35. Pertemuan

Hayyy mohon maaf ngaret padahal pengennya kemarin tapi sayangnya ada halangan hiks hiks

Langsung aja yaa, happy reading guys hope you like this chapter :* ^^

🍁🍁🍁

Pagi ini semua sedang sarapan di meja makan. Suasana rumah ini ramai dengan anak-anak. Raka yang mendapat teman-teman baru jadi semakin aktif dan tidak bisa diam.

Fian memangku Raka yang sedang dia suapi. Di dekatnya Rain juga sedang menyuapi putrinya sedangkan di sebrang ada Keyla dan Rasya yang makam dengan Fatar.

Gavyn keluar dari kamar dengan Stella, wajah mereka tampak lelah dengan kantung mata yang terlihat jelas. Fian terkekeh geli, dia menyenggol Putri yang duduk di sampingnya. "Noh liat kalau lo abis nikah, ntar lo juga gitu," bisik Fian.

Putri mengerucutkan bibirnya, dia menjitak kepala Fian. "Sialan lo! gue sama lo nggak beda jauh sekarang.. sama-sama jomblo!"

Fian memutar bola matanya, dia menatap Gavyn dan Stella bergantian. "Apa kalian tidak tidur semalam?" tanya Fian penasaran.

Rain terkekeh, dia menggelengkan kepalanya. "Kamu ini suka sekali menggoda orang," ucapnya. Fian tertawa geli masih dengan menatap pasangan itu.

"Tentu saja tidak tidur, ini semua karena dia! ahh kepalaku pusing.." keluh Stella.

"Woww.." ucap Fatar.

Gavyn mendengus kesal, dia duduk di samping Fatar dan memakan rotinya dengan santai. Dia langsung menyumpal mulut Fian yang terbuka dengan roti yang dia ambil tadi. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku dan Stella tidak tidur karena dokumen rapatku hilang dan hari ini aku harus meeting dengan beberapa klien," jelasnya.

Fian mengerutkan keningnya. "Lalu?"

"Terpaksa aku membantu dia mengetik ulang semuanya," keluh Stella. Fian meringis, malam pertama pernikahan dihabiskan untuk mengetik materi rapat. Mereka memang aneh.

Hari ini Gavyn tetap pergi ke kantor meskipun Fian sudah melarangnya. Maksud Fian, ayolah pria itu kemarin baru saja melangsungkan pernikahan. Setidaknya hari ini harus menjadi hari libur.

"Kamu tidak apa Gavyn kerja?" tanya Fian.

Stella menggeleng. "Dia memang kerja setiap hari kan? lalu apa masalahnya?" tanya Stella. Yahh dia sudah salah bertanya pada Stella, tentu saja itu bukan masalah besar bagi gadis itu.

Hari ini Fatar dan Putri ikut dengan Gavyn ke kantor. Awalnya Fian bingung kenapa Putri ikut, tapi sahabatnya itu bilang, dia memang sedang bertugas di kantor cabang Bengkulu. Yahh alasan yang masuk akal karena Putri memang bekerja di kantor Karel.

Fian duduk dengan Rain sembari mengawasi anak-anak yang asik bermain di taman belakang. Meski sudah mulai siang mereka sepertinya masih semangat untuk bermain. "Raka aktif yaa?" ucap Rain sembari menatap Raka yang sedang berjalan pelan mendekati Rasya.

Fian terkekeh, dia menganggukan kepalanya. "Yahh begitulah," jawab Fian. Dia bersyukur Raka adalah anak yang aktif dan yang terpenting anaknya ini jarang sekali sakit.

Ponsel Fian bergetar, nada tanda panggilang masuk berbunyi. "Yaa hallo??" sapa Fian.

"Ahh yaa Fi boleh aku minta tolong? dokumenku tertinggal di meja, bisa kau datang kemari sekarang?" tanya Gavyn disebrang.

"Kamu ini bagaimana sih? oke aku ke sana sekarang," ucap Fian.

"Ajak semuanya, setelah rapat nanti kita akan pergi jalan-jalan." Fian mengerutkan keningnya, dia ingin bertanya tapi telfonnya sudah ditutup seenaknya oleh Gavyn.

