Bab 16 - Santunan dan Pesta
16
~Santunan dan Pesta~
"Sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi? Kasihilah anak yatim, usaplah mukanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi." (H.R Al-Baniy, Shahi Al-Jami', Abu Darda: 80)
🌹🌹🌹
Akbar mematut penampilannya di cermin, setelah memastikan semuanya rapi, ia bergegas karena sang mama sudah memanggilnya untuk sarapan. Karena terburu-buru, tangannya tak sengaja menyenggol bingkai foto yang ia letakkan di atas nakas. Ia berbalik dan meraih bingkai foto yang terjatuh, lalu kembali duduk di tepi ranjang. Ia menatap foto tersebut─seorang wanita cantik yang tengah memangku seorang anak laki-laki. Ibu jarinya mengelus foto itu perlahan.
"Ibu...," gumamnya pelan sarat akan kerinduan. Lalu ingatan masa lalunya berdatangan begitu saja. Begitu ingatan dan rasa rindu itu menyeruak, menghadirkan sesak dan kebencian yang mendalam.
"Akbar...! Ayo sarapan dulu Sayang, nanti kamu telat loh!" seruan wanita paruh baya menginterupsi lamunan pria tujuh belas tahun itu.
"Iya, Ma! Sebentar," serunya lalu kembali meletakkan foto itu di atas nakas. Ia pun mengambil ransel dan bergegas turun.
"Kok lama sekali, tadi bangunnya kesiangan ya?" tanya sang mama. Akbar tersenyum lebar menandakan kalau dugaan wanita paruh baya di hadapannya itu benar.
Mamanya berdecak. "Kamu itu, kalau main PS mesti lupa waktu."
Akbar kembali nyengir. "Kok Mama tahu sih, kalau semalem Akbar maen PS?"
"Memangnya apa lagi kalau bukan maen PS? Kalau papamu, gadangnya nonton bola, suka kesel deh mama itu," gerutu mamanya.
"Yah, kok Papa dibawa-bawa juga. Kamu sih Bar," sahut papanya yang juga baru tiba di ruang makan.
Akbar terkekeh. "Iya ... nanti maennya pas malam sabtu atau minggu doang deh," rajuknya. "Jangan marah-marah dong Ma, masih pagi loh. Nanti keriputnya nambah hayo!"
"Pa ... masa Akbar ngatain Mama keriput?" adu mamanya pada sang papa.
"Mama selalu cantik dan terlihat muda kok di mata papa," ujar sang papa langsung mengecup pipi istrinya singkat, membuat wanita setengah baya itu agak tersipu. "Udah, sarapan dulu. Nanti kita telat kalau debat terus."
Akbar tersenyum menatap kedua orang tuanya. Hatinya menghangat; bersyukur karena ia memiliki mereka yang begitu menyayanginya. Namun, ada rasa bersalah di saat yang bersamaan.
Setelah sarapan yang dipenuhi keharmonisan itu berakhir, Akbar dan papanya pamit pada wanita yang sama-sama mereka sayangi itu.
"Papa berangkat ya!" pamit sang papa yang sudah di dalam mobil, lantas melajukannya setelah mendapat anggukan dari istri dan anaknya.
"Akbar juga berangkat ya, Ma," pamit Akbar lalu mencium tangan sang mama. Dibalas elusan lembut di kepalanya dengan tatapan yang mungkin hanya dirinya yang mengerti arti tatapan itu.
Akbar memeluk mamanya sebentar kemudian berbisik, "Akbar sayang Mama."
Mata mamanya kini sudah berkaca-kaca, namun ia bertahan untuk tidak menunjukan kelemahannya. "Udah sana berangkat!" tukasnya mendorong pelan anak laki-lakinya.
Akbar tersenyum lantas bergegas menaiki motornya lalu melaju setelah mengucap salam. Dalam hati ia mengucap seribu maaf untuk kedua orang tuanya.
Saat melewati gerbang rumahnya, ia begitu terkejut karena seseorang berdiri di hadapannya; menghalangi jalannya. Jika ia tidak langsung berhenti, mungkin saja ia menabrak orang itu.
"Lo gila?!" tukasnya marah pada gadis di depannya.
"Bar, maafin gue...," ucap perempuan yang sejak dulu menjadi temannya itu. "Please ... gue janji nggak bakal larang ataupun ngatur-ngatur lo lagi. Ya?"
