Bab 26 - Finding
26
~Finding~
"Temukan orang yang benar-benar kamu sayangi. Kamu akan merasa hidupmu berarti saat kamu memiliki seseorang yang kamu sayangi dan ingin kamu lindungi."
🍃🍃🍃
"Arkan!" Panggilan itu membuat pria yang sedang duduk termenung di kursi tunggu menoleh dan segera bangkit.
"Om, Tante...," sahut Arkan begitu mendapati Alfi dan Afanin yang tergesa menghampirinya. Orang tuanya pun ikut bersama mereka. Memang, sesaat setelah Nayya masuk UGD, Arkan segera menghubungi seluruh keluarganya dan Nayya.
"Apa yang terjadi?" tanya Alfi. Raut kecemasan begitu terpancar jelas di wajahnya. Menuntut penjelasan dari remaja laki-laki di depannya.
Arkan pun menceritakan kronologis kejadiannya. Tidak semua. Ia tidak melibatkan Kei dalam hal ini.
"Mereka bikang, orang yang menabraknya melarikan diri," jeda sejenak. Arkan menarik napas perlahan. "Maaf ... harusnya saya menjaga Nayya," pungkasnya.
Alfi mengusap wajahnya gusar. Tidak habis pikir kenapa bisa kejadian hal seperti ini. Afanin berusaha menenangkan suaminya dan berkata kalau Nayya akan baik-baik saja. Ia lalu menatap Arkan yang tertunduk.
"Ini bukan salahmu, Arkan ... Nayya baik-baik saja, insya Allah...," ucapnya dengan senyum lembut dan mengusap lengan Arkan menenangkan.
Alfi tiba-tiba teringat sesuatu. Ia pun kembali menatap Arkan. "Apa kamu tahu ada masalah apa dengan Nayya? Akhir-akhir ini ia selalu murung bahkan tidak mau diajak berlibur."
Arkan terdiam sejenak. Otaknya langsung bekerja cepat. Ia tahu, penyebabnya mungkin karena Kei. Pria itu ... ia belum sempat memberitahunya.
"Arkan? Kenapa diam saja? Kamu pasti tahu sesuatu. Ada apa sebenarnya?" tuntut Alfi.
Mencari alasan terlalu sulit untuknya saat ini, ia tidak bisa berpikir. Berkata jujur mungkin lebih baik, mungkin juga mereka bisa membantu mengatasi masalah ini dengan ikut membujuk Kei. Arkan menatap semua orang yang kini tertuju padanya menunggu penjelasan. Ia pun menarik napas panjang lalu memberitahu mereka tentang Kei dan kronologis kejadian sebelum kecelakaan terjadi.
"Ya Tuhan...!" Alfi mengusap wajah sampai ke belakang kepala. Ia tidak mengerti kenapa anak gadisnya selalu berurusan dengan anak-anak bermasalah. Dulu Sandi, sekarang Kei, yang Alfi tahu teman Nayya sejak sekolah dasar.
Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu. Mereka kini hanya menunggu dokter yang sudah hampir satu jam belum juga keluar.
Arkan meremas tangannya sendiri, hingga seseorang menyentuh bahunya. Ia menoleh, mendapati abinya tengah tersenyum padanya. "Sudah, ini bukan salahmu," ucap Arham seolah tahu kekhawatiran putranya.
Arkan mengangguk pelan. Meskipun begitu, ia tetap merasa bersalah. Karena ia telah lengah.
Lalu pintu ruang UGD terbuka, Alfi langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar. Menyanyakan keadaan anak gadisnya. Untungnya, dokter mengatakan kalau Nayya tidak apa-apa. Tidak ada luka dalam yang serius. Masa kritisnya pun sudah lewat, dan ia akan segera dipindahkan ke ruang rawat.
"Tapi dia belum sadar. Keadaannya belum stabil. Ada beberapa luka cukup serius di bagian luar. Tapi tidak papa, itu akan membaik seiring dengan pengobatan. Anda tidak perlu khawatir. Kalau begitu saya permisi."
Ucap syukur pun memenuhi koridor saat itu. Setelah dokter pamit, Arkan menghampiri Alfi.