Dia segera mencari dokumen yang Gavyn minta. Tumben sekali pria itu meninggalkan sesuatu yang penting. Dokumen itu ada di atas meja, dan sepertinya tadi Gavyn memang duduk disana dengan Fatar.

"Stella ayo, kita harus pergi ke kantor Gavyn," ucap Fian.

"Untuk apa?" tanya Stella dengan wajah bingung yang dibuat-buat.

Fian mengangkat bahu, dia juga tidak mengerti. Mungkin karena Rain disini jadi Gavyn akan menunjukan wisata-wisata yang ada di Bengkulu.

"Mbak tolong siapkan keperluan Raka yaa," ucap Fian pada pengasuh putranya.

"Iyaa bu."

Mereka pergi dengan mobil Gavyn. Pria itu sudah menyuruh supir untuk menjemput semua. Di mobil, Keyla terus mengajak Raka bicara meskipun respon Raka kadang belum jelas.

"Tante Fi, kita mau kemana?" tanya Rasya.

Fian tersenyum dan mengusap kepala anak itu. "Kita mampir ke kantor om Gavyn dulu, abis itu kita jalan-jalan deh.."

Butuh waktu setengah jam lebih untuk tiba di kantor. Fian menggendong Raka turun dari mobil, dan masuk ke gedung kantor itu. Raka sudah sering diajak kemari, jadi anak itu tidak sabar untuk turun dari gendongan Fian.

"Ndaa!!" rengek Raka.

"Aduh nda gendong ajaa yaa?" tanya Fian. Masalahnya dia harus segera memberikan dokumen ini pada Gavyn.

"Ehhh baby Raka!!!" teriak Wulan. Dia adalah teman Fian dikantor ini. "Loh Fi, lo bukannya masih libur yaa?" tanya Wulan yang sudah berjalan mendekat.

Fian menganggukan kepalanya. "Ada dokumen bos yang ketinggalan," jawabnya. Digendongannya Raka terus merengek untuk turun dan akhirnya Fian menyerah. Dia menurunkan Raka.

Raka berjalan pelan menuju lift. "Ehh udah yaa," ucap Fian sembari menyusul Raka. Dia menggandeng lengan putranya itu agar terus berjalan disampingnya. Mereka masuk ke dalam lift.

"Ndaa dad??" tanya Raka.

Rain tersenyum. "Dia sering kemari?"

Fian terkekeh. "Iyaa lumayan sering," jawabnya. Lift terbuka, mereka keluar dan langsung berjalan menuju ruangan Gavyn. Melihat pintu ruangan Gavyn, Raka semakin mempercepat jalannya.

Raka berlari sampai Fian harus mengikuti anaknya itu. "Aduh sayang jangan lari-lari.." ucapnya ngeri melihat Raka yang belum seimbang.

Pintu ruangan Gavyn dibuka, Raka menabrak kaki seseorang sampai jatuh terduduk. Fian melebarkan mata, dia langsung berlari untuk menolong putranya.

"Nahh kan nda udah bilang jangan lari-lari.." keluh Fian sembari berjongkok untuk membantu putranya itu berdiri. Raka bukannya menangis, dia justru tertawa melihat bundanya kesal. Fian gemas, dia menjawil hidung Raka. "Awas yaa.." kekeh Fian.

Fian mendongak untuk minta maaf pada pria yang tadi Raka tabrak. Saat matanya bertemu dengan mata hitam legam itu, Fian langsung terdiam beberapa detik, senyum yang awalnya tersungging langsung pudar. Matanya mengerjap beberapa kali untuk meneliti sosok di depan matanya.

Sadar ini bukan khayalan, matanya langsung melebar maksimal, kakinya terasa lemas sampai dia jatuh terduduk. Fian membekap mulutnya sendiri, kepalanya menggeleng pelan.

"Karel.." panggil Fian nyaris seperti suara orang tercekik. Satu air matanya menetes, dia masih belum percaya siapa orang yang dia lihat ini.

"Ndaa Yahh.." teriak Raka.

Fian menoleh, dia menatap nanar putranya. Mungkin Raka ingat wajah Karel saat di foto. Dia kembali menatap Karel yang berdiri menjulang dengan tatapan datarnya. Wajah pria itu masih sama tampannya seperti saat dia harus terpaksa pergi. Fian tersenyum sedih melihat Karel seolah tidak mengenalinya.

Saat merangkum keseluruhan wajah Karel, Fian terdiam. Dia langsung berdiri dan menyipitan matanya. Di kening Karel ada luka bekas jahitan.

"Kau tidak apa?" tanya Karel dengan suara datar. Fian mendekati Karel, lengannya terulur untuk menyentuh bekas luka itu tapi belum sempat mendarat lengannya ditahan oleh Karel. "Apa yang kau lakukan?" tanya Karel lagi.

Fian merasa tersengat dengan sentuhan itu, dia menatap nanar wajah Karel. Ternyata dia benar-benar merindukan pria itu sampai rasanya sesak yang ada hilang seketika. "Karell.." panggil Fian lagi. Dia menyukai itu, dia selalu suka memanggil nama Karel. Dia menyukai sentuhan Karel yang membuat jantungnya berdetak cepat.

"Kau mengenalku?" tanya Karel.

Mata Fian mengerjap hingga air mata yang menumpuk tadi jatuh di pipinya. "Apa maksud kamu?" tanya Fian serak.

Gavyn keluar dari ruangan, dia tersenyum melihat Fian sudah bertemu dengan Karel. Sekarang sandiwara sudah dimulai dan semua harus ikut berperan. "Fii aku sudah bilang kalau dia tidak mengingatmu," ucap Gavyn.

Fian menoleh, dia menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin begitu??" Dia beralih pada Karel. "Kamu ingat aku kan? iya kann??" cecar Fian panik. Semua pasti sedang mengerjainya sekarang.

Karel mengerutkan keningnya, dia menatap wajah Fian seolah meneliti dengan serius. "Aku tidak kenal," jawabnya.

Fian ternganga, tidak mungkin Karel benar-benar amnesia. Fian memegang tangan Karel. "Jangan main-main Karel, kamu ingat aku kan? aku Fian Karel.." mohon Fian.

Karel menarik lengannya, dia menggelengkan kepala. "Fatar, siapa dia?" tanya pria itu pada sahabatnya.

Fatar menghela nafas, dia merangkul bahu Karel. "Gue udah pernah cerita kalau lo punya istri dan anak kan? dia Fian, istri lo," ucap Fatar.

Karel terdiam, dia kembali pada wajah Fian yang sejak tadi terus menatapnya. Dalam hati dia mendesah kesal, rasanya dia ingin sekali mengecup bibir itu.

"Kau istriku?" tanya Karel.

Fian semakin membuka mulutnya, Karel benar-benar tidak ingat dengannya. Fian langsung menangis, jadi Gavyn tidak berbohong. Karel kecelakaan dan pasti sangat parah sampai harus terkena amnesia.

"Bukankah seharusnya seorang istri ada disamping suaminya? aku tidak pernah melihatmu setelah aku sadar. Yakin kau ini istriku?" tanya Karel.

Telak, Fian menundukan kepalanya. Karel benar, dia bukan istri yang baik. Fian langsung mencium punggung tangan Karel. "Aku benar-benar minta maaf, tolong jangan begini Karel," isaknya.

Semua tersenyum melihat reaksi Fian. Kemana kemarahan kemarin, rasanya semua hilang begitu saja.

Karel mengusap kepala Fian. "Maaf tapi aku butuh waktu untuk percaya kalau kau istriku," ucapnya.

Fian merengek pada Gavyn setelah mereka masuk ke ruangan prua itu. Saat ini Karel sedang keluar dengan Fatar. Fian terus menarik-narik lengan Gavyn dengan airmata yang makih deras.

"Bagaimana ini Gavyn?? dia tidak mengingatku!!" isak Fian.

Gavyn menutup telinganya. "Berisik! aku sudah bilang jangan merengek padaku nantinya," ucap pria itu dengan cuek.

"Lalu aku harus bagaimana?? tolong bantu aku Gavyn.." lirih Fian.

Raka bingung melihat bundanya menangis, dia berjalan mendekat. "Ndaa ngiss," ucap Raka sembari memegang pipi Fian.

"Rakaaa.. hikss ayah lupa pada kitaa," isaknya. Raka tidak mengