Bab 18 - Let's Not Fall in Love

18

~Let's Not Fall In Love~

"Jika aku terikat padamu, aku takut kau akan sedih, aku takut, senyum indah itu akan berubah jadi air mata. Jadi, tidak saling jatuh cinta itu akan lebih baik. Asal aku masih tetap bersamamu." −Big Bang

🍃🍃🍃

Semalaman itu Nayya tidak bisa tidur. Ia sudah membolak-balikkan badannya, ke kanan ke kiri dan terus seperti itu. Lalu menendang-nendang selimut sampai ke bawah kakinya.

"Argghh! Arkan Gayhda Rashaad!" teriaknya frustasi sambil duduk dan nengacak rambutnya. Lalu menghela napas panjang. "Kenapa jadi gini, sih...," lirihnya. Kejadian tadi sore terus berputar di otaknya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa Arkan bisa mengatakan hal seperti itu padanya.

"Kan..., ini nggak lucu," ujar Nayya yang akhirnya menemukan kata-kata kala itu. Lalu tertawa hambar. "Demi Tuhan, ini nggak lucu sama sekali."

"Gue nggak lagi bercanda," tukas Arkan masih dengan wajah datarnya.

Nayya menatapnya. "Lo sahabat gue."

"Gue tahu," sahut Arkan. Menatap nayya intens.

"Lalu? Kenapa...?"─Nayya menggeleng─"Please, bilang ini nggak bener!"

"Gue serius, Ainayya. Gue suka sama lo. Bukan cuma sekedar sahabat, tapi...."

Nayya menutup kupingnya sambil memejamkan mata. "Gue nggak denger! Gue nggak denger! Gueㅡ" Ucapan Nayya terhenti begitu Arkan meraih tangan Nayya dan menurunkannya kembali.

"Lo inget, gue punya satu permintaan yang mesti lo kabulin?" tanya Arkan.

Nayya mendongak, menatapnya dan mencoba mengingat.

"Tapi nggak gratis," tukasnya membuat Nayya cemberut dan mengubah acungan jempolnya menjadi ke bawah.

"Lo sahabat terparah yang gue punya."

Arkan tertawa. "Tapi nggak sekarang, mungkin suatu saat nanti, gue minta sesuatu dan lo harus ngabulin keinginan gue."

"Emang gue sebangsa Jin toples yang mengabulkan keinginan tuannya apa!" sungut Nayya kesal.

"Ya udah kalo gak mau."

"Aish dasar ngeselin! Oke, tapi itu berlaku kalo gue bener-bener bisa buat ekskul itu. Gimana? Deal?"

"Oke. Deal." Arkan setuju.

Nayya memejamkan matanya. Ekskulnya sekarang sudah berdiri bahkan berjalan baik, ia akui Arkan memang banyak membantunya. Dan artinya, janji itu berlaku untuk mereka.

"Jadi?" tanya Nayya. "Apa yang lo mau?"

"Kita ikutin perjodohan ini, dan nurutin apa kata orang tua kita."

Nayya menggeleng keras. "No ... gue nggak bisa, Kan!" seru Nayya frustasi. "Lo sendiri tahu, gue...." Nayya mengigit bibir. Tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Lo beneran suka sama Kak Akbar?" tanya Arkan.

Nayya menunduk. "Nggak tahu. Yang gue tahu, gue gak bisa nerima perjodohan ini dan nikah sama lo." Lalu hening sejenak. Nayya kembali menatap Arkan. "Kan, lo itu sahabat gue. Gue udah nganggep lo kayak saudara gue sendiri. Tapi kenapa ... bagaimana bisa? Bukankah lo suka sama Aretha?"

Arkan menatapnya. Tatapan yang membuat Nayya serasa menggigil.

"Nggak, itu cuma alesan gue aja."

"Apa?" seru Nayya tak percaya. "Kan, tolong bilang sama gue sekarang kalo ini semua cuma candaan!"

"Sejak dulu," ujar Arkan membuat napas Nayya tercekat. "Gue cuma terlalu pengecut, karena gue takut, lo ngejauh dari gue."

Nayya kembali menggeleng.

"Nay...."

