Bab 17 - Perjodohan?
17
~Perjodohan?~
"Pernikahan itu bukan main-main. Bukan pula sebuah keputusan bagaimana nanti. Karena pernikahan akan melibatkan hati."
🌷🌷🌷
"Nayya nggak mau!"
"Nay...."
"Pa...,"─Nayya menatap papanya melas─"Nayya baru aja tujuh belas tahun. Perjodohan? Yang benar saja!" pekiknya tak habis pikir.
"Dengerin papa dulu dong, Sayang...."
Nayya menghela napas berat. Lalu diam. Mencoba mendengarkan penjelasan sang papa.
"Papa tahu kamu masih tujuh belas, makanya papa belum memberi tahumu. Papa juga tidak menyuruhmu menikah sekarang, Papa hanya mencarikan laki-laki yang tepat untukmu."
"Dan itu Arkan?" ujar Nayya menatap papanya tak percaya. "Pa, dia itu sahabat Nayya. Dia─"
"Papa belum selesai bicara," tukas papanya. Nayya kembali diam. "Alasan papa dan mama ngejodohin kamu, semata-mata agar ada yang bisa jagain kamu. Kamu selalu ingin bebas dan pergi ke mana pun, kan? Selama ini papa selalu menyuruh Arkan menemani kamu, dan menjaga kamu. Tapi papa juga tahu, dia tetaplah seorang laki-laki. Dan dia bukan mahrammu. "
"Lalu?"
"Meskipun papa sudah mengenalnya sejak kecil, tahu kepribadian dan perilakunya, dia tetap saja laki-laki. Dia bisa saja berbuat sesuatu di luar kehendaknya, atau hal yang tidak pernah kami duga."
Nayya menggeleng tak percaya. "Ini berlebihan." Arkan tidak mungkin....
"Jadi papa ingin kalian menikah," imbuh papanya, menghentikan kalimat dalam benak Nayya yang belum sempat ia selesaikan.
"Apa?!"
"Agar papa tenang kalau kalian pergi berdua, dan menitipkanmu padanya. Lagi pula kalian sudah sering bersama, jadi papa rasa tidak ada masalah "
"Nggak! Ini gila, Pa! Kita bahkan belum cukup umur!" tolak Nayya tegas.
"Papa tahu," sahut papanya tenang.
"Lalu?"
"Kalian bisa menikah secara agama dulu. Tidak perlu dipublikasikan, hanya keluarga kita dan Arkan. Nanti jika usia kalian sudah 21 tahun, baru mendaftarkan pernikahan kalian."
Mulut Nayya sudah terbuka namun ia seolah tak mampu berkata, ide ini terlalu gila menurutnya. Nayya kembali menggeleng tegas. "No. It's crazy!" pekiknya setelah mendapatkan kata-katanya kembali, lantas berlari menuju kamarnya.
"Nayya!"
"Mas,"ㅡAfanin menahan suaminyaㅡ"biar nanti aku yang bicara padanya. Dia pasti kaget, biarkan dia menenangkan diri dulu," ujarnya lembut lalu menuntun Alfi duduk di sofa.
Alfi menghela napas gusar. "Aku hanya ingin ada yang bisa terus bersama dan melindunginya," ujar Alfi mengusap wajahnya.
"Aku mengerti," sahut Afanin mengusap punggung suaminya.
"Aku hanya takut ... aku tak bisa lebih lama menjaganya. Akuㅡ"
"Mas!" tegur Afanin. "Aku tidak suka saat kamu berpikir pendek seperti itu."
Alfi meraih tangan Afanin dan menciumi jemarinya. "Maafkan aku...," lirihnya. "Aku yakin kamu paham maksudku, karena kamu yang paling mengerti kondisiku."
Afanin memalingkan wajah. Enggan menatap wajah rapuh pria yang sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun itu. Karena jika ia terus menatapnya, pertahananya mungkin akan roboh. Hingga Alfi meraih wajahnya, menghadapkannya kembali ke depan agar ia bisa menatapnya, lalu ia tatap wajah wanitanya dalam dan lembut, tepat di matanya. Mereka hanya saling tatap tanpa bicara untuk beberapa saat dan tangis Afanin pun pecah.