"Om, Tante, sekali lagi saya minta maaf...."
"Ini sudah takdir..., bukan salahmu. Jangan pasang wajah seperti itu, ya," sahut Afanin lembut.
Alfi pun tersenyum sambil menepuk bahunya. "Justru Om berterima kasih, dan bersyukur ada kamu di sana. Terima kasih karena kamu mau menemani Nayya tadi."
Arkan hanya diam. Ya, memang Alfi yang menyuruhnya datang ke tempat itu. Untuk menemani Nayya yang ia tahu sedang bersedih karena masalah Kei. Hingga ia pun menghubungi Kei dan memintanya datang untuk menjelaskan semuanya pada Nayya. Andai tidak seperti itu..., mungkin hal itu tidak akan terjadi.
Arham menepuk pundak putranya. "Kita pulang dulu ya, besok kita ke sini lagi," ucapnya.
"Iya, umi juga khawatir terlalu lama meninggalkan Asha yang sedang tidur di rumah," imbuh Adeeva.
"Arkan mau di sini saja," tolak Arkan halus.
"Pulanglah," tukas Alfi. "Istirahat dulu. Nanti Om kabari kalau Nayya sudah bangun."
Arkan hendak membantah namun urung ketika Nayya dibawa keluar oleh para petugas medis untuk dipindahkan ke ruang rawat. Ia menatapnya sendu. Keadaannya tidak baik sama sekali. Badannya begitu penuh luka dan perban. Arkan mengepalkan tangan.
"Saya boleh jenguk Nayya dulu kan? Setelah itu baru saya akan pulang."
Permintaannya pun disetujui. Arkan menuju ruang rawat dan menemui Nayya. Ia hanya berdiri di samping ranjang, menatap gadis yang kini terbaring penuh luka tak berdaya.
"Dasar ceroboh," tukasnya pelan. "Sok jago. Pake nabrak mobil segala." Ia mengucapkan beberapa umpatan dan hal yang sebenarnya tak perlu diucapkan, lalu menghela napas.
"Maaf...," lirihnya. "Jangan lama-lama tidurnya, kasian mereka. Gue balik, besok gue ke sini lo harus udah sadar, awas aja kalo nggak."
Setelah mengucapkan itu, Arkan pun keluar. Menemui abinya dan pamit untuk pulang.
Alfi dan Afanin pun masuk ke ruang rawat untuk menemui putri mereka satu-satunya. Alfi langsung menggenggam tangan anak gadisnya. Menciumnya dan meminta maaf padanya.
"Sayang ... biar aku yang jaga Nayya, kamu pulang saja, ya?" ucap Alfi pada wanitanya.
"Harusnya aku yang berkata begitu. Besok Mas harus ke kantor, bukan?"
"Aku sudah meng-cancel semuanya."
"Mas...."
"Aku sadar aku terlalu banyak menghabiskan waktuku di kantor. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya."ㅡAlfi menatap anak gadis di hadapannya dan mengusap puncak kepalanyaㅡ"Untuk satu minggu ini aku menyerahkannya pada Reza. Dia bisa dipercaya."
Kalau sudah begitu, Afanin tak bisa membantah lagi. "Aku tidak mau pulang. Orang-orang terkasihku di sini, kenapa aku harus pulang," rajuknya.
"Kamu ini ... ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu mengambil beberapa pakaian. Kamu di sini saja," putus Alfi kemudian.
Afanin mengangguk patuh, Alfi lantas mengecup kening istrinya sebelum pergi.
Saat keluar, Alfi mendapati Kei yang nampak berdiam diri tidak jauh dari ruangan Nayya. Menunduk dan memainkan kakinya resah. Saat ia memanggilnya, Kei nampak terkejut dan hendak pergi.
"Tunggu! Jangan pergi dulu." Alfi menyusul anak laki-laki itu yang kini sudah menghentikan langkah. Wajahnya tertunduk dalam.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Alfi.
Kei diam. Lalu mengangguk pelan.
***
Mereka kini berada di kantin rumah sakit. Alfi menatapnya penuh selidik sementara Kei terus menunduk.
