Bab 11 - Classmate

11

~Classmate~

"Ia pikir, tak perlu ada yang disembunyikan dari seseorang yang bernama sahabat. Nayatanya? Selalu saja ada hal yang tak bisa dibagi. Sedekat apa pun kita bersahabat."

***

Pagi itu Nayya berjalan dengan wajah sedikit ditekuk. Alasannya? Tepat, karena uang sakunya yang dipotong secara tak manusiawi oleh sang papa.

"Tid!"

Nayya terpekik kaget. Bertepatan dengan seseorang yang menarik tubuhnya ke pinggir.

"Woy! Bisa bawa motor gak sih!? Bawa tuh yang bener!" teriak Kei, orang yang tadi menarik Nayya.

Laki-laki yang tadi hampir menabrak Nayya itu menghentikan motornya, lalu menoleh dan membuka kaca helmnya. "Oh, sorry. Gue nggak lihat," ujarnya tersenyum sinis lalu kembali melajukan motor ke tempat parkir.

"Sinting!" maki Kei pada pria itu. Lalu beralih pada Nayya yang masih memperhatikan Sandi, teman sekelas yang hampirㅡatau mungkin sengajaㅡmau menabraknya.

"Lo nggak papa, kan?" tanya Kei menelisik keadaan sahabatnya itu. Namun Nayya masih bergeming, tampak melamunkan sesuatu.

"Hei, Princess? Are you okay?" Kei menyentuh pundak Nayya dan barulah gadis itu tersadar.

"Nggak papa,"─Nayya menurunkan tangan Kei dari pundaknya sambil tersenyum─"Thanks ya," ucapnya.

"Lagian tu anak kenapa sih? Gue yakin, dia pasti sengaja. Lorong segede gini, ngapain mepet-mepet ke pinggir?" sungut Kei kesal. Beberapa orang yang sedang berjalan menoleh ke arah mereka, beberapa siswa juga sempat melihat kejadian tadi.

Nayya mengedikkan bahu. Ia dan Sandi memang tak pernah akur. Sandi adalah murid yang selalu mencoreng nama baik kelasnya dan juga sekolah. Dia nakal, badung, semaunya sendiri. Nayya tidak suka itu dan hanya dia yang selalu berani menegur laki-laki tersebut.

"Mungkin dia punya dendam kesumat sama gue," ujar Nayya tak acuh.

Kei berdecih. "Lagian lo sih, biarin aja kalo dia buat ulah. Dia gak bakal mempan kalo diomongin doang."

Nayya membuang napas kasar. "Masa gue diem aja ngelihat dia ngerokok di kelas? Nonton bokep di kelas, bolos pelajaran seenak jidat, sok berkuasa banget! Dia itu harus dikasih pelajaran, Kei!" sungut Nayya kesal.

Kei meringis. "Oke, oke, calm down, Princess. Gimana keadaan lo? Lo sakit apa, hm?" tanya Kei mengingat kemarin Nayya tidak masuk sekolah.

Nayya menghela napas kembali teringat uang jajannya yang dipotong dengan mengenaskan. "Sakit hati!" serunya dramatis. Bibirnya ditekuk ke bawah.

Kei menaikkan sebelah alis, heran. "Kok?"

"Masa uang jajan gue dipotong selama dua bulan, Kei? Kejam nggak sih? Apa harus gue lapor ke KPA?" tanya Nayya dramatis dan Kei sukses terbahak.

"Mana ada woy! Kalo yang dipotong bagian tubuh lo, baru tuh lapor! Ada-ada aja sih lo, Nay."

"Ish, ngeri amat dah."

Lalu sepanjang perjalanan ke kelas mereka asyik bercengkerama. Kei mendengarkan Nayya yang berceloteh tentang uang sakunya dan hal lain. Tanpa mereka tahu, seseorang tengah memperhatikan kebersamaan mereka sejak awal dengan tatapan tidak suka.

***

Sadiya tengah tertawa terbahak-bahak mengetahui uang saku Nayya yang dipotong selama dua bulan.

"Papa lo keren, Nay!" serunya lalu kembali tertawa puas. Kantin siang hari memang selalu ramai. Tak kecuali di meja yang ditempati Nayya dan teman-temannya itu.

Nayya merenggut sebal. Tapi kemudian ia tersenyum licik. "Dan oleh sebab itu, lo sebagai temen gue, harus nraktir gue tiap hari selama dua bulan. Oke?"

Sadiya tersedak meskipun ia tidak sedang minum. Sementara Safira dan Kei yang juga bersama mereka, hanya menahan tawa.

"Enak aja! Temen sih temen, tapi nggak gini juga kali!" sungut Sadiya tak terima. Selalu saja dia yang kena imbas dan dipalak oleh Nayya.

"Pelit!" Nayya memeletkan lidah.

"Tenang, kan ada gue. Pangeran ini bakal mengabulkan semua keinginan Tuan Putri. Lo mau apa? Gue yang traktir." Kali ini Kei yang berbicara.

"Uhh so sweet, tuh temen tuh kayak gini!" Nayya menepuk-nepuk bahu Kei.

Kei tersenyum. "Apa sih, yang nggak buat lo, Princess."

"Pangeran apaan! Jin botol kali, ngabulin permintaan." Sadiya memutar bola mata. Lalu dia melihat Arkan yang sepertinya baru memesan makanan. "Ar! Sini gabung!" teriaknya sambil mengangkat sebelah tangan ke atas.

Arkan menoleh dan menghampiri meja yang ditempati teman-temannya. Lalu duduk di samping Sadiya tanpa kata─berhadapan dengan Kei. Melihat Arkan, Nayya tersenyum lebar. Ia ingat belum mengucapkan terima kasih padanya.

"Kan, makasih banget ya buat malem itu," ucap Nayya tulus. Arkan hanya menjawab dengan gumaman.

Sadiya memasang wajah kaget yang dibuat-buat. "Malem itu? Kalian ngapain? Malem-malem berdua? Jangan bilang...."

Nayya yang berada di depan Sadiya pun langsung menjitak kepalanya. "Nggak usah aneh-aneh!"

Sadiya mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit. Lalu menoleh pada Safira dengan wajah melas. "Pi, sakit...," adunya.

"Terus?" sahut Safira datar.

"Haish!"─Sadiya merenggut, melipat tangan di dada─"gitu amat responnya," gerutunya sebal. "Emang ya, wanita itu makhluk paling nggak peka sejagat raya!"

Nayya terbahak melihat teman sekelasnya itu. "Si Sadiya pengen disayang sama lo tuh, Saf!"

"Tuh! Si Nayya aja ngerti," seloroh Sadiya.

"Dih!" Hanya itu respon dari Safira, membuat Sadiya beristigfar, frustrasi. Sementara Nayya tertawa puas. Mereka lalu terlibat dalam obrolan yang tak bermanfaat sama sekali.

Nayya menoleh pada Kei yang jadi pendiam. Dan Arkan yang memakan baksonya dengan tenang, tanpa kata. Ia menatap kedua sahabatnya bergantian. Entah kenapa Nayya merasa aura di antara mereka bedua terasa mencekam. Ia seperti sedang menyaksikan perang dingin antara kedua sahabatnya itu.

"Kan, hari ini nggak ada rapat, kan?" Nayya mencoba mencari obrolan.

"Nggak ada, rapat selanjutnya besok. Pulang sekolah kayak biasa," sahut Arkan dan Nayya mengangguk paham.

"Guys, gue duluan ya," pamit Kei yang langsung beranjak dari kursi dan melenggang begitu saja.

"Kenapa tu anak?" tanya Sadiya.

Nayya mengangkat bahu. Lalu menatap Arkan yang tak acuh, masih melahap baksonya dengan tenang. Sudah lama Nayya yakin ada yang tidak beres dengan kedua sahabatnya itu. Tapi ia tak tahu apa. Ia harus bicara pada mereka berdua.

"Nay!"

Nayya menoleh ketika ada seseorang yang memanggilnya. "Kak Akbar," gumam Nayya sedikit terkejut.

Akbar tersenyum menyapa. "Bisa bicara sebentar?"

Nayya menoleh pada teman-temannya sejenak, lalu pada Arkan yang nampak tak peduli sama sekali. Nayya pun mengangguk pada Akbar lalu bangkit dan mengikuti Akbar setelah pamitan pada teman-temannya.

Nayya dan Akbar berbicara di luar kantin. Sejujurnya, Nayya merasa malu pada pria di hadapannya ini, juga merasa bersalah. Ia terus menunduk.

"Nayㅡ"

"Kakㅡ"

Akbar terkekeh pelan. Namun tidak dengan Nayya, ia melanjutkan ucapannya. "Aku minta maaf, sungguh-sungguh minta maaf. Gara-gara akuㅡ"

"Wow, wow, sebentar,"─Akbar mengangkat kedua tangannya─"yang mau bicara itu aku, loh. Dan kamu nggak perlu minta maaf kayak gitu. Justru, aku yang mau minta maaf. Katanya papamu marah besar."

Nayya menggeleng cepat. "Itu bukan salah Kak Akbar, kok. Ya, Papa emang sedikit marah," dustanya, kemudian berdehem. "Tapi Papa pantes kok marah. Aku emang salah. Dan aku merasa bersalah sama Kakak. Gara-gara aku...."

"It's okay, Nay. Aku nggak papa. Cuman, aku pengen tahu kenapa kamu sampai berbohong? Kamu kan bisa aja nolak ajakan aku dan ikut Arkan pulang," tanya Akbar menatap Nayya serius. Sementara gadis itu masih menunduk. Memainkan jemarinya gusar.

"Segitu pengennya ya jalen bareng aku?" canda Akbar kemudian.

"Eh? E-enggak, bukan," sanggah Nayya gelagapan.

"Iya juga nggak papa, kok," ujar Akbar lagi. Membuat Nayya semakin salah tingkah.

"Duh, kok jadi gini sih? Aish... maluu!" Nayya bergumam tanpa ia sadari.

Akbar tertawa pelan. Ternyata kebiasaan buruknya masih saja belum berubah.

"Papa kamu gimana? Masih marah?" tanya Akbar lagi.

"Enggak kok,"ㅡNayya tersenyum lebarㅡ"sekarang udah nggak papa."

Akbar mengangguk. "Syukurlah kalau begitu," ucapnya tersenyum manis yang selalu berhasil membuat hati Nayya berdesir. Nayya segera beristigfar yang lagi-lagi tanpa ia sadari malah ia ucapkan di mulutnya.

"Kenapa?" tanya Akbar heran.

"Eh? Apa?" Nayya bertanya dengan bodohnya.

"Sampe istigfar segala?"

Nayya menutup mulut dengan kedua tangannya. Lalu menggeleng cepat. Lagi-lagi Akbar tertawa. Nayya semakin mendesah dalam hati demi melihat tawa itu. Ia terus menutup mulut agar mulutnya itu tak mengeluarkan kata-kata hatinya lagi.

"Ya sudah kalau udah nggak papa, aku cuma khawatir. Jangan ulangin lagi ya, jangan berbohong lagi."ㅡAkbar tersenyum lalu melihat arlojinyaㅡ"Bentar lagi bel masuk. Kalau gitu, aku duluan, ya!" pamit Akbar lagi-lagi tersenyum manis lalu menepuk puncak kepala Nayya sekali, lantas berlalu dari hadapan gadis yang kini tengah terpaku dengan jantung yang berdetak tak beraturan.

Nayya mendesah pelan setelah kepergian Akbar. "Ish! Dasar mulut kurang ajar!" rutuknya. Saat ia berbalik, ia mendapati Arkan berdiri tak jauh darinya. Nayya hendak memanggilnya namun Arkan melengos begitu saja.

"Ish! Kenapa lagi sih tuh anak!" gerutunya sebal. Lalu bel masuk berbunyi, ia pun bergegas menuju kelasnya.

***

Kei berjalan mengekori Nayya. Sebelumnya Nayya berkata ingin membicarakan sesuatu dengannya. Dan sekarang, saat semua siswa pulang, mereka menuju halaman belakang sekolah.

"Ada apa sih, Princess? Kenapa mesti ngobrol di sini?" tanya Kei yang nampak heran sekaligus penasaran.

Nayya berbalik, menatap Kei dan seseorang yang baru sampai─menghentikan langkahnya. Ia menghela napas sejanak. "Gue mau ngomong penting sama kalian berdua," ucap Nayya serius.

Kei mengernyit karena Nayya bilang kalian berdua sementara setahunya hanya ada ia dan Nayya di sana. Melihat arah tatapan Nayya, Kei pun menoleh dan mendapati Arkan yang berdiri tak jauh darinya. Menatapnya tak bersahabat.