"Hey, kumohon jangan menangis."ㅡAlfi meraih Afanin ke dalam pelukannyaㅡ"Sssh ... sudahlah, aku masih baik-baik saja." Dan Afanin semakin terisak di sana.
***
Nayya termenung, menatap hadiah pemberian teman-temannya. Safira memberinya syal merah hasil rajutan tangannya sendiri. Sadiya memberinya empat buku series wanita penghuni surga karya Sibel Eraslan─karena permintaan Nayya. Kei memberinya Gintama figure set─salah satu anime favoritnya, Akbar memberinya sepatu skateㅡyang ia tahu keluaran terbaruㅡdan sebuah sapu tangan berwarna merah, berukirkan namanya di pojok bawah dengan tulisan Arab. Lalu Arkan memberinya boneka Hatsune Miku─limited edition─yang sempat diingankannya dulu plus sepasang keychain yang satunya dipegang oleh Arkan, dan sebuah buku tentang sejarah dunia, antropologi, geografi, dan sosiologi─Guns, Germs, and Steel. Semua hadiah yang sangat ia sukai.
Ia menatap hadiah pemberian Akbar dan Arkan bergantian, lalu menghela napas panjang.
"Apa saya tidak boleh menyukai anak Om?"
Nayya teringat percakapan Akbar dengan sang papa sebelumnya. Mungkinkah jika Akbar menyukainya?
Nayya menggeleng keras. Lalu menatap hadiah dari Arkan yang semuanya merupakan benda-benda favoritnya. Ia memang sangat dekat dengan Arkan. Bisa dibilang mereka saling mengetahui satu sama lain. Tapi perjodohan? Ini benar-benar gila, dan papanya sudah tidak waras. Pikirnya. Lalu ia bersitigfar. Namun bagaimanapun ia mencoba mengerti, ia tetap tak bisa mengerti. Ia mengerti kalau sang papa mengkhawatirkannya, tapi menjodohkannya dengan Arkan? Tidak. Bagi Nayya, Arkan sudah seperti saudaranya sendiri.
Dan, apakah Arkan mengetahui tentang perjodohan ini? benaknya. Untuk kesekian kalinya, ia menghela napas.
Ia juga tak habis pikir dengan papanya ini. Padahal papanya jelas seorang pria, tapi kenapa ia begitu over protective terhadap makhluk bernama laki-laki, seolah semua laki-laki di dunia ini jahat dan tak bisa ia percaya. Apa karena masa lalunya? pikir Nayya melambung jauh. Masa lalu yang membuatnya berpikir semua laki-laki sama bejatnyaㅡsepertinya dirinya dulu.
Suara ketukan tiga kali terdengar di pintu kamarnya, Nayya cepat-cepat menarik selimut dan menutupi badan sampai ke leher lalu pura-pura tertidur. Ia bisa mendengar pintu kamarnya terbuka, diikuti suara derap langkah pelan khas papanya. Lalu kasurnya berdecit dan ia membayangkan sang papa tengah duduk di atas ranjangnya. Selanjutnya, ia merasakan elusan halus di kepala. Begitu perlahan dan penuh kasih sayang. Ia bisa merasakan kehangatan itu sampai ke hatinya. Helaan napas panjang terdengar dari papanya. Terakhir, sentuhan hangat─sebuah kecupan─mendarat di ubun-ubun dan keningnya.
"Selamat tidur, putriku...." lirih Alfi yang masih terdengar jelas di telinga Nayya.
Saat papanya pergi, barulah ia membuka mata─sejenak, lalu kembali menutup matanya; mencoba tidur walau tak bisa. Ada rasa bersalah ketika ia mendapat semua perlakuan itu. Helaan napas itu terdengar berat. Mungkinkah papanya sedang memiliki beban berat? Apa karena dirinya? Pikirnya. Ia tahu papanya sangat menyayanginya, dan semua ini ia lakukan untuk dirinya. Tapi, menikah? Tidak. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Pernikahan itu bukan main-main. Bukan pula sebuah keputusan bagaimana nanti. Karena pernikahan akan melibatkan hati.
Apa aku egois?
Semalaman itu Nayya tak hentinya berpikir, hingga pukul dua pagi ia baru bisa tidur. Jika saja sang mama tak membangunkannya, ia pasti terlambat sholat subuh.
