Bab 15 - Memaafkan

15

Memaafkan

"Maukah aku ceritakan kepadamu mengenai sesuatu yang membuat Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab; 'Tentu'. Rasul pun bersabda; "Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu." (H.R. Thabrani)

🌹🌹🌹


"Kenapa, sih?" tanya Safira yang keheranan melihat sahabatnya. Padahal masih pagi tapi wajahnya sudah ditekuk sempurna.

Nayya mendesah pelan sambil menggeleng. Lalu menelungkupkan wajah di atas meja, tak berniat menjawab pertanyaan Safira.

Apa ia benar-benar tak akan kembali? batinnya. Ia sangat berharap Sandi kembali sekolah. Namun sampai bel masuk berbunyi dan Bu Kiki masuk, Sandi belum juga datang. Hal itu hampir memupuskan harapannya. Bu Kiki sempat menatapnya─yang hanya ia yang tahu arti tatapan itu, dan Nayya hanya bisa menunduk.

Nayya membuka buku pelajarannya tanpa minat, hingga seseorang mengetuk pintu kelas. Semua orang menoleh ke arah pintu, tercengang menatap murid laki-laki yang tengah berjalan menghampiri guru mereka. Begitu pun dengan Nayya.

"Maaf, Bu. Saya kesiangan," ujar pria yang kini tengah berdiri di hadapan Bu Kiki.

"Kenapa kamu kesiangan?"

"Motor saya tidak ada, tadi saya naik angkot dan angkotnya terlalu lama. Jadi saya telat," ucapnya.

Bu Kiki mengangguk. "Baiklah, bersyukurlah karena saya belum memulai pelajaran. Jika kamu masuk setelah saya memulai pelajaran. Saya tidak akan mengizinkan kamu masuk. Sekarang duduk di bangkumu," titah wali kelasnya tegas.

Pria itu mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih," ucapnya lalu berjalan menuju bangkunya─di paling pojok belakang.

Semua orang menatap ke arahnya dengan tatapan tak percaya. Dia, Sandi Permana yang biasanya tak peduli dengan sekolah atau pun belajar. Kini meminta maaf karena datang terlambat. Penampilan yang biasanya semrawut, sekarang terlihat sangat rapi. Tidak ada aksesoris yang menempel, tidak ada rambut acak-acakan atau rambut dengan warna dan gaya aneh-aneh. Seragam yang biasanya dikeluarkan pun kini dimasukkan dengan rapi layaknya murid pada umumnya.

"San, lo kesurupan malaikat apa?" tanya teman sebangkunya.

Sandi hanya menoleh tanpa menjawab lalu melihat ke arah Nayya yang kini menatapnya dengan senyum lebar. Nayya mengacungkan jempol nampak senang dan puas. Sandi hanya tersenyum miring sekilas.

"Kemaren ketemu bidadari," ujarnya ngasal dan temannya hanya melongo.

"Lo nggak waras," balas temannya sambil geleng-geleng.

Di sisi lain, Kei yang mendengarnya menatap Sandi dengan tatapan tak bersahabat. Nampak tidak suka.

Saat jam istirahat pertama, Kei menghampiri Nayya. "Hei, Princess," sapanya.

"Aku ke mushola dulu ya," pamit Safira pada Nayya yang kemudian beranjak meninggalkan kelas setelah dapat anggukan dari Nayya.

Nayya masih belum merespon Kei, ia malah mengeluarkan berkas program kerja sekbid yang belum terkumpul semuanya.

"Lo nggak?" tanya Kei mencoba mendapat perhatiannya.

"Nggak,"

"Kenapa?"

"Lagi halangan,"

"Are you still angry to me?"

Nayya menghela napas. "Menurut lo?"

"Lo masih marah," ucap Kei dengan raut sedih. "Okay, tell me what should I do?"

"Minta maaf sama Sandi," jawab Nayya cepat.

"What? Apologize? Are you kidding me? Where's my fault? No!" tolak Kei keras kepala.

Nayya menatapnya tak suka. "Ya udah!" ujarnya tak acuh.

"Princess, come on...."

"Nay!" Sebuah suara menginterupsi mereka.

Nayya menoleh pada orang yang memanggilnya. "Kenapa, Han?" sahut Nayya.

"Lo disuruh Pak Wahyu ke ruangannya tuh," ujar Hana.

