Bab 21 - Space
Space Between - (Acoustic cover by Lucy Gardiner)
21
Space
"Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan."
- Joko Pinurbo
🍁🍁
"Oke, jadi nanti kalian cuma nyebar brosur dan ngisi mading tentang hijab gitu kan? Terus pelaksanaan World Hijab Days ini nanti tanggal satu Februari?" tanya Sadiya.
"Yap," angguk Nayya.
"Kalian hanya perlu izin kita, dan nggak butuh dana, gitu?"
"Iyaaa Sate!" seru Nayya kesal. Ia sudah bosan menjelaskan tentang salah satu program kerja rohisnya itu.
Sadiya nyengir. "Gue cuma memastikan, Nay."
Nayya berdecak. Semester dua sudah dimulai. Beberapa minggu berlalu begitu saja. Semua hal telah kembali seperti semula. Namun, ada hal yang berbeda dan tak biasa bagi Nayya.
Ia menatap Arkan yang sedang serius membahas proposal bersama Safira. Hubungannya dengan Arkan memang membaik, Arkan tidak menjauhinya, namun ia bisa merasakan perubahan Arkan semenjak hari itu. Ia, seperti menjaga jarak darinya.
Seperti saat ini, dengan alasan harus membahas proposal bersama Safira, Arkan menyuruhnya membicarakan program kerja bersama Sadiya. Nayya merasa, itu hanya alasan Arkan untuk membatasi interaksi dengannya. Kini seperti ada sekat tak kasat mata di antara mereka.
"Nggak usah diplototin terus, si Arkan juga nggak bakal ke mana-mana," celetuk Sadiya yang memergoki Nayya tengah memperhatikan Arkan.
Nayya memukul lengannya. "Berisik!"
"Nggak usah maen geplak juga kali," kesal Sadiya mengusap lengannya. "Kalian kenapa sih?" tanyanya heran.
"Apa? Kita baik-baik aja," sanggah Nayya. "Oh ya, sekalian Di, buat tanggal empat belas, kita mau adain No Valentine Days. Biar sekalian izinnya. Nanti lebih rincinya gue tulis di proposal."
Sadiya manggut-manggut. Lalu mencatat beberapa hal penting di notebook-nya.
"Kalian udah selesai?" tanya Arkan menginterupsi. "Udah sore, kalau belum, lanjut besok aja."
Nayya menoleh sambil tersenyum. "Udah kok, lo udah?"
"Udah," jawab Arkan singkat. "Di...," tegur Arkan pada Sadiya yang masih saja berkutat dengan catatannya. Ia hafal sekali sifat wakilnya yang selalu serius dan fokus saat mengerjakan sesuatu.
"Siap, Bos!" sahut Sadiya menutup notebook lantas membereskan alat-alatnya.
"Pokoknya Saf, gue mau lusa udah selesai. Oh ya, suruh si Anggi juga. Buat apa ada sekretaris dua kalo lo ngerjain semuanya sendirian?" ujar Arkan pada Safira.
Mendapat teguran itu, Safira meringis. "I-iya, Ar...."
Nayya terkekeh. Safira memang begitu orangnya, selalu saja tidak mau merepotkan orang lain dan atau mempermasalahkan hal kecil selama ia bisa mengerjakannya sendiri. Mereka semua pun bergegas meninggalkan ruang OSIS.
"Kan, pulang bareng ya?" Nayya berjalan di samping Arkan.
"Emang Pak Gigih nggak jemput?"
Nayya menggeleng.
"Tapi kok Om Alfi nggak ada ngasih tahu gue?" tanya Arkan heran.
"Sibuk kali,"ㅡNayya menggedik tak acuhㅡ"Yah?" pintanya lagi, menatap Arkan.
Arkan bergumam. Seperti sedang berpikir.
"Kenapa? Nggak bisa? Lo ada urusan?"
"Emm ... iya," jawab Arkan tanpa menatap Nayya.
Nayya tersenyum hambar. "Oh, ya udah kalau gitu."
"Tapi, lo gimana?"
"Gue bisa naik angkot, atau naik taksi, atau nanti nebeng sama orang."
"Sorry," ujar Arkan.
"Nggak papa," jawab Nayya sambil tersenyum.
"Kalau gitu, gue duluan," pamit Arkan lalu berjalan menuju tempat motornya diparkir setelah mendapat anggukan dari Nayya.
Nayya menuju depan gerbang sekolah. Raut wajahnya berubah sendu. Arkan benar-benar menjaga jarak dengannya. Dia tidak lagi menanggapi candaannya seperti biasa. Menolak saat ia meminta menemaninya pergi, juga saat papanya meminta Arkan mengantarnya. Dengan berbagai alasan.
Batas. Nayya bisa mengerti kenapa Arkan berubah. Mungkin ia ingin menjaga jarak dengannya untuk menjaga hatinya. Ya, ia mengerti. Kedekatan mereka selama ini mungkin sudah melewati batas yang seharusnya. Bagaimanapun, Arkan adalah seorang laki-laki dan dirinya perempuan, yang kini sudah beranjak dewasa. Dan memang, akan selalu ada batasan bagi keduanya.
Jadi, mungkin benar kata orang, kalau laki-laki dan perempuan tidak pernah bisa berteman.
Nayya menghela napas panjang. Kalau sudah begini, siapa yang harus ia salahkan? Cinta? Karena perasaan itulah yang membuat mereka berjarak. Ataukah Arkan yang membiarkan perasaannya tumbuh? Atau dirinya, yang tak bisa membalas perasaan itu?
Suara klakson membuat Nayya terperanjat. Ia menoleh dan mendapati Akbar dengan motornya.
"Sendirian, Nay? Lagi nunggu dijemput?" tanya pria itu.
Nayya tersenyum lalu mengangguk. Ya, ia berbohong pada Arkan tentang Pak Gigih yang tidak bisa menjemputnya. Ia hanya ingin tahu apa jawaban Arkan, yang ternyata sesuai dugaannya. "Kak Akbar kok masih di sekolah?"
"Iya nih, abis ngerampungin tugas pembuatan film pendek sama anak-anak," ujarnya lalu mematikan mesin motor.
Nayya ber-oh ria sambil mengangguk. Lalu sebuah motor yang sangat Nayya hapal sekali pemiliknya, melewati mereka begitu saja. Nayya menatapnya. Arkan, ia bahkan tak menyapanya. Nayya menunduk, ada perasaan sedih begitu menyadari jika mereka mungkin tak 'kan sama seperti dulu lagi.
"Itu bukannya Arkan? Kalian nggak pulang bareng?" tanya Akbar heran.
Nayya menggeleng pelan. Masih menunduk. Akbar menatapnya dan sepertinya ia sadar jika sesuatu terjadi di antara mereka.
"Aku temenin sampai supir kamu jemput, ya?"
Nayya mendongak. "Gak papa Kak, nanti Kakak kesorean lagi pulangnya," tolaknya halus.
"Gak papa kok," ujar Akbar sambil tersenyum. "Atau mau aku anterin?" ujarnya setengah bercanda. Karena ia pun tahu Nayya akan menolak karena sang papa tak membolehkannya juga tak menyukainya.
Nayya sedikit tertawa sambil menggeleng tanpa berucap. Tidak terlalu bersemangat.
"Ada apa? Mau cerita?" tanya Akbar yang menyadari sikap Nayya yang tak seperti biasanya.
Nayya kembali menggeleng. "Nggak ada apa-apa kok, Kak," ujarnya tersenyum. Sekaligus merasa senang karena Akbar peduli padanya.
"Ya udah kalau gak mau cerita. Oh ya, ngomong-ngomong gimana soal perjodohan kalian?"
Tersenyum tipis, Nayya menjawab, "Dibatalin."
"Loh? Memangnya kenapa? Aku kira kalian setuju dengan perjodohan ini. Kalian juga udah lama sering bareng-bareng, kan?"
"Ceritanya panjang, Kak." Nayya mencoba tersenyum. "Intinya, nggak ada perjodohan."
Akbar mengangguk paham. "Jadi, aku masih punya kesempatan?"
"Ya?" sahut Nayya tak begitu mendengar ucapan kakak kelasnya, namun ia yakin mendengar kata kesempatan.
"Nggak, bukan apa-apa kok," ujar Akbar tersenyum. "Udah jangan sedih gitu dong, nanti cantiknya ilang loh."
Nayya sedikit tersipu sambil menahan senyum.
"Apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, semoga segalanya cepat membaik. Semua ada masanya."
Nayya tersenyum. "Makasih banyak, Kak."
"Nah, kalau senyum gitu kan cantiknya makin bertambah," ujar Akbar lalu mereka terkekeh. "Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin kok."
Nayya menatap kakak kelasnya, setengah heran. Kenapa ia begitu peduli padanya? Salahkah jika ia berpikir yang tidak semestinya? Seperti kemungkinan Akbar menyukainya, mungkin.