Akbar masih bungkam. Sementara gadis itu, Adela menatapnya penuh permohonan. "Akbar ... please. Anggap malam tadi nggak pernah ada. Oke?"
Akbar menghela napas. "Buruan naik, entar telat," ujarnya kemudian.
Adela tersenyum lebar. Itu artinya Akbar sudah memaafkannya. Dengan senang hati, ia duduk di jok bagian belakang. "Lo udah maafin gue kan?"
"Udah jangan bawel," tukasnya lalu melajukan motornya. Adela tersenyum namun sejurus kemudian senyumnya hilang dan beganti raut kesedihan.
***
"Bar, ini SLR-nya bagus nih buat pengambilan gambarnya entar."
"Nyewa?"
"Nggak, punya si Aldo itu."
Akbar manggut-manggut lalu mencoba membidik sesuatu dengan SLR-nya. Tanpa sengaja, kameranya menangkap sosok Nayya yang sedang berjalan sendirian entah menuju ke mana.
"Gimana? Bagus kan?" tanya temannya yang tak mendapat jawaban langsung dari Akbar. Ia masih fokus mengamati Nayya lewat kamera, lalu memotretnya beberapa kali. Akbar kemudian melihat hasilnya.
"Cantik ya," ujar temannya yang ikut melihat hasil bidikan Akbar. "Apalagi candid gitu, nggak keliatan tomboynya."
Akbar menyunggingkan senyum kecil. Ia tatap gambar itu dengan tatapan kosong. Tidak terlalu mendengarkan temannya yang berceloteh tentang gadis berjilbab itu.
"Temen-temen gue banyak yang naksir dan nyoba deketin dia, tapi ya gitu semuanya mundur teratur," ujar temannya lagi yang tertangkap pendengaran Akbar. "Lo juga suka kan sama dia?" Ia menyikut lengan Akbar dan menggodanya. Sementara Akbar hanya tertawa pelan tanpa menjawab apa-apa.
"Eh, dia ke sini loh!" seru temannya tiba-tiba. Akbar mendongak dan mendapati Nayya tengah menghampirinya.
"Kak," sapa Nayya nampak sedikit canggung. Ia juga menyapa teman Akbar yang ada di sana.
"Gue ke kelas duluan ya Bar, sini kameranya," ujar temannya lalu pergi setelah mengambil SLR di tangan Akbar.
"Ada apa, Nay?" tanya Akbar dengan senyum ramahnya seperti biasa.
Nayya beberapa kali menggaruk belakang kepalanya yang terhalang jilbab; nampak rikuh. "Em, besok Kakak ada acara nggak?" tanya Nayya kemudian menggigit bibir bawahnya.
"Emang kenapa?"
"Emm ... jadi setiap tahun, keluargaku ngadain santunan anak yatim dan kaum duafa di yayasan milik Mama. Emm, semacam acara syukuran juga. Kalau Kak Akbar mau, Kakak bisa dateng besok,"─Nayya tersenyum canggung─"aku juga ngundang temen-temen yang lain, kok."
Akbar mengangguk, nampak berpikir sesaat. "Begitu ya..., tadinya sih mau ngajak seseorang jalan...."
"Oh gitu ya. Ya udah Kak, kalau nggak bisa juga nggak papa kok." Nayya tersenyum rikuh.
Akbar terkekeh melihat reaksi Nayya. "Iya, tapi orangnya sekarang lagi nanyain aku ada waktu atau nggak."
"Eh?" Nayya nampak berpikir keras kemudian menyadari kalau yang dimaksud Akbar itu dirinya. "Kakak mau ajak aku jalan?" tanyanya sangsi.
Akbar mengangguk. "Tapi kalau kamu emang lagi ada acara, nggak papa. Nanti aku ikut gabung."
Nayya tersenyum sedikit tersipu. "Oh ya. Ajak Kak Adel juga boleh," ujarnya.
"Oke, tapi beneran ini boleh gabung? Nanti papa kamu nggak suka aku datang lagi."
Ah, ya. Nayya melupakan itu. Tapi papanya orang baik, pasti tidak masalah kalau ia mengajak Akbar. Pikirnya. "Nggak papa, Kak. Papa ngebolehin aku ajak siapa aja, kok. Tenang aja."
"Baiklah kalau gitu." Akbar lagi-lagi tersenyum dan rasanya Nayya sudah tak sanggup lagi berdiri lama-lama di hadapan pria tampan ini. Jadi ia cepat-cepat pamit dengan alasan ditunggu oleh Safira. Akbar mengangguk lalu Nayya lekas pergi dari hadapannya.