"Bagaimana keadaan Nayya, Om?" cicitnya pelan. Jemarinya saling meremas, pandagannya gelisah tampak ketakutan.
"Dia belum sadar. Tapi dia baik-baik saja," jawab Alfi membuat Kei menghela napas lega.
"Saya minta maaf ... gara-gara saya...."
"Om sudah dengar semuanya dari Arkan," tukas Alfi. Kei mengangguk. Tentu saja, Arkan juga sudah menceritakan semuanya padanya.
"Kamu tahu resiko dari perbuatanmu mengonsumsi barang itu?" tanya Alfi kemudian.
Sudah kuduga.
"Ya...," jawab Kei lirih.
"Kamu bisa kena HIV, AIDS, dan penyakit mematikan lainnya. Bahkan kamu bisa kehilangan nyawamu."
Kei semakin tertunduk dan menjawab pelan, "Aku tahu, aku siap menanggung risikonya. Lagi pula ... semua orang pasti mati, kan?"
Alfi menghela napas. Tatapannya tak lepas sedikit pun dari pemuda di hadapannya. "Apakah kamu menganggap hidupmu tak berarti? Apa tidak ada satu pun orang yang kamu sayangi?"
Kei tersenyum sinis, masih menunduk namun Alfi masih bisa melihatnya. "Tidak," jawab Kei. "Tidak ada. Aku bahkan tidak tahu untuk apa aku hidup."
Alfi menatapnya seolah menatap dirinya di masa lalu. Tidak punya arah, tidak punya tujuan hidup. Hanya pelarian mereka saja yang berbeda. Hatinya terusik. Mungkin ini yang dinamakan empati. Ia bisa merasakan berada di posisinya. Berapa banyak korban anak-anak seusianya yang terjerumus gara-gara masalah keluarga?
"Kamu punya Tuhan?" tanya Alfi lagi. Nampak serius.
Kei membuang muka lalu mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku tidak yakin...."
Alfi menghela napas. "Setidaknya kamu percaya kalau Tuhan itu ada, kan?"
Kei diam. Dan Alfi menunggu. Hingga anak laki-laki itu berkata, "Jika Tuhan memang ada, kenapa dia memperlakukan makhluknya dengan tidak adil? Kenapa hidup mereka sempurna sementara aku tidak? Apa salahku? Kenapa ada yang bahagia ada yang menderita. Kenapa, Tuhan memisahkan Mom dan Dad? Kenapa Tuhan membuat keluargaku hancur? Kenapa Tuhan tidak menyelamatkan kehidupan kami?"
"Ya Tuhan," Alfi tertawa. Pria tanggung ini benar-benar mirip dirinya. Sementara Kei menatap Alfi tak mengerti, karena menurutnya jawaban yang ia lontarkan tidak lucu sama sekali. Dan untuk apa ayah sahabatnya itu menanyakan banyak hal padanya.
"Is that funny?" tanya Kei bingung.
"Tidak, tidak. Kamu hanya mengingatkanku pada diriku yang dulu," ujar Alfi.
Kei semakin mengerutkan kening. Ia tidak mengerti maksudnya apa.
"Kamu sepertiku," ulang Alfi. Menatap Kei tepat di matanya. "Tidak punya tujuan hidup, mempertanyakan keberadaan Tuhan. Hidup semauku."
Kei diam. Nampak serius memperhatikan ucapan Alfi. Seolah mencari pembenaran.
"Aku pun sepertimu, lari dari masalah pada hal tak berguna.... Tidak, aku bukan pemakai," ujar Alfi seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh Kei. "Aku melakukan free sex selama belasan tahun hidupku."
Kei terbelalak. "Are you kidding me?" tanyanya tak percaya.
Alfi menggeleng. "Aku tidak bercanda. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya pada Nayya atau Arkan."
Kei terdiam. "Lalu...?"
"Aku mengidap HIV," tukas Alfi. Kei semakin tercengang. "Sampai sekarang pun, penyakit itu masih bersamaku."
"God...."
"Lihat, kamu bahkan menyebut Tuhanmu," ujar Alfi sedikit menyunggingkan senyum.