"Stop it, Kan!" sentak Nayya. "Gue nggak mau denger apa-apa lagi!" tukasnya kemudian berlalu.

Saat itu Nayya benar-benar ... kesal? Marah? Sedih? Entahlah, perasaannya benar-benar tak bisa ia deskripsikan. Ia memilih pulang sendiri naik angkutan umum dan menolak tawaran Arkan untuk mengantarnya pulang. Ia tidak peduli jika papanya tahu. Ia benar-benar tidak sedang ingin terlibat dengan Arkan. Dan ia ingat persis ekspresi Arkan saat Nayya menolaknya dengan kasar dan menyuruhnya pergi.

Apa gue udah nyakitin hatinya?

Semua ini benar-benar gila dan tak masuk akal menurutnya. Ia dijodohkan dengan sahabatnya sendiriㅡorang yang ia sukai tidak lebih dari sekedar sahabat. Dan sekarang sahabatnya bilang kalau ia menyukainya, lebih dari sekedar sahabat. Nayya menarik selimut dan kembali berbaring. Lalu menutup mata.

Gue berharap ini semua mimpi buruk.

***

"Nay, mata lo kenapa? Kayak mata panda tahu gak!" Sadiya tergelak begitu melihat mata Nayya yang sayu dengan lingkaran hitam di bawahnya.

Nayya tak memedulikan Sadiya. Ia mejatuhkan pantat di bangku kesayangannya; menaruh kepala di atas meja lalu tidur.

"Sekolah tempat belajar woy, bukan tempat tidur!" Sadiya berteriak ditelinga Nayya.

"Berisik!" teriak Nayya kesal. Ia benar-benar ngantuk berat, karena semalam ia baru bisa tidur pukul dua dan pukul empat ia harus sudah bangun untuk sholat subuh. Bayangkan, ia hanya tidur dua jam.

Sadiya terkekeh lalu mengkode Safira, menyuruhnya untuk bertanya apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

"Perhatian semuanya! Hari ini terakhir ngumpulin tugas praktek seni budaya. Yang gak ngumpulin hari ini, gak bakal dapet nilai di rapot," seru Sadiya pada teman-teman sekelasnya.

Nayya bisa mendengarnya, ia juga bisa mendengar pembicaraan teman-temannya tentang acara kelas sebelum mereka berlibur. Lalu samar, dan akhirnya senyap. Karena ia sudah terlelap.

Safira membiarkan Nayya tidur, karena KBM juga sudah tidak efektif. Tinggal pengumpulan tugas akhir semester dan masa-masa remidial sebelum pembagian rapor Jum'at nanti.

Pukul sepuluh, Safira membangunkan Nayya dan mengajaknya sholat dhuha. Dengan kepala yang masih terasa pusing dan mata yang berat untuk dibuka, Nayya bangun; berjalan dengan malas menuju mushola sambil menggandeng tangan Safira.

Di mushola, mereka berpapasan dengan Arkan. Safira menyapanya seperti biasa, sementara Nayya lebih memilih diam dan melanjutkan langkah menuju mushola. Safira yang melihatnya pun merasa heran. Karena biasanya mereka akan saling tegur sapa, mengobrol lalu bertengkar. Tapi sekarang? Mereka berdua seperti tak saling mengenal.

"Tumben," ujar Safira setelah menyusul Nayya.

"Apa?" ketus Nayya.

"Nggak nyapa Arkan," ucap Safira. Dan Nayya tak menjawab apa-apa.

"Ada apa?" tanya Safira begitu mereka sudah berada di tempat wudhu bagian perempuan.

"Nggak papa," jawab Nayya.

"Nay...."

"Saf ... please, gue lagi nggak mau ngebahas dia, oke?"

Safira diam. Lalu mereka mengambil wudhu dan melaksanakan sholat duha. Usai sholat dhuha, Nayya melanjutkan tidur sambil mendengarkan Safira yang sedang murojaah.

Ia tidak ingin memikirkan apa-apa, tapi nyatanya ia tak bisa berhenti memikirkan semuanya. Jadi, ia putuskan kembali tidur. Karena saat tidur, ia tidak perlu berpikir.