"Ngapain?" tanya Nayya merasa heran dan Hana hanya mengedik tak tahu kemudian berlalu begitu saja.

Nayya pun bangkit dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Ia membereskan buku-bukunya lantas segera menuju ruang wakasek untuk menemui Pak Wahyu.

"Nay...." Kei masih mencoba untuk berbicara dengan Nayya. Namun Nayya mengabaikannya lalu pergi. Dan Kei hanya bisa menghela napas.

Setibanya di ruang wakasek, Nayya sedikit kaget karena di sana juga ada Arkan.

"Nah, akhirnya datang juga," ucap Pak Wahyu saat melihat Nayya. Setelah mengucap salam, Nayya duduk di samping Arkan menghadap Pak Wahyu. Ia menatap Arkan dengan tatapan bertanya namun Arkan tak mengatakan apa-apa.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Nayya.

"Jadi begini, setelah bapak pertimbagkan lagi, bapak setuju dengan usulanmu tentang pembuatan ekskul baru itu," Pak Wahyu mengawali.

"Maksud Bapak?" tanya Nayya sangsi. Ia belum yakin dengan apa yang didengarnya.

"Bapak akan meng-acc proposal kamu kemarin, tapi dengan beberapa syarat."

Nayya terbelalak. "Serius, Pak?" serunya terlalu bersemangat kemudian menutup mulut dan meminta maaf. Arkan hanya menahan senyum.

"Jadi, apa syaratnya?" tanya Nayya kemudian.

"Pertama, kamu harus mempunyai pembimbing. Kamu harus mencari dan memintanya sendiri. Kedua, anggota. Minimal sepuluh orang. Struktur yang jelas, visi misi yang jelas. Program kerja yang jelas. Jika kamu tidak bisa memenuhi semua itu dalam seminggu. Maaf, saya tidak bisa membantu," ujar Pak Wahyu tegas.

Nayya tersenyum cerah. Matanya berbinar indah. "Saya pasti bisa, Pak! Terima kasih banyak, Pa!" serunya optimis.

"Dan kamu, Arkan. Sebagai ketua OSIS sekolah ini, kamu harus memantaunya. Bapak yakin kamu tahu tugasmu."

Arkan mengangguk. "Saya akan berusaha semampu saya, Pak."

Setelah berbincang sedikit, Pak Wahyu menyuruh mereka kembali beristirahat. Nayya terlihat begitu senang dan bersemangat, membuat Arkan ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya itu.

"Ini beneran, kan? Lo yang ngebujuk Pak Wahyu?" tanya Nayya namun disambut gelengan dari Arkan.

"Gue juga baru tahu, kok. Mungkin dia sadar kalo ekskul ini emang perlu dan bagus buat sekolah."

Nayya mengangguk masih bersemangat. "Gue harus ngobrol sama Aretha nih!"

Mendengar itu, Arkan mengernyit. "Buat?"

"Buat bicarain ekskul ini lah, selain ide gue, ini juga ide dia. Dia yang sering ikut dan tahu kegiatan rohis. Jadi, gue bakal jadiin dia wakil dan dia yang bakal nerusin ekskul ini nanti," jelas Nayya. "She's really nice girl. Lo cocok deh kalo sama dia, beneran gue dukung seratus persen!"

"Oh ya?"

Nayya mengangguk antusias. Lalu mendesah pelan. "Kadang gue iri, pengen kayak dia. Udah cantik, lembut, anggun, muslimah banget pokoknya."

"Kenapa mesti iri? Setiap orang punya cirinya sendiri. Mempesona dengan caranya sendiri. Lo juga...." Arkan berdeham tak jadi melanjutkan kalimatnya lalu bel masuk berbunyi. "Udah masuk. Oh, ya. Jangan lupa kumpulin program sekbid. Besok harus selesai," ujarnya menghentikan Nayya yang hendak menyahut kata-katanya. "Nggak ada tapi, nggak ada alasan," pungkasnya tak terbantah kemudian melengos pergi.

"Ughh! Dasar makhluk tega!" gerutu Nayya dan terus merutuki Arkan di sepanjang jalan menuju kelasnya. Padahal ia akan sibuk mencari pembina dan merekrut anggota. Sepertinya ia benar-benar akan sibuk sekarang.