"Kak, aku boleh nanya?" tanya Nayya.
"Tentu, kenapa?"
Nayya menimang perasaan yang gamang. "Emm ... Kakak...."
Suara klakson mobil terdengar, mengalihkan perhatian mereka. Rupanya Pak Gigih sudah datang menjemput Nayya.
"Kenapa?" tanya Akbar karena Nayya tak melanjutkan kalimatnya.
Nayya menggeleng sambil tersenyum. "Nggak papa. Makasih ya Kak udah nemenin."
Akbar megangguk. "Hati-hati," ucapnya.
"Kakak juga," balas Nayya lalu memasuki mobilnya setelah mengucap salam.
Setelah di dalam mobil, Nayya kembali melihat ke arah Akbar. Akbar melambaikan tangan sambil tersenyum manis yang segera dibalas Nayya. Lalu mobilnya pun melaju.
Hampir saja ia menyanyakan pertanyaan bodoh. Nayya menghela napas. Kak Akbar bersikap seperti itu karena memang ia baik pada semua orang. Bukan berarti ia menyukaimu, Nayya. Gak usah baper. Ingatkan dirinya.
"Siapa itu, Non? Pacarnya, ya?"
"Hus! Bukan. Jangan ngada-ngada deh, Pak. Dia kakak kelas Nayya. Awas jangan bilang-bilang Papa loh!"
Pak Gigih terkekeh. "Beres, Non!"
Lalu hening. Nayya sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Tak mendengarkan celotehan supir papanya itu.
"Pak, Nayya mau ke sekolah TK dulu."
"Loh? Udah sore, Non. Nanti Nyonya nyariin, loh."
"Nggak papa, Mama gak bakal marah. Nanti Bapak tungguin aja, nggak lama kok."
"Tapi Non...."
"Pak!" tukas Nayya kesal. Ia tidak maksud membentak. Hanya saja ia sedang dalam mood yang tidak baik. Dan ia tidak suka dibantah.
Pak Gigih menghela napas. "Nggih, Non," ujarnya mengalah lalu menuruti titah majikannya. Melajukan mobil menuju sekolah TK tempat Nayya dulu belajar baca tulis.
Nayya duduk di ayunan sendirian, tanpa Arkan, tanpa es krimㅡseperti biasa. Ia menoleh ke arah ayunan kosong di sampingnya yang biasanya diisi Arkan. Nayya menghela napas panjang. Hampa. Begitulah harinya akhir-akhir ini. Kehadiran Arkan nyatanya berpengaruh besar dalam hidupnya. Ia sadar, selama ini ia terlalu bergantung pada sahabatnya itu.
Kenapa harus jadi kayak gini sih? Kenapa lo harus suka sama gue? Kenapa kita gak bisa jadi sahabat aja? Kayak dulu. Gue kangen lo yang dulu. Yang selalu ada buat gue. Ngelakuin semuanya bareng-bareng.
Lo egois, Nayya. Salah satu dirinya berbicara.
Nayya memejamkan mata. Benar, dirinya memang egois. Ia selalu ingin segala berjalan sesuai kehendaknya. Ia selalu mementingkan perasaannya sendiri.
"Ekhem!"
Nayya terperanjat dan segera menoleh begitu mendengar dehaman seorang laki-laki yang ia pikir adalah Arkan, namun ternyata bukan.
"Kei?" Keningnya berlipat heran. "Kok bisa di sini?"
Kei lalu duduk di ayunan sebelah Nayya. "Ngelihat mobil lo tuh di depan," ujarnya.
Nayya menyipit sangsi. "Mencurigakan."
Kei tertawa. "Terserah deh percaya apa nggak."
Nayya menghela napas tak menanggapi lagi perkataan sahabatnya. Lagi pula tidak penting bagaimana Kei bisa ada di sini.
"Udah deh jangan sok galau gitu," celetuk Kei.
"Siapa juga yang galau," sanggah Nayya setengah bergumam. Lalu hening sejenak.
"Gue ngerti kenapa dia mutusin buat jaga jarak dari lo," ujar Kek tiba-tiba.
Nayya menoleh sedikit terkejut. "Lo ... tahu?"
Sebelah sudut bibir Kei tersungging ke atas. "Apa sih yang nggak gue tahu? Gue tahu segalanya," tukasnya setengah bercanda. Membuat Nayya berdecih dan Kei terkekeh.
"Gue ngerti, karena gue juga pernah ngerasain hal yang sama. Ditolak sama lo," ujar Kei menatap Nayya setengah tertawa dengan pikiran melambung jauh.
Nayya pun tertawa tanpa suara. Benar juga, dulu Kei memang pernah menyatakan perasaan padanya. Dan Nayya tentu menolaknya, karena ia hanya menganggapnya sahabat.
"Saat itu gue baru ngerasain kalo kata teman ternyata bisa menyakitkan," ucapnya lagi.
Nayya diam sejenak. "Tapi lo nggak ngejauhin gue kayak dia sekarang," tuturnya sendu.
"Mungkin, karena perasaan kita berbeda. Juga rasa sakit yang kita rasa berbeda."
Nayya menoleh. "Maksud lo?"
"Nay, gue masih bisa deket sama lo. Bahkan gue janji bakal selalu ngelindungin lo. I'm fine. Gue bisa nerima segalanya dengan mudah tanpa takut jatuh cinta sama lo lagi. Tapi dia, mungkin berbeda. Perasaannya buat lo nggak semudah perasaan gue ke lo dulu. Karena itu dia menjaga jarak dan membuat batasan. I think," tutur Kei panjang lebar.
Nayya menunduk. Mungkin ia pun paham. Kenapa Arkan memutuskan menjaga jarak darinya. Karena dengan begitu, mereka akan lebih bisa saling menjaga hati mereka. Dengan mengurangi interaksi yang tak seharusnya.
Sebebarnya Arkan pun tidak benar-benar menjauhinya. Ia hanya menghindari interaksi atau hal yang hanya dilakukan berdua dengannya saja. Hal itu memang benar. Namun kenyataannya, dia merasa kosong. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.
Kei bangkit lalu berdiri di belakang Nayya dan mendorong ayunannya pelan. "Things will get better. Don't be sad, Princess. I'm sure he still in your side. He can't go far away from you."
Nayya tersenyum. Merasa lebih baik setelah bicara dengan sahabatnya. "Thanks, Kei."
"Anything for you, Princess."
Kali ini Nayya tegelak. Karena cara bicara Kei persis seorang abdi pada tuannya. "Gue beneran ngerasa jadi tuan putri," ujar Nayya.
"Yeah, I miss your laugh, Princess. And when you smile. You're so beautiful."
Nayya kembali tergelak. "Kei! Stop it!"
"Oke. I will, Princess."
"You wanna die, huh?" sergah Nayya karena Kei tidak mau berhenti berakting sebagai abdi.
"If it's your wish. I'm ready for it, Princess. I'm ready to die in your hands."
Nayya benar-benar terbahak. Kei pun tertawa. Dan di sisa sore itu, hanya terdengar candaan dan gelak tawa. Gadis itu telah menemukan tawanya kembali.
Nayya kemudian teringat kenbali pada Arkan. Baiklah, jika seperti itu maumu. Aku akan menerimanya. Mungkin memang ini yang terbaik. Jarak, mungkin memang itu yang kita perlukan. Aku tak akan meminta padamu untuk selalu bersamaku. Cukup kamu ada di pihakku. Menjadi teman yang seharusnya.
"Kei jangan kenceng-kenceng dorongnya! Ntar gue jatoh, gimana?" sungut Nayya karena baru saja Kei mendorong ayunannya sekuat tenaga.
"Oh, forgive me, Princess."
Lalu mereka kembali tertawa. Dilanjut celotehan Nayya yang tak begitu Kei mengerti sebenarnya. Namun ia menanggapinya dengan sangat baik. Ia lalu melihat ke sebuah sudut yang jaraknya cukup jauh dari tempat ia dan Nayya. Di sana, di balik tembok, seseorang berdiri memperhatikan mereka dalam diam. Seseorang yang beberapa waktu lalu menyuruhnya datang ke tempat ini.
Setelah sejenak beradu tatap dengan Kei, orang tersebut beranjak dari tempatnya. Kei merogoh saku untuk mengambil ponsel karena ada notifikasi pesan masuk. Ia membukanya.
"Thanks."
Kei berdecih lalu membalas pesan tersebut.
"Ur welcome, loser."
***
TBC.
Haii yes bisa update! 😆 maaf ya kalo dikit, haha. Biar nggak kelamaan nunggu 😅
Yang masih penasaran, ada apa Kei dengan Arkan, Arkan mengetahui rahasia Kei. Rahasia apa?
See you next part 😘
With love,
Tinny Najmi.
Subang,
26 Januari 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top