"Nay," panggil Akbar membuat Nayya kembali berbalik. "Happy birthday," ucapnya diakhiri senyuman manis.
Nayya langsung tersipu, tak menyangka jika Akbar tahu hari kelahirannya. "Makasih, Kak," ujarnya lantas cepat-cepat pergi dengan senyum yang ia sembunyikan.
Akbar tertawa pelan melihat tingkah yang menurutnya lucu itu. Sebenarnya ia tahu, kalau hari ini adalah hari spesial bagi Nayya; hari di mana gadis itu dilahirkan. Dan besok ia berniat mengajaknya jalan bahkan sudah menyiapkan kado untuknya. Namun ternyata gadis itu mempunyai caranya sendiri. Berbagi bersama anak-anak kurang beruntung.
***
Setiap akhir tahun, Nayya dan keluarganya selalu mengadakan santunan anak yatim dan kaum duafa. Tepat di bulan kelahiran Nayya, juga Yayasan Hauri milik mamanya. Selain dapat melunakkan hati, menyantuni anak yatim dijanjikan oelh Allah surga dan dekat dengan Rasul[1]. Juga sebagai pengingat diri agar ia selalu bersyukur atas nikmat Tuhan karena masih memberinya kehidupan, pun kesehatan. Karena ia jauh lebih beruntung dari anak-anak di hadapannya: anak-anak yatim dan kaum lemah; lemah ekonomi, fisik, sikap, otak. Bukan karena malas, namun keadaan. Karena kita perlu melihat ke bawah dalam hal dunia. Untuk mengingatkan dan menyentil nurani, bahwa kita harus selalu mensyukuri apa pun yang kita miliki; bahwa ada yang jauh lebih menderita dan tidak beruntung dari kita. Seperti anak-anak itu.
Nayya menatap anak-anak itu dengan perasaan sedih, haru, bahagia. Entah bagaimana ia mengungkapkannya. Ia sedih karena banyak sekali saudara sesama muslimnya yang menderita, apalagi saudaranya yang di Palestina yang kini tengah diporak-porandakan oleh Zionis. Ia sedih karena tak ada hal yang bisa ia lakukan, selain menyumbang materi dan mengirim untaian do'a. Namun melihat ank-anak itu juga membuatnya haru dan bahagia. Karena ia masih bisa berbagi dan membuat mereka bahagia. Ia bersyukur.
Satu hal lagi yang membuatnya merasa bahagia di harinya ini, seluruh keluarga, kerabat dekat bahkan teman-temannya ikut hadir. Berpartisipasi menyantuni anak-anak kurang beruntung itu.
"Nay," sebuah panggilan dan sentuhan lembut di pundak menyadarkan Nayya dari lamunan panjangnya. Ia menoleh dan mendapati sang mama dan papanya tengah tersenyum padanya. Nayya langsung menghambur ke pelukan kedua orang tuanya.
"Ma, Pa, terima kasih banyak...," ucapnya sepenuh hati. Ia benar-benar bersyukur memiliki orang tua seperti mereka. "Terima kasih untuk segalanya...."
Alfi mengusap kepalanya penuh sayang. "Terima kasih juga sudah menjadi anak kami yang cantik, cerdas dan baik hatinya," puji sang papa, membuat Nayya tersenyum malu dan sedikit merenggut manja.
"Assalamu'alaikum...." Sebuah sapaan menginterupsi mereka. Lalu mereka menoleh dan kompak menjawab salam.
"Akhirnya dateng juga," sambut Alfi memeluk sahabatnya. Afanin juga menyapa wanita yang bersamanya.
"Iya nih, tadi abis takziyah dulu. Ada keluarga Ina yang meninggal," jelas Ilham.
Nayya pun menyalami keduanya. Lalu menyapa anak laki-laki yang datang bersama sahabat papanya itu.
"Hello, brother!" sapa Nayya ketika anak laki-laki yang selalu nampak ceria itu menyalaminya. Lalu mengacak-acak rambutnya gemas. "Apa kabar, kamu? Gitu ya sekarang, udah jarang maen ke rumah."
Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu merenggut karena rambutnya berantakan. "Irsyad kan sibuk," ujarnya.
"Sibuk apa?" tanya Nayya penasaran.