Kei tersentak. Seolah tersadar, dia memang mengakui keberadaan Tuhan.
Alfi tersenyum. "Semua yang aku katakan tadi adalah kenyataan. Dan Nayya mengetahui semua itu dua tahun lalu. Dia sangat terpukul bahkan hampir membenciku. Tapi, itu hanya masa lalu. Sekarang, dia bisa menerima semuanya. Aku sudah merasakan pahit dan manisnya hidup. Dan kamu Kei...."ㅡAlfi menatapnya lekatㅡ"berhenti sebelum kamu menyesali segalanya. Apakah Nayya tidak terlalu berarti untukmu?" Kei tersentak dengan pertanyaan itu. "Dia menyayangimu, dia menganggapmu sahabatnya. Kamu tidak tahu betapa terpukulnya dia beberapa hari ini," imbuh Alfi.
Kei menunduk. Ia tahu bahkan hanya melihat dari sorot matanya.
"Ia pasti merasakan hal yang sama seperti dua tahun lalu. Perasaan kecewa saat mengetahui orang terdekatnya tidak seperti yang ia pikirkan selama ini. Juga perasaan marah karena merasa dibodohi...." Sekarang Alfi mengerti kenapa sikap anak gadisnya seperti itu. Ia bisa memahami perasaannya.
"Aku tidak bermaksud membohonginya. Aku hanya tidak ingin dia tahu tentang keburukanku. She's my bestfriend.... Hanya dia yang selalu peduli padaku...."
Alfi tersenyum. "Temukan alasan kamu hidup. Temukan orang yang benar-benar kamu sayangi. Kamu akan merasa hidupmu berarti saat kamu memiliki seseorang yang kamu sayangi dan ingin kamu lindungi. Dan Tuhan..., ia selalu ada. Di sini...."ㅡAlfi menunjuk hatinyaㅡ"Cobalah yakin, jika ia yang selama ini memberimu kehidupan. Semua yang kamu katakan tadi, itu adalah bentuk keadilan-Nya. Jika kamu kira Tuhan adil kalau semua orang bahagia, kaya raya, dan sempurna, kamu salah. Karena manusia ada yang bekerja keras, ada yang berleha-leha. Jika semuanya sama, untuk apa ada kehidupan? Tidak akan ada yang manusia kejar karena mereka sudah sempurna."
Kei menunduk dalam. Meresapi semua ucapan pria paruh baya di hadapannya. Hatinya merasa damai dan tentram. Bergetar. Dan matanya memanas menahan tangis. Terlintas di benaknya. Andai, ia memiliki seorang ayah sepertinya... Berapa beruntungnya sahabatnya itu....
Kei mendongak saat merasakan remasan di bahunya. Mendapati Alfi yang kini berdiri di sampingnya sambil tersenyum. "Kamu boleh anggap kami orang tuamu, kalau kamu mau. Tapi ingat, seburuk apapun ayahmu. Dia tetap ayahmu. Dekati dia, beri dia pengertian, katakan apa yang ingin kamu katakan padanya."
Rasanya ... di sini, menyesakkan.
"Om harus pergi. Pulanglah, sudah larut. Kembali lagi besok," ujarnya sambil tersenyum lalu meninggalkan anak remaja itu dalam bungkam.
Sepeninggal Alfi, Kei masih duduk di sana. Kantin sudah sepi. Bahkan hampir tak ada orang. Tapi ia masih betah dalam senyap, memikirkan segalanya, lalu air matanya menetes. "Sial!" umpatnya pelan sambil menghapus kasar air yang jatuh di pipi. Padahal, ia tidak pernah menangis selama ini. Lalu ia menelungkupkan kepala di atas meja. Dan bahunya bergetar hebat. Kemudian berteriak sekeras ia mau.
Tiba-tiba Kei merasa ujung kaosnya ditarik-tarik. Ia pun mengangkat kepala dan menoleh. Mendapati sang pelaku: seorang pria kecil yang menatapnya tanpa kata.
"Apa?" tanya Kei sedikit terganggu.
Anak kecil itu diam. Lalu menggerak-gerakkan tangannya yang Kei tidak mengerti apa maksudnya.
"Lo bisu?" tanyanya lagi tak bersahabat.
Namun pertanyaannya lagi-lagi dan tak mendapat jawaban. Ia frustrasi karena tidak paham pada apa yang disampaikan bocah laki-laki yang ia taksir berusia sekitar lima tahun itu.
"Lo ngomong apa sih? Lo kesasar? Gak tahu jalan keluar? Atau kebelet? Heh?"
Wajah anak itu memerah. Nampak menahan tangis. Mungkin karena Kei berbicara sedikit keras dan nampak menyeramkan bagi anak kecil itu.
"Wooo.... wait! Jangan nangis. Oke oke, ayo gue temenin." Kei pun bangkit, menggandeng tangan kecil bocah laki-laki itu yang kini tersenyum lebar.
Kei berdecak. Ada perasaan aneh saat menggandeng tangan mungil anak itu, ia teringat kembali saat ia kecil dan begitu disayangi kedua orang tuanya. Ia juga pernah bahagia. Lalu mereka pindah ke Indonesia dan mulai hancurlah hidupnya. Namun, saat itu juga ia dipertemukan dengan seorang perempuan yang begitu pemberani dan tulus. Saat itu, ia menyebutnya malaikat pelindung. Karena gadis itu tidak suka, Kei menggantinya menjadi Princess. Panggilan kesayangannya hingga sekarang.
Kei tertawa lirih. Dan sekarang, ia menghancurkan semuanya lagi. Kata-kata Alfi barusan terus terngiang di kepalanya.
"...Apakah Nayya tidak terlalu berarti untukmu?"
"Temukan alasan kamu hidup. Temukan orang-orang yang kamu sayangi. Kamu akan merasa hidupmu berarti saat kamu memiliki seseorang yang kamu sayangi dan ingin kamu lindungi...."
Alasan aku hidup?
Orang yang aku sayangi?
Orang yang ingin aku lindungi?
Who....
"Riaaann...! Riaaann...!"
Kei tersadar dari lamunan panjangnya ketika tangan bocah laki-laki itu terlepas. Ia berlari ke arah wanita yang tadi memanggil-manggil nama Rian.
Kei terdiam. Terpaku melihat gadis yang berjalan menggunakan tongkat sebagai alat bantu penunjuk jalan karena matanya tak berfungsi. Rian menghambur kaki gadis buta itu.
"Rian? Itu kamu sayang?"
Anak laki-laki bernama Rian itu meraih tangan sang gadis buta dan menempelkannya di pipi lalu ia mengangguk.
"Ya Rahman ... kamu dari mana? Kakak khawatir sekali."
Kei benar-benar terpaku menyaksikan pemandangan di hadapannya. Si buta dan si bisu.
"Ya sudah, ayo kembali ke kamarmu," ajak gadis buta itu.
"Khansa...," lirih sekali Kei mengucapkannya. Namun, gadis itu berhenti, ia bisa mendengarnya. Jangan lupa, jika kekurangan seseorang selalu disertai kelebihan. Karena matanya tak berfungsi, telinganya berfungsi sangat baik, bahkan sangat tajam dan bisa mendengat suara yang samar sekali pun.
Khansa berbalik ke arah Kei yang tidak bisa ia lihat keberadaannya. "Siapa di sana?" tanyanya.
Kei cukup terkejut karena gadis itu mendengarnya, namun ia diam. Terlalu terpesona dengan sosok di hadapannya. Entah apa, seolah ada sesuatu yang manariknya begitu kuat dari sosok gadis itu. Hening tercipta. Kebisuan dengan tatapan yang tidak saling berbalas.
***
TBC.
Haiiii, yang nungguin siapa cung? 🙊 alhamdulillah update dengan situasi ngantuk berat 😅
Silakan komen jika ada koreksi ya 😅
Hanya Allah secepatnya lagii
(Secepatnya itu seminggu) 😅 😂
Makasih banyak yang udah suka cerita ini 😘
See you next part!
Salam,
Tinny Najmi.
💕💕💕
Subang,
07 Maret 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top