Bab 14 - Rahmat dan Kuasa-Nya

14

Rahmat dan Kuasa-Nya

"Rahmat-Nya selalu mendahului kemurkaan-Nya. Dan ketika kita mendatangi-Nya dengan sungguh-sungguh dan memasrahkan segalanya pada-Nya, disitulah ia memberikan rahmat-Nya"

***

Nayya mengaduk makan malamnya tanpa minat. Ia merasa sudah kenyang walau hanya menyuap beberapa sendok nasi. Semua tingkah lakunya itu tak luput dari perhatian Alfi. Ia memperhatikan anak gadisnya yang nampak murung dan tak banyak bicara seperti biasanya.

"Nay," Alfi memanggilnya. Nayya mendongak. "There's something wrong, hm?" tanya Alfi.

Nayya menggeleng pelan. "Nope," jawabnya lesu lalu menaruh sendok. "Ma, Pa, Nayya duluan ya," pamit Nayya kemudian bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kamarnya di lantai atas.

Alfi melirik istrinya, meminta penjelasan. "Apa ada masalah?"

"Sepertinya begitu," jawab Afanin. Membuat kening Alfi berkerut bingung.

"Ada apa?" tuntut Alfi lagi.

Afanin menghela napas sejenak. "Katanya dia mau membuat ekskul baru, tapi proposalnya tidak di acc dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal."

Alfi semakin mengernyit. "Ekskul apa?"

"ROHIS," jawab Afanin singkat. Ia sedang menyelesaikan makannya.

"Ekskul apa itu?" tanya Alfi lagi.

Afanin menatapnya lalu terkekeh sebentar. "Rohani Islam. Sebenarnya itu perkumpulan para aktifis dakwah. Mereka berkumpul dalam satu wadah bernama ROHIS. Jadi, di organisasi itu mereka saling menebar kebaikan, melakukan kegiatan berbau islami. Kurang lebih sih seperti itu."

Alfi manggut-manggut, paham. "Lalu, kenapa tidak di acc? Bukankah itu bagus?"

"Itulah yang jadi masalah Nayya, ia kecewa dan tak habis pikir dengan sekolahnya yang tak memberi ia izin dengan alasan itu organisasi yang tidak terlalu penting, juga karena sudah terlalu banyak organisasi di sekolahnya." Afanin menghela napas sejenak. "Melihatnya seperti itu, sepertinya dia benar-benar menginginkan mendirikan ekskul tersebut. Dia bilang, dia ingin membuka ladang dakwahnya sendiri. Dan sebenarnya aku senang dengan idenya itu."

Alfi kembali mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin sedang memikirkan cara membantu anak kesayangannya itu.

Afanin menatap suaminya curiga. "Mas jangan aneh-aneh loh," ujarnya.

"Aneh-aneh apa sih, Sayang?" geli Alfi.

"Nayya nggak bakal suka kalau tahu Mas ikut campur."

"Ya, kamu jangan kasih tahu dia dong," ujar Alfi dengan senyum jenaka. "Aku hanya akan membantu memudahkan jalannya saja, kok. Gak usah khawatir."

Afanin tersenyum. "Aku bisa precaya padamu, kan?" ujarnya lalu bangkit untuk membereskan meja makan.

"Tentu saja," ucap Alfi tersenyum yang kemudian membantu sang istri beres-beres.

**

Nayya merebahkan tubuhnya di ranjang. Menghela napas beberapa kali. Harinya tadi benar-benar tak menyenangkan. Sudah ditolak soal proposal pembuatan ekskul ROHIS, ditambah masalah Sandi yang secara tak langsung melibatkan dirinya. Ia memejamkan mata mengingat pertemuan sebelumnya dengan Arkan dan Kei sepulang sekolah. Ia sudah tahu siapa yang melaporkan perbuatan teman sekelasnya itu.

"Kenapa lo laporin ke Pak Budi?" tanya Nayya kala itu setelah mendengar pengakuan dari Kei, kalau dialah yang melaporkan semua perbuatan Sandi. Arkan yang juga di sana hanya diam memperhatikan.

"C'mon Princess, what's wrong? Bukankah emang sepantasnya kita laporin dia? Biar dia nggak macem-macem lagi." Kei merasa ia tak salah. Menurutnya perbuatan Sandi sudah sepatutnya diketahui pihak guru dan diberi pelajaran.

Nayya mengusap wajah frustrasi. "Lo emang bener. Tapi Kei ... kita udah buat kesepakatan kan kalo kita nggak bakal laporin dia, dan sekarang dia udah nggak gangguin Fabian lagi."

"Who's know?" tukas Kei.

Nayya mengela napas menatap sahabatnya. "Kenapa? Lo benci sama dia?"

"Gue cuma nggak suka cara dia memperlakukan lo. Gue rasa itu balasan yang setimpal buat tu banci."

"Astaga Kei!" seru Nayya nampak tidak suka. "Jadi, karena gue?" tanya Nayya tak percaya. Kei melaporkan Sandi karena pria itu sudah menyakiti dirinya. Nayya menarik napas hendak berbicara lagi sebelum Arkan mendahuluinya.

"Udahlah, Nay. Kei nggak sepenuhnya salah," ujar Arkan menimpali. "Dia emang udah kelewat batas."

"Tapi, Kan...."

"Gue tahu," potong Arkan. "Gue ngerti, dan gue bakal bantu sebisa gue."

Nayya menghela napas untuk ke sekian kalinya. Ia tak habis pikir kenapa Kei sampai seperti itu untuk dirinya. Padahal dirinya sama sekali tak menyimpan dendam apa pun pada Sandi. Merasa frustrasi, Nayya bangun lalu menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Kemudian meraih Al Qur'an-nya dan bermurojaah sampai ia terlelap.

***

"Sandi Permana?" Bu Kiki mengulang nama Sandi karena panggilan pertama tidak ada sahutan.

"Tidak ada, Bu!" teriak salah satu murid.

Untuk kesekian kalinya, Sandi absen. Sejak insiden di ruang guru waktu itu, Sandi belum pernah terlihat di sekolah lagi. Nayya merasa khawatir sekaligus merasa bersalah. Kalau bukan karena dirinya, Kei tidak akan melaporkan Sandi dan pria itu juga pasti masih datang ke sekolah.

Usai pelajaran berakhir, Nayya menemui wali kelasnya. Untuk membicarakan masalah Sandi. Karena bagaimanapun juga, ia ikut terlibat.

"Guru-guru di sini tidak menyukainya. Kalau dalam dua hari ini dia masih absen, sekolah akan mengeluarkannya," ucap Bu Kiki.

Nayya nampak terkejut. Menggeleng tegas. "Apa tidak bisa diusahakan, Bu?"

"Itu adalah keputusan setelah usaha terbaik yang bisa ibu lakukan."

Nayya menunduk lesu. Dia tahu Sandi memang nakal, tapi ia yakin ia punya sisi baik. Buktinya ia masih tetap datang ke sekolah walau ia tak sungguh-sungguh belajar. "Saya akan coba menemui dia, Bu," putus Nayya kemudian,

"Ibu sudah menemuinya. Dan dia bilang dia tidak mau kembali ke sekolah."

"Tidak papa, saya tetap akan menemuinya. Saya akan membuatnya kembali ke sekolah," ucap Nayya yakin. "Boleh saya minta alamatnya, Bu?"

Bu Kiki menatap Nayya sejenak kemudian menuliskan alamat Sandi di sebuah kertas kecil. "Sebaiknya kau datang saat ayahnya tidak ada," ujar Bu Kiki setelah menyerahkan kertas tersebut padanya.

"Kenapa?"

"Ayahnya orang yang keras."─Bu Kiki menghela napas sejenak─"Dia suka melakukan kekerasan," ucapnya lirih. "Dia sering mabuk dan memukuli istrinya sendiri, bahkan mungkin Sandi pun."

Nayya tersentak. Kata-kata Sandi waktu itu terlintas begitu saja di benaknya.

"Nggak semua orang seberuntung lo."

Ia juga ingat bagaimana marahnya Sandi saat ia mengungkit soal orang tuanya. Rasa bersalah itu semakin menyeruak di dada. Nayya kemudian pamit setelah mengucap terima kasih.

"Nayya," panggil Bu Kiki. Nayya kembali menoleh. "Semoga berhasil."

Nayya tersenyum lantas kembali melanjutkan langkah setelah menggucap salam.

***

"Lo gila apa? Gue nggak ikut!" tukas Kei enggan. Ia tidak menyetujui ide Nayya untuk menemui Sandi. "Lagian ngapain repot-repot sih, Nay? Udah aja sih sukurin kalau dia di drop out. Nggak ada ruginya buat kita kan? Ada dia juga nggak ada untungnya buat kita."

"Gue nggak suka ya Kei, lo bersikap kayak gini. Gimanapun juga dia itu temen kita."

"What? Friend?"─Kei tertawa sinis─"Setelah semua yang dia lakuin ke lo, lo masih anggep dia temen? Are you kidding me?"

"Kei!" Nayya membentaknya. Ia benar-benar tak menyukai sifat Kei yang satu ini. "Dia pasti punya alasan. Dia berhak sekolah di sini. Gue yakin dia nggak bener-bener pengen berhenti sekolah. Kita masih kelas dua, dan gue yakin dia juga punya mimpi."

Kei menyisir rambutnya gusar. "My God! Nayya...."

Nayya menggeleng. Rasanya ia ingin menangis, entah kenapa. "Gue nggak mau ngancurin mimpi seseorang. Apalagi dia temen sekelas gue."

Hening. Kei tak lagi bicara. Begitu pula dengan Nayya.

"Kalo lo nggak ikut, nggak masalah. Kita bisa pergi berdua," ujar Arkan yang sejak tadi hanya diam. "Ayo, nanti keburu malam." Arkan lalu menarik tangan Nayya menuju motornya di parkir.

Nayya menoleh lagi pada Kei dengan tatapan agak kecewa. Lalu ia naik dan duduk di belakang Arkan. Mereka pun pergi menuju alamat yang diberikan Bu Kiki siang tadi.

***

"Ini rumahnya?" tanya Nayya saat mereka sampai di depan rumah bercat biru pudar yang terbilang sederhana. Depan rumahnya nampak berantakan─tak terurus, daun-daun kering yang jatuh dari pohon yang dibiarkan tumbuh di halaman bertebaran di mana-mana.

"Harusnya sih iya," jawab Arkan melihat kembali alamatnya.

Prangg!

Sebuah suara benda dilempar mengejutkan mereka berdua. Disusul suara teriakan marah, suara erangan, jeritan dan isak tangis. Tanpa sadar, Nayya menahan napas. Ia melirik Arkan yang juga meliriknya. Sepertinya mereka datang di saat yang tidak tepat.

"Hentikan!" Itu suara Sandi. Disusul suara yang tidak terlalu jelas terdengar.

"Kan...?" Nayya bertanya ragu, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia masuk dan melihat apa yang terjadi atau hanya diam menunggu sampai keributan di dalam sana reda─jika memang akan mereda. "Gimana?" tanya Nayya lagi.

Arkan pun nampak kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. "Terlalu beresiko kalau kita masuk," ucapnya.

"Tapi, apa kita juga cuma diem aja di sini?"

Arkan menghela napas. "Oke, kita masuk. Lo tetep di belakang gue."

Nayya baru saja akan membantah sampai Arkan menatapnya tajam. "Iya, iya!"

"Good girl," Arkan menepuk puncak kepala Nayya sekali lalu masuk ke halaman rumah Sandi terlebih dahulu diikuti Nayya di belakangnya.

Baru saja beberapa langkah, mereka sontak berhenti ketika melihat seorang pria paruh baya keluar dengan tergesa. Arkan dan Nayya bisa melihat tangannya yang berlumuran darah. Nayya tercekat. Lalu sebuah teriakan yang begitu nyaring terdengar. Jelas, itu adalah teriakan dari Sandi. Nayya dan Arkan cepat-cepat masuk mengabaikan pria itu yang tengah berlari tak menghiraukan kehadiran mereka berdua.

Keadaan rumah Sandi begitu berantakan, terdengar raungan dan isak tangis Sandi yang menyebut nama ibunya. Nayya berjalan pelan di belakang Arkan, sampai Arkan tiba-tiba berhenti dan berjalan cepat ke arah Sandi yang menangis hebat memanggil-manggil ibunya─yang ia pangku─di pangkuannya dengan berlumuran darah.

Melihat itu, Nayya membekap mulut seiring dengan matanya yang melebar. Ia merasa lututnya lemas dan tubuhnya menggigil gemetar. Tanpa kata, Arkan mengecek denyut nadi wanita yang tengah berlumuran darah itu. Masih ada. Sementara Sandi nampak terkejut melihat Arkan yang tiba-tiba di rumahnya.

"Nay! Panggil ambulans, cepat!" serunya namun Nayya masih tercenung. Nampak begitu terkejut.

"Dia masih hidup. Kita harus menghentikan pendarahannya." Arkan seperti berkata pada dirinya sendiri.

"Apa yang kalian lakuin di sini?" Sandi bertanya dengan nada tertahan.

Arkan tak memedulikannya. "Ainayya!" sentak Arkan hingga Nayya tersadar. "Panggil ambulans!" titahnya lagi.

Dengan tangan gemetar Nayya merogoh ponsel lalu menghubungi ambulans. Sementara Arkan berusaha melakukan pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahannya. Ia merobek gorden, menggulungnya lalu menekan kain itu pada perut ibu Sandi. Dalam hati ia terus merapal do'a, berharap semoga nyawanya masih bisa terselamatkan.

Sementara Sandi menatap Arkan dalam diam. Ia tak mengerti dan ia tak tahu harus berbuat apa. "Dia udah mati," ucap Sandi.

Arkan menoleh pada Sandi yang seperti tak hidup. Wajahnya juga penuh luka dan memar kebiruan. Kemudian Arkan menggeleng. "Dia masih hidup," ucapnya mencoba meyakinkan Sandi dan dirinya sendiri. Ia sendiri tidak yakin apakah yang ia lakukan ini berguna atau sia-sia belaka.

Lalu sirine terdengar, tak lama petugas ambulans masuk dan bergegas menyelamatkan ibu Sandi. Mereka bergerak cepat membawa wanita paruh baya yang tak berdaya itu setelah memastikan kalau wanita itu masih bernyawa. Melihat ibunya dibawa, Sandi bangun dan mengikutinya. Ia menatap wanita berharganya diangkut ke mobil ambulans.

"Masuklah! Temani ibumu," ujar Arkan.

Sandi menoleh sejenak kemudian segera menaiki ambulans. Duduk di samping ibunya sambil menggenggam erat tangan sang ibu. Sementara tim medis melakukan tugas untuk menyelamatkan korban.

"Apa dia masih hidup?" tanya Sandi takut-takut.

"Ya," jawab salah seorang petugas yang sibuk melakukan pertolongan. Satu kalimat itu seperti mantra yang membawa sinar harapan untuknya. "Penolongan pertama untuk menahan pendarahannya membuatnya bisa bertahan sedikit lebih lama," ujar petugas itu lagi.

Sandi bersyukur dalam hati. Bu, bertahanlah. Aku mohon. Aku janji akan menuruti semua keinginanmu, pintanya dengan sejuta harap.

Arkan menghela napas lega. Lalu menoleh pada Nayya yang nampak masih shock. Ia lantas menggenggam kedua bahu sahabatnya itu. "Listen to me. Forget it. It's okay, everthing's gonna be okay," ucapnya pelan. Nayya tak bergeming. "Kita pulang."

Nayya menahan lengan Arkan yang akan membawanya. Arkan kembali menoleh. Nayya menggeleng. "Kita ke rumah sakit."

"Tapi, Nay...."

"Please...," lirihnya.

Arkan menghela napas. Ia mengkhawatirkan kondisi mental sahabatnya. "Are you okay?"

"I'm okay," jawab Nayya yakin.

"Sure?"

Nayya mengangguk. "Ayo," ajaknya lalu berjalan terlebih dahulu.

Arkan menatapnya sebentar kemudian menyusulnya.

***

Di rumah sakit, Sandi nampak duduk menunggu dengan gelisah. Kepalanya tertunduk. Tangannya saling menggenggam erat. Sudah hampir dua jam ibunya ditangani dokter di ruang IGD.

Sebelumnya saat Nayya menghubungi orang tuanya, Alfi mengusulkan untuk melapor polisi, karena perbuatannya termasuk percobaan pembunuhan. Mendengar cerita dari anaknya, perilaku ayah Sandi memang sudah keterlaluan. Ia juga bisa dilaporkan atas KDRT. Sandi tak membantah yang artinya ia setuju atau mungkin tak peduli lagi soal ayahnya. Ia hanya bilang ia ingin ibunya selamat.

Alfi lah yang melapor pada polisi, lalu mereka bertiga dimintai keterangan sebagai saksi. Dan Nayya bisa tahu kronologis kejadian sore tadi dari keterangan yang diberikan Sandi.

Ayahnya dalam keadaan mabuk─seperti dugaannya, ia pulang untuk meminta uang pada ibunya. Namun ibunya tak punya uang untuk diberikan hingga ayahnya mengamuk. Memukuli istrinya tanpa ampun. Sandi yang memang sedang di rumah tidak tinggal diam. Ia mencoba melawan ayahnya hingga ia pun menjadi sasaran kemarahan sang ayah. Hal itu membuat kemarahan ayahnya memuncak hingga ia mengambil pisau yang ditujukan untuknya. Ibu Sandi yang melihat itu pun bergegas menghampiri anak laki-lakinya, menghadang pisau yang akhirnya mengenai perutnya. Dan setelah itu, ayahnya kabur entah ke mana.

Nayya menatap Sandi dari kejauhan. Kata-katanya waktu itu kembali terngiang.

"Nggak semua orang seberuntung lo."

Ya, tak semua orang seberuntung dirinya. Ia memiliki keluarga yang lengkap, baik, dan berkecukupan. Ia memiliki segalanya. Sementara pria itu, yang beberapa minggu ini─semakin─memusuhi dan membencinya, hanya anak dari keluarga sederhana. Ibunya bekerja sebagai cleaning service di sebuah pusat perbelanjaan, banting tulang setiap hari karena sang ayah hanya tahu bersenang-senang dan mabuk-mabukan, setiap kali pulang ia meminta uang lalu memukuli istrinya jika tak mendapat apa yang ia inginkan. Sandi pun seringkali jadi sasaran kemarahan ayahnya.

Ia merasa begitu bersalah pada teman sekelasnya itu. Ia menyesal telah mengatainya waktu itu. Apalagi ia mengungkit tentang ibunya. Nayya menghela napas pelan. Berharap dengan begitu ia bisa sedikit menghilangkan sesak yang mengimpit dada.

"Sayang...," panggilan lembut itu mengalihkan perhatiannya. Mamanya datang, ia langsung menghambur pelukan Afanin dan terisak. Afanin mengusap kepala anak gadisnya dengan sayang. "Tidak papa, Sayang. Semuanya pasti baik-baik saja."

Nayya masih meluapkan kesedihan dan perasaan tak menyenangkan yang hinggap di hatinya itu.

"Sebentar lagi magrib, sholat dulu yuk," ajak Afanin.

Nayya melepas pelukan dan mengusap air matanya. Ia sudah berhenti menangis kemudian bersama mamanya menuju mushola. Sejenak ia menoleh ke arah Sandi dan melihat Arkan bersamanya. Nampak sedang membicarakan sesuatu.

"Papa di mana?" tanya Nayya.

"Dia sedang bersama kepolisian, mungkin untuk mencari pelaku."

Pelaku, ulang Nayya dalam hati. Pelaku yang tak lain adalah suaminya sendiri─ayah Sandi. Ia tak habis pikir ada orang seperti itu. Saat pria paruh baya itu melewatinya Nayya bisa tahu kalau orang itu sedang mabuk. Mungkin karena itu ia kehilangan akal sehatnya. Mabuk membuat kita kehilangan akal sehat, dan saat akal kita tak bisa lagi dikendalikan, kita bisa melakukan apa saja bahkan hal yang buruk dan tidak terduga yang sangat berbahaya. Itulah kenapa Allah mengharamkan khamr.

"Sudah, jangan dipikirkan terus. Tenang, semuanya akan baik-baik saja. Husnudzon saja. Anaa 'inda dzonni 'abdi bii," ucap Afanin menenangkan anak gadisnya.

Nayya tersenyum, mamanya benar. Bahwa Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Jadi, sepatutnya kita berbaik sangka pada Allah. Nayya mengapit tangan mamanya menuju mushola. Mencoba menyampaikan kalau ia sangat berterima kasih dengan kehadiran sang mama.

Sementara itu Arkan yang sejak tadi bersama Sandi, bangkit begitu ponselnya mengumandangkan suara adzan. "Udah magrib, mending sholat dulu," ujarnya menatap Sandi. "Minta pertolongan sama Allah."

Sandi tak bergeming. Ia ingin, tapi ia ragu. "Gue udah lama nggak sholat," ujarnya pelan.

Arkan diam sejenak lalu berkata, "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Ia membacakan arti dari surah az Zumar ayat 53, menatap Sandi sungguh-sungguh. "Pintu maaf-Nya selalu terbuka, dan rahmat-Nya selalu mendahului kemurkaan-Nya. Datangi Ia dengan sungguh-sungguh."

Sandi masih diam. Hingga Arkan memutuskan untuk pergi, ia bangun lantas berkata, "Gue ikut."

Arkan tersenyum. Ia tahu pria itu telah mendapat hidayah dari-Nya. Kemudian membawa Sandi bersamanya. Sandi memang sudah lama tidak sholat, tapi ia tidak pernah lupa. Karena terkadang ibunya suka menyuruhnya dan ia hanya sholat saat magrib. Mungkin sekitar tiga kali dalam seminggu.

Dalam sholatnya, seperti yang dikatakan Arkan, ia mendatangi Tuhannya dengan sungguh-sungguh. Menumpahkan semua beban dan harap pada Sang Kuasa. Ia tersedu-sedu dalam do'anya. Memohon pertolongan dan rahmat-Nya. Ia juga mengucap janji akan berubah jika Tuhan menyelamatkan wanita yang paling berharga untuknya.

"Udah baikan?" tanya Arkan setelah melihat Sandi keluar dari mushola. Ia menunggu Sandi yang cukup lama berada di dalam mushola.

Sandi mengangguk. "Thanks," ucap Sandi.

Arkan tersenyum. "Terlalu cepat untuk berterima kasih. Dan lo nggak seharusya berterima kasih sama gue."

Sandi menatap Arkan heran. Namun Arkan tak langsung menjelaskan. Ia merangkul Sandi sambil tersenyum lantas berjalan kembali ke IGD. Saat sudah dekat, Sandi melihat dokter yang sedang berbicara dengan Nayya dan mamanya. Ia pun bergegas berlari menghampiri mereka.

"Dok, ibu saya. Bagaimana?" tanyanya cemas dan penuh harap.

Dokter itu nampak tersenyum lega. "Atas kuasa Allah, ibumu selamat. Dia sudah melewati masa kritis. Kami akan segera memindahkannya ke ruang ICU karena pasien masih harus mendapatkan penanganan secara insentif," papar sang dokter.

Sandi mengusap mukanya. "Allahu akbar," ucapnya penuh syukur. Dokter pamit setelah menepuk pundak Sandi.

Ia pun tak henti mengucap syukur dan memuji Tuhannya. Hatinya bergetar hebat tatkala menyebut nama Tuhannya. Allah telah mengabulkan permintaan terbesarnya tanpa memedulikan segala dosa dan perbuatan buruknya selama ini. Ia merasa malu sekaligus terharu. Mungkin ini yang dimaksud Arkan tadi tentang rahmat-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya. Dan ketika kita mendatangi-Nya dengan sungguh-sungguh dan memasrahkan segalanya pada-Nya, disitulah ia memberikan rahmat-Nya.

Sandi memeluk Arkan sebagai ucapan terima kasih, karenanya pula ibunya bisa terselamatkan. Jiika saja Arkan dan Nayya tidak datang, jika saja Arkan tak melakukan pertolongan pertama itu, ia mungkin sudah ikut mati bersama ibunya.

Ia beralih pada Afanin lalu menyalaminya, berterima kasih sepenuh hati karena membantu ia mengurus administrasi dan memberikan ibunya fasilitas terbaik. "Saya janji, suatu saat akan membalas kebaikan Tante. Saya juga akan mengembalikan uang yang Tante pakai."

Afanin tersenyum. "Tidak usah, anggap saja itu shodaqoh untuk keluargamu. Kita kan saudara semuslim, sudah sepantasnya saling membantu."

Sandi menatap kagum pada Afanin. Ia menyukai cara Afanin berbicara dan tersenyum. begitu lembut dan hangat. Mengingatkan ia pada ibunya. "Terima kasih, saya tidak akan melupakan kebaikan kalian." Lalu ia menatap Nayya yang sejak tadi hanya menunduk.

"San...," panggil Nayya pelan. Perlahan ia mendongak dan menatap teman sekelasnya. "Gue ... mau minta maaf. Soal─"

"Gue udah tahu," pangkas Sandi. "Dan lo nggak perlu minta maaf. Justru gue-lah yang seharusnya meminta maaf. Gue harap lo mau maafin semua kesalahan gue, Nay."

Mata Nayya berbinar cerah dengan senyum yang perlahan terbit. "Tentu! Are we friend now?"

Kening Sandi mengernyit. "Nggak usah pake inggris deh!" tukasnya membuat yang ada di sana tertawa. Padahal sebenarnya ia mengerti ucapan Nayya.

"Makasih banyak, Nay. Makasih udah masih peduli sama gue di saat semua orang gak lagi mandang gue sebagai manusia. Lo masih nganggp gue temen lo," Sandi mengucapkannya dengan tulus lalu tersenyum. "Ternyata lo emang keren."

Mendengar pujian itu Nayya langsung belagak angkuh dan mengibaskan jilbabnya. "Ainayya!" serunya bangga membuat Sandi menyesal memujinya. Arkan geleng-geleng sementara Afanin terkekeh.

"Gue punya satu permintaan," ucap Nayya pada Sandi. "Lo harus kembali ke sekolah."

Sandi terdiam dan suasana kembali hening. "Gue nggak dibutuhin di sana, buat apa gue dateng ke sekolah? Sekolah nggak nerima orang kayak gue, Nay. Dan gue gak punya alasan buat balik ke sana."

Nayya terdiam menatap temannya sendu. "Bukankah lo mau jadi pemain sepak bola terkenal dan masuk timnas?"

Sandi terkejut. "Lo...."

"Lo harus perjuangin mimpi lo, San. Seenggaknya lo punya alasan kan sekarang?" Nayya menepuk pundak Sandi sekali sambil tersenyum mantap. Kemudian ia pamit pulang karena hari semakin petang.

"Gue tunggu lo besok di sekolah!" ujarnya sambil lalu.

Arkan tersenyum menatap sahabatnya yang menurutnya too cool to be a girl. Dia, nampaknya sudah beranjak dewasa.

***

Tbc.

Yeee update cepet kan 😆
Jangan lupa jejak cantiknya!
See u ;)

Subang,
4 Desember 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top