Di Minggu pagi itu, Nayya tak berniat keluar bahkan hanya untuk keluar kamar. Ia tidakㅡatau belumㅡmau bertemu papanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa atau bersikap seperti apa. Tangannya memainkan ponsel yang sejak tadi di genggamnya. Menimang untuk menghubungi Arkan atau tidak. Ia hanya ingin tahu apakah sahabatnya itu tahu tentang pejodohan ini atau tidak sama sekali. Hingga pintu kamarnya terbuka dan sosok Afanin muncul dari balik pintu. Dengan senyum khasnya, Afanin menghampiri anak gadisnya.
"Lagi apa?" tanya Afanin duduk di tepi ranjang.
"Nggak ngapa-ngapain...," jawab Nayya ala kadarnya.
"Ke bawah yuk, sarapan."
Nayya menggeleng pelan. "Ma...," panggil Nayya lantas beralih menatap mamanya. "Mama setuju sama perjodohan itu?" tanya Nayya sungguh-sungguh. Ia bertanya seperti itu karena biasanya sang mama selalu memahami dan mengertinya.
Afanin tersenyum lembut sambil mengusap kepala Nayya. "Itu demi kebaikanmu," ucapnya.
Harapan Nayya seolah kandas. Lantas pada siapa lagi ia memohon, agar perjodohan ini dibatalkan. Nayya kembali bersandar di headboard, dengan wajah sendu. "Nayya tetap nggak bisa ngerti keputusan Mama dan Papa, menjodohkan Nayya dengan Arkan."
Afanin diam mendengarkan.
"Coba Mama di posisi Nayya, apa Mama mau? Nayya masih sekolah─oke, mungkin kita bisa ngerahasiain ini. Tapi, Arkan? Dia sahabat Nayya, dia juga punya orang yang dia sukai. Begitupun dengan Nayya...," lirihnya. "Nayya ngerti kekhawatiran Papa, tapi apa ini tidak berlebihan? Seolah Nayya punya banyak musuh yang bakal nyakitin Nayya kapan aja. Lalu untuk apa Nayya belajar bela diri?" Nayya menghela napas panjang.
Afanin masih diam, mendengarkan anak gadisnya mengeluarkan semua uneg-uneg dan kekesalannya. Sebenarnya ia mengerti kenapa Nayya menolak. Awalnya ia pun tidak setuju dengan ide Alfi untuk menjodohkan Nayya dengan Arkan. Namun ia mengerti kenapa suaminya sampai berbuat sejauh ini.
Akhir-akhir ini, keadaan Alfi sering tidak baik. Ia beberapa kali check up ke dokter. Ia sering kelelahan dan emosinya kembali tak stabil. Seperti saat memarahi Nayya waktu itu. Dan hal itu menghadirkan khawatir yang berlebih pada dirinya. Karena ia tahu, ia bisa mati kapan saja.
"Sayang...,"ㅡAfanin mengelus kepala Nayya lembutㅡ"mama mengerti, tapi ini kami lakukan setelah pertimbangan panjang. Dan, kami berharap kamu mauㅡ"
"Enggak, Ma!" potong Nayya. Ia menatap mamanya dengan tatapan memohon. "Nayya nggak mau, Ma. Please ... batalin perjodohan ini."
Afanin tersenyum hambar. "Memangnya kamu tidak menyukai Arkan? Dia baik. Kalian juga sudah lama saling mengenal. Pasti tidak susah kalau...."
Nayya menghela napas. "Justru karena itu! Nayya tahu dia baik, bahkan dia bisa lebih dewasa walau usianya lebih muda dari Nayya. Nayya menyukai Arkan, tapi sebagai sahabat. Dia seperti abang, adik, sahabat. Dan ... menikah dengannya?"ㅡNayya menggelengㅡ"No."
Afanin diam, menatap anak gadisnya. "Pikirkan saja dulu, lagi pula mama sama papa tidak menyuruh kalian menikah saat ini juga," Afanin tersenyum. "Rencana awal kami, saat kalian kelas dua belas."
"Ma, please stop it!" ujarnya agak kasar. "Kalian nggak mikirin perasaan kita? Nayya suka sama orang lain, Arkan juga...," ucap Nayya melunak.
"Siapa? Akbar?"
Nayya diam. Menunduk dalam. "Nayya nggak mau nikah sama Arkan."