"Disuruh ngafalin Qur'an terus sama Bunda," renggutnya yang langsung mendapat sambutan gelak tawa dari orang tua mereka.
Nayya pun terkekeh. Irsyad ini memang berbeda sekali dengan kakaknya─Ihsan. Dia cenderung hiperaktif dan agak bandel. Berbanding terbalik dengan Ihsan yang pendiam dan penurut. Ngomong-ngomong anak itu, ia jadi rindu. Kapan kira-kira terakhir kali mereka bertemu? Ia bahkan tidak ingat.
"Tante Ina, makasih ya pakaiannya. Nayya suka banget!" ujar Nayya sumringah. Gamis dan jilbab putih yang dipakainya sekarang adalah pemberian Inayah sebagai hadiah. Gamis sederhana dan anggun. Ditambah renda-renda di bagian bawah membuat gamisnya nampak manis.
"Alhamdulillah kalau kamu suka, cantik banget deh. Pas di kamu," puji Inayah. Membuat Nayya agak tersipu.
"Emang Tante paling top deh!" Nayya mengacungkan ibu jarinya.
"Nayya udah gadis ya sekarang, udah siap nikah dong?" seloroh Ilham.
"Ih apaan sih, Om! Baru juga tujuh belas," sungut Nayya membuat Ilham terkekeh.
"Ihsan nggak pulang, Om?" tanya Nayya.
Mendengar pertanyaan Nayya, Irsyad berdecih. "Inget punya rumah aja udah syukur," tukasnya nampak jengah.
"Irsyad, nggak boleh gitu," tegur Inayah. Irsyad nampak memasang wajah kesal.
Ilham tersenyum maklum. "Enggak. Dia cuma pulang kalau ada hal penting aja," ujar Ilham. Nayya mengangguk paham. Sebenarnya ia juga tahu, anak itu tidak mungkin pulang hanya untuk menghadiri acaranya ini. "Tapi dia sempet nelepon dan nitip salam," imbuh Ilham.
Nayya tersenyum. "Sampein salam balik dari aku ya, Om!"
"Insya Allah nanti Om sampein. Oh ya, Syifa udah dateng belum?" tanya Ilham lagi menanyakan adiknya.
"Udah tadi, tuh!" Alfi mengedikkan dagu menunjuk ke arah Syifa yang sedang bersama suami dan anaknya.
Ilham mengangguk. Lalu terjadilah obrolan yang sudah tak bisa dimengerti lagi oleh Nayya. Melihat lambaian tangan Kei, Nayya pun pamit untuk menemani teman-temannya.
"Hey!" sapa Nayya. "Thanks ya udah pada dateng," ujarnya tersenyum tulus.
"Yah ada makanan gratis, masa iya nggak dateng," seloroh Sadiya disambut tawa dari teman-temannya.
Tiba-tiba Kei mengeluarkan sekuntum mawar putih dan memberikannya pada Nayya. "You're so beautiful Princess..., more than this flower," puji Kei yang melihat Nayya dengan balutan jilbab putih dari atas kepala sampai kaki. Nampak sangat pas di tubuhnya yang semampai. "Happy birthday."
Nayya tersenyum lebar. "Thanks,"─ia mengambil bunga itu dari Kei dengan senang hati─"Bukannya gue emang selalu cantik, ya?" ujarnya penuh percaya diri yang langsung mendapat decakan dari Arkan. Nayya pun langsung mendelik padanya.
"Tapi bener, kamu emang cantik banget hari ini," puji Akbar. Dan kali ini Nayya tersipu, bahkan semburat merah nampak jelas di wajahnya.
Safira geleng-geleng melihatnya. Sementara Sadiya sudah heboh berdehem, dan Adela yang ikut menggoda mereka berdua. Sementara itu, Sandi yang tidak banyak bicara menangkap Kei yang tak hentinya menatap Akbar layaknya elang yang sedang mengawasi mangsanya.
"San, gimana keadaan nyokap lo?"
Mendengar namanya dipanggil, Sandi pun menoleh. "Oh, udah baikan kok sekarang. Udah luamayan bisa bangun dan gerak walau dikit-dikit...."
Nayya mengangguk. "Syukur kalau gitu," ucapnya. Lalu ia menyadari ada satu kursi yang kosong. "Eh, Retha mana?" tanya Nayya yang tak melihat kehadiran gadis itu.
"Itu di sana, lagi sama anak-anak," jawab Safira.