Safira menatap Nayya yang sudah tidur pulas. Ia tersenyum, namun juga ada rasa cemas karena ia tahu kalau Nayya sudah seperti ini, ia pasti sedang menghadapi suatu masalah. Sayangnya, gadis itu jarang mau bercerita─kecuali jika memang hal sepele. Lalu tak lama, Safira pun tertidur dengan Al Qur'an yang masih di genggamnya.

Nayya bangun saat kumandang adzan terdengar, suara yang ia hafal sekali siapa pemiliknya. Nayya melirik jam. Rupanya sudah masuk waktu dzuhur, yang berarti ia tidur hampir dua jam. Pantas saja perutnya terasa lapar. Lalu melihat Safira yang juga tertidur, ia tersenyum geli. Jarang-jarang sahabatnya itu tidur di sekolah. Ia tatap wajah sahabatnya itu. Entah kenapa, melihat wajah tidurnya seperti ini, ia seperti melihat banyak beban yang temannya itu tanggung.

"Saf ... bangun, udah dzuhur nih," Nayya menepuk-nepuk pipi teman sebangkunya. Lalu Safira pun bangun, ia beristigfar dan nampak seperti orang linglung.

"Aku ketiduran, ya?" tanya Safira nampak kaget sendiri.

"Ehem!" Nayya mengangguk sambil menahan senyum, menurutnya Safira lucu dan polos.

Safira tiba-tiba berdiri. "Mau ke mana?" tanya Nayya.

"Ambil wudhu. Ayo, ini kan sudah dzuhur," ujarnya lantas keluar untuk mengambil wudhu. Nayya terkekeh lalu menyusulnya.

Usai sholat dzuhur, mereka berdua pergi ke kantin. Sehabis tidur rupanya bisa menyebabkan lapar, mungkin karena itu tidur juga termasuk beraktivitas.

Nayya dan Safira memesan mie ayam, lalu duduk berdua. Rupanya kantin cukup sepi, mungkin karena banyak yang tidak hadir atau bahkan sudah pulang karena tidak ada kegiatan.

"Nay," panggil Safira.

Nayya menoleh. "Kenapa?"

"Jaah di sini ternyata!" seru Sadiya yang baru datang bersama Kei. Lalu duduk bergabung dengan Nayya dan Safira. Safira menatap Sadiya kesal, temannya yang satu itu benar-benar penganggu nomor satu dalam hidupnya.

"Dari mana aja sih, Princess? Kita dari tadi nyariin, tahu nggak?" tanya Kei yang langsung mencomot mie ayam milik Nayya.

"Tidur di mushola," cengir Nayya. "Ihh Kei! Mie ayam gue! Beli sendiri sana!" Nayya melindungi mie ayamnya dari jangkauan Kei.

Sadiya langsung berdecak.

"Tadi Safira juga ketiduran, makanya gak ada yang bangunin gue," ujar Nayya tertawa.

"Safira tidur? Amazing!" seru Sadiya bertepuk tangan. "Tidurnya gimana? Ngorok? Ileran?"

Safira memukul lengan Sadiya. "Apaan sih, enggak kali!"

Nayya terbahak. "Nggak lah, dia kayak putri tidur tahu, tidurnya imut banget, polos gitu, coba lo lihat, Di!" ujarnya.

"Ihh Nayya, apaan deh!" sergah Safira merenggut lucu.

"Duh, gue takut gak kuat iman kalo lihat, Nay," ucap Sadiya dramatis. Dan Nayya kembali terbahak. Mereka pun terlibat obrolan seru seperti biasa.

"Si Arkan mana deh? Lama amat!"

Kei mengedikkan bahu. "Sibuk kali. Emang elo, wakil ketos nggak ada sibuk-sibuknya," ejek Kei geleng-geleng kepala sambil berdecak.

"Eh, tadi tuh abis bareng ama gue kali, ngurusin program sekbid yang belum kelar," sanggah Sadiya.

"Ya, ya, percaya," sahut Kei tak sungguh-sungguh. Lalu ia melihat Arkan yang baru memasuki kantin. "Tuh, dia."

Nayya pun ikut menoleh, dan benar Arkan sedang berjalan menuju mejanya. Sesaat mereka bertatapan, namun Nayya langsung mengalihkan pandangan. Dengan cepat ia menghabiskan minumnya.

"Hey, sorry ya lama. Ketemu Pak Gugun tadi," sapa Arkan pada Sadiya dan Kei─mungkin.

"Ekhm, gue duluan ya!" seru Nayya tiba-tiba, langsung berdiri dan meninggalkan meja.

Teman-temannya menatap Nayya heran. Mie ayamnya saja belum tandas.

"Kenapa?" tanya Sadiya pada Safira.

Safira tersenyum canggung sambil menggeleng, karena ia pun tak tahu. "Kalau gitu, aku nyusul Nayya, ya," pamit Safira yang juga meninggalkan meja.

Arkan duduk tanpa memedulikan keheranan teman-temannya. Kei menatap Arkan penuh arti, Sadiya pun curiga kalau Arkan sedang bertengkar dengan Nayya.

"Kenapa lagi?" tanya Sadiya.

"Nggak papa," sahut Arkan cuek. "Kalian udah pesen?"

"Jangan ngalihin pembicaraan," tukas Sadiya jengah. "Kalian nggak saling tegur sapa, dan itu di luar kebiasaan."

Arkan tak acuh. "Gue mau pesen makanan dulu," ujarnya lalu bangkit untuk memesankan makanan. Sadiya hanya bisa menghela napas kalau sudah begini. Sementara Kei, tak barang sedikit pun melepas tatapannya pada Arkan.

***

Arkan sedang mengemas buku-bukunya ketika Kei masuk ke kelasnya yang sudah sepi. Hanya tinggal Arkan sendirian. Lalu Kei duduk di atas meja Arkan sambil melipat tangan.

"Akhirnya, pecah telor juga."

Arkan tak menggubris, ia mencangklong tas dan hendak ke luar namun kata-kata Kei menghentikannya.

"Congratulations! Now you not a loser any more," ujar Kei kemudian menghampiri Arkan yang diam berdiri tanpa berbalik; mencoba menahan emosi.

Kei berdiri di belakang Arkan lalu berbisik di telinganya. "Jadi? Gimana rasanya?"

Buk!

Satu pukulan mendarat di wajah mulus Kei; membuatnya tersungkur.

Arkan menghampiri Kei dengan emosi, lalu meraih kerah bajunya. "Puas, lo?" tanyanya emosi.

"Slow, men...." Kei tertawa sinis menyusut sudut bibirnya. "Seenggaknya, sekarang gue percaya lo bukan pengecut."

Arkan menyudutkannya ke dinding dengan kasar. "Shut up!" geramnya. "Gue nggak ngelakuin hal itu karena lo atau ocehan lo yang gak penting itu. Dan satu lagi,"─Arkan melepaskan cengkraman tangan dari kerah leher baju Kei─"watch your mouth, your secret is in me. If you forget that." Arkan tersenyum miring lalu melenggang dengan tenangnya.

Sekarang Kei yang menggeram. Urat lehernya pun mengeras. "You've promised me to keep that secret."

Arkan berhenti dan kembali berbalik. "Gue nggak pernah ngingkarin janji gue, lo sendri tahu kan? Selama lo jaga sikap dan nggak nyakitin dia," ujar Arkan lalu pergi dari hadapan Kei.

***

"Liburan kali ini mau ke mana?" tanya Alfi sambil mengelus dan memainkan rambut Nayya yang kini sedang tiduran di pahanya sambil membaca buku Fatimah. Setelah waktu itu, Alfi memang belum membahas lagi soal perjodohan. Dan Nayya bersyukur akan hal itu.

Nayya berhenti sejenak; nampak berpikir. Lalu bangun menatap papanya. "Nayya pengen ke kampung, ke rumah Aki sama Nini. Ya, Pa?"

"Boleh tuh, Mas." Afanin datang membawa puding, makanan yang harus selalu ada saat mereka berkumpul. "Aku juga kangen sama Umi dan Abi."

Alfi tersenyum. "Oke! Jadi, kapan kita berangkat?"

"Minggu!" seru Nayya.

Alfi mengangguk. "Siap! Tuan Putri...," ucapnya mencubit hidung Nayya. Dan setelah itu mereka malah berebut puding.

"Ma, lain kali buatnya satu-satu aja. Papa tuh, nggak mau ngalah sama anak!" renggut Nayya.

"Soalnya, puding buatan mamamu itu puding paling enak di dunia," puji Alfi berlebihan membuat Nayya bergidik dan mereka kembali ramai.

Afanin hanya tertawa menikmati interaksi keduanya. Meskipun mereka sering berbeda pendapat dan sama-sama keras kepala. Mereka memiliki hubungan yang sangat baik.

***

Nayya memutuskan untuk tinggal di rumah neneknya selama satu minggu. Dan ini sudah hari ke lima ia berada di sana. Setiap hari ia bangun pagi-pagi sekali, lalu berolahraga; lari pagi mengelilingi kampung bersama papanya. Selesai satu putaran, Alfi sudah kelelahan.

Nayya menyampirkan headphone yang ia pakai di leher. "Yah ... Papa payah deh,"

"Udah, papa nggak kuat," ucap Alfi ngos-ngosan.

Nayya berdesis. "Ya udah, Nayya lanjut satu putaran lagi, ya! Papa istirahat aja."

Setelah mendapat anggukan dari sang papa, ia pun melanjutkan lari paginya sambil mendengarkan lagu dari headphone-nya. Namun, saat di tengah perjalanan ia berhenti sejenak di dekat sungai dan sawah. Ia duduk dan menyelonjorkan kakinya. Menatap ladang luas di hadapannya. Beberapa orang yang lewat untuk pergi ke sawah menyapanya. Hal yang selalu ia sukai dari kampung mamanya. Selain kampungnya yang masih asri, orang-orangnya pun ramah. Aroma segar dan nuansa sejuk dari pepohonan di sekitarnya cukup membuat penatnya hilang sejenak, dan otaknya bisa berpikir jernih.

Nayya diam cukup lama di sana, hanya sekadar merasakan embusan angin pagi dan hangat mentari yang membuat embun perlahan lenyap. Bersama lagu yang ia putar, ia menikmati setiap embusan angin yang membelai wajahnya. Lalu ia teringat hubungannya dengan Arkan yang belum membaik. Lagu Let's not fall in love milik boy band Korea kesukaannya terputar dari playlist-nya. Menegtahui isi lagu tersebut, iba-tiba dadanya terasa sesak. Mungkin lagu ini cukup bisa menggambarkan keadaannya dengan Arkan saat ini.

Cinta? Kenapa harus ada perasaan itu? Bukankah kami terlalu muda untuk merasakan hal seperti itu? Aku bahagia dengan kita yang seperti dulu. Kenapa kau mencoba memilikiku? Tidak bisakah kita tetap seperti dulu? Kenapa kau membuat semuanya jadi rumit?

Perlahan, air matanya jatuh. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Arkan. Tapi di sisi lain, ia kesal kenapa Arkan harus menyukainya dengan perasaan lebih. Dan ia merasa sedih, karena ia merasa kehilangan sahabat terbaiknya. Ia merasa telah menyakitinya. Nayya lalu menangis sesegukan. Meluapkan segala emosi yang ia tahan selama ini.

Benar kata Bun Karno. 'Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia lalu menteskan air mata.'

Setelah merasa cukup puas, Nayya bangkit. Menghapus jejak air mata di pipinya. Padahal selama ini ia jarang menangis, kenapa rasanya bisa semenyakitkan ini?

Nayya berjalan dengan langkah gontai, tenaganya sudah terkuras habis untuk melanjutkan lari pagi. Beberapa kali ia menghela napas. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu Arkan. Ia rindu bermain dan bertengkar bersamanya. Satu perasaan dan satu kalimat itu telah mengubah segalanya.

"Arrrghh!" Nayya menggeram dan menendang bekas kaleng minuman yang tergelatak tak berdaya di depannya sekuat tenaga.

"Aw!" pekik seseorang.

Nayya terperanjat─langsung melepas headphone─karena sepertinya kaleng yang ia tendang mengenai seseorang. Saat ia mendongak untuk melihat siapa orang tersebut, ia terpaku. Begitu pula dengan orang itu.