"Sayang...."
"Apa Arkan tahu soal perjodohan ini?" tanya Nayya lagi-lagi memenggal kalimat mamanya.
Afanin menggeleng. "Mama tidak tahu, apakah Mas Arham dan Adeeva sudah memberitahunya atau belum."
"Kamu yakin Arkan menyukai orang lain?" tanya mamanya.
Nayya mengangguk.
"Mama pikir dia menyukaimu. Kalian terlihat menyukai satu sama lain saat bersama. Jadi, mama pikir tidak masalah."
Nayya mengerutkan kening lalu menggeleng sambil tertawa hambar. "Nggak, Ma. Nayya yakin, Arkan juga pasti menolak."
Afanin tersenyum. "Ya udah, nanti saja kita bicarakan lagi. Sekarang sarapan dulu, yuk."
Nayya kembali menggeleng.
"Kenapa?"
"Nayya belum siap ketemu Papa."
"Papa nggak bakal ngebahas soal perjodohan ini, mama janji. Yuk," ajaknya lagi. "Papa juga ngerti, kok."
Nayya menghela napas, masih diam dan cemberut.
"Udah, ayok. Jangan dipikirin terus, mending kamu fokus belajar. Besok udah mulai UAS, kan?"
Nayya mengangguk. UAS, hal yang dibenci kebanyakan siswa termasuk dirinya. Ia pun bangkit dan mencoba tak memusingkan perjodohan tak pasti itu, bersama mamanya menuju ruang makan.
***
Selama dua minggu itu, Nayya memfokuskan diri pada ujian. Selama itu pula, ia selalu menghindari Arkan. Dengan berbagai alasan. Ia hanya bicara padanya jika ada hal penting. Meskipun ia penasaran tentang apakah Arkan tahu soal perjodohan ini atau tidak, ia mencoba menahan diri, karena ia tidak mau mengganggu Arkan di saat hari-hari penting seperti ini.
"Akhirnyaaa beres juga!" seru Nayya lega. Safira yang berjalan di sampingnya hanya tertawa kecil. "Seminggu lagi libur, yes!"
"Saf, entar mau liburan ke mana?"
"Emm, nggak ke mana-mana deh kayaknya."
"Ah, nggak asik. Palingan juga berkutat dengan buku-buku dan tulisan-tulisan lo di wattpad itu," ujar Nayya sedikit kesal.
"Itu tahu," senyum Safira. "Lagian aku mau liburan ke mana. Kan lebih baik diisi degan hal yang lebih bermanfaat."
"Ya elah, kita juga butuh hiburan kali Safira sayang..., jangan nguras otak terus. Biarㅡ"
"Nay," sebuah panggilan menghentikan celotehan Nayya. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Akbar tengah tersenyum padanya.
"Ya, Kak?" tanyanya sedikit gugup. Setelah kejadian malam itu, Nayya belum pernah bertemu dan mengobrol lagi dengannya.
"Bisa bicara sebentar?" tanya Akbar. Nayya menoleh pada Safira.
Safira tersenyum. "Kalau gitu aku duluan ya. Assalamu'alaikum," pamit Safira yang meneruskan langkah menuju gerbang sekolah.
"Wa'alaikumussalam warahmatulloh...," jawab Nayya dan Akbar. Sebenarnya ia tidak mau ditinggal, tapi ia juga enggan menolak Akbar.
Nayya dan Akbar kini duduk di bangku taman sekolah. Sekolah lumayan sepi, hanya tinggal beberapa orang saja. Suasana canggung pun tercipta begitu saja di antara mereka.
"Supir kamu udah jemput?" tanya Akbar memulai obrolan.
Nayya menggeleng. "Aku pulang bareng Arkan," jawab Nayya. Ya, tadi papanya sempat menelpon dan menyuruhnya pulang bersama Arkan. Dengan berat hati, ia pun menurut.
Akbar mengangguk paham. "Maaf soal malam itu...."
"Aku yang minta maaf," ujar Nayya menggeleng cepat. "Maaf atas sikap Papa, dan apa yang dikatakan Papa."ㅡNayya menunduk, memainkan jarinyaㅡ"Aku nggak tahu soal perjodohan itu."
"Tidak papa, aku ngerti, kok," ucap Akbar sambil tersenyum. "Memangnya, papamu menjodohkanmu dengan siapa? Kalau aku boleh tahu.'
