6. Lamaran (Repost)

Langsung aja deh happy reading guys jangan lupa vomment ;)

🍁🍁🍁


Setelah pembicaraan panjangnya dengan Putri di kantin, Fian memutuskan untuk kembali ke meja kerjanya. Dia bertopang dagu memikirkan semuanya. Semua memang harus dipikirkan karena ini penting. Mungkin bagi orang lain ide Putri itu bagus dan cemerlang. Tapi itu tidak bagus untuknya, dan kesehatan jantungnya.

Berdekatan dengan Karel saja sering membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Mungkin karena aura Karel yang menyeramkan. Membuat Karel jatuh cinta padanya, ini gila. Bukannya Karel yang jatuh cinta padanya nanti justru dia yang akan jatuh cinta pada pria itu. Ayolah, Fian tidak bisa menampik bahwa pesona Karel sebagai seorang pria itu sangat kuat. Semua akan semakin kacau kalau dirinya harus jatuh pada pesona itu.

Fian menggeleng keras, sudahlah memikirkan semua hanya membuat kepalanya semakin pusing. Otaknya seolah dirancang untuk tidak bisa berpikir dengan terlalu keras. Matanya melirik jam tangan yang melingkar cantik di lengannya.

Pukul 09.15 pagi, masih ada waktu untuk bersantai sebelum pergi. Fian meraih tas untuk mengambil ponselnya. Keningnya berkerut karena tidak menemukan ponsel itu. Dia menepuk keningnya. Pasti ponsel itu tertinggal di meja apartemen.

Fian merutuki dirinya sendiri. Dia segera bangkit untuk pulang sebentar. Mana mungkin dia pergi ke Solo tanpa membawa ponselnya.

Lobby kantor tampak ramai seperti biasa. Fian berjalan santai menelusuri area luas ini hingga matanya jatuh pada Karel yang sedang bicara dengan Manager produksi. Fian berdecak kesal, mau tidak mau dia harus menyapa Karel.

"Permisi Pak Karel, saya izin pulang sebentar. Mungkin tidak sampai setengah jam," ucap Fian setelah menghampiri Karel.

"Wah wah Bu Fian tetap berperilaku profesional yah Pak, padahal beberapa jam lagi akan dilamar oleh bapak," kekeh pria paruh baya bertubuh gendut itu.

Fian mengerutkan keningnya, dia menatap Karel dengan pandangan bertanya.

Tangan Pak Rudi terulur pada Fian. "Selamat Bu Fian, sebentar lagi Anda akan menjadi Nyonya Karel.

Fian menjabat tangan itu dengan senyuman canggung. "Yaa terima kasih Pak," ucapnya. Kurang ajar sekali Karel, batin Fian. Pria itu pasti sudah menyebarkan rumor yang tidak benar ke seluruh kantor.

Karel menarik lembut lengan Fian agar gadis itu berdiri disampingnya. "Jika satu orang tahu maka berita itu akan tersebar hingga penjuru kantor," bisik suara menyebalkan itu. Fian melirik kesal Karel. Sebenarnya apa yang diinginkan pria itu hingga sampai pada tahap ini.

"Terima kasih atas ucapannya, Bapak bisa kembali bekerja," ucap Karel pada Pak Rudi. Pria paruh baya itu tersenyum sopan dan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Kenapa kamu cerita pada semua?" tanya Fian nyaris seperti teriakan atau ini memang teriakan. Beberapa orang menatap kaget kearah mereka berdua. Baru kali ini ada yang berani berteriak dihadapan bos besar perusahaan ini.

Terdengar geraman pelan Karel sebelum lengan itu menarik lembut lengan Fian dan mereka beriringan pergi meninggalkan kantor. Karel membuka pintu mobil untuk Fian seperti biasa. Mobil Karel melaju cepat menuju apartemen Fian. Sejak tadi Karel hanya diam dan fokus menyetir. Di sampingnya Fian terus menggerutu kesal, wajahnya tampak merengut lucu.

Mobil itu berhenti di pinggir jalan raya. Karel menghela nafas panjang dan menoleh pada Fian. "Jangan seperti anak kecil!" ucapnya.

Fian melirik Karel, tangannya bersedekap di depan dada. "Siapa yang seperti anak kecil? aku?"

Karel mendengus, dia melepaskan seat beltnya. "Tantu saja."

