Bab 23 - Chocolate; Ice Cream

23
Chocolate; Ice Cream

"You said that I'm you bestfriend, but you treat me like a stranger."

🍁🍁🍁

Secondhand Serenade -
You and I

◾◽◾

"Hei!" Seseorang menepuk bahu Nayya yang sedang berjalan melewati gerbang sekolah.

Nayya berhenti dan menoleh, lalu tersenyum. "Kak Akbar...," ucapnya menyapa.

Pria itu balas tersenyum lalu berjalan bersama.

"Oh iya makasih banget ya yang kemaren, berkat Kakak, anak-anak jadi antusias baca mading." Nayya tersenyum lebar.

Akbar sedikit tertawa. Teringat akan foto dirinya yang dipajang di mading. "Ternyata aku masih populer ya," guraunya dan dibenarkan oleh Nayya yang ikut tertawa.

No valentine days project kemaren memang berjalan sesuai rencana.  Meskipun tak sedikit ia mendapat kecaman dari beberapa pihak yang kontra dengan hal tersebut. Terutama siswa yang non muslim. Bahkan yang muslim pun beranggapan kalau Nayya dan anggota Rohis-nya itu berlebihan.

"Halah! Sok alim!"

"Apa salahnya ngasih hadiah doang?"

"Niat baik ngasih aja masih disalahin!"

"Ribet banget sih jadi muslimah."

"Munafik. Kita tuh hidup di zaman modern, kolot banget sih!"

Nayya masih ingat jelas perkataan dan cemoohan beberapa siswa yang terang-terangan berbicara seperti itu di depannya dan beberapa anggota rohis. Dia marah? Melawan? Tidak. Karena saat itu, Aretha menghentikan Nayya yang ingin sekali menyumpal mulut mereka.

"Udah Kak, jangan diladenin. Malah kesenengan mereka nanti. Biarin aja, setiap orang punya pendapat. Itu hak mereka kok. Yang penting kan kita udah mengingatkan, dengan cara begini saja aku rasa sudah cukup. Kita do'akan saja supaya mereka dapat hidayah dari Allah," ujar Aretha kala itu dan berhasil meredam amarah Nayya.

Lihatlah berapa manis dan lembutnya dia, memang Nayya acap kali iri dengan adik kelasnya itu.

"Hey! Malah bengong." Akbar menyenggol lengan Nayya sedikit; menyadarkannya dari lamunan.

"Eh, maaf Kak. Kenapa tadi?" tanya Nayya setelah kesadarannya kembali.

"Suka coklat, nggak?"

Nayya mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Aku tanya, suka coklat atau nggak," ulang Akbar dengan sabar.

Nayya mengangguk. "Suka. Tapi aku lebih suka es krim, sih," cengirnya.

Akbar lalu berhenti berjalan, yang otomatis diikuti Nayya. Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya sambil berbicara, "Kemarin papaku baru pulang dari Swiss, habis perjalanan bisnis. Dia bawa coklat...,"ㅡAkbar sudah mengambil sebuah box lalu kembali menutup tasnyaㅡ"yang sayangnya aku ataupun mama nggak terlalu suka."

Dahi Nayya berkerut. "Terus kenapa papa kakak beli coklat, kalau kalian tidak terlaku suka?"

Akbar terkekeh kecil. "Papa itu pelupa," ujarnya lalu menyodorkan box coklat tersebut pada Nayya. "Buat kamu."

Nayya terbelalak. "Serius?? Itu...,"ㅡia menatap box coklat di tangan Akbarㅡ "Lindt chocolate, loh...," ucapnya. Pasalnya itu adalah salah satu coklat terenak di dunia dan tentu saja jadi salah satu coklat favoritnya.

Akbar tersenyum. "Serius, kalo nggak ngapain aku bawa. Kan sayang kalo nggak ke makan. Nanti kamu makan bareng-bareng aja di kelas ama temen-temen kamu. Nih ambil," ujarnya.

Nayya menatap boxㅡyang sangat menggiurkan ituㅡragu. Menimang untuk menerima atau tidak.

"Aku sedih loh kalau kamu nggak mau," bujuk Akbar memasang tampang cemberut.

Nayya jadi salah tingkah. "Tapi...."

Akbar meraih tangan Nayya dan menaruh box itu di atasnya. "Kelamaan mikir deh, udah ya. Moga suka, aku ke kelas duluan. Bye." Akbar pun berlalu begitu saja setelah melambaikan tangan dengan senyum manisnya yang lagi-lagi membuat dada Nayya berdesir.

"Aargh! Sadar Ainayya! Sadaaar!" rutuknya pada diri sendiri. Menyentuh dada untuk menenangkan gemuruh di sana. Lalu ia menunduk, menatap box lindt chocolate 150gr di tangannya; senyum-senyum sendiri.

"Orang gila!"

Sontak, Nayya mendongak. Mendapati Sadiya yang menatapnya ngeri. Di sebelahnya ada Arkan yang juga menatapnyaㅡdatarㅡseperti kemarin-kemarin.

"Apa sih, lo!" sewot Nayya. Ia melirik Arkan yang hanya diam. Padahal biasanya, ia akan mengejeknya habis-habisan.

"Lagian, lo cengar-cengir sendiri udah kayak orang gila, tahu gak. Ngeri gue,"ㅡSadiya bergidig lalu melihat box di tangan Nayyaㅡ"Apaan tuh?"

"Kepo!" Nayya memindahkan tangan ke belakang tubuhnya. Lalu kembali melihat Arkan, bingung antara menyapa atau tidak. Ia juga mendadak bingung apa yang harus ia katakan.

"Gue ke kelas duluan, jangan lupa pulangnya rapat buat persiapan pensi," ujar Arkan pada Sadiya.

"Siap, Bos!"

Lalu Arkan beralih pada Nayya yang langsung tersenyum canggung padanya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar. Ia pun berlalu begitu saja.

Nayya menghela napas, menunduk sedih. Dan saat itulah Sadiya mengambil box dari tangan Nayya.

"Heh, Sate!"

Sadiya terbelalak. "Lo dapet dari siapa? Bokap lo?"

Nayya kembali merebut coklat itu dari tangan Sadiya. "Kepo banget sih, lo!" tukasnya kemudian langsung berjalan menuju kelas XI IPS1 diikuti Sadiya yang masih bertanya-tanya tentang dari mana asal coklat itu.

Sementara Nayya tak menggubris, pikirannya melayang pada Arkan yang semakin hari, terasa semakin jauh darinya. Nayya berhenti berjalan karena dadanya sesak tiba-tiba. Terasa sakit mengingat hubungan dengan sahabatnya yangㅡsebenarnyaㅡtak kian jadi lebih baik.

"Lo kenapa?" tanya Sadiya nampak sedikit cemas. Karena sejak tadi Nayya tak menanggapi ocehannya. Dan sekarang ia malah terdiam seperti orang linglung.

Kali ini pun, Nayya tak menjawab. Memilih diam dan meredam nyeri.

"Udahlah, jangan dipikirin si Arkan mah."

Nayya mendongak. Menatap heran kenapa Sadiya bisa tahu.

Sadiya nyengir. "Udah deh, mending kita makan coklatnya," ujarnya menarik turunkan alis yang nampak menyebalkan bagi Nayya.

Ia berdesis kemudian masuk ke dalam kelas. Menyapa teman-teman dengan riang seperti biasa.

"Kamu bawa apa, Nay?" tanya Safira saat Nayya mendaratkan bokong di kursi dan menaruh box coklat di atas meja.

"Lindt chocolate," ujar Nayya berbinar. Namun respon Safira tak seperti yang diharapkannya. Teman sebangkunya itu hanya mengangguk dan ber-oh ria saja. Membuat Nayya gemas.

"Lo pasti gak tahu apa itu lindt chocholate, ya kan?" tebak Nayya yakin.

"Tahu kok, itu coklat kan," jawab Safira dengan kepolosannya.

Nayya mendesah sementara Sadiya terbahak. "Gemesin banget sih, jadi pengen gue uyel-uyel," gurau Sadiya. Membuat Safira mendelik padanya.

"Iya semua orang juga tahu ini tuh coklat, Safira Sayangggg...," gemas Nayya.

"Ya terus salahku apa coba? Aku bener kan?" ujar Safira lagi yang semakin membuat Sadiya makin ngakak. Dan Nayya mendesah keras.