***

"Hari ini gue yang traktir!" seru Nayya saat ia dan teman-temannya sudah berkumpul di satu meja di kantin. Ia sedang bahagia sekarang. Selain karena Sandi sudah kembali dengan perubahan drastis, proposalnya di acc, dan satu hal lagi yang membuatnya sangat bahagia.

"Wihh, tumben," sahut Sadiya kemudian ia menyadari sesuatu. "Bukannya uang jajan lo lagi...." Sadiya memeragakan dengan tangan yang memotong leher.

Nayya tersenyum cerah. "Bokap gue udah balikin uang jajan gue, bahkan dikasih lebih."

"Kok bisa?" tanya Sadiya agak kaget.

Nayya hanya mengedik dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Gara-gara persoalan Sandi kemarin itu, Alfi sangat bangga sekali padanya. Hingga ia pun memberinya sedikit hadiah. "Allah memang Maha Baik. Saat kita melakukan satu kebaikan, Ia membalasnya dengan berlipat ganda," ujar Nayya tiba-tiiba.

Sadiya menatap temannya itu curiga. Kemudian ia beralih pada Safira yang dibalas gelengan, lalu pada Arkan yang hanya tersenyum sedikit dan Kei, yang sejak tadi hanya diam. Sadiya menghela napas. "Ada apaan, sih?" tanyanya bingung.

Nayya tak menanggapi kebingungan ketua kelasnya itu. Membuat Sadiya menggerutu tak jelas. Lalu ia menangkap sosok Sandi yang nampak sedang mencari tempat duduk. Ia pun memanggilnya. "San!" serunya sambil melambaikan tangan ke atas. Menyuruh pria itu untuk bergabung di mejanya.

"Nay...." Kei yang melihat hal itu langsung merespon tak suka. Sandi nampak menghampiri meja mereka dan hal itu membuat Sadiya dan Safira keheranan.

"Lo bisa minta maaf sekarang," bisik Nayya pada Kei.

"No! Gue nggak salah!" tolak Kei keras.

Sandi sudah sampai di meja mereka. "Gue boleh gabung?" tanyanya.

Nayya mengangguk sambil tersenyum. "Duduk aja," ujarnya.

"Nggak," sergah Kei membuat Sandi urung duduk.

"Kei ... ayolah!"

Kei menghela napas kasar. "Gue nggak ngerti. Dia itu udah jahat sama lo Nay, dan lo dengan gampangnya maafin dia? Bahkan lo nolongin dia. Dan sekarang? Gabung di sini?" tanya Kei tak percaya.

"Apa salahnya? Dia ngelakuin itu punya alasan. Gue juga nggak permasalahin lagi soal kemaren. Gue nolong dia karena dia temen sekelas gue. Minta maaf, memaafkan, apa susahnya, sih?"

Kei menggeleng. "Gue nggak punya alasan buat minta maaf. Bagi gue, cowok yang nyakitin cewek dan berani ngelukain cewek itu banci dan selamanya banci!" tukasnya penuh penekanan. "Gue nggak sudi satu meja sama banci kayak dia!"

"Kei!" sentak Nayya marah dan Kei nampak terkejut. Lalu sejurus kemudian Nayya pun nampak merasa bersalah karena membentaknya. "Kei, sorry. Gue─"

"Ok, I just have to go," ujarnya kemudian berlalu dengan perasaan kecewa.

Nayya hendak menyusul Kei, namun seorang murid perempuan─yang sedang berceloteh dengan temannya─tak sengaja menabrak Nayya dan minuman yang sedang dibawanya tumpah mengenai jilbab Nayya.

"Duh! Maaf, Kak! Nggak sengaja, ya ampun," serunya panik mencoba membersihkan noda di kerudung Nayya dengan mengusap-usapnya.

Sandi yang melihat itu langsung bangkit menghampiri mereka. Lalu menatap dua murid perempun di hadapannya geram. "Kalian! Makanya kalo jalan lihat-lihat! Lo lagi, minum sambil jalan-jalan!" tudingnya pada murid perempuan yang sepertinya junior mereka. Nayya sampai terkejut karena Sandi marah-marah karenanya.

"Maaf, Kak. Nggak sengaja...," ucap murid perempuan itu takut-takut.

Nayya mengedarkan pandangan, orang-orang di kantin tengah melihat ke arahnya. Ia tahu ia menjadi pusat perhatian bahkan sejak pertengkarannya dengan Kei. "Udah, San ... gue nggak papa, nggak usah bentak-bentak juga, mereka nggak sengaja," ucapnya menenangkan Sandi. Lalu ia menyuruh dua adik kelasnya itu pergi. Tak enak juga karena dia sudah membuat keributan di kantin.

"Sekali lagi maaf, ya Kak," ucap gadis dengan rambt sebahu itu lalu pergi setelah mendapat anggukan dan senyuman dari Nayya.

"Tapi kerudung lo jadi kotor," ujar Sandi.

"Nggak papa, bisa gue bersihin." Nayya diam sejenak. "Maafin Kei ya," ujarnya kemudian.

Sandi menghela napas. "Nggak perlu minta maaf. Dia emang nggak salah, kok. Gue ngerti kenapa dia laporin semua perbuatan gue ke Pak Budi dan kenapa dia benci banget sama gue. Jadi, lo nggak perlu nyuruh dia minta maaf sama gue."

Nayya akui yang dikatakan Sandi memang benar, sebenarnya Kei tidak sepenuhnya bersalah. Ia melakukan itu karena kesal akibat perbuatan Sandi padanya. Tapi setidaknya, ia ingin teman-temannya saling berbaikan. Tidak saling membenci seperti ini. Nayya melirik Arkan, kemudian menghela napas. Ia tidak bisa membuat Arkan dan Kei akur bahkan ia tak tahu apa penyebabnya hingga mereka seperti sedang perang dingin. Setidaknya tidak dengan Sandi, ia ingin mereka semua berteman.

"Gue mau nyusul Kei dulu," ujarnya sambil tersenyum kemudian beranjak namun ia berhenti setelah teringat sesuatu. Nayya kembali menoleh. "Oh, ya. Nanti yang bayar si Sadiya ya. Gue duluan," ucapnya kemudian pergi.

Sadiya melongo. "Kampret banget emang itu bocah!" gerutunya lalu komat-kamit tak jelas.

Safira hanya menahan tawa, kemudian melirik Arkan yang diam saja. Safira kemudian beralih pada Sandi dan memberinya kode untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Arkan.

Seolah sudah terbiasa dengan Safira yang tidak banyak bicara, Sadiya mengerti maksud temannya itu lalu bertanya pada Arkan, "Jadi, ada apa sebenernya? Cerita napa!"

Arkan menoleh. "Lo mau tahu?"

"Iyalah! Masa gue sama si Safira aja yang nggak tahu apa-apa," tukasnya.

"Oke, tapi nanti ini lo yang bayarin semua ya?"

"Sialan!"

***

Nayya sangat tahu jika Kei sedang kesal, ia akan melampiaskannya dengan bermain basket. Dan di sanalah ia. Bermain basket sendirian di lapangan. Nayya memperhatikan Kei yang sedang bermain dan beberapa kali melempar bola ke ring dengan kesal. Lalu ia menghampirinya, tepat saat bola basket itu memantul dan menggelinding padanya. Nayya mengambil bola tersebut lalu berdiri di depan Kei. Kei yang nampak kelelahan, terengah sambil menatap sahabatnya.

"I'm sorry," ucap Nayya tulus.

Kei mengambil bola di tangan Nayya lalu kembali bermain, mengacuhkan Nayya yang berdiri di lapangan.

"Kei...."

Kei tak menggubris dan masih lanjut main.

"I say sorry," ucap Nayya lagi.

Kei masih tidak mau menggubris. Hingga Nayya ikut bermain dan merebut bolanya lalu memasukkan bola itu ke ring dengan mudah. Kei pun berhenti sejenak dan menatap sahabatnya itu.

"Kalo gue ngalahin lo, lo harus mau bicara sama gue," tantang Nayya. Entah dapat dari mana ide gila itu. Melawan Kei bermain basket─one by one─sama saja cari mati.

"Oke. Siapa takut," ujar Kei setelah terdiam beberapa saat.

Lalu mereka pun bermain duel. Nayya tahu sejak dulu Kei pandai bermain basket. Sementara ia, hanya bisa disebut 'bisa'. Lima menit berlalu dengan keunggulan Kei. Sekornya berbeda cukup jauh namun Nayya tak mau berhenti. Mereka bermain dengan sengit. Kei nampak sudah kelelahan, begitu pula dengan Nayya. Selain itu, ia juga kesusahan karena rok yang ia pakai, bahkan kerudungnya sudah berantakan. Staminanya juga tak sebanding dengan Kei yang notabene-nya seorang pria.

