9. Wedding day
Happy reading guys.. jangan lupa vomment yaa ;)
🍁🍁🍁
Fian mencoba kebaya yang akan dikenakan saat pernikahan nanti. Kebaya dengan warna putih tulang itu sangat pas di tubuh Fian. Simple dan elegan, Fian suka itu.
"Cantik," ucap Mariska dengan senyum puas.
Fian ikut tersenyum dan kembali meneliti penampilannya. Tidak dia hiraukan Karel yang sejak tadi hanya diam disampingnya. Bagi Fian, Karel adalah mahkluk astral dan langka yang tidak perlu dibudidayakan, percuma hanya membuat rugi. Lebih baik langsung punah seketika.
Bukan karena tampangnya, karena tidak diragukan lagi Karel terlalu tampan untuk sekedar dilewatkan begitu saja. Pemikirannya yang harus dimusnahkan secepatnya. Memacari istri dari sahabat sendiri, itu hal tergila yang pernah Fian dengar.
"Gimana Karel, bagus atau tidak?" tanya Mariska.
Karel mendongak, matanya jatuh pada Fian yang memasang tampang cuek. "Bagus."
Fian mendengus samar, sudah dia duga jawaban Karel akan sesingkat dan sepadat biasanya. Bagus kepala lo botak, batin Fian. Gerutuan, makian, bahkan apapun itu akan Fian berikan untuk Karel yang sayangnya sudah berstatus sebagai calon suaminya. Sayang semua hanya bisa Fian lakukan dalam hati, memaki Karel langsung itu sama saja mencari mati.
Fian kembali teringat saat malam dia membuat Karel marah. Saat itu dirinya sedang kalap jadi tidak takut dengan kemarahan Karel. Lain halnya dengan saat normal seperti ini. Fian bahkan merinding hanya karena membayangkan aura menyeramkan Karel.
"Ada apa?" tanya Karel.
Fian meloncat kaget, wajahnya memucat.
"Ada apa sayang?" tanya Mariska, "Karel sepertinya Fian tidak enak badan, antar dia pulang saja besok kita lanjutkan lagi."
Fian menggeleng cepat, dia tidak kuat kalau harus berlama-lama dengan Karel lagi. "Jangan khawatir Ma, Fian baik-baik saja. Kita lanjut yaa?"
Mariska menatap ragu kemudian mengangguk. "Sayang kamu jangan terlalu lelah, jaga kesehatanmu."
"Iya Ma," jawab Fian.
"Karel kamu harus memperhatikan calon istrimu, jangan berikan banyak kerjaan padanya," omel Mariska.
Karel melirik Fian yang langsung membuang pandangan. "Tidak ada pengecualian, apapun status Fian dia tetap karyawan di kantor."
Mariska mendengus kesal, perdebatan antara keduanya sudah dimulai. Tidak ada yang mengalah, keduanya tetap kekeh dengan keinginan masing-masing.
"Stopp! kita harus selesaikan semua hari ini Ma," ucap Fian.
Mariska cemberut kesal tapi akhirnya mengikuti keinginan Fian.
Gaun untuk akad nikah dan resepsi sudah beres, seragam untuk keluarga besar juga sudah selesai. Hari ini untuk pakaian urusan mereka sudah beres.
Karel mengantarkan Fian pulang ke apartemen. Sebelum keluar dari mobil itu, Fian menoleh pada Karel. "Jangan paksa aku untuk bicara sopan dengan dia, aku tidak bisa." Fian langsung keluar dan menutup pintu mobil dengan keras.
Harus Fian katakan apa yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Tidak peduli apapun respon Karel, pria itu harus mengerti keputusannya yang satu ini.
"Ehh tadi pintu mobilnya rusak enggak ya," gumam Fian. Kalau sampai Karel meminta ganti rugi maka habislah Fian, dalam hati dia berdecak kesal. Semua ini karena Rain si medusa itu.
🍁🍁🍁
S
eminggu sebelum acara pernikahan, undangan resmi telah disebar. Saat ini Fian menjelma sebagai artis di kantor ini. Kemanapun dia pergi maka mata orang-orang yangsung tertuju padanya. Belum lagi banyak yang membicarakan tentang pernikahannya.