Nayya diam. Memilin jarinya sendiri karena gugup. Apa harus ia mengatakannya?
"Arkan?" tebak Akbar tepat sasaran. Nayya langsung mendongakㅡterkejut, lalu kembali menunduk tanpa menjawab.
"Jadi benar ya...," ujarnya tersenyum satire. "Dia pria yang baik," imbuhnya.
Nayya menggeleng. "Maksudku..., dia memang baik, tapi aku tidak mau kalau harus menikah dengannya."
"Kenapa? Menangnya kamu tidak menyukainya?"
"Aku menyukainya, sebagai sahabat," jawab Nayya. Dan karena aku menyukai orang lain, batinnya.
Akbar diam, begitu pun dengan Nayya. Sebenarnya Nayya ingin menanyakan perihal kata-kata Akbar pada papanya malam itu. Apakah ia memang menyukainya, atau hanya berandai jika ia menyukainya?
"Kak, boleh aku tanya sesuatu?" Nayya memberanikan diri untuk bertanya.
Akbar mengangguk. "Soal apa?"
"Di malam itu, aku mendengar percakapan Kak Akbar dan Papa...,"ㅡNayya menarik napasㅡ"aku hanya ingin tahu...."
"Nay!"
Sebuah seruan menginterupsi obrolan mereka. Nayya menoleh dan mendapati Arkan berdiri sekitar lima meter darinya.
"Udah ditungguin Arkan tuh, pulang gih. Nanti aja lagi ngobrolnya," ujar Akbar sambil tersenyum.
Nayya mengangguk. "Kalau gitu aku duluan ya, Kak," pamit Nayya lalu berbalik dan berjalan ke arah Arkan sambil menunduk.
Nayya menghela napas panjang. Untuk apa pula ia tahu? Kalau Akbar memang menyukainya, lantas apa? Kalau tidak pun, lantas apa? Tidak akan ada yang berubah. Tidak akan ada hubungan lebih jauh dari sekedar pertemanan. Biar saja ia simpan rasa ini hingga rasa yang entahㅡia sendiri tidak tahuㅡapa itu bisa disebut cinta atau bukan.
"Ngapain sih? Lama banget," ketus Arkan menyerahkan helm pada Nayya lalu berjalan mendahuluinya.
Arkan pikir akan mendapat balasan atau protesan dari Nayya, tapi tidak. Nayya hanya diam, berjalan di belakangnya menuju motor Arkan.
Mereka pun pulang bersama. Tanpa obrolan atau perdebatan seperti biasanya. Mereka berdua diam dalam kebisuan.
Saat sampai di depan rumah Nayya pun, Nayya tak mengatakan apa-apa dan berjalan begitu saja menuju pintu gerbang rumahnya. Namun Arkan menarik tas Nayya dan membuat gadis itu hampir terjerembab.
"Apaan sih!" sungut Nayya kesal.
"Lo kenapa sih?"
"Kenapa?"
"Lo pikir gue nggak tahu selama ini lo ngehindarin gue?" tanya Arkan tak sabar. "Gue punya salah sama lo?"
Nayya diam. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk bicara dengannya.
"Gimana ujian lo? Udah beres semua?" tanya Nayya.
Arkan menakutkan alis, heran. "Apa hubungannya? Aneh banget si lo."
"Jawab aja napa!"
"Iya udah. Terus? Emangnya kenapa?"
"Ada yang mau gue omongin," ujar Nayya serius. Lalu kembali naik ke motor Arkan. "Kita ke TK," ujarnya.
Arkan tak mengatakan apa-apa, karena ia tahu akan percuma. Jadi, ia lebih memilih menuruti apa kata sahabatnya itu.
Dengan penuh kesabaran, Arkan menunggu Nayya menghabiskan es krimnya. Sepertinya sudah menjadi ritual kalau Nayya datang ke TK ini harus membawa es krim. Nayya bilang, perasaannya selalu lebih baik setelah makan es krim. Dan Arkan tahu, dengan datangnya Nayya ke siniㅡberikut es krim yang dimakannyaㅡada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Jadi, kenapa?" tanya Arkan setelah melihat Nayya menghabiskan es krimnya.