Nayya menoleh dan mendapati Aretha yang tengah bercengkerama dengan anak-anak yatim dan kaum duafa. Nampak begitu menyenangkan. Nayya tersenyum, gadis itu memang luar biasa menurutnya. Ia cantik, cerdas, anggun, lembut hati dan sikapnya. Selain itu ia juga cakap dalam hal agama. Terbukti, organisasi Rohis yang kemarin ia bentuk bersamanya berjalan dengan sangat baik dan mendapat respon positif. Bahkan ada sebagian murid yang kini mulai berhijab.
Nayya lalu menoleh pada Arkan yang sibuk dengan ponselnya. Lantas menyikut lengannya hingga Arkan mendongak dan menatap Nayya dengan pertanyaan 'apa' tanpa suara.
"Temenin sana," seloroh Nayya mengedikkan dagu ke arah Aretha.
Arkan memutar kepalanya untuk melihat Aretha lalu menghela napas. "Jangan mulai," tukasnya malas.
"Ish, cemen lu!"
"Emang Nay, si Arkan tuh kalo sama cewek gak berani ngedeketin," celetuk Sadiya.
Nayya tertawa. "Kok kalo sama gue nggak sih?"
"Yah kalo sama elo kan udah bareng sejak orok, ya wajarlah!" seloroh Sadiya membuat Nayya tertawa. "Eh tapi emang lo cewek?"
Seketika Nayya berhenti tertawa. "Kampret lu!"
"Dihh udah cantik anggun gitu, omongannya masih kasar aja, dijaga dong kayak Safira tuh," ujar Sadiya belagak nasihatin.
"Apa sih?" respon Safira membuat Nayya tertawa. Sahabatnya itu terlalu lempeng dan dingin kalau urusannya sama lawan jenis. Dan Sadiya hanya bisa mengelus dada.
"Abaaang!" Sebuah teriakan mungil menginterupsi obrolan mereka. Asha tengah berlari kecil menuju kakaknya.
"Hey sweetie,"─Arkan memangkunya─"Ada apa? Umi sama Abi mana?"
"Tuu...." Gadis kecil itu menunjuk orangtuanya yang nampak sibuk bercengkerama. Sepertinya ia bosan berada di tengah-tengah mereka.
"Adik lo, Ar?" tanya Akbar.
"Iya."
"Lucunyaaa, namanya siapa?" tanya Adela meraih tangan mungil Asha.
"Acha," jawab Asha nampak malu-malu. Membuat Adela semakin gemas. Lalu mereka tenggelam dalam obrolan seputar gadis kecil itu.
Ascara santunan pun dimulai. Mereka duduk dengan tenang, kecuali Kei yang terus mengajukan pertanyaan tentang segala hal yang tidak diketahuinya. Membuat Nayya lelah menjelaskan. Sebenarnya dari awal Nayya menyuruhnya datang pas acara pesta barbeque saja, tapi Kei menolak dan tetap ingin melihat apa yang disebut santunan anak yatim dan kaum duafa.
"Is she ... blind?" tanya Kei saat melihat anak gadis yang sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Karena sebelumnya ia melihat anak itu dituntun ke atas panggung.
Nayya mengangguk. "Khansa, dua belas tahun. Dia buta sejak lahir, Mama mengajarinya huruf hijaiyah dengan menggunakan braille, dan dia menghafal Al-Qur'an hanya dengan mendengarkannya setiap hari. Luar bisa, bukan?" papar Nayya sambil tersenyum menatap anak gadis itu bangga. "Ia adalah salah satu anak kebanggaan Mama. Butuh waktu cukup lama untuk mengajari ia dan mengenalkannya pada huruf-huruf Al-Qur'an, tapi ia menghafal dengan cepat. Ia msudah mendengarkan ayat-ayat Al-Quran sejak ia kecil; setiap hari."
"She's beautiful...," lirih Kei yang seolah tersihir oleh rupa dan suara indah gadis berjilbab hitam itu.
Nayya menoleh ke arah Safira karena ia seperti mendengar sebuah isakan, dan benar saja, ia melihat sahabatnya tengah menyusut air mata yang jatuh di pipinya.
"Saf...."
Safira menggeleng sambil tersenyum. "Aku hanya merasa sedih, Nay. Dia yang hidup dengan kekurangan mampu menghafal Al-Qur'an, sedang kita yang sempurna, memebacanya saja masih lalai."