"Ini tuh coklat terenak di dunia, Pi. Dari Swiss! Lo tahu Swiss, kan pasti...," ujar Sadiya setelah tawanya reda.

"Tahu lah...! Ohh gitu. Papa kamu abis dari Swiss?" tanya Safira kemudian.

Nayya menggeleng.

"Terus lo dapet dari mana?" Sadiya pun penasaran.

Tiba-tiba wajah Nayya memerah dan tersipu. Melihat itu, Safira tahu dari siapa coklat itu berasal.

"Cieeee yang dikasih coklat," goda Safira.

"Apaan sih," Nayya semakin tersipu.

"Buka dong, aku mau lihat. Pengen nyoba juga, Boleh ya?" ujar Safira tampak tertarik. Ah ya, Nayya ingat Safira sangat suka coklat. Seperti ia suka es krim.

"Ih anjir! Gue dari tadi nanya kagak ada yang jawab!" sungut Sadiya.

"Ihh berisik deh lo! Kalo mau tinggal makan aja, ribet bener!"

Nayya pun membuka box itu bertepatan dengan Kei yang baru masuk dan berseru, "Good morning guys...!"


"Wowww!" seru Kei begitu melihat coklat di bangku Nayya. Berbarengan dengan Safira yang juga terkagum-kagum melihat macam-macam coklat di sana.

Kei langsung mencomotnya satu. Diikuti Sadiya. Nayya mendelik. Ia saja belum mencobanya. Dasar mereka ini.

"Where you got this, Princess? Your Pap?"

"Dari Kak Akbar," ujar Safira santai sambil mencomot satu coklat yang sejurus kemudian menutup mulutnya. "Ihh keceplosan. Duh, maaf ya Nay...."

Nayya meringis. Sementara Kei dan Sadiya menunjukan ekspresi yang berbeda. Kei sempat berhenti mengunyah dan menelan coklat itu kemudian.

"Gak ada racunnya. Aman. Silakan Princess, lo boleh makan sekarang," gurau Kei.

"Lo tuh sebenernya pangeran apa pengawal?" ledek Sadiya.

"Apa bedanya? Tugasnya sama. Sama-sama jagain tuan putri. Ya gak, Princess?"

Nayya memutar bola mata jengah. "Whatever," ujarnya kemudian memakan coklat pemberian dari Akbar.

"Nayya, maaf ya keceplosan...," ujar Safira lagi nampak merasa bersalah.

"Apa sih, gak papa, santai aja. Udah makan tuh, lo kan suka banget ama coklat. Kapan lagi bisa makan coklat dari Swiss?"

Safira nyengir lebar. "Makasih yaaa baik banget deh!"

"Lo suka coklat, Pi? Nanti gue beliin yang banyak deh!" ujar Sadiya yang langsung disambut ledekan dari Nayya.

"Dia mah dibeliin chocolatos sedus aja pasti seneng, Di!"

"Ih ... Nayya, apaan deh!" Safira merenggut.

"Kan emang itu jajanan favorit lo!" seru Nayya lalu tertawa.

"Iya, tapi jangan bilang-bilang, dong...." Safira cemberut.

"Uluhh ngambek...." Nayya mencolek-colek pipi Safira yang menggembung.

"Lo sih, digodain terus...," ujar Sadiya.

"Cieeee yang ngebelain. Iya deh iyaaa nggak godain lagi...." Nayya menahan senyum. Lalu tanpa diduga Kei membuat pengumuman kalau Nayya membawa coklat dari Swiss. Alhasil, seisi kelas riuh dan bergerombol ke bangku Nayya, tanpa menunggu persetujuan darinya pun mereka sudah mengambil coklat masing-masing satu.

Nayya hanya bisa menghela napas dan mendelik pada Kei yang cuma nyengir lebar sambil mengangkat bahu kemudian berlalu ke bangkunya. Menatap Nayya yang kini tertawa bersama teman-teman sekelasnya.

***

Sepulang sekolah, seluruh panitia pensi mengadakan rapat. Untuk melihat sejauh mana persiapan pensi yang akan diadakan akhir semester nanti. Acara tahunan yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari dan membuat Arkan begitu sibuk mengurus banyak hal.

