulung mereka.
Arkan jadi gelagapan. Benar juga, mungkin di sana ia menahan malu karena datang di pagi buta seperti ini. Dan Nayya pasti akan meledeknya. Dan datang sendiri...? Baiklah, sepertinya ia harus mengalah. Lebih baik datang bersama keluarganya. Tapi ia ingin segera menemuinya. Arkan menghela napas.
Baiklah, bersabar dulu. Batinnya.
Arkan pun ikut bergabung bersama kekuarganya. Disambut kekehan dan gelengan kepala dari kedua orang tuanya.
***
"Papa nggak kerja?" tanya Nayya yang masih terbaring di ranjang. Di wajahnya masih banyak luka lebam, dengan perban di kepala akibat luka di pelipis.
"Sudah papa wakilkan. Lagian, bagaimana bisa papa bekerja sementara putri kesayangan papa tidur manis di rumah sakit? Yang ada papa nggak fokus karena kepikiran terus."
Nayya berdesis. "Dasar papa tukang gombal."
Alfi tertawa lalu berubah sendu. Mengusap kepala Nayya yang terhalang hijab. "Maafin papa ya, Sayang...."
"Jangan minta maaf terus deh," renggut Nayya.
Alfi menggenggam tangannya. Mengecupnya penuh kasih sayang. "Maaf karena papa nggak bisa selalu jagain kamu."
"Pa ... Nayya udah dewasa, Papa nggak harus selalu jagain Nayya. Maaf, Nayya yang ceroboh...."
Afanin ikut mengelus pundak suaminya. "Nayya benar. Kita kan tidak tahun kapan datangnya musibah."
Alfi mengangguk. Nayya tersenyum melihat keduanya. Lalu ia teringat sesuatu. "Ma, Pa, boleh Nayya minta sesuatu?"
"Apa, Sayang? Katakan saja," tukas Alfi.
"Nayya minta, jangan ada rahasia apa pun di antara kita. Jangan ada yang disembunyikan lagi dari Nayya. Selama ini kalian semua selalu seperti itu..., berusaha melindungiku dengan menyembunyikan kenyataan. Aku tidak mau, aku ingin tahu semuanya. Nayya bukan anak kecil lagi, jadi Nayya mohon apa pun itu, jangan sembunyikan apa pun lagi."
Alfi dan Afanin terdiam. Lalu mereka tersenyum hambar. "Papa mengerti, kami minta maaf," ucap Alfi. Dan saat itulah Arkan datang bersama keluarganya. Mereka disambut hangat. Saling bercengkrama dan menyanyakan keadaan Nayya.
"Dokter bilang, keadaannya sudah mulai stabil. Jadi tidak apa-apa meskipun banyak orang di sini. Anak gadisku kan hebat," ujar Alfi.
Nayya berdecih pelan. Sementara yang lain tertawa. Nayya bersyukur memiliki keluarga dan kerabat yang begitu peduli padanya. Hatinya menghangat. Lalu ia menoleh pada Arkan yang sedari tadi hanya diam.
"Kenapa kamu? Tadi saja sudah ngebet mau jenguk, udah di sini malah diem aja," ledek abi-nya.
"Apa sih, Bi...."
"Iya, tahu tidak, Nay, dia sudah siap dari subuh," timpal Adeeva.
"Umiii...." Arkan merajuk setengah kesal. Kenapa mereka malah mengatakannya? Bisa jatuh harga dirinya. Oh, mungkin sudah. Lihat saja, sekarang Nayya sedang menertawakannya. Namun alih-alih kesal, Arkan malah tersenyum melihatnya. Ada perasaan senang saat tahu ia menjadi alasannya tertawa.
Rasanya sudah lama....
Tiba-tiba Nayya menoleh, ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Ah, ia tahu, bukan cuma harga dirinya yang jatuh. Melainkan hatinya pun. Sudah lama jatuh, dan masih belum bisa bangkit seutuhnya.
"Emm..., Ma, Pa, Om, Tante. Maaf, Nayya mau bicara sama Arkan dulu berdua aja, boleh?"
Pertanyaan Nayya membuat Arkan menoleh. Firasatnya berkata, ia akan membicarakan tentang Kei.
"Ya sudah, mama sama papa juga mau cari makan dulu," ujar Afanin. Dan semuanya pun pergi dari ruangan itu meninggalkan Nayya dan Arkan.