Kalangan karyawan pria jelas menganggap berita ini sangat bagus. Mereka berharap setelah memiliki istri, bos besar bisa sedikit melunak. Lain dengan kalangan karyawan wanita yang merasa patah hati dan dikhianati.
Fian baru datang beberapa bulan di kantor ini dan mampu menarik hati Karel. Sedangkan mereka yang sudah bertahun-tahun dan menghabiskan waktu untuk menarik perhatian pria itu, dilirik saja tidak. Ini semua tidak adil. Mereka lebih memilih Karel tidak melepas masa lajangnya.
Fian berdecak kesal sembari menghentakan kaki. "Gila ih! enggak bosen yaa ngomongin gue." Jujur saja ini membuatnya risih.
"Sabar dong, namanya juga calon nyonya besar kantor ini. Yaa ini ujiannya," Putri mendekati telinga Fian, "harus tebel kuping," kekehnya.
Fian melirik kesal mendengar candaan dari Putri. Dasar, itu bukan jawaban yang membantunya. Tidakkah ada yang berniat untuk membantu dalam masa-masa seperti ini.
Mereka langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk yang strategis. Tentu saja yang nyaman tanpa gangguan dari orang-orang heboh ditambah rusuh.
"Terus gimana perkembangan hubungan lo sama si bos?" tanya Putri disela kegiatan makannya.
Fian mengangkat bahunya. "Gitu-gitu aja, nothing special."
"Terus Bu Rain?" tanya Putri lagi.
Mata Fian mendelik kesal. "Lo bikin gue enggak nafsu makan deh."
Putri meringis kecil, kekehan keliar dari mulutnya. "Sensi gitu yaa kalau mau menikah."
Bola mata coklat milik Fian berputar. Mereka melanjutkan makan siang ini dengan tenang. Sebenarnya Putri memiliki banyak pertanyaan tapi sepertinya mood Fian memang dalam kondisi buruk.
"Hay Kak," sapa Kinan yang baru saja datang.
Fian mendongak kaget, senyumnya muncul melihat calon adik iparnya ini. "Hay Ki, tumben kemari."
Kinan terkekeh, matanya menelusuri kantin. "Dimana Kakak?"
"Di ruangannya, sini duduk," ajak Fian.
Kinan mengangguk dan duduk di kursi samping Fian. "Iya ini ada titipan dari Mama," ucapnya sembari mengulurkan amplop berwarna coklat, "Ini hadiah pernikahan."
Fian melirik Putri sekilas kemudian senyum anehnya muncul. Ada saja yang membuatnya ingat akan pernikahannya. "Bilang pada Mama, terima kasih banyak."
"Kok nggak dibuka kak?" tanya Kinan.
"Ohh emm iya nanti biar aku buka sama Karel aja," jawab Fian sedikit salah tingkah. "Ohh iya hampir lupa.. ini kenalin Ki.. dia Putri sohibku,"
Putri mengulurkan tangannya. "Saya Putri karyawan di sini juga.."
Kepala Kinan mengangguk. "Aku Kinan adiknya Karel," jawabnya sembari membalas uluran tangan Putri.
Mereka bertiga mengobrol hingga jam istirahat selesai.
"Ki kamu mau ketemu Karel atau langsung pulang?" tanya Fian.
Kinan nampak berpikir sejenak. "Pulang aja deh kak.. salam buat si datar yaa kak," ucapnya sambil terkikik geli.
Fian menggelengkan kepala melihat tingkah calon adik iparnya itu. Fian dan Putripun meninggalkan kantin.
"Adiknya aja bilang si bos itu datar.." suara Putri terdengar kagum.
"Hemm emang mukanya gitu kali Put.. asem kayak ketek.." jawab Fian. "Ehh ketek dia yaa bukan ketek guee.. ketek gue si wangi," lanjutnya.
Putri terbahak mendengar ucapan Fian yang ngaco banget, jelas-jelas wajah bosnya tampan dan tidak asem sama sekali.
"Ehh emang lo pernah nyium bau keteknya?" tanya Putri menanggapi ucapan Fian.
Fian memasang wajah geli di depan Putri. "Jijik.." ucapnya dan kemudian mereka berdua tertawa.
Fian mengetuk pintu ruangan Karel setelah meletakkan dompet dan ponsel di tasnya. Tanpa mendengar jawaban ia segera membuka pintu ruangan besar itu.
Karel nampak sedang sibuk menatap layar laptopnya.
Dengan ogah-ogahan Fian berjalan menghapiri Karel. "Ini dari ibumu.." ucapnya.
Karel segera mendongak, ia terlalu serius membaca email hingga tidak menyadari kedatangan Fian. Mata tajamnya menatap amplop coklat di tangan Fian.
"Buka saja,"
Fian mendengus namun tetap membuka amplop itu. Matanya seketika melebar. "Karel.. apa kita harus honeymoon setelah menikah?" tanya Fian.
Karel segera mendongak, ia berdiri mendekati Fian. Begitu dekat, hingga Fian merasa tubuh Karel menyentuh punggungnya hingga jantungnya bedebar dengan cepat.
"Mamaa.." geramnya. "Tidak, setelah menikah kita bekerja seperti biasa," jawabnya. Ia segera pergi meninggalkan Fian yang kembali bisa bernafas lega. Hanya sebentar, karena sekarang kepalanya pusing melihat dua tiket pesawat ke Bali dan alamat hotel mewah yang sepertinya sudah di reservasi jauh-jauh hari.
"Bunuh gue..." rutuk Fian sembari menjatuhkan diri di sofa ruangan Karel. Kepalanya terasa berdenyut, matanya berat dan akhirnya karena kenyamanan ruangan itu Fianpun tertidur.
Karel kembali ke ruangannya setelah selesai menelpon ibunya untuk protes, tapi apadaya, ia selalu luluh dengan semua permintaan sang ibu.
Matanya jatuh pada Fian yang sudah tertidur pulas. Ia tersenyum geli dan berjalan menghampiri Fian. "Cepat sekali tidurnya.." sebenarnya ada beberapa berkas yang ia ingin berikan pada Fian untuk direkap tapi melihat wajah lelah dari gadis cantik dan baik ini ia tidak tega.
Karel melepaskan jasnya, dengan perlahan ia membenarkan posisi tidur Fian yang awalnya duduk menjadi berbaring dengan bantalan jas Karel.
Karel kembali ke mejanya hanya untuk mengambil laptop. Ia memutuskan melanjutkan pekerjaannya di sofa saja.
Yang seharusnya di kerjakan oleh Fian segera di kerjakan oleh Karel sebagai wujud kecil terimakasihnya atas bantuan besar yang ia terima.
Fian bergerak gelisah, keningnya berkerut seolah bingung. "Sssttt.." Karel mengusap kepala Fian hingga gadis ini kembali tenang dan melanjutnya tidurnya.
Tanpa disadari Karel, ibunya melihat adegan itu dengan senyum dan air mata yang menetes bahagia. Sebentar lagi putranya akan menempuh hidup baru dan ia berdoa yang terbaik untuk putra sulungnya.
"Ekkhmm," deham Mariska. Karel mendongak dan menghela nafas. "Fian tidur?" tanya Mariska dengan pelan. Karel mengangguk sebagai jawaban.
"Manisnya dia.. kamu liat kan?? mama yakin kalian akan bahagia nanti,"
Karel tidak bisa menampik, Fian tertidur dengan wajah sangat polos dan manis. "Doakan aja ma.. dan untuk ke Bali, Karel benar-benar nggak bisa, mama tau sendiri pekerjaan tidak bisa ditinggal,"
Mariska menggelengkan kepala, tetap kekeh pada pendiriannya. "Pokoknya mama nggak mau dengar apapun!! kalian harus pergi honeymoon,"
Karel menghela nafas, kesal karena selalu kalah akhirnya ia melanjutkan pekerjaannya.
Fian membuka mata perlahan kemudian menguap, sesaat ia terdiam namun setelah tersadar ia berada dimana tubuhnya segera bangkit. Matanya jatuh pada Karel yang duduk satu sofa dengannya dan calon mertuanya yang sedang memandang hangat padanya.