"Pokoknya, tujuan pensi kita kali ini adalah mengembangkan talenta siswa. Show Your Creativity. Gak perlu undang guest star, mahal! Kita juga gak pasang HTM, dan terbuka untuk umum. Karena itu kita harus dapat sponsor sebanyak mungkin, dan tentu kita harus bekerja lebih keras."

Itu Nayya yang berbicara. Sebagai koordinator acara. Ia yang bertanggung jawab sukses tidaknya acara tersebut.

"Jika ada masalah atau ada yang belum terpenuhi, kalian bisa menghubungi Ainayya atau bisa langsung pada saya," ujar Arkan yang mendampingi Nayya sebagai ketua pelaksana.

Awalnya Arkan sempat ragu menaruh Nayya di jabatan itu. Bukan karena ia meragukan kemampuannya mengkoordinasi acara, bukan. Ia jelas tahu gadis itu mampu. Ia hanya tidak mau sahabatnya menanggung beban berat. Karena pensi jelas bukan acara biasa di sekolah ini. Terlebih lagi, itu akan membuat mereka sering berkomunikasi. Hal yang justru dijadikan alasan Nayya agar ia bisa lebih banyak melakukan hal bersama Arkan. Juga untuk memperbaiki komunikasi mereka yang semakin tak searah.

Rapat sore itu pun telah selesai. Nayya sedang berbincang dengan Kei yang menjadi salah satu peserta yang akan memamerkan bakat seninya. "So, udah ngerti kan gimana teknisnya nanti?"

Kei mengangguk. Nayya menepuk bahunya. "Do your best! Bakat ngelukis lo tuh amazing, tahu gak!"

Kei nampak menggaruk belakang kepala. "Really? But, I'm not sure...."

"Iya..., percaya deh ama gue. Siapin aja lukisan yang banyak. Oke!" seru Nayya bersemangat. Lalu ponsenya berdering. "Bentar ya...."

"Assalamu'alaikum Mama Sayang, tumben nelpon. Ada apa?"

"Wa'alaikumussalam.... Nggak boleh, mama nelpon?" jawab Afanin dari seberang.

Nayya terkikik. "Ya boleh lah, Ma. Gak biasa aja. Ada apa?"

"Ini, mama sama Pak Gigih kejebak macet abis jemput Khansa. Jadi kayaknya gak bisa jemput kamu."

"Yah ... terus Nayya gimana?" Nayya cemberut, meminta papanya pun tak mungkin karena ia sedang di luar kota sekarang.

"Kamu naik taksi aja ya, gak papa kan?"

Nayya diam sejenak. Itu tidak masalah baginya. Tidak ada yang akan memarahinya juga karena sang papa tidak di rumah. Hanya saja....

"Iya, gak papa. Nanti Nayya naik taksi atau naik angkot."

"Jangan naik angkot, udah sore. Mama khawatir. Naik taksi aja ya, Sayang...."

Nayya bergumam sebagai jawaban. Lalu teringat dengan Khansa. "Gimana lomba tahfidz-nya?"

"Alhamdulillah, Khansa juara lagi, Nay," ucap mamanya sarat akan bahagia dan kebanggaan yang begitu kentara terhadap anak didiknya yang sudah ia anggap anaknya sendiri.

Nayya tersenyum tipis. Ada rasa tak menyenangkan menyelinap begitu saja di dada. Katakanlah ia cemburu. "Sampein selamat dari Nayya buat Khansa, ya."

"Mau ngobrol dulu sama Khansa?"

Nayya menggeleng lalu segera menjawab, "Gak usah Ma, Nayya mau langsung nyari taksi. Takut kemagriban."

"Oh ya udah. Hati-hati di jalan ya, Sayang."

Setelah saling mengucap salam, ia pun mematikan sambungan telepon.

"Khansa? Gadis buta yang punya suara bagus itu?" tanya Kei yang mendengar percakapan Nayya barusan.

Nayya tersenyum. Lihatlah, Kei bahkan mengingatnya dan memujinya. "Ya, dia ikut lomba tahfidz dan memenangkan juara pertama, mendapat beasiswa."

"Tahfidz?" ulang Kei tak mengerti.

"Ah, ya, penghafal quran. Gue udah pernah cerita 'kan?"

Kei mengangguk. "Jadi, sekarang lo pulang sendiri?"

"Seperti yang lo denger tadi."

Kei lalu menoleh ke belakang dan memanggil Arkan yang sedang berjalan bersama Sadiya.

Arkan pun menghampiri mereka berdua, sementara Sadiya sudah pergi duluan. "Kenapa?"

"Lo langsung pulang, kan?" tanya Kei.

"Iya, terus?" Arkan menaikkan sebelah alis, heran.

"Nah, kalo gitu bareng Nayya gak masalah kan? Dia gak ada yang jemput soalnya."

Nayya gelagapan. "Eng ... gak, gak usah Kan, gak papa. Gue naik taksi, kok. Kei apaan sih lo!"

"Emang Pak Gigih ke mana?"

"Kejebak macet di jalan sama mamanya, papanya lagi di luar kota. Jelas? Udah sih, biasanya juga balik bareng."

Rasanya Nayya ingin sekali menonjok dan menyumpal mulut Kei. Nayya hendak kembali membantah namun kalah cepat oleh suara Arkan.

"Oh, ya udah. Gue ambil motor dulu," ujarnya lalu berlalu menuju tempat parkir.

Nayya terperangah. Arkan mau pulang bersamanya? Ada angin apa?

"Biasa aja kali," ujar Kei menyenggol lengan Nayya.

"Lo apa-apaan sih Kei...."

"Apa? Gue salah apa? Kao gue gak ada urusan, gue yang bakal anterin lo. Masa iya gue tega biarin my princess pulang sendiri?"

Nayya mendesis namun tak dipungkiri kalau ia merasa senang. "Thanks," ujarnya.

"Anything for you," jawab Kei seperti biasa. "Good luck!"

Nayya tersenyum kecil lalu berjalan menuju gerbang sekolah setelah pamitan pada Kei; menunggu Arkan, sementara Kei menuju tempat parkir mengambil motornya.

Sore itu pun, Nayya pulang bersama Arkan. Seperti hari-hari yang telah lalu, namun kali ini diselimuti kecanggungan dan kebisuan. Tidak ada obrolan ataupun candaan. Mereka sibuk dalam pikirannya masing-masing. Hingga tiba-tiba motor berhenti.

"Kenapa?" tanya Nayya bingung.

Arkan tak langsung menjawab, ia melihat ke bawah dan mendapati ban belakang kempes. Ia mendesah panjang. Ada-ada saja. Batinnya.

Nayya yang menyadari hal itu pun turun. Diikuti Arkan.

"Bocor?"

"Iya."

"Kok bisa?"

Arkan mengangkat bahu. Ia juga tak tahu kenapa bannya bisa tiba-tiba bocor.

"Kayaknya sekitar sini ada bengkel deh," Nayya celingukan lalu menemukannya sekitar dua puluh meter dari tempat mereka berhenti. "Itu ada bengkel, Kan! Kita dorong aja, deket kok."

Arkan ikut melihat ke arah yang ditunjuk Nayya. Tanpa kata, ia mendorong motornya. Nayya membantu mendorong dari belakang hingga Arkan berhenti dan menoleh. "Gak usah, biar gue aja."

"Kenapa sih, kalo berdua kan lebih ringan."

Arkan hendak kembali protes namun Nayya segera mendahuluinya. "Udah deh! Jangan banyak protes, jalan aja napa!" sungutnya kesal sendiri.

Arkan menghela napas tak berniat lagi mebantah. Ia pun kembali mendorong motornya bersama Nayya.

"Bang, tambal ban ya," ujar Arkan begitu mereka sampai di bengkel.

"Oke, bentar ya beresin ini dulu."

"Masih lama gak, Bang? Udah sore soalnya," sahut Nayya.

"Bentar lagi, kok. Duduk aja dulu tuh di sana," ujar teknisi yang nampaknya ramah itu menunjuk kursi panjang dari kayu yang sepertinya dikhususkan untuk pelanggan.

Nayya pun duduk, menunggu. Sementara Arkan pergi ke ruko yang ada di sebelah bengkel.