Nayya diam sesaat. Menacari kalimat yang pas untuk ia lontarkan. Lalu ia menghela napas. "Lo tahu soal perjodohan kita?" tanyanya to the point tanpa menatap Arkan. Ia memang tidak pandai berbasa-basi, seperti papanya.
Arkan yang awalnya menatap Nayya, mengalihkan pandangan ke depan. Menatap lurus seperti yang Nayya lakukan. Ia diam cukup lama hingga Nayya menoleh, lalu ia pun menjawab, "Ya, gue tahu." Lalu hening. "Abi sama Umi bilang beberapa waktu yang lalu," imbuh Arkan lagi.
Nayya mendesah tak percaya. "Dan lo diem aja? Seolah nggak terjadi apa-apa?"
"Terus gue harus gimana, Ainayya?" Kini Arkan menghadap Nayya.
"Harusnya lo ngasih tahu gue! Dan kita batalin perjodohan ini."
"Buat gue nggak masalah," ujar Arkan datar.
"Maksud lo?" Nayya mengerutjan kening heran.
Arkan kembali menghadap ke depan, tanpa mengatakan apa-apa.
"Kan, gue serius! Gue nggak bisa nerima perjodohan ini. Kita masih sekolah dan ayolah..., kita punya orang yang kita sukai masing-masing. Kita harus jelasin ke orang tua kita, kita nggak bisa nerima perjodohan ini. Pokoknya kita harus nyari cara supaya perjodohan ini batal! Ini bener-bener gila dan nggak masuk akal!" Nayya sudah bersungut bahkan sampai berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan Arkan yang masih duduk dengan antengnya.
"Kenapa?" tanya Arkan datar.
Nayya sampai kaget mendengar satu kata itu. "Kenapa lo bilang? Emang lo mau nikah sama gue di usia segini?"
"Gue nggak masalah sama perjodohan ini," ujar Arkan.
Nayya menganga lebar. Ia benar-benar kaget dengan jawaban Arkan. "Tunggu, maksud lo..., lo setuju?" tanya Nayya sangsi. Dan Arkan mengangguk.
"Kan, ini kita loh. Gue sama lo! Lo masih waras, kan?"
"Gue masih waras, seratus persen," ucap Arkan masih tenang. Menatap Nayya sungguh-sungguh.
Nayya merasa hampir kehilangan kata-kata. "Ta-tapi..., kenapa? Kenapa lo nerima perjodohan ini?" tanya Nayya sedikit tergagap. Ia benar-benar tak menyangka.
Arkan masih menatapnya. Lurus, lekat di manik mata Nayya yang sebening permata. Lalu berdiri, berhenti di hadapan Nayya dengan jarak yang sangat dekat. "Menurut lo?" tanya Arkan dengan suara berat.
Tiba-tiba Nayya tergagap. Tak pernah sekalipun ia merasa terintimidasi oleh tatapan laki-laki di hadapannya itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Mereka masih saling tatap. Dan berbagai spekulasi hinggap di kepala Nayya. Termasuk kemungkinan Arkan menyukainya. Nayya menggeleng kuat-kuat. "Nggak mungkin," ujarnya tersenyum satire. "Jangan bilang kalau lo..., suka sama gue." Nayya mengatakannya dengan penuh keraguan. Ia bahkan meremas samping rok saking gugupnya.
"Kalau iya, bagaimana?" tanya Arkan tanpa ekspresi.
Nayya tersentak. Organ-organ tubuhnya serasa merosot ke perut.
"Gue suka sama lo, gue nerima perjodohan ini, dan gue mau nikah sama lo," ujarnya datar tanpa memutus kontak matanya pada Nayya.
Sementara Nayya nampak begitu terkejut; dilanda kebisuan; kehilangan kata-kata. Tak ada kata-kata yang keluar, hanya terdengar suara angin sore yang mendesau pelan. Serta langit yang mulai menguning. Menjadi saksi kebisuan dua insan yang saling diam.
***
TBC.
Ye yeee update! fast up, kan? 😆
Bagaimana bab ini? Kira-kira Arkan sama Nayya gimana yaa 😆
Jangan lupa tinggalin vote, comment 😙
Happy holiday guys! 😄 yang mau mudik, hati-hati di jalan 😙
🌻🌻🌻
Subang,
28 Desember 2017.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top