"Gue balik duluan," ucap Arkan dan berbalik begitu saja. Sepertinya ia tak menduga ada Kei, dan ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan Nayya.

"Kan!"

Bugh!

Nayya terperanjat begitu mendengar─seperti─suara benda jatuh dari arah kiri; dari balik tembok. Arkan dan Kei pun mendengarnya. Mereka saling tatap sejenak, merasa penasaran, mereka pun menuju sumber suara. Semakin dekat, samar-sama mereka bisa mendengar suara orang berbicara, tepatnya membentak.

"Masa cuma segini? Keluarin semua duit lo! Cepet! Jangan bikin kesabaran kita habis!"

"Uang saya cuma ada segitu, Man. Sungguh!" ucap pria berkacamata yang tersudut dan nampak ketakutan. Tubuhnya terduduk di atas tanah─gemetaran.

Nayya mengenal murid laki-laki yang sedang memalak itu bernama Dirman. Ia sering melihatnya bersama Sandi. Pria itu berjongkok lantas menyimpan lengan di leher pria berkacamata─ yang ia tahu bernama Fabian─dan menyudutkannya ke dinding. "Lo kan yang laporin kita ke Pak Budi? Ngaku lo! Dasar cupu!"

"Enggak, Man. Sumpah, saya tidak ada keberanian sebesar itu!" sanggah Fabian ketakutan.

Nayya bisa melihat Sandi sedang berdiri bersandar pada dinding pembatas sambil melipat tangan di dada, memperhatikan Dirman yang sedang menyudutkan teman satu sekolahnya dengan raut tak bersalah. Nayya mengepal geram melihat kelakuan teman sekelasnya itu.

"Beri dia pelajaran," titah Sandi. Dirman sudah mengayunkan tangan kanannya, siap memukul Fabian.

"Woy! Berhenti!" Nayya berseru, menghentikan aksi Dirman. Ia sudah geram, dan ia tak bisa menahan diri lagi. Sandi dan teman-teman segengnya menoleh pada Nayya.

Arkan berniat menghentikan Nayya, memintanya untuk tidak terlibat. Namun Kei menghentikan Arkan. Menggelengkan kepala, seolah dia ingin melihat apa yang akan dilakukan sahabatnya itu. Arkan pun mundur kembali dan diam memperhatikan Nayya.

"Wow, lihat siapa yang datang. Sepertinya hari ini kita kedatangan tamu terhormat," ujar Sandi dengan senyum mencemooh.

"Lepasin Fabian!" tukas Nayya penuh penakan. Ia sama sekali tidak main-main.

Sandi tertawa dan berjalan mendekati Nayya. "Kalau gue nggak mau, lo mau apa? Lo mau gantiin dia jadi sasaran bogem si Dirman?" ejeknya yang diringi tawa teman-teman satu gengnya.

Nayya mengepal erat, kesal. Ia tidak tahan ingin meninju pria di depannya. Tapi, ia harus sedikit lebih sabar lagi. "Kalian kalo mau malak jangan di sini, mau ngerokok, mau mabok, silakan! Tapi, jangan di sini dan jangan pake seragam sekolah ini. Kalian pikir orang tua kalian capek-capek nyekolahin kalian cuma buat hal ini, heh? Pikir dong, pake otak! Atau kalian nggak punya otak? Mending nggak usah dateng ke sekolah aja sekalian!" Sandi dan teman-temannya hanya tertawa acuh tak acuh.

"Kalian butuh duit? Nih duit!" Nayya melempar uang yang ia punya tepat di wajah Sandi. Membuat pria jangkung itu mendelik geram. "Kalian baru kelas dua udah sok berkuasa, lihat aja kalo geng Kak Rudi tahu. Kalian cuma cecunguk yang gampang diinjek!"

"Diem lo, Anjing!" geram Sandi.

Nayya tertsenyum sarkas. "Sorry, yang anjing di sini siapa ya? Yang kelakuannya kayak hewan, situ apa saya? Cih, dasar manusia-manusia nggak guna. Sampah aja masih bisa berguna! Kalian semua itu bahkan lebih rendah dari sampah, tahu nggak!"

Mendengar ekekan demi ejekan itu, Sandi geram. Ia meraih kerah leher baju Nayya yang terhalang jilbab. "Gak usah banyak bacot lu!" Sandi menatap Nayya nyalang. Namun Nayya tak terlihat gentar sama sekali. Ia malah menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan menantang.

"Apa? Lo berani sama gue?"ㅡNayya tersenyum sinisㅡ"Lo itu menyedihkan, tahu nggak?"

Sandi menghentakkan tubuh Nayya, hingga Nayya tersungkur dan terjatuh di atas tanah. Ia meringis ketika telapak tangannya yang menyentuh tanah mengenai pecahan beling.

"Cih, dasar banci!" tukas Nayya pelan namun tetap bisa terdengar. Lantas ia bangun dan menatap Sandi yang tengah menatapnya geram. Kemudian hening sesaat. "Gue kasihan sama nyokap lo."

Sandi nampak semakin geram, ia sudah melayangkan tinju namun kepalan tangannya terhenti tepat di hadapan wajah Nayya. Ia terlihat sangat emosi, namun masih sadar jika yang ada di hadapannya itu seorang perempuan.

"San, jangan kelahi ma cewek lah!" seru salah seorang temannya. "Ada si Arkan juga men, berabe kalo dia lapor ke wakasek."

Sandi masih mengepalkan tangan di udara. Matanya menatap Nayya tajam dengan tangan mengepal erat. "Nggak usah belagu. Nggak usah bawa-bawa nyokap gue dan nggak usah bertindak seolah lo tahu tentang gue," ucap Sandi penuh penekanan lalu menurunkan tangannya. Ia pun berbalik. "Nggak semua orang seberuntung lo," tukasnya kemudian pergi diikuti teman-teman segengnya.

Nayya diam di tempat. Kata-kata terakhir Sandi mengenai tepat di hatinya. Nggak semua orang seberuntung lo.

"Makasih banyak ya, Nayya," ujar Fabian agak gelagapan, menyadarkan Nayya dari lamunan sesaat. Fabian masih terlihat agak cemas, mungkin takut Sandi dan teman-temannya akan bertindak lebih jauh padanya.

Nayya hanya tersenyum. "Emang si Sandi sering malakin murid-murid sini, ya?" tanyanya kemudian.

Fabian mengangguk. "Bukan cuma itu, dia juga sering ngebuli orang lemah kayak aku."

Nayya meringis. Padahal Sandi adalah teman sekelasnya. Namun ia tak tahu apa-apa. "Ya udah, lo pulang gih. Kalo mereka malak lo lagi atau datengin lo lagi, bilang sama gue."

Fabian mengangguk dan berterima kasih sekali lagi kemudian pergi.

"Wow ... lo keren banget, tahu nggak? Sayang banget lo nggak hajar si Sandi. Tadi pagi aja dia udah cari gara-gara sama lo," cerocos Kei begitu saja yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya.

Nayya tersenyum bangga. "No, gue nggak mau kelahi di sekolah." Lalu Arkan memukul kepala Nayya. "Duh! Apaan, sih!" sewotnya tak terima. Nayya mengusap-usap kepalanya. Arkan hendak membuka mulut untuk mengomelinya namun terhenti saat matanya tak sengaja menangkap telapak tangan Nayya yang terluka. Ia pun semakin kesal.

"Nggak usah sok jagoan dan bertindak kayak super hero!" bentaknya lalu meraih tangan Nayya dan menyeretnya pergi.

"Woy, woy! Santai dong ... mau ke mana sih? Kaan! Hei!"

Arkan tak memedulikan ocehan Nayya yang memprotes dirinya. Ia terus berjalan sambil menyeret sahabatnya itu. Kei hanya memperhatikan dalam diam lalu mengikuti mereka setelah memungut uang milik Nayya yang sempat dilempar sang empunya.

"Arkan sakit, ih!" seru Nayya lantas Arkan melepas genggaman tangannya. Nayya meringis karena pergelangan tangannya terasa sakit. "Apaan sih? Ngapain kita ke UKS?" tanya Nayya nampak heran.

Arkan menarik tangan kiri Nayya. Memperlihatkan telapak tangannya yang berdarah dan terluka cukup lebar. "Masih nanya?" tanya Arkan kesal.

Nayya meringis. Tanpa kata, Arkan hendak membawanya masuk. Namun langkahnya terhenti saat seseorang keluar dari ruangan tersebut. Arkan diam begitu pun dengan perempuan itu.

"Eh, ada Retha. Belum pulang, Tha?" sapa Nayya.

Sejenak, Aretha melihat tangan Arkan yang memegang pergelangan tangan Nayya. Lalu ia tersenyum pada Nayya. "Iya, Kak. Tadi abis beres-beres UKS dulu. Ini baru mau pulang."

Nayya mengangguk. Arkan melepaskan genggaman tangannya. "Boleh pinjem kuncinya? Tangan Nayya luka," ucap Arkan.

Aretha melihat telapak tangan Nayya yang memang berdarah. "Astagfirulloh, kenapa Kak? Sampe berdarah gini."

Nayya meringis. "Jatoh tadi," cengirnya.

"Ya udah biar aku obatin dulu," putus Retha kemudian.

"Biar aku aja, nggak papa. Katanya kamu mau pulang," ucap Arkan.

Retha beralih menatap Arkan. "Oh, iya...,"─Retha mengambil kunci UKS dari sakunya sedikit kikuk─"ini kuncinya, Kak."

Arkan mengambilnya. "Oke, makasih."

Retha mengangguk lalu pamit pulang duluan, ia juga sempat menyapa Kei yang sejak tadi hanya diam. Selepas kepergian Retha, Nayya memukul punggung Arkan dengan tangannya yang baik-baik saja.

"Aw! Apa?" sahut Arkan agak sewot.

"Jadi cowok tuh manisan dikit, kek. Ngapain lagi nyuruh dia pulang segala. Lo gak lihat ekspresinya? Gue jadi ngerasa bersalah," ujar Nayya.

Arkan mengernyit. "Lo ngomong apa, sih?"

Nayya memutar bola mata jengah. Duduk di tepi ranjang sedikit kesal. "Peka dikit, dong!"

Arkan semakin tak mengerti apa maksud Nayya. Ia pun mengabaikan Nayya yang berceloteh dan mengambil kotak P3K. Dengan telaten, ia mengobati tangan Nayya.

"Harusnya lo tadi jangan─ aassshh perihh...!" Nayya meringis saat Arkan membasuh lukanya memakai alkohol.

Arkan tak beriak. Ia lalu mengobati lukanya secara perlahan sambil meniupinya. Kei menatap dua sahabatnya dalam diam. Ia lalu memutuskan untuk pulang. Nayya yang melihat Kei tengah berbalik dan hendak pergi pun memanggilnya.

"Kei."

Kei berhenti dan kembali berbalik dengan senyuman khasnya. "Yo? What's up?" tanya Kei.

Nayya lalu menatap Arkan yang masih memerban luka di telapak tangannya. Sementara Kei menunggu Nayya berbicara padanya.

Arkan selesai memerban luka Nayya, lantas bangkit. "Kita pulang," ujarnya. Namun Nayya menahan lengan Arkan. Sejenak hening.

"Please, kasih tahu gue apa yang kalian sembunyiin dari gue? Apa yang nggak gue tahu? Jangan buat gue kayak orang bego gini."

"Kenapa sih, Princess? Emang ada apa? Kita ba─"

"Stop it, Kei! Gue nggak setolol dan sebuta itu. Gue tahu ada yang nggak beres sama kalian berdua. Kenapa sih? Kenapa kalian nggak mau bilang apa-apa sama gue?" tanya Nayya frustrasi.

Ruangan sempit itu lenggang untuk sesaat. Tidak ada yang berbicara. Hanya keheningan yang menyelimuti tiga insan itu. Arkan dan Kei saling tatap namun juga saling diam. Melihat hal itu, Nayya menghela napas lelah.

"Nggak ada yang mau ngomong?" tanyanya dan masih tak ada yang angkat bicara. Ia pun bangkit dan mencangklong tasnya.

"Oke, fine!" tukasnya lalu pergi meewati dua sahabatnya dengan perasaan tak menentu.

Kesal, marah, kecewa. Ia tak habis pikir, alasan apa hingga mereka enggan berbicara padanya? Ia pikir, tak perlu ada yang disembunyikan dari seseorang yang bernama sahabat. Nayatanya? Selalu saja ada hal yang tak bisa dibagi. Sedekat apa pun kita bersahabat.

***

Tbc.

Yee update. Ini panjang banget loh babnya! 😅🙊 maaf ya nunggu lama. Semoga masih suka daan ditunggu vomment nya 😆

Salam.

Subang,
18 November, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top