"Nih," Arkan menyodorkan minuman pada Nayya yang segera disambutnya dengan senang hati. Ia memang kehausan dan capek setelah tadi ikut mendorong motor.

Arkan ikut duduk di sebelahnya. "Gue kan udah bilang gak usah," tukasnya.

Nayya menghabiskan setengah minumannya lalu mendesah panjang. Tak berniat menbalas perkataan Arkan. Hingga pria itu menyodorkan es krim padanya tanpa memandangnya. Pun tanpa kata-kata.

"Buat gue?" tanya Nayya sangsi.

"Iya."

Senyum Nayya melebar dan segera mengambilnya. "Thank you!" serunya senang lalu segera melahapnya.

"Gue murah banget, ya!" gurau Nayya sambi tertawa.

Arkan tersenyum kecil. Dan hatinya membenarkan. Diberi es krim saja bisa sesenang itu. Tapi ia tak mengatakan apa-apa.

"Udah lama ya," ucap Nayya setelah hening beberapa saat. Ia masih menikmati es krimnya secara perlahan seolah takut cepat habis.

Arkan menoleh. "Soal apa?"

"Ini...." Nayya mengacungkan es krim sambil tersenyum.

Sesuatu seolah menghantam ulu hati pria itu. Ia kembali menghadap ke depan dan lagi-lagi tanpa kata.

"Lo nggak capek?" Nayya kembali berbicara.

"Capek kenapa?" tanya Arkan masih tanpa menatapnya.

"Ngejauhin gue."

Arkan mengepalkan tangan. "Gue nggak ngejauhin lo."

"Lo emang bilang gitu, tapi kenyataannya lain...," sanggah Nayya. "Lo selalu ngehindarin gue, diemin gue, dan nyibukkin diri lo sendiri. Bahkan lo gak pernah mau pulang bareng gue lagi...."

Arkan bangkit. Seolah enggan membicarakan hal itu lebih jauh.

"Padahal dulu lo bilang lo nggak bakal ngejauhin gue...."

Tanpa menggubris perkataan Nayya, Arkan berjalan menuju teknisi. "Udah selesai, Bang?"

"Udah nih, beres," jawab pria yang Arkan taksir berusia dua puluhan itu.

Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, ia membawa motornya. Dilihatnya Nayya yang masih diam duduk sambil memegang stik es krim yang sudah tandas.

"Nay!"

Nayya menoleh, seolah tersadar, ia pun bangkit menghampiri Arkan yang sudah siap di atas motornya. Namun setelah beberapa saat, Nayya tak juga ikut naik. Arkan menghela napas lelah, kembali turun dan menghadap teman semasa kecilnya itu.

"Kenapa lagi sih, Nay?"

"Can't we just as we are in the past?" ujar Nayya sambil menatap aspal.

"Nay...."

Nayya mendingan, menatap sahabatnya. "Gue kangen lo yang dulu. Gue kangen ngelakuin segala hal bareng lo kayak dulu. Lo berubah sekarang...."

Arkan mengepal kuat. Menahan diri mati-matian untuk tidak merangkul gadis yang kini matanya sudah berkaca-kaca.

"Gue gak berubah dan gue gak pernah jauhin lo. Gue selalu di pihak lo."

"Bohong!" Nayya menatap Arkan tajam. Matanya sudah memanas menahan perasaan kesal dan marah. Entah marah pada siapa. "Apa sih gue buat lo? Lo bilang kita tetep sahabat. Gini yang namanya sahabat?"

Arkan menggeram tertahan. "Ini juga gak mudah buat gue, Nay!"

"Lo tahu ini gak mudah dan lo makin mempersulit segalanya!" Tangis Nayya pecah. Air matanya mengalir deras. Menatap pria yang amat ia rindukan kebersamaaanya. "You said that I'm you bestfriend, but you treat me like a stranger."

"Nay...." Arkan tercekat. Tak mampu berkata. Ia sama sekali tak pernah bermaksud memperlakukan Nayya seperti orang asing. Sejauh itukah ia berbuat padanya selama ini?

"Maaf...."

Nayya memalingkan muka. Sebenarnya ia tidak ingin menangis, tapi sesak luar biasa membuatnya tak bisa bertahan lagi. Begitu ia melihat taksi yang lewat, ia segera berlalri menyetopnya.