"Arkan...?" gumamnya pelan. "Kenapa dia bisa ada di sini?" rutuknya pelan. Melihatnya yang memakai training dan jaket sport, ia menebak Arkan sedang lari pagi─sepertinya. Tidak ingin terlibat dengan Arkan, Nayya pun segera berbalik hendak pergi.

"Nay!" satu panggilan itu berhasil menghentikan langkahnya. "Tunggu," ujar Arkan. Dan ia bisa mendengar langkah Arkan yang sedikit berlari menghampirinya.

Arkan berhenti di hadapan Nayya. "Kebetulan kita ketemu di sini," ucapnya sambil mengatur napas.

"Iya, gue nggak tahu kalo lo ke sini juga," sahut Nayya tanpa memandang Arkan.

"Gue mau ngomong sama lo, bisa ngobrol sebentar?"

"Sorry. Gue─"

"Nay ... please," mohon Arkan.

Nayya mendongak dan menatapnya; membuatnya tak tega. Ia menghela napas. "Oke."

Arkan dan Nayya memutuskan mengobrol di gazebo yang menghadap ke pesawahan. Beberapa menit berlalu, belum ada yang mulai bicara. Arkan menghela napas panjang. "Sebenarnya, gue sedikit takut," ucapnya memulai obrolan. "Gue minta maaf."

Mendengar itu, ada sesuatu yang seperti memeras perutnya. "Kenapa lo minta maaf? Yang harusnya minta maaf itu gue."

Arkan menggeleng meskipun Nayya tak melihatnya. "Gue yang buat semuanya jadi gini. Gue nggak bisa menemukan tujuan dari perasaan bodoh ini. Gue sadar, nggak seharusnya gue punya perasaan itu ke lo, yang nyatanya ini cuma kesalahan bertopeng cinta." Arkan tertawa kecut. "Tapi, gue sungguh-sungguh saat mengatakan hal itu," imbuh Arkan menatap Nayya.

"Jangan katakan apa pun." Arkan menghentikan Nayya yang hendak berbicara. "Jangan tanyakan apa pun. Karena gue nggak bisa ngasih jawaban apa pun.

"Dan nggak seharusnya gue gunain janji lo waktu itu supaya lo nurutin kemauan gue. I'm so sorry...," lirih Arkan. Lalu hening sejenak. "We're just too young, right?" ujarnya sambil tertawa kecil.

Nayya tersenyum membenarkan. "We are so happy as we are in the past."

Arkan mengangguk. "Lupain semua kata-kata gue sebelumnya."

Nayya menoleh dan menatapnya. "Dan ... lo?" tanya Nayya sangsi. Lalu bagaimana dengan Arkan dan perasaannya.

Arkan tersenyum. Senyum yang sepertinya sudah lama tak ia lihat. "I'll be fine. Let's just stay like this. Let's not make promises," ujarnya masih dengan senyum yang sama.

Nayya awalnya sempat ragu. Tapi, seperti ini memang lebih baik. "Let's not fall in love," ujarnya.

"Yeah. Let's not fall in love." Arkan menyetujuinya. Lalu ia seperti tersadar. "Isn't it a promise?"

Lalu mereka tertawa. Menertawakan keadaan, suasana dan diri mereka sendiri. Secepat mereka bertengkar, secepat itu pula mereka berbaikan. Kini, mereka kembali seperti dulu, saling meledek, bertengkar, dan tertawa. Dan mereka berjanji untuk tidak saling jatuh cinta, meskipun mereka tak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Arkan menatap Nayya yang kini tertawa karena puas mengejeknya.

Pada awalnya, itu setengah kegembiraan, setengah kekhawatiran.

Tapi pada akhirnya itu menjadi keharusan, mencoba dan gagal.

Hari demi hari aku gugup, perasaan bersalah menekanku terlalu banyak.

Jika aku terikat padamu, aku takut kau akan sedih, aku takut, senyum indah itu akan berubah jadi air mata.

Jadi, tidak saling jatuh cinta itu akan lebih baik.

Asal aku masih tetap bersamamu.

***

Tbc.

Aku campur aduk nulis part ini 😅 semoga feel nya dapet ya 🙈
Jangan lupa jejak 😘
Salam cinta
See u next! ;)

Tasikmalaya,
31 Desember 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top