Arkan lalu duduk di kursi samping ranjang Nayya. "Gimana keadaan lo?" tanyanya.
"Yah, seperti yang lo lihat. Cuma kerasa sakit-sakit aja ni tubuh gue."
Arkan berdecak. "Lagian sejak kapan sepeda bisa bisa lawan mobil?" sinisnya sarkas.
"Aish! Siapa juga yang niat!" sungut Nayya kesal. Memasang wajah cemberut. Lalu hening.... Arkan tak mengatakan apa-apa.
"Kan," panggil Nayya.
"Hmm," jawab Arkan menoleh.
"Makasih banyak, ya...," ucapnya tulus. Tersenyum teduh.
Arkan menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. "Buat apa?"
"Papa udah cerita. Thanks for everything...," Jeda sejenak. Nayya kembali berbicara. "Entah kenapa, gue selalu berhutang budi sama lo, sejak dulu ... lo udah ngelakuin banyak hal buat gue, sedangkan gue gak pernah lakuin apa-apa buat lo...."
"Nay...."
"Rasanya ... nggak seimbang."
Arkan menghela napas. "Denger, gue nggak pernah nganggep semua itu sebagai hutang budi. Lo sahabat gue, apa salahnya gue ngelakuin semua itu? Dan gue nggak nuntut balesan apa pun dari lo."
....cukup lo selalu bahagia. Lanjut Arkan dalam hatinya.
Nayya diam. Ia tahu, hanya saja ... ia merasa begitu buruk terhadapnya. Kenapa ia tidak bisa mencintai pria sebaik dia? Seharusnya tidak sulit, bukan? Tapi entah kenapa, ia tak bisa menganggapnya lebih. Tak bisa memberinya perasaan yang sama.
"Soal Kei...," Arkan kembali membuka suara. "Apa semalam dia datang?"
Nayya menggeleng. "Gue nggak tahu. Papa juga nggak cerita apa-apa." Hening sejenak. "Kei ... gue gak tahu harus berbuat apa buat dia, Kan."
"Dia butuh seseorang yang mendukungnya. Mendorongnya untuk mau sembuh. Kita hanya bisa terus berusaha dan mencoba membujuknya."
Nayya hanya tersenyum. Mereka melanjutkan ngobrol tentang apa saja. Hingga pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok-sosok yang tak asing baginya.
"Kalian...?" Nayya terbelalak kaget melihat teman-teman sekelasnya datang. Tidak semua, hanya Safira, Sadiya, dan Sandi.
"Naaaaay! Astaga! Sobat gue kenapa jadi jelek gini?" seru Sadiya heboh yang langsung mendapat pukulan dari Safira.
"Kamu itu! Gak sopan! Orang lagi sakit juga, malah diledekin!" tegur Safira.
Sadiya nyengir. "Ya, maaf dong Beb, gue kan kaget lihatnya."
"Beb, beb, beb, jangan manggil aku kayak gitu!" sungut Safira.
Nayya terkekeh. Interaksi mereka berdua selalu nampak konyol di matanya.
"Berisik banget sih kalian. Ini rumah sakit, bukan kebun binatang!" Sandi ikut nimbrung.
"Tahu nih Sadiya. Gak di mana-mana berisik mulu, ih!"
"Aku memang selalu salah...," ujar Sadiya dramatis yang mendapat geplakan di belakang kepala dari Arkan.
"Ih jahat lu, Bos!"
"Berisik lo."
Nayya kembali terkekeh. Sadiya, anak itu hobinya mencairkan suasana. Ruangannya pun mendadak ramai. Sadiya yang terus menggoda Safira, dan Sandi yang selalu jengah dengan kelakuan Sadiya. Mereka datang setelah diberi tahu oleh Arkan tadi malam.
Cukup lama mereka mengobrol dan bercengkerama. Hingga mereka disuruh pulang oleh dokter, karena Nayya butuh istirahat. Mereka pun pamit.
Hari berganti, Nayya masih dirawat di rumah sakit karena belum sembuh total. Ada luka-luka yang cukup serius hingga mengharuskannya tetap di rumah sakit untuk merawat luka tersebut. Ia juga belum bisa bergerak banyak, hanya sekadar bangun dan duduk di ranjang.