"Nay!" Arkan kaget begitu melihat Nayya menyetop taksi dan segera naik sebelum sempat ia tahan. Dan taksi itu pun melaju begitu saja.

Arkan mengacak rambutnya gusar, melampiaskan kekesalan dengan berteriak. Tak peduli tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia marah dan kesal pada dirinya sendiri. Tapi ia juga tamidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki segalanya.

Nayya menangis di dalam taksi. Ia hanya tidak tahan lagi. Tidak sanggup lagi menahan semuanya. Ia hanya ingin Arkan dan dirinya seperti dulu. Apa ia salah? Egois? Silakan jika mau menyalahkan dirinya.

Afanin menunggu Nayya di ruang tamu dengan cemas, pasalnya sejak tadi panggilannya tidak juga diangkat oleh anak gadisnya itu. Begitu melihat Nayya masuk, ia langsung menghampirinya dengan perasaan lega.

"Kenapa baru pulang? Mama cemas sekali dari tadi telepon mama nggak kamu angkat."

"Tadi mogok." Hanya itu jawaban Nayya.

Afanin bisa melihat mata Nayya yang sembab. Raut wahahnya yang murung. "Kamu kenapa, Sayang...?" tanyanya lembut mengusap pipinya.

Nayya menggeleng. "Nayya nggak papa, Ma. Nayya capek, mau istirahat."

Jika sudah berkata seperti itu, Afanin mengerti jika Nayya sedang ingin sendirian. Jadi, ia membiarkan anak gadisnya berlalu menuju kamarnya.

Nayya melempar ransel sembarangan di atas kasur lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. Memikirkan hal tadi membuatnya kembali ingin menangis. Tak pernah sekali pun ia membayangkan jika persahabatannya dengan Arkan akan sampai di fase ini. Ia hanya bisa berharap bisa melaluinya dan kembali seperti dulu.

Nayya mengambil ponsel dari saku roknya. Ada lima panggilan tak terjawab dari sang mama yang tidak ia sadari. Puluhan pesan whatsapp yang masuk, dan tidak ada nama Arkan di sana. Ia menghela napas panjang.

Salahkah jika ia berharap Arkan membujuknya atau apa pun itu, walau sekedar pesan.

Lalu pesan baru muncul.

Kak Akbar:
"Suka?"

Hanya satu kata, dan berhasil membuat Nayya menyunggingkan sebuah senyuman. Kalau diingat-ingat, ia juga belum berterima kasih pada kakak kelasnya itu.

Ia pun segera membalasnya. "Suka banget. Makasih banyak ya, Kak. Lupa belum bilang tadi, hehe."

"Syukurlah kalau suka."

"Iya, anak-anak juga pada suka, tadi dimakan rame-rame sih, hee."

"Tapi kamunya makan juga kan?"

"Iya, satu doang :("

"Ya udah nanti aku bawain lagi."

"Eh, nggak 😅 bercanda kok, Kak 😆"

"Iya juga nggak papa, kok. Aku pasti beliin, apa aja."

Nayya tersenyum sendiri. Lalu terdengar adzan magrib berkumandang.

"Iya, Kak. Makasih. Udah magrib, sholat dulu ya, Kak."

"Oke."

Nayya pun beranjak. Dengan sisa senyuman yang masih menempel di wajahnya. Secara ajaib, perasaannya jauh lebih baik sekarang. Entah kenapa dan apa penyebabnya. Hanya karena chat singkat tadi? Mungkin. Ia juga tak tahu kenapa. Ia hanya merasa ... senang.

***

TBC.

Assalamu'alaikum...!
Haii ada yang kangen saya? 😅 *pede
Maaf ya ... Kama baru update, kemaren-kemaren sedang di sibuk kan dengan sesuatu. *alasan
Iya emang 😌 aslinya mah lagi gak punya ide. Wkwkwk
Gak kok bener, eh udah ah banyak omong deh. Udah kepanjangan ini bab.
3000 lebih loh! 😥😥
Moga yang kangen terobati ya haha.

Jangan lupa jejak!
Seee you soon 😘
.

Salam kangen,
Tinny Najmi.

Subang,
15 Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top