Kei tentu melihat semua itu, ia juga melihat kesungguhan Nayya. Lalu ia sengaja mengalah dan membiarkan Nayya memenangkan pertandingan. Nayya terduduk setelah lima belas menit berlalu dengan sekor beda satu poin. Napasnya tersenggal. Jantungnya berpacu lebih cepat karena ia bekerja terlalu keras.

"You win," ucap Kei yang juga masih mengatur napasnya. Berdiri di hadapan Nayya yang terduduk kelelahan.

"No, I'm lose," sanggah Nayya. Ia tahu kalau Kei sengaja mengalah padanya. Ia masih mencoba mengatur napas, kemudian melihat Kei berlalu dari hadapannya. Namun tak lama ia kembali, membawa dua botol air mineral. Lantas duduk di samping Nayya, ikut menselonjorkan kaki ke depan dan menyerahkan satu botol pada Nayya.

"Kenapa lo ngalah?" tanya Nayya setelah menegak minumannya hingga tinggal setengah botol.

"Sorry." Hanya itu yang Kei katakan. Lalu hening. Terdiam dan berkutat pada pikirannya masing-masing.

"Minta maaf itu nggak harus di saat kita punya salah Kei," ucap Nayya memulai kembali pembicaraan. "Kenapa sih, lo segitu bencinya? Gue aja udah nggak permasalahin soal yang kemaren. Dia udah minta maaf sama gue, bahkan lo lihat sendiri dia mulai berubah. Apa susahnya minta maaf dan memaafkan?"

"Dalam agama gue, kita diajarkan buat sabar sama orang yang membenci kita, lalu memaafkan orang yang berbuat jahat sama kita, memberi pada orang yang memusuhi kita dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi dengan kita," papar Nayya mencoba memberi pengertian pada Kei atas sikapnya yang dengan mudahnya memaafkan Sandi. Kei tak menjawab apa-apa, ia hanya diam mendengarkan sahabatnya.

Melihat Kei yang diam saja, Nayya pun melanjutkan perkataannya, "Gue cuma pengen temen-temen gue akur, nggak saling musuhan ataupun saling membenci. Lo sama Arkan, dan sekarang sama Sandi. Kenapa sih? Jangan bilang semuanya karena gue. Kalau lo benci sama Sandi karena gue, gue minta lo maafin dia dan lo pun minta maaf sama dia. Demi gue." Lalu hening sesaat.

"Andai kemaren lo ikut, dan lo nyaksiin apa yang gue sama Arkan lihat di rumahnya. Lo pasti nggak akan kayak gini," ucap Nayya lagi.

Kei nampak mulai tertarik, ia menoleh pada Nayya─menuntut penjelasan lebih. Lalu Nayya menoleh dan menatapnya. "Dia nggak jauh beda sama lo dulu," lanjut Nayya kemudian kembali menatap ke depan. Menerawang. Dan Kei nampak penasaran.

"Lo tahu ... keluarganya berantakan. Ayahnya hampir membunuhnya, tapi ibunya menyelamatkannya. Sekarang ibunya di rumah sakit, ditusuk oleh suaminya sendiri. Beruntung karena ibunya masih bisa diselamatkan," papar Nayya.

Kei nampak terkejut, ia menelan ludah. Bahkan penderitaannya dulu tak sebanding dengan Sandi. "Are you serious?" tanyanya lirih.

Nayya mengangguk. "Lo bisa ikut gue ke rumah sakit kalo nggak percaya. Ayahnya pemarah, pemabuk, kasar dan suka menyiksa. Dan setelah melukai istrinya, ia kabur entah ke mana dan sekarang masih belum ditemukan."─ia menoleh dan menatap Kei─"Jadi Kei, lo tahu kan kenapa sikapnya kayak gitu? Dia punya alasan. Seperti lo dulu." Kemudian hening sejenak.

"Dan sekarang, dia mulai berubah. Gue yakin, dia nggak punya temen. Karena itu, gue mau jadi temen dia. You've said, my friend is your friend, right?"

Kei terdiam. Ya, dulu ia pernah bekata seperti itu. Kenapa ia melupakannya?