"Memangnya aku tidak boleh marah? kamu menyebarkan rumor pernikahan kita ke seluruh kantor! aku malu Karel!" bentak Fian dengan emosi.

Karel menghadap ke arah Fian dengan mata tajamnya. Fian meneguk salivanya, dia memang berani pada Karel tapi kalau sudah ditatap dengan mata elang itu nyalinya terasa terbang entah kemana.

"Apa aku terlihat seperti orang yang suka cerita pada orang lain?" tanya Karel.

Fian meringis, benar juga ucapan itu. Tampang seram seperti itu kalau curhat pasti akan terlihat lucu.

"Mama yang bercerita. Kalau ingin marah, marahlah padanya," lanjut Karel.

Fian menghela nafas, dia menyandarkan kepalanya di kursi. "Semua semakin rumit," gumamnya. Dia memijat kening karena kepalanya mulai pusing.

"Menikahlah denganku, hanya beberapa bulan. Setelah itu kita akan bercerai dan kamu bebas," ucap Karel. Semudah itukah. Sesederhana itukah arti sebuah pernikahan bagi Karel. Hanya permainan, pernikahan seolah bukan sebuat ikatan yang sakral bagi seorang Karel. Apa pria itu tidak memikirkan sedikitpun tentang status Fian setelah perceraian mereka.

Fian menoleh pada Karel. Matanya menatap wajah bosnya. "Aku ingin bertanya, jika aku setuju maka setelah perceraian kita apakah kamu akan menikah dengan Rain?"

Bukan menjawab Karel justru tertawa. Bukan jenis tawa bahagia, hanya tawa sumbang yang tidak jelas artinya. Kesedihan atau kegetiran.

"Semoga," jawab Karel.

Fian ternganga mendengar jawaban itu. Tidak ada kepastian dalam hubungan itu dan Karel masih kekeh untuk menuruti semua ucapan Rain. Dasar pria gila. "Karel jika itu tidak pasti kenapa kamu mau melakukannya? astaga tolong pikir baik-baik Karel! menikah bukan sesuatu yang bisa dimainkan, pernikahan itu adalah ikatan yang suci!" ucap Fian dengan penekanan.

Karel mengusap kepalanya sendiri. "Aku tahu, aku adalah pria bodoh. tapi kamu harus tahu kalau aku berusaha sebisa mungkin untuk jauh dari Rain karena menghargai Fatar tapi aku tidak bisa. Rain seperti nafasku saat ini." Ini adalah kata terpanjang dari Karel selama Fian kenal dengan pria itu.

Mendengar penjelasan Karel Fian langsung teringat ucapan Putri. Sepertinya memang tidak ada jalan lain untuk menolong Karel. Rain adalah nafas Karel saat ini, iyaa hanya saat ini itu berarti masih ada kemungkinan untuknya meskipun kecil.

Fian memejamkan matanya, tangannya terkepal kuat. Bismillah aku sudah bertekat dengan kuat, batin Fian. Dia akan menolong Karel, bukan menolong dalam hal menyembunyikan hubungan terlarang itu tapi menolong untuk memisahkan mereka demi kebahagiaan semuanya. Niat yang baik akan diberikan jalan yang baik, itulah yang Fian tanamkan sejak tadi. Dia membuka matanya.

"Karel aku mau menikah denganmu," ucap Fian dengan penuh keyakinan.

Mata Karel langsung melebar. "Kamu serius?"

Fian mengangguk, dia membuang pandangannya. "Tapi dengan satu syarat. Pernikahan ini tidak boleh ada kontrak, aku ingin pernikahan kita sah di mata agama karena aku tidak mau tinggal dengan laki-laki yang bukan muhrimku. Biarkan aku menjadi istri sahmu dan kamu menjadi suami sahku," ucapnya.

Karel tampak berpikir sejenak dan menganggukan kepalanya. "Baiklah aku setuju. Jadi hari ini kita ke Solo untuk lamaran, aku akan menelfon anak buahku agar menyiapkan semua." Karel mengeluarkan ponselnya dan bicara dengan serius dengan orang di sebrang.

Semoga keputusannya tidak salah. Mereka melanjutkan perjalanan ke apartemen Fian lalu beristirahat disana sebelum berangkat ke bandara.

Saat perjalanan ke bandara Karel menghubungi ibunya untuk mengabari bahwa tujuan ke Solo bukan lagi hanya berkenalan tapi sekaligus lamaran. Dan bisa Fian dengar bahagianya ibu Karel dari teriakan girang itu sampai mambuat Karel harus menjauhkan telinganya.

🍁🍁🍁

Siang hari mereka sudah tiba di Bandara Adi Soemarmo. Beberapa orang-orang Karel sudah menunggu disana. Fian berdecak kagum, ternyata Karel memiliki anak buah dimana-mana. Ternyata dirinya belum sepenuhnya mengenal calon suaminya ini.

Di perjalanan, Fian memberitahukan alamat rumahnya pada supir. Saat ini otaknya terus berpikir bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti. Mata Fian melirik Karel yang sedang duduk disampingnya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel. Fian mendesah kesal, harusnya tadi dia memilih untuk ikut mobil yang ditumpangi oleh orang tua Karel karena pasti dia akan mendapatkan teman untuk sekedar bicara.

Memerlukan waktu setengah jam untuk tiba di rumah Fian. Rumah sederhana di desa kecil yang berada di tengah kota Solo. Desa yang diapit oleh perumahan-perumahan yang baru dibuat.

"Maaf rumahku kecil," ucap Fian pada Karel. Fian segera mendekati pintu dan mengetuk pelan.

Pintu berwarna coklat itu terbuka. Di sana Rina adik perempuan Fian nampak kaget melihat kakaknya datang dengan beberapa orang yang terlihat orang-orang kalangan atas.

"Mbak Fi!!" teriaknya sembari memeluk Fian. "Kenapa pulang nggak ngabarin dulu?" tanya Rina.

Fian terkekeh pelan, dia mengusap kepala Rina. "Sengaja biar jadi kejutan, Mbak kangen banget," ucapnya tulus.

"Sama Rina juga kangen, Mbak apa kabar?" tanya Rina lagi setelah melepaskan pelukannya.

Fian tersenyum lebar. "Alhamdulillah baik, ohh iya Rin kenalin ini Karel calon suaminya Mbak."

Rina terdiam, dia menatap Karel dari atas sampai bawah. Matanya membulat, mulutnya ternganga lebar, kakak perempuannya benar-benar hebat mendapatkan pria yang mirip dengan aktor ini.

"Wahh, Ayah sama Ibu pasti senang. Yaudah ayo mari masuk," ucap Rina sembari membuka pintu lebar-lebar.

Fian mengajak Karel dan semuanya masuk ke dalam rumah. Dia mempersilahkan semua untuk duduk di ruang tamu sedangkan dirinya sendiri langsung ke dapur untuk menyiapkan minuman.

"Jadi Mbak pulang untuk ngenalin calon suami nih?" tanya Rina dengan senyum jahilnya.

Fian mendengus geli, dia mengacak gemas rambut adiknya. "Gitu deh, ehh Ayah sama Ibu mana?"

"Ayah belum pulang kerja, Ibu sedang ke pasar Mbak, mungkin sebentar lagi pulang," jawabnya, "ehh calonnya Mbak cakep yaa," kekehn Rina.

"Dasar!! belajar dulu yang benar baru tahu cowok cakep," ucap Fian sembari membawa minuman ke ruang tamu diikuti Rina di belakangnya.

"Silahkan diminum," ucap Fian.

Mariska tersenyum, "adiknya Fian cantik yaa, namanya siapa?" tanyanya sembari mengusap lembut lengan Rina.

"Rina Tante," jawab Rina dengan senyum sopan.

"Ohh Tante juga punya anak perempuan, adiknya Mas Karel nanti kamu pasti suka main sama dia, namanya Mbak Kinan," jelas Mariska dengan bersemangat.

Karel tersenyum pada Rina. "Sudah kelas berapa sekarang?"

"Kelas dua SMA Mas," jawab Rina.

Reaksi Karel dan Rina tampak hangat, Fian mengerti itu mungkin Karel sudah terbiasa karena Karel memiliki Kinan dan setahu Fian, Karel sangat menyayangi adik perempuannya itu.

"Assalamualaikum, Rin ini kenapa ada banyak mobil di depan," ucap Nita dari depan rumah.

Fian menoleh, dia tersenyum lebar. "Sebentar yaa Ma, itu Ibuku datang," ucapnya sebelum pergi keluar rumah.

"Fian!! Ya Allah Nak, kapan datang?" tanya Nita sembari memeluk putri sulungnya ini. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan Fian.

"Barusan Bu," jawab Fian.

Nita melepaskan pelukannya. Dia menciumi kedua pipi Fian. "Ibu kangen banget," kekehnya, "ohh sayang, siapa yang kamu bawa?" tanya Nita penasaran.

Fian tersenyum canggung, dia harus menjawab kalau Karel adalah calon suaminya tapi rasanya terlalu berat. "Emm itu Bu, Fian bawa calon suami Fian sama keluarganya," jawabnya pelan. Nita mengerjapkan matanya, dia menatap Fian dengan pandangan kaget. Nita segera masuk ke dalam rumah untuk menyapa tamu pentingnya.

"Saya Karel, mungkin Fian sudah menjelaskan pada Ibu," ucap Karel setelah menyalami lengan Nita.

Nita tersenyum hangat. "Calon suami Fian, Ibu senang kamu langsung datang dengan keluargamu. Artinya kamu serius dengan anak Ibu," ucapnya.

Karel tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Nita dan Mariska tidak membutuhkan waktu lama untuk terlihat akrab. Mungkin karena keduanya memang tipe orang yang ramai jadi mereka sudah hanyut dalam obrolan yang heboh dan sisanya hanya menyimak. Fian memilih untuk memisahkan diri. Dia masuk ke dalam kamarnya yang sekarang menjadi kamar Rina. Dia merebahkan diri di kasur berukuran single itu.

Rina ternyata mengikuti Fian, anak itu duduk di kursi melajarnya.

"Dek si Riko sama Aldo mana sih?" tanya Fian. Aldo dan Riko adalah adik laki-lakinya.

"Biasa Mbak si Riko lagi main dirumah temennya. Kalau Mas Aldo belum pulang kuliah," jawab Rina.

Fian mendesah kesal, dia hanya sehari disini. Sayang sekali kalau tidak bisa bertemu dengan semua adiknya. "Rin Mbak boleh minta tolong nggak?" tanya Fian setelah bangkit dari baringan.

Rina mengerutkan keningnya. "Minta tolong apa mbak?"

"Tolong panggil Riko, Mbak kangen banget. Mbaknya kesini adek-adeknya pada nggak ada," keluh Fian dengan raut wajah sedih.

"Hehe paling nanti sore Riko pulang Mbak, dia mana mau kalau lagi main dijemput," jawab Rina.

Fian menghelas nafas. "Keburu Mbak pulang dong Rin," keluhnya. Fian yakin setelah ayahnya datang nanti acara lamaran akan segera dimulai karena sore ini juga mereka harus kembali ke Jakarta. Fian ingin menyempatkan diri untuk ngobrol dengan adik-adiknya.

"Lohh mbak nggak nginep? kenapa ke Solo cuma sehari sih Mbak?" protes Rina yang masih kangen dengan kakak perempuannya ini.

"Yahh ini aja mendadak Rin, orang tua Karel ingin bertemu Ibu dan Ayah, sebenarnya hanya untuk perkenalan tapi tadi sebelum berangkat rencananya berubah jadi langsung lamaran aja. Mbak tuh besok kerja, kebetulan bosnya yaa calon suami Mbak itu," jelasnya panjang lebar.

Rina beroh ria, "pantes keliatan orang kaya, kenapa buru-buru lamaran sih Mbak?"

Fian mengangkat bahunya. "Nggak tahu, Mbak sih ngikut aja," jawabnya bohong.

Rina menganggukan kepala paham, dia akhirnya berangkat untuk menjemput Riko. Si bungsu itu memang sulit diatur tapi Jika Fian sudah mulai turun untuk bicara maka Riko akan mendengarkannya.

Fian kembali membaringkan tubuhnya di kasur. Dulu saat dirinya masih kuliah, kamar ini adakah tempatnya untuk menghabiskan waktu. Keluarganya dulu memang tinggal di Jakarta tapi setelah dia lulus SMA, ayahnya harus dipindah tugaskan di sini di kota Solo yang indah. Belum lama Fian memejamkan matanya, Riko sudah datang dan membangunkannya dengan suara yang berisik.

"Mbak kenapa malah tidur? Riko udah pulang buat Mbak Fian," rengek anak itu. Fian tetap memejamkan matanya untuk menggoda Riko. "Mbak Fian bangun dong!! Riko kangen!!" rengekannya semakin kencang hingga Fian akhirnya tertawa juga.

"Adik Mbak ini cengengnya," kekeh Fian sembari menjawil gemas hidung Riko.

Riko cemberut kesal dan langsung duduk di pangkuan Fian. Anak ini sudah kesal empat SD tapi kelakuannya masih seperti anak TK kalau di depan Fian.

"Riko udah berat masa minta pangku Mbak Fian gitu sih," ucap Rina.

Mendengar ucapan Rina, Riko hanya memeletkan lidahnya kearah kakaknya itu. Fian terkekeh geli melihat tingkah kedua adiknya. "Udah nggak apa-apa," ucap Fian. Lengannya mengusap lembut kepala Riko. "Hallo jagoan! main terus yaa selama Mbak Fian enggak disini?" tanya Fian.

Riko tertawa, dengan semangat anak itu menceritakan semua aktivitas yang sering dia jalani selama Fian pergi. Kamar ini dipenuhi suaranya yang nyaring dan Fian hanya mendengarkannya.

Pintu kamar ini diketuk, Rina langsung membuka pintunya. Di ambang pintu, Aryo tersenyum melihat putri sulungnya sedang berkumpul dengan dengan adik-adiknya.

"Rina, Riko keluar sebentar yaa, tolong belikan Ayah kopi di warung Mbak Min," ucap Aryo.

Rina menganggukan kepalanya. "Ayo Rik temenin Mbak," ajaknya pada Riko.

Setelah kedua adik Fian keluar barulah Aryo menutup pintu kamar. Matanya terlihat serius. "Ayah ingin bicara sebentar," ucapnya.

Fian mengangguk, dia mengerti berbeda dengan ibunya yang langsung menerima saja. Ayahnya akan mempertanyakan dulu semuanya, terlebih ini sangat terlihat dadakan.

"Ayah sudah dengar dari Ibu dan pria yang bernama Karel itu. Apa kamu serius akan menikah?" tanya Aryo.

Fian tersenyum. "Iya Ayah, kalau tidak serius mana mungkin Fian ajak mereka," jawabnya, "tolong doakan kelancaran untuk semuanya Yah," pinta Fian.

Aryo menghela nafasnya. "Kenapa terlalu mendadak? pernikahan itu adalah hubungan yang serius Nak, harus dipikirkan matang-matang, harus direncanakan dengan baik kedepannya bagaimana setelah menikah. Kamu dan dia belum melakukan apapun kan?" tanya Aryo.

Fian tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Bismillah Yah, Fian siap untuk menikah, niat yang baik akan selalu diperlancar kan? itu yang Ayah ajarkan, menikah itu tujuannya untuk menyempurnakan separuh iman."

Melihat tidak ada keraguan dimata Fian, Aryo akhirnya mengangguk. Putrinya pasti telah memikirkan semuanya.

Proses lamaran berlangsung sederhana, semua berjalan dengan lancar. Mariska dengan bersemangat mengambil gambar Fian dan Karel. Karel memasangkan cincin di jari manis Fian dan saat itu Fian bisa melihat semua nampak bahagia.

"Maaf karena acara lamarannya terlalu sederhana Yah," ucap Karel. Fian mengerutkan keningnya, sejak kapan Karel memanggil ayahnya dengan panggilan Ayah.

"Kemewahannya tidak penting, yang terpenting itu niatnya Nak. Selama tujuan itu baik, semuanya tidak masalaj," jawab Aryo.

Karel hanya terdiam mendengar jawaban itu. Dia menganggukan kepalanya dan tersenyum tulus pada Aryo.

Pembicaraan berlanjut langsung pada tanggal pernikahan dan konsep resepsi yang akan digunakan. Semua sepakat kalau pernikahan akan dilaksanakan sekitar satu bulan lagi. Fian sudah tidak tertarik pada obrolan itu toh pendapatnya tidak berguna disini. Fian memilih untuk pergi keluar, dia ingin menikmati udara segar dan menyapa para tetangga.

Kepala Fian menoleh saat sadar seseorang berjalan di sampingnya. "Karel?"

Karel memandang ke depan, "aku ingin lihat-lihat," ucapnya. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Mereka hanya berjalan dalam diam hingga kembali lagi ke rumah Fian.

Saat Fian akan masuk, lengan Karel menahan lengan Fian. "Terima kasih Fi," ucap Karel dengan tulus. Fian menganggukan kepalanya, dia melepaskan genggaman lengan Karel dan langsung masuk ke dalam tanpa bicara apapun.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top