Bab 10 - Kasih Sayang

Hai, Assalamu'alaikum!
Adakah yang masih nunggu cerita ini? 🙈 Aku minta maaf sekali karena baru update setelah berminggu-minggu 😅🙏
But I've promised I will continue this story untill end.
I just ... need rest. And this song was nice. Hope you like this, happy reading! 😊

10

~Kasih Sayang~

" I know you are on my side, even when I was wrong."

Taylor Swift - The Best Day

***

Arkan mengetuk pintu kamar itu berkali-kali, namun belum juga ada jawaban dari sosok yang menghuni ruangan itu.

"Nay...!" Gemas, Arkan pun memanggilnya.

"Iya, bentar!" sahut Nayya dari dalam.

Arkan pun menurunkan tangan dan menunggu pintu itu terbuka.

"Apa sih? Ganggu ketenangan orang aja," sewot Nayya ketika ia membuka pintu dan menghadap Arkan yang sudah rapi memakai seragam sekolah. Sementara dirinya, masih memakai pakaian semalam dengan wajah bangun tidur.

"Lo nggak sekolah?" tanya Arkan heran karena Nayya malah bersantai di kamar tamunya.

"Nggak. Gue udah izin kok sama Safira," jawab Nayya memalingkan pandangan.

Arkan menaikkan sebelah alis. "Kenapa? Hari ini ada rapat sidang pleno loh, lo nggak hadir gitu?"

Nayya menghela napas. "Gue kan nggak bawa seragam, nggak bawa buku, tas─"

Arkan memutar bola mata. "Makanya, lo balik dulu sana!"

Nayya mencebik. "Jahat banget sih ngusir!"

"Nay...."

"Kan...," Nayya merengek. "Gue nggak mau balik sekarang."

Arkan membuang napas lelah. "Mau sampe kapan? Lo takut sama papa, mama lo? Ngehindar gak bakal nyelesaian apa-apa. Beresin masalah lo sekarang juga."

"Gue nggak ngehindar, gue cuma ... belum siap," lirih Nayya kemudian menunduk. "Gue belum siap ketemu Papa sama Mama."

Arkan menatapnya sambil terdiam. "Mau sampe kapan sih lo gini terus? Lo harusnya bisa lebih dewasa, Nay."

Nayya terdiam. Masih menunduk. Ia tahu, tapi baginya menjadi dewasa itu bukan hal yang mudah. "Tapi...ㅡ"

"Udah, sekarang turun. Ada mama lo di bawah."

Nayya mendongak seketika. "Mama? Ke sini?" tanyanya kaget.

"Iya," jawab Arkan lalu melenggang menuju lantai bawah. Sadar kalau Nayya tak mengikutinya, ia berhenti dan kembali berbalik. "Ayo, buruan!"

"Iya! Dasar bawel, cerewet," gerutu Nayya dan mengekor di belakang Arkan setengah hati. Ia berjalan dengan terus menunduk, menghela napas berat. Menguatkan mental untuk bertemu sang mama. Padahal ia yakin, mamanya tidak akan memarahinya seperti papanya kemarin, tapi entah kenapa ia merasa begitu takut menemuinya.

"Tuh Nayya-nya, Tan," ucap Arkan pada Afanin yang sedang mengobrol dengan umi-nya.

Afanin menoleh dan mendapati anak gadisnya berdiri di belakang Arkan sambil menunduk.

"Sarapan di sini saja Mbak, bareng-bareng," tawar Adeeva.

Afanin tersenyum. "Tidak usah Deev, makasih. Nanti saja di rumah, aku udah masak, sayang kalau nggak dimakan."

"Ya sudah, kalau begitu," jawab Adeeva lalu menoleh pada Arkan. "Sarapan dulu gih, udah ada abimu di sana, nanti umi nyusul."

Arkan mengangguk patuh, lalu melenggang menuju ruang makan. Nayya menatap kepergian Arkan─sedikit tidak rela, ia harus menghadapinya sendirian sekarang.

"Ya sudah Deev, kita pulang dulu ya. Makasih banyak udah ngijinin Nayya nginep," pamit Afanin. Lalu menatap anak gadisnya yang diam seribu bahasa. "Nay...," panggilnya lembut.

Nayya agak terperanjat lalu mendongakㅡmenatap sang mama yang tersenyum manis padanya.

"Yuk pulang," ajak Afanin.

Nayya hanya mengangguk tanpa bersuara. Kemudian mereka pergi dari rumah itu setelah mengucap salam.

Nayya berjalan di samping Afanin sambil terus menunduk tanpa bersuara. Afanin pun tak mengatakan apa-apa, membuat Nayya berpikir kalau sang mama memang tengah marah padanya.

Hanya butuh waktu lima menit dari rumah Arkan untuk sampai di rumahnya. Nayya menarik pakaian Afanin saat mamanya itu hendak membuka pintu rumah.

Afanin berhenti dan menatap anak semata wayangnya. "Kenapa?"

"Umm, Papa...."

"Papa udah berangkat," ucap Afanin seolah tahu apa yang ditakuti buah hatinya itu. Lalu ia memasuki rumahnya.

Diam-diam Nayya menghela napas lega. Ia pun ikut masuk, berjalan di belakang Afanin. "Mama marah ya sama Nayya?" tanyanya lirih, masih merunduk.

Afanin berhenti dan berbalik. "Belum sarapan, kan?" tanyan Afanin tak menghiraukan pertanyaan anak gadisnya.

Nayya mendongakㅡsedikit heranㅡlalu menggeleng.

Afanin tersenyum. "Sarapan dulu, ya?"

Nayya menggeleng. "Nayya nggak laper, Mama aja," ucapnya kemudian berjalan melewati Afanin dengan lesu. Ia mengira kalau Afanin benar-benar marah padanya.

"Nayya...," panggil Afanin.

Nayya berhenti berjalan, lalu menghadap sang mama dengan kepala tertunduk. Ia masih belum berani bersitatap dengan mamanya. Ia tahu, ia salah. Dan ia tahu jika mamanya mungkin....

"Jujur, mama kecewa sama kamu." Kata itu pun terucap, dan sampai di telinga Nayya.

Nayya langsung menangis, terisak. "Maafin Nayya, Ma...."

Lalu sejurus kemudian ia merasakan tubuhnya menghangat. Afanin memeluknya, mengusap kepala anak gadisnya itu lembut dan penuh kasih sayang. Nayya masih terisak di pelukan sang mama.

"Nayya salah ... Nayya minta maaf...," lirihnya di sela isak tangis.

Afanin membawa anak gadisnya duduk di sofa. Mengusap air mata di wajahnya. Perlahan tangisan Nayya mulai reda, kini hanya tersisa isak yang sesekali masih lolos. Ia masih menunduk.

"Kenapa kamu berbohong? Apa kamu nggak tahu kalau yang kamu lakukan iu sebuah dosa?" tanya mamanya lembut namun begitu menusuk sanubari. Air matanya kembali meleleh. Ia tahu, ia sadar, ia hanya....

"Sayang ... apa yang mama dan papa ajarkan selama ini, apa yang kami larang selama ini adalah untuk kebaikanmu. Karena kami menyayangimu. Dan papamu ... kamu tahu sendiri seperti apa kehidupannya dulu. Kamu anak gadis satu-satunya. Hanya kamu. Ia hanya takut, terjadi apa-apa padamu. Ia sangat menyayangimu, Nay ... mama pun,"─Afanin menggenggam tangan Nayya─"jadi tolong mengertilah, mengerti sikap papamu yang sangat protektif padamu."

Nayya diam mendengarkan. Seujurnya ia tahu dan ia mengerti. Hanya saja, terkadang ia ingin merasakan kebebasan seperti remaja lainnya. Bebas bermain dan bergaul dengan siapa pun, ke mana pun. Padahal ia tahu jika itu adalah salah.

"Apa belum cukup untukmu mengerti atas semua yang mama ajarkan padamu selama ini? Kamu mau mama kirim ke pesantren?"

Nayya menggeleng cepat. "Nayya janji nggak bakal ulangin kesalahan Nayya lagi. Nayya tahu Nayya salah. Nayya ngerti kenapa Papa bersikap seperti itu. Nayya nggak akan bohong dan ngelanggar lagi. Maafin Nayya, Ma," tutur Nayya sungguh-sungguh.

Afanin tersenyum. "Ya udah, Mama pegang janji kamu."

Nayya tersenyum dan memeluk mamanya. "Makasih, Ma ... I know you are on my side, even when I was wrong," ucapnya pelan. Ya, ia tahu. Mamanya selalu di sampingnya, walau ketika ia salah, walau ketika tak ada satu orang pun yang mengerti dirinya. Mamanya akan selalu mengerti meski tanpa ia harus menjelaskan panjang lebar.

"Tapi Ma ... kalau Papa masih marah sama Nayya, gimana?" Nayya melepas pelukan dan tertunduk lesu.

"Papamu sangat mengkhawatirkanmu, semalaman ia susah tidur. Ia juga pasti merasa bersalah sudah membentakmu sedemikian rupa. Ia masih sering hilang kendali."

Nayya menghela napas. Afanin mengusap kepalanya pelan. "Mandi gih, bau."

Nayya mencebik. "Padahal Nayya laper."

Afanin terkekeh pelan. "Mandi dulu biar seger, nanti sarapan mama temenin. Mama belain nggak nemenin Papa sarapan loh, biar nemenin kamu."

"Uhhh so sweet deh Mamaku ini, makin sayang deh!"─Nayya mengecup pipi mamanya─"kalau gitu Nayya mandi dulu!" serunya lantas berlari menuju kamarnya di lantai atas.

***

"Ar, Nayya kenapa deh? Dia beneran sakit?" tanya Safira sangsi. Mereka baru saja menyelesaikan sidang pleno dan Safira sedang membereskan berkas-berkas ke lemari di ruang OSIS untuk persiapan sidang berikutnya bersama Arkan dan Sadiya.

"Gue juga ragu kalo si Nayya bisa sakit," celetuk Sadiya.

Safira memukul lengan Sadiya dengan berkas yang ia pegang. "Dia juga manusia kali,"

"Kalian pikir?" tanya Arkan balik.

Safira menggeleng. "Apa terjadi sesuatu?"

"Begitulah...," desah Arkan. Ia hendak berbicara ketika seseorang memanggilnya dari ambang pintu.

"Ar!"

Arkan menoleh dan mendapati Akbar menghampirinya. "Nayya nggak masuk? Dia nggak kenapa-napa kan?" tanya Akbar terlihat khawatir.

"Papanya marah besar," sahut Arkan.

Akbar mengusap kepalanya nampak gusar. "Ini salahku. Aku pikir dia benar-benar sudah dapat izin," ujarnya.

"Om Alfi nggak akan pernah ngasih izin Nayya pergi dengan laki-laki mana pun. Apalagi hanya berdua," tukas Arkan lagi.

Akbar menangkap nada ketidaksukaan darinya. Begitu pun dengan Safira dan Sadiya. Mereka yang tidak tahu apa permasalahannya hanya bisa diam mendengarkan.

"Kamu tahu, tapi kamu ngebiarin Nayya pergi sendiri? Kenapa nggak cegah dia?" tanya Akbar balik.

Arkan diam sesaat. Ya, memang salahnya yang meninggalkan Nayya begitu saja. Padahal ia tahu kalau Nayya tengah berbohong soal Alfi yang mengizinkannya. Hanya saja ia terlalu kesal saat itu, ia hanya....

"Kamu suka sama Nayya?" tanya Akbar tanpa diduga. "Kamu nggak suka dia pergi denganku, begitu?"

Arkan mengernyit lalu tertawa tanpa suara. "Tolong jangan salah paham, Kak."

Akbar mengangguk. "Baguslah kalau begitu," ucapnya kemudian beranjak. "Aku duluan," pamit Akbar tersenyum ramah lalu melenggang pergi.

Arkan hanya diam tanpa reaksi apa-apa.

"Jadi, sebenernya ada masalah apa?" tanya Sadiya hati-hati. Sementara Safira menatap Arkan dalam diam seolah mencari tahu sesuatu.

Arkan menghela napas lalu menceritakan semuanya.

***

"Assalamu'alaikum," ucap Alfi yang malam itu baru sampai di rumah. Afanin menjawab salam dan bergegas menghampirinya.

"Malem banget Mas, pulangnya," ujar Afanin mengambil tas yang dibawa Alfi.

"Iya, tadi lumayan banyak urusan di kantor," jawab Alfi tampak kelelahan. "Nayya, dia sudah pulang?"

Afanin mengangguk. "Tadi pagi aku jemput, aku juga sudah bicara dengannya."

Alfi mengangguk sekilas. "Di mana dia sekarang?"

"Habis isya, dia muraja'ah di kamar, mungkin sekarang masih muraja'ah atau mungkin sudah tertidur,"─Afanin tersenyum khasnya─"tadi seharian dia kusuruh melanjutkan hafalannya, karena dia tidak masuk sekolah. Oh ya, dia juga bilang untuk tidak memberitahukan hal ini padamu."

"Ada-ada saja,"─ Alfi terkekeh pelan─"lalu, kenapa kamu menceritakannya padaku, hm?" tanya Alfi menatap istrinya jenaka.

Afanin hanya mengedikkan bahu sambil menahan senyum. Membuat Alfi gemas dan mencubit hidungnya. Mereka tertawa pelan. "Aku mau menemuinya dulu," ucap Alfi kemudian.

"Jangan dimarahin lagi, kasihan. Dia sudah mengaku salah dan berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi."

Alfi tersenyum manis. "Iya, aku juga merasa bersalah padanya. Mungkin aku sudah keterlaluan saat memarahinya." Segurat kesedihan dan rasa bersalah itu nampak di wajah lelahnya.

Afanin hanya tersenyum simpul dan mengusap punggung suaminya. "Ya sudah, sana temui putri kesayanganmu."

Alfi mengangguk, ia mengecup kening Afanin sekilas kemudian berjalan menuju kamar putri kesayangannya. Ia mengetuk pintu beberapa kali namun tak ada sahutan. Ia pun mencoba membuka pintu dan ternyata tidak terkunci.

Perlahan, Alfi mendorong pintu dan mencondongkan tubuhnya ke dalam kamar. Didapatinya Nayya yang meringkuk di atas kasur. Ia tersenyum kemudian masuk dan menutup pintu. Ia menghampiri anak gadisnya yang tertidur di atas ranjang sambil menggenggam Al - Quran. Alfi duduk di tepi ranjang lalu mengambil Al - Quran yang digenggam Nayya dan menaruhnya di atas nakas. Ia tatap putri kesayangannya itu penuh sayang, mengusap kepalanya dengan lembut lalu mengecup keningnya.

Nayya nampak terusik, lalu matanya terbuka perlahan. Ia terdiam sesaat saat mendapati wajah papanya. Nampaknya ia masih mengumpulkan kesadaran. Saat melihat Alfi tersenyum padanya, ia pun terkesiap dan bergegas bangun.

"Maaf, jadi membangunkanmu," ujar Alfi pada anak gadisnya masih dengan senyum khasnya yang paling Nayya sukai.

Nayya nampak menahan diri untuk tidak menangis, lalu menghambur pelukan papanya. Memeluknya erat. "Nayya minta maaf, Pa...," ucapnya serak di dada Alfi.

Alfi mengusap kepalanya dengan sayang. "Papa juga, maaf kalau menyakitimu."

Nayya menggeleng masih dalam pelukan sang papa. "Papa nggak salah. Nayya yang salah. Nayya janji nggak bakal ulangin kesalahan itu lagi."

"Sungguh?" tanya Alfi memastikan. Nayya mengangguk, masih enggan melepas pelukan di tubuh papanya.

"Kamu nggak bakal langgar larangan lagi?"

Nayya kembali mengangguk.

"Papa bisa percaya sama kamu, kan?" tanya Alfi lagi.

Kali ini Nayya melepaskan pelukan, menatap sang papa. Lantas mengangguk mantap. "Janji. Demi Allah," ucapnya yakin.

Alfi tersenyum, membelai kepala anak gadisnya. "Ketahuilah, semua yang papa lakukan adalah kasih sayang untukmu. You're my only one daughter, you're too precious, Dear. Papa nggak mau kamu salah langkah."

Nayya terenyuh. Matanya berkaca-kaca lalu kembali memeluk papanya. "Makasih Pa, love you, Pa."

"Love you too more, Sweety" balas Alfi. Nayya merasakan hatinya menghangat. Kasih sayang papanya yang tulus bisa ia rasakan.

"Tapi ...," ucap Alfi kemudian. Ia menjeda sejenak ucapannya. "Kamu tetap harus dapat hukuman."

Nayya menarik tubuhnya seketika, memasang wajah cemberut. "Ih, Papa!"

"Biar kamu jera, Sayang." Alfi mencubit hidung bangir milik putrinya.

"Hukuman apa lagi? Nayya juga udah dapat hukuman dari Mama," protesnya.

"Itu kan hukuman karena kamu bolos sekolah," jawab Alfi santai. Sementara Nayya melongo tak percaya karena mamanya memberitahu sang papa kalau ia bolos.

"Yah, keceplosan," ucap Alfi setengah usil. Membuat anak gadisnya memberenggut.

"Mama sama Papa kok ngeselin sih," gerutunya membuat Alfi terkekeh. "Jadi apa hukumannya?" tanya Nayya agak kesal.

"Emm ... uang jajan kamu, papa potong selama tiga bulan."

"Hah!? Paaaa seriously?"

Alfi mengangguk mantap sambil melipat tangan di dada.

"Paaa sebulan aja! Tiga bulan itu kelamaan, Papa tega apa lihat aku sengsara?" protesnya dramatis. "Sebulan aja ya Paaaaa, please...! Papaku yang ganteng, manis, baik hati tiada tara, sayang keluarga, banyak uangnya, please kurangin!" Nayya menangkupkan kedua telapak tangan penuh permohonan.

Alfi hampir terbahak karena rayuan konyol anak gadisnya itu. Ia mencoba menahan tawa. "Oke, dua bulan. Tidak ada tawar-menawar lagi," putusnya kemudian.

"Ish! Pelit!" Nayya mencebik lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan menarik selimut.

Alfi tertawa pelan, mengacak rambut Nayya gemas lalu mengecup puncak kepalanya. "Selamat tidur putri kesayangan papa, jangan lupa berdo'a ya. Have a nice dream, sweety." Alfi mengusap kepalanya sekilas lalu berlenggang ke luar kamar.

Nayya diam-diam tersenyum dan balas mengucapkan selamat tidur untuk papanya. Kemudian ia berdo'a dengan mata terpejam hingga ia terlelap. Terlelap dengan membawa segenap harapan di hati, jika esok ia akan menjadi pribadi yang lebih baik. Membawa perubahan yang akan ia mulai sedikit demi sedikit.

***

Tbc.

Jangan lupa jejaknya 😆
See you soon! 😘

Subang,
13 November 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top