"Lo mau kan minta maaf sama dia? Demi gue." Nayya menatapnya penuh permohonan. Kei masih belum menjawab apa-apa, hanya menatap sahabatnya itu. Bagaimana ia bisa menolak jika Nayya menatapnya seperti itu? Ia sudah berjanji akan selalu menjaga gadis di hadapannya ini, bahkan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti semua permohonan gadis itu.

Kei menoleh ke depan lalu menghela napas. "Tapi lo jangan deket-deket sama dia," celetuknya dengan wajah agak ditekuk.

Nayya menarik sebelah alis ke atas lalu tertawa. "Are you jealous?" candanya masih tertawa.

Kei menatapnya sebal. "Yes, I'm jealous. I don't like you more close with the other than me!" tukasnya.

Nayya memutar bola mata. "Nggak usah lebay deh! Kalian itu sama. Sama-sama temen gue."

Kei cemberut. Lalu Nayya kembali tertawa. Sepertinya Kei hanya tidak suka saat ia mendapat teman baru dan lebih perhatian pada orang itu. Cemburu sosial, kalau kata sosiologi. Mungkin itu yang sedang dialami Kei sekarang.

Nayya menyipitkan mata, dan melihat Sandi nampak berjalan menghampiri mereka. Ia mengerutkan kening, dari mana ia tahu kalau dirinya sedang di lapang basket? Tapi itu tidak penting. Justru ia merasa ini kesempatan bagus untuk dua temannya itu saling meminta maaf.

"Kei," Nayya menyenggol lengan Kei dengan sikutnya lalu menunjuk Sandi dengan dagunya saat Kei menoleh padanya. Kei bisa melihat Sandi yang berjalan ke arah mereka, nampak membawa sesuatu. "Jangan lupa," bisik Nayya. Dan Kei hanya mendesis.

"Nay," panggil Sandi saat tiba di hadapannya.

Nayya bangun. "Ada apa? Kok tahu sih gue di sini?"

Sandi tak langsung menjawab dan menyerahkan benda di tangannya yang ia bawa sejak tadi.

"Apaan?" tanya Nayya bingung.

"Kerudung," jawab Sandi kaku, lalu mengedikkan dagu menunjuk kerudung Nayya yang kotor. Mungkin maksudnya menyuruh Nayya mengganti kerudungnya yang terkena tumpahan pop ice di kantin tadi.

Nayya melongo lalu menoleh pada Kei yang memutar bola mata. Ia puin menahan tawa. "Kok bisa? Lo dapet dari mana?"

Sandi menggaruk belakang kepalanya. "Dari anak tadi yang nabrak lo, dia yang ngasih."

Nayya hanya mengangguk dan ber-oh ria. Lalu mengambil kerudung yang dibawa Sandi. "Thanks ya," ucapnya. Sandi mengangguk. "Oh ya, si Kei katanya mau ngomong."

"Apaan?" sungut Kei langsung protes. Sementara Sandi hanya diam dan beralih menatap Kei.

Nayya menatap Kei dengan ancaman. Kei mendengus kesal. "Gue minta maaf," ucapnya cepat tanpa menatap Sandi.

Sandi mengernyit dan menyipitkan mata menatap teman sekelasnya. Lalu melirik Nayya. "Temen lo napa sih, Nay?" tanyanya.

"Tuh kan, Nay!" rengek Kei setengah kesal. Dan Nayya hanya menahan tawa.

Sandi pun sedikit tertawa. "Santai aja kali, lo gak perlu minta maaf. Gue bisa ngerti kenapa lo bersikap kayak gitu sama gue."─Sandi mengulurkan tangan pada Kei─"Gue yang minta maaf."

Kei diam sejenak, ia melirik Nayya yang memberikan senyum padanya. Menghela napas, lalu menjabat tangan Sandi walau sedikit enggan. "Awas aja kalo lo nyakitin dia lagi. Dan jangan deket-deket!"

Sbelum apa-apa sudah dapat ancaman, Sandi tertawa pelan. "Oke, gue pastiin itu nggak bakal terjadi."

"Gitu dong! Kan enak," seru Nayya tersenyum senang. Lalu mengajak dua temannya ke kelas karena bel masuk baru saha berbunyi. Dan ia harap, Kei juga bisa berdamai dengan Arkan.

***

Tbc.

Alhamdulillah ... Selesai ditulis dalam keadaan ngantuk 😅 wkwk  semoga nggak banyak typo dan kata rancu 😅

Subang,
11 Desember 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top