Mereka semua terdiam. Merenung; tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hanyut dalam alunan indah ayat-ayat suci dari seorang gadis buta.
Acara santunan itu berjalan dengan sangat baik, semuanya nampak berbahagia. Setelah usai, Nayya dan teman-temannya melanjutkan acara mereka─pesta barbeque─di rumah Nayya. Malam itu di halaman rumah Nayya begitu ramai, kerabat papanya sudah pulang, hanya tinggal orang tua Arkan yang masih ada di sana, ikut meramaikan pesta. Acara itu semakin riuh karena kegaduhan yang dibuat oleh Asha dan Adela yang seperti tak lelah bermain bersama. Adela sepertinya sangat menyukai anak-anak hingga mereka bisa akrab begitu cepat.
Sementara Nayya dan Arkan yang kebagian memanggang daging terus saja berdebat, sama-sama tak mau mengalah tentang daging yang sudah matang atau belum. Hingga Akbar datang menengahi dan mereka pun bisa diam. Ia menjelaskan kalau yang dikatakan Arkan benar; bahwa daging yang dipanggang Nayya belum matang sempurna. Lalu Akbar menggantikan posisi Nayya, sementara Nayya hanya memandanginya dengan tatapan kagum sambil menhobrol tentang beberapa hal. Bagaimana ia bisa begitu menyukai pria itu?
Semua hal itu tak luput dari pandangan Alfi, sejak awal ia terus memerhatikan Akbar. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya namun entah apa. Saat melihat Nayya pergi dan bergabung bersama teman-temannya yang lain, Alfi menghampiri Akbar dan Arkan yang nampak serius memanggang daging.
Alfi berdeham untuk menarik perhatian mereka. Ia menatap Akbar. "Bisa bicara sebentar?"
"Iya, Om," sahut Akbar setelah diam beberapa saat.
Alfi kemudian berbalik pergi dan diikuti Akbar di belakangnya. Meninggalkan Arkan yang menatap keduanya dengan tatapan heran.
Alfi membawa Akbar sedikit menjauh dari keramaian.
"Ada apa ya, Om?" tanya Akbar penasaran begitu Alfi berhenti dan berbalik menghadapnya.
Alfi melipat tangan di dada, menatap anak laki-laki itu lekat. "Apa tujuan kamu mendekati anak saya?" tanyanya serius.
Akbar menaikkan sebelah alis, tidak nampak terganggu atau terimidasi oleh tatapan Alfi.
"Kamu suka sama anak saya?" tanya Alfi lagi sebelum Akbar sempat menjawab.
Akbar tetap tenang dalam posisinya. "Memangnya saya tidak boleh menyukai anak Om?"
Alfi berdeham. "Yah, itu memang hakmu. Lagi pula, anakku memang terlalu menarik," ujarnya setengah angkuh. "Jadi tidak heran kalau banyak yang menyukainya."
Akbar tidak yakin ia harus tertawa atau tidak. "Lalu?"
"Tapi, saya sepertinya kurang menyukaimu. Dan saya melarangnya pacaran. Lagi pula, saya sudah menjodohkannya dengan seseorang."
Akbar diam. Nampak tak begitu terkejut namun juga tidak terlalu santai. Sementara Alfi tersenyum. "Jadi, sebaiknya jangan mendekati anakku lagi."
Sementara itu Nayya yang baru datang untuk mencari keduanya nampak begitu terkejut mendengar penuturan papanya. "Pa...?" lirihnya namun masih bisa terdengar oleh Alfi.
Alfi nampak sedikit kaget dengan kehadiran anak gadisnya. Akbar pun menoleh dan mendapati Nayya yang mematung. Dan sepertinya akan terjadi perdebatan panjang di malam ini.
***
Tbc.
Catatan :
[1] Rasulullah SAW bersabda, "Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau shallallahu 'alaihi wassalam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu 'alaihi wassalam, serta agak merenggangkan keduanya." (HR. Bukhari, Shahih Bukhari, Sahl bin Sa'ad As-Sa'idiy: 5304)
🍒🍒🍒
P.s. Masih ingat ultah Arkan? Aku nulis dia 17 tahun padahal seharusnya 16 😅 maafkan author yang keseringan eror ini 😅 wkwk. Maaf juga lama up 🙏 nih udah panjang banget, almost 3000words loh 😫
Semoga suka dan sankyu yang udah setia baca dan bersabar 😘😘
Subang,
23 Desember 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top