"Ehh ma.. udah lama?" tanya Fian salah tingkah. Untung saja ada ibunya Karel, setidaknya ia aman dari omelan Karel karena tertidur.
"Lumayan, kamu tidurnya nyenyak banget.. capek ya?"
Fian tersenyum mendengar nada perhatain itu ia teringat ibunya yang tercinta. "Enggak maa.. tadi ngantuk aja jadi numpang tidur,"
Tangan Karel merapikan rambut Fian yang acak-acakan. "Cuci muka dulu.. ini sudah hampir jam pulang," ucap Karel dengan lembut. Ehh, Fian terngaga bukan karena mendapatkan fakta bahwa ia tidur siang lama sekali tapi karena suara lembut Karel. Karel dan lembut adalah perpaduan yang sangat tidak cocok.
Kepalanya hanya bisa mengangguk patuh.
Matanya mengerjap beberapa kali setelah membasuh muka. "Gue ngehayal kali ya.. biasanya meskipun di depan orang tuanya Karel nggak lembut gitu, yah manis sih tapi nggak lembut," gumam Fian di depan cermin. Kepalanya menggeleng kuat, mungkin memang bayangan karena efek bangun tidur.
-------
Sudah sejak pukul lima subuh Fian duduk di meja rias untuk di make up. Matanya terpejam menahan kantuk, ini adalah hari besarnya, hari pernikahannya dengan Karel. Beberapa jam lagi statusnya akan berubah, rasanya masih sulit dipercaya.
Seluruh keluarga besar dari Karel dan Fian telah berkumpul sejak kemarin malam. Semua nampak bahagia berbanding terbalik dengan kedua orang yang seharusnya menjadi orang yang paling bahagia hari ini.
"Sayang.. ayo ijab udah mau dimulai," panggil Nita yang baru masuk ke kamar pengantin.
Fian bangkit dan memeluk Nita. "Bu.. doakan Fian yaa," pintanya.
Nita meneteskan air mata. "Pasti sayang.. doa ibu selalu bersama kamu." Mereka melangkah keluar, di lantai bawah semua sudah berkumpul, mata mereka menatap kagum ke arah Fian yang sangat cantik dengan balutan gaun kebaya putih yang indah. Make up dengan warna natural semakin membuat Fian terlihat cantik.
Karel terdiam, selama ini Fian memang jarang menggunakan make up kecuali bedak dan lipstik agar terlihat tidak pucat.
Fian kini telah duduk si kursi sebelah Karel. Keadaan berubah menjadi hening. Penghulu mengecek semua berkas hingga sekarang saatnya proses sakral ini berlangsung.
Karel menjabat tangan Aryo, matanya menatap tegas tanpa keraguan sedikitpun. "Saya nikahkan dan kawinkan kamu, Karel Gibran Rajendra bin Danu Rajendra dengan putri saya Fian Airish Bella binti Aryo Wijaya dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus lima puluh juta dan seperangkat alat solat dibayar tunai,"
Tegas dan lantang Karel menjawab dengan satu tarikan nafas. "Saya terima nikah dan kawinnya Fian Airish Bella binti Aryo Wijaya dengan mas kawin tersebut tunai,"
Suasana semakin hening. Fian menundukkan kepala, hatinya bergemuruh menahan sesak bukan kebahagiaan. Air matanya menetes.
"Bagaimana para saksi? sah?" rasanya kini Fian sudah merinding karena prosesi yang begitu sakral ini.
"Sah.." suara riuh murah terdengar, selanjutnya ada untaian doa yang indah dan menyentuh hati. Ruangan ini seperti diselimuti rasa haru dari kedua keluarga besar.
Fian mencium tangan Karel, berubah sudah kini statusnya. Karel mengecup kening Fian dan terdengar sorak sorai yang membahana. Ada ketidak percayaan dari Karel, ia tidak menyangka akan menikah dengan orang selain Rain.
Proses selanjutnya tak kalah mengharukan, Fian dibanjiri air mata saat sungkem pada ibu dan ayahnya. Dalam hati ia mengucapkan ribuan maaf atas pernikahan ini.
"Mbak Fian hari ini bener-bener kayak princess, cantik banget.." puji Rina.
Fian tersenyum dan mengacak rambut adiknya. "Kamu juga cantik, Riko sama Aldo mana?"
Rina terkikik kecil. "Mereka sibuk ngambilin makanan mbak," jawabnya. Fian hanya menggelengkan kepala mendengar tingkah laku kedua adik laki-lakinya itu.
Karel sedang berbincang akrab dengan pamannya yang selama ini tinggal di Aussie hingga Fatar menghampirinya.
"Selamat bro.. gue ikut senang, semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah dan warohmah deh," ucap Fatar sembari merangkul sohib karibnya itu.
"Thanks ya, mana Rain sama anak-anak?" tanya Karel sembari menoleh ke setiap sudut ruangan. Sejak pagi ia terlalu konsen dengan acara akad nikah hingga tidak mengingat Rain.
"Anak-anak nggak bisa ikut, nanti malem pasti dateng. Kalau Rain tadi pamit ke toilet,"
Fian menatap kedua pria yang sedang bicara akrab itu. Ia menghela nafas, pasti ada wanita itu disini. Dan benar saja, wanita itu berjalan kearah kedua pria itu dengan senyum palsu. Fian bisa melihat wanita itu habis menangis, karena mata itu sembab meski tertutup make up.
Fian ragu harus melakukan apa, ia ingin kesana tapi rasanya malas bicara dengan Karel.
"Sayang.. kenapa di sini? itu dong samperin suami kamu," ucap Mariska. Suami, rasanya Fian ingin meringis karena belum terbiasa. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk dan berjalan menghampiri Karel.
Rain tersenyum melihat Fian memdekat. "Hay Fi.. selamat yaa.." ia memeluk Fian dengan akrab.
"Jangan sok bahagia deh lo!!" bisik Fian saat Rain memeluknya. Mata Rain sontak melebar.
"He's mine," jawab Rain sedikit ragu.
Fian tersenyum puas mendengar nada ragu itu. "Oh, i'm sorry he's my husband, do you forget it miss?"
Fian melepaskan pelukan itu dan merangkul Karel dengan mesra. "Thanks yaa Fatar, Rain, kalian udah dateng ke acara AKAD NIKAH kami," ucap Fian dengan menekan kata akad nikah.
Mata Rain mulai berkaca-kaca, ia segera mengerjapkan mata agar Fatar tidak melihat air matanya. "Sama-sama.. emm mas kayaknya kita harus pulang deh, aku juga harus jemput anak-anak.." ucap Rain dengan cepat. Fatar setuju dan segera berpamitan pulang.
Fian melepaskan rangkulannya pada lengan Karel saat Rain dan Fatar telah menjauh. Ia berkacak pinggang di depan Karel. "Bisa tidak hari ini aja kamu jangan dekat-dekat sama Rain?"
"Memangnya kenapa?" tanya Karel.
"Ini hari pernikahanku, jadi tolong biarkan aku menganggap pernikahan ini normal meskipun yaa.. sebenarnya abstrak,"
Karel menghela nafasnya. Ia mengusap kepala Fian dengan lembut. "Baiklah, ayo.. kita masih harus menyambut keluarga," Karel merangkul pinggang Fian dan mengajaknya bergabung dengan keliarga besarnya.
------
Kini mereka berdua sedang berada di kamar pengantin setelah lelah menyalami para keluarga dan sahabat yang datang di acara ijab kabul.
Fian duduk di meja rias sedangkan Karel berbaring di kasur. Mereka harus bersiap-siap untuk acara resepsi nanti malam. Fian memandang pantulan dirinya di kaca. Nanti malam ia harus memasang wajah bahagia lagi.
"Karel.." panggil Fian.
"Hemm,"
"Apa kita harus ke Bali besok? kamu tau kan banyak pekerjaan di kantor,"
Karel menghela nafas. "Mau bagaimana lagi, kita tidak bisa membantah mama," jawabnya dengan pasrah.
Fian berdiri lalu berkacak pinggang hingga Karelpun terduduk. "Pokoknya aku nggak mau yaa lama-lama di Bali,"
"Ya.. mungkin seminggu,"
"Apa?? seminggu itu lama Karel!! aku tidak mau, pasti setelah itu pekerjaan menumpuk,"
Karel mendengus kesal. "Kalau hanya dua hari pasti yang lain curiga, sudahlah nikmati saja liburan itu," ucapnya ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi di kamar Karel.
"Eh.. mau kemana?" tanya Fian sembari menahan tangan Karel.
"Mandi, kenapa? mau ikut?" tanya Karel sekenanya.
Wajah Fian sontak memerah. Sial, rutuknya. "Enak aja!! aku dulu yang mandi,"
Karel tersenyum geli. "Kamu tidak lupa kan? aku bosmu. Kalau ingin mandi di luar ada kamar mandi,"
"Wah-wah terus aku yang harus mandi di kamar mandi luar? ingat yaa sekarang aku istrimu dan ini bukan di kantor jadi kamu bukan bosnya.. jadi kamu yang mandi di luar," jawab Fian. Ia melangkah melewati Karel tapi gaun kebayanya di injak Karel hingga ia tidak bisa maju, terdengar suara robekan dati kebaya Fian. "Ihhh!!! Karel! gaun ini mahal banget, kenapa dirusak??" teriak Fian dengan histeris. Mariska dan Nita melompat kaget karena teriakan Fian, mereka berdua sedang menguping sejak kedua pasangan ini masuk ke kamar namun yang terdengar hanya bagian terikan Fian.
Mariska tertawa geli dengan Nita. "Nggak nyangka anakku udah nggak sabar, hihi sampai gaunnya Fian rusak," bisik Mariska.
Karel mengerutkan kening mendengar suara ribut dari arah pintu. Ia meletakkan telunjuknya di bibir mengisyaratkan Fian agar diam.
Ia melepas jas dan menggulung kemejanya hingga siku. Kakinya melangkah mendekati Fian. "Ma-mau apa kamu?" tanya Fian sembari berjalan mundur hingga dinding. Karel semakin mendekat hingga jarah mereka hanya beberapa senti. Tangan Karel terulur kearah Fian yang sudah memejamkan mata karena takut.
Ternyata dengan cekatan Karel melepas segala aksesoris yang berada di rambut Fian hingga kini rambut Fian tergerai indah. "Jangan berpikir macam-macam, di luar ada yang menguping, ayo kita lihat," Karel merangkul pinggang Fian dan membuka pintu kamar.
Kedua ibu itu sangat kaget saat pintu terbuka. "Ehh ohh sayang, tadi mama mau ngasih tau kalau makanan udah siap, iyaa kan Nit?"
"Ohh iyaa benar,"
"Jangan bohong, tadi kami habis makan.. ayolah beri waktu pribadi untuk kami," ucap Karel.
Mariska dan Nita meringis karena rasa bersalah, pasti mereka mengganggu aktivitas pengantin baru ini melihat rambut Fian yang sudah tergerai dan baju Karel yang sudah tidak serapi tadi.
"Maaf yaa.. yaudah yuk Mariska kita siap-siap aja untuk nanti malam," ajak Nita. Mereka berdua akhirnya pergi.
"Kira-kira tadi mama dan ibu dengar nggak ya," gumam Fian. Karel segera menarik Fian masuk ke dalam kamar.
"Nggak, mungkin teriakan kamu aja yang terdengar," sindir Karel.
Fian mendengus kesal, ia melipat tangannya di depan dada. "Lagian kamu tu nggak ngalah banget sama perempuan, aku itu harus siap-siap lagi untuk acara malam nanti.."
Dengan pasrah Karel mengangguk. "Oke aku mandi di luar," ia berjala ke arah lemari dan mengambil pakaian ganti.
Fian terdiam, rasanya bahaya sekali jika ia dan Karel berdekatan dengan orang tua Karel maupun orang tuanya sendiri. Semoga Karel sudah menyiapkan tempat tinggal, karena dengan Karel akan sangat mustahil jika tidak bertengkar.
Make up Fian
Ini gaunnyaa dari belakang dan depan, sederhana tapi cantik yaaa :D
*********
See you in the next chapter :* :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top