Teman-teman sekelas dan kerabatnya datang menjenguk silih berganti. Kabar ia mengalami kecelakaan menyebar begitu saja setelah kunjungan teman-temannya waktu itu. Bahkan lima hari ini Akbar pun datang untuk menjenguk, setiap hari. Nayya merasa senang sekali. Setiap hari dia juga membawakan sesuatu yang Nayya inginkan. Saat di rumah sakit, ia tidak hanya menemani Nayya, tapi juga mengobrol bersama orang tuanya. Sekarang, mereka nampak akrab. Papanya tidak lagi memandang sinis pria itu.
Namun, orang yang dia tunggu belum juga datang menjenguknya. Entah apa yang terjadi padanya.
"Masih gak ada kabar dari Kei?" tanya Nayya pada Arkan yang sedari tadi mencoba menghubungi sahabat mereka itu.
Arkan menggeleng, dengan jawaban yang sama. Nihil. Ia bahkan tak menemuinya di rumahnya.
Nayya menghela napas. Apa mungkin ia sudah tak mau peduli lagi padanya? Tidak bisakah dirinya menjadi alasan Kei untuk sembuh?
Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Alfi yang tersenyum. "Nay, coba tebak siapa yang datang?" tanyanya.
Nayya mengerutkan kening. Lalu menoleh pada Arkan yang ditanggapi dengan gedikkan bahu.
"Siapa?" tanya Nayya penasaran.
Alfi pun membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk, diikuti seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
"Assalamu'alaikum," ujar pria itu.
Nayya dan Arkan terbelalak. "Ihsan?!" seru mereka bersamaan. Bahkan Nayya spontan bangun dari tidurnya.
Pria itu mengulum senyum. "Iya, ini aku. Kenapa kalian kaget begitu? Seperti melihat hantu saja," kekehnya.
"Kalian ngobrol-ngobrol aja ya, Om tinggal dulu," pamit Alfi membiarkan tiga anak itu bercengkrama untuk melepas rindu.
Ihsan menghampiri Arkan dan menyalaminya yang sepertinya masih kaget atas kedatangannya yang tiba-tiba.
"Apa kabar, Bang? Sehat?" sapanya.
Arkan berdecak. "Masih aja manggil Bang, kita kan cuma beda setahun. Panggil nama aja kan bisa."
Ihsan terkekeh. "Tapi kan nggak sopan, Bang."
"Kayak ama siapa aja sih lo...,"ㅡArkan memutar bola mataㅡ"Gue sehat, alhamdulillah, tuh yang sakit," tukasnya menunjuk Nayya dengan dagunya.
Ihsan hanya tertawa pelan dan beralih pada Nayya yang masih menatapnya takjub. Mereka sudah lama tak bertemu. Penampilannya benar-benar berbeda. Dia tampak lebih dewasa, bahkan Nayya yakin tingginya sudah melebihi dirinya.
"Kak Nayya gimana keadaannya? Sudah baikan?" sapa Ihsan.
"Lo beneran ada di sini? Kok bisa? Kapan nyampe Jakarta?" Bukannya menjawab, Nayya malah balik bertanya.
"Iya beneran dong, Kak. Aku nyata, bukan hantu ataupun jin qorin yang lagi nyamar jadi aku...."ㅡIhsan terkekeh kecilㅡ"Emang kenapa kalau aku ada di sini? Kayak yang mustahil gitu."
"Lha emang iyaaaaaa, Ihsan! Lo tumben banget pulang, ada apa? Biasanya kan lo pulang setahun sekali. Dan sekarang tiba-tiba ada di sini tanpa ada pemberitahuan apa pun!" Nayya berseru heboh.
Ihsan lagi-lagi tertawa pelan. Entah hanya perasaan Nayya saja, tapi tawanya adem, enak didengar. "Aku baru sampai tadi malam. Ayah memberitahuku kalau Kakak kecelakaan, sudah beberapa hari lalu sih..., tapi aku baru bisa pulang kemarin. Maaf ya Kak, baru sempat jenguk."
"Jadi, lo pulang buat jenguk gue?" tanya Nayya memastikan. Ihsan mengangguk, Nayya pun tersenyum lebar. "How sweet ... Arkaaaan gue baper nih!"
Arkan berdesis lalu mereka tertawa. Saling bercengkrama melepas rindu. Saling bercerita pengalaman menyenangkan.
"Eh, San. Lo tuh harus sering-sering pulang. Gak kasian apa sama Om Ilham dan Tante Ina? Mereka pasti kangen sama lo. Irsyad lagi tuh, dia kayak kesepian gitu. Kasian ... be-te-we tuh anak kenapa gak diajak sekalian? Kengen pengen ngacak-ngacak jambulnya. Hahaha."
Ihsan hanya tersenyum. "Ayah sama Bunda udah paham kok sama keputusan aku. Dan Irsyad ... aku rasa dia pandai bergaul, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkannya."
Nayya dan Arkan berdecak berbarengan. Lalu saling menoleh. "Ikut-ikutan aja, deh!" sungut Nayya.
"Siapa juga yang ikut-ikutan," Arkan memutar bola mata, lalu menatap Ihsan. "Nih, San. Meskipun dia pandai gaul, dia tetep adik yang butuh lo sebagai kakak dia. Jadi temen sekaligus abang. Tapi lo malah ngejauh, dan kalo gue perhatiin, kalian nggak terlalu akrab. Gue lihat, Irsyad selalu nggak suka kalo ngebahas lo."
Ihsan mengusap tengkuk. "Iya, memang sih ... kita nggak begitu akrab. Setiap aku pulang, Irsyad jarang ada di rumah. Aku pikir dia tidak menyukaiku. Jadi, aku putuskan untuk pulang saat hari-hari penting saja. Tapi bukan berarti aku tidak peduli padanya. Aku hanya...."
"Nggak pandai mengekspresikan perasaan lo," tukas Nayya.
Ihsan tersenyum. "Iya ... begitulah."
Nayya dan Arkan terdiam menatap teman mereka sejak kecil. Mereka tahu sifat Ihsan yang cenderung individualis dan acuh pada sekitar, malah wajahnya terkesan jutek dan angkuh jika belum mengenal kepribadiannya. Mereka memang jarang bertemu dan bermain dengan anak itu. Tapi mereka cukup dekat untuk mengenal satu sama lain.
Ihsan melihat arlojinya. "Sudah mau dhuhur, aku pamit dulu ya. Mau ke mesjid terus langsung pulang."
"Ya udah, kita bereng aja ke mesjidnya," sahut Arkan.
Ihsan mengangguk. "Aku pulang dulu, Kak. Syafaakillahu syifaan ajlan...."
"Aamiin. Maksih ya udah dateng jauh-jauh dan jenguk ke sini."
Ihsan hanya mengangguk, saat hendak pergi ia berhenti sejenak, kembali berbalik menatap Nayya.
"Kenapa?" tanya Nayya cukup heran.
"Hati-hati," ucap Ihsan.
Nayya mengerutkan kening. "Hati-hati apa? Emang kenapa?" tanyanya bingung.
"Hati-hati, saat melangkah dan menentukan pilihan. Jaga diri Kakak baik-baik,"ㅡIhsan tersenyum tipisㅡ"Aku pamit. Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam warahmatulloh...." Nayya menjawab lirih, masih disertai kebingungan. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud dari perkataannya. Ia juga tahu, ia harus berhati-hati, karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita kedepannya. Seperti kecelakaannya ini, tidak bisa diprediksi. Ah, mungkin itu maksud Ihsan. Anak itu kadang kalau bicara memang tidak jelas. Pikirnya. Ya, ia akan lebih hati-hati.
***
"Pokoknya Nayya mau pulang!" seru Nayya pagi itu.
"Kamu kan masih sakit, luka-luka kamu masih perlu perawatan, Sayang...," bujuk Alfi.
"Nayya udah sehat, Pa ... Nayya bosen di rumah sakit terus, ini udah seminggu loh! Kata dokter juga Nayya boleh pulang, kok. Ya? Maaa...." Nayya kini beralih menatap mamanya penuh permohonan.
"Mama ikut Papa aja," sahut Afanin.
Nayya mencebik dan Alfi tersenyum senang karena kali ini Afanin di pihaknya. Ia pun mengecup pipi wanitanya sekilas. "Makasih, Sayang...," ujarnya tersenyum manis.
"Ihhhh Mama sama Papa ngeselin!" Nayya cemberut dan melipat tangan di dada. Membuang muka.
"Sayang ... ini kan demi kesembuhan kamu," bujuk Alfi lagi. "Sekarang makan, ya?
"Gak mau!" tolak Nayya keras kepala. "Justru Nayya makin sakit kalau di sini terus," ujarnya ketus.
Alfi menghela napas, menoleh pada istrinya. Afanin mendekati Nayya dan mengusap keningnya yang berekrut karena memasang wajah masam. "Lihat, jelek banget," ujarnya masih mengelus dengan perlahan. "Ngalah ya, turutin kemauan Papa. Cuma beberapa hari lagi...," bujuk Afanin.
"Maaaa ... Nayya udah sembuh. Nayya mau ikut kumpulan OSIS, juga ekskul yang Nayya ikuti. Banyak yang harus dipersipkan buat MOPD. Nayya gak mau cuma tiduran terus di sini...," rengeknya.
Alfi menghela napas kasar. "Ya sudahlah. Terserah kamu. Papa capek ngomongin kamu," tukasnya lalu berjalan cepat keluar ruangan. Nayya terhenyak saat Alfi menutup pintu lumayan keras.
"Lihat, marah kan jadinya papamu...."
Nayya menunduk. Cemberut. Ia hanya bosan berada di ruangan seharian. Walaupun bisa keluar dan berjalan-jalan di taman rumah sakit, tapi itu tak menyenangkan sama sekali baginya.
Sebenarnya Nayya merasa tak enak hati karena membuat papanya marah, namun ia sedang enggan mengalah. Akhirnya, ia pun menaikkan kakinya ke atas ranjang dan berbaring membelakangi sang mama.
Afanin menghela napas. Memiliki suami dan anak yang sama-sama keras kepala benar-benar merepotkan, sabar pun sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Ia tak mengatakan apa-apa lagi, membiarkan anak gadisnya juga membiarkan suaminya.
Nayya yang merasa bosan, mengecek ponselnya. Membuka notifikasi satu persatu. Hingga ia berhenti di salah satu nama.
Kak Akbar
"Maaf hari ini nggak bisa dateng. Masih betah di rumah sakit?"
Nayya pun mengetik balasan. "Enggak papa, Kak. Bosen. Pengen pulag..., tapi nggak dibolehin papa. Nyebelin :("
"Kkkk~ kamu masih dalam penyembuhan, Nay. Turuti kata papamu."
"Ihh Kak Akbar kok belain Papa sih? Mentang-mentang udah akrab. Huu~"
"Hahaha. Nggak gitu juga, ini karena kakak juga sayang dan peduli sama kamu."
Nayya tersipu. Tiba-tiba saja perutnya terasa ada yang menggelitik. Menggelikan.
"Apaan deh, Kak Akbar bisa aja...."
"Lho, kan iya. Papa kamu begitu karena dia sayang banget sama kamu, kakak juga."
Nayya senyum-senyum sendiri. Aduuuhhh please jangan ngomong sayang-sayang, aku kan jadi baper! Huaaa....
"Nay!"
"Astagfirulloh!" Nayya terlonjak bangun. Menatap tajam orang baru saja berteriak di kupingnya. "Apa sih? Bikin kaget aja!" sungutnya kesal, sedikit gelagapan.
"Dari tadi dipanggil juga, malah cengengesan sendiri. Lo salah masuk rumah sakit deh kayaknya."
"Gue nggak sakit jiwa, ya!"
Arkan tak menggubris lagi. "Ada Kei di luar," ujarnya.
"Apa?"
"Sekarang lo budeg juga?"
Nayya melempar Arkan dengan bantalnya yang sigap ditangkap oleh Arkan. Lalu pintu terbuka, menampilkan sosok yang belum terlihat semenjak hari kecelakaan waktu itu. Kei melangkah pelan mendekati kedua sahabatnya. Ia lalu menatap Nayya, mencoba tersenyum. "Hei," sapanya.
Nayya membuang muka kemudian kembali berbaring, memunggungi dua teman laki-lakinya.
"Gimana keadaan lo?" tanya Kei. "Maaf, baru dateng sekarang."
Tak ada jawaban. Kei menoleh pada Arkan yang juga diam tak membantu. Ia menghela napas, kembali menatap punggung gadis itu. "Lo masih marah sama gue?"
Nayya tak menjawab. Karena ia yakin Kei tahu jawabannya. Sebenarnya ia rindu, dan khawatir pada pria itu. Tapi, ia masih kecewa dan ia tidak mau berbicara dengannya sebelum pria itu mengikuti kemauannya.
"Oke. Gue tahu lo masih marah sama gue. Maka dari itu, gue minta maaf. Buat yang waktu itu juga, gue nggak maksud ngebentak lo kayak gitu. I just ... lost control."
Gue tahu.
"Princess...."
Nayya menutup mata. Menutup telinga.
"Gue mau ikut rehabilitasi," ucap Kei kemudian mantap.
"Serius?" seru Arkan dan Nayya berbarengan. Nayya berbalik dalam satu gerakan.
Kei tersenyum. "Ya."
"Lo nggak lagi boongin gue kan?" Nayya menatapnya penuh selidik.
"No, I promise you."
"Kenapa lo tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Arkan.
"Selama ini gue mencari alasan. Alasan gue untuk sembuh dan memperbaiki hidup. Mencari seseorang yang ingin gue lindungi."
"And you found it?"
"Yeah. It's you, Nay...."
And I've meet someone..., imbuhnya dalam hati.
"Lo inget? Gue udah janji buat jagain lo seumur hidup gue. Untuk sekarang, itu cukup jadi alasan buat gue sembuh. Gue harus terus hidup buat bisa jagain lo, kan?" Kei tersenyum.
Mata Nayya sudah berkaca-kaca, merasa terharu. Arkan pun ikut senang mendengarnya.
"Tapi gue nggak bisa langsung ikut sekarang...," ujar Kei kemudian.
Kening Nayya berkerut. "Kenapa?"
"It's not easy, Nay. Gue harus bicara sama Dad, karena dia harus jadi wali sebagai penanggung jawab gue. Nyiapin berkas, dan hal lainnya," ujar Kei menghela napas. "Masalah utamanaya adalah Dad, gue nggak yakin dia bakal peduli dengan hal ini." Kei menunduk.
"Gue bisa bantu ngeyakinin bokap lo," sahut Nayya yakin. "Atau, orang tua gue bisa kok jadi wali lo," ujarnya. Ya, ia akan melakukan apa pun untuk membantunya.
Kei mendongak dan tersenyum. "That's why I like you, you're so kind, Princess...."
"Because you're my friend," balas Nayya tersenyum.
"Gue bersyukur punya temen kayak lo, Nay. Makasih banyak. Tapi, gue mau coba sendiri dulu. Gue bakal bicara sama Dad...."
Arkan menyentuh bahunya. Tersenyum. "You know, we always here. With you...."
Nayya pun mengangguk, menyetujui ucapan Arkan. Ikut tersenyum pada Kei.
Kei tersenyum lalu menunduk. Ya, ia memiliki teman. Teman yang sangat peduli padanya. Menyayanginya walau jelas mereka berbeda. Mereka tak ada ikatan darah, keyakinan mereka pun berbeda dengannya. Tapi mereka tetap menganggapnya bagian dari kehidupan mereka. Ketulusan hati mereka membuat hatinya menghangat penuh haru. Matanya memanas. Ia menahan tangis mati-matian. Tidak lucu bukan jika ia menangis?
"I love you," Kei tiba-tiba bangkit dan memeluk Arkan erat.
"Shit!" umpat Arkan spontan. Dan mendorong tubuh Kei menjauh darinya. Lalu memelototinya.
Nayya sukses terbahak. Baru kali ini dia melihat Arkan mengumpat dengan ekspresi seperti itu. Dan itu benar-benar terlihat lucu di matanya.
"Dasar sinting!" umpat Arkan lagi pada Kei.
Kei nyengir. "Abis kalau peluk My Princess gak dibolehin sih," ujarnya tanpa dosa.
Dan hari itu pun mereka habiskan waktu bercanda ria. Melupakan dan menunda sejenak beban hidup. Karena jika beban hidup diibaratkan batu besar, kita akan kesulitan dan keberatan jika terus membawanya. Jadi, kita perlu menaruhnya sejenak. Menyimpannya. Beristirahat, untuk kembali mencoba menghancurkan batu itu.
***
TBC.
Assalamu'alaikum... Yeay, fast update! 😄🙊 wkwkwk
Aduh aku gak tahu mau ngomong apa lagi. Cuma pengen cepet ngeluarin ini cerita 😅😂
Moga suka dan tetap sabar menunggu 😆
See you 😘
Salam.
Tinny Najmi.
Subang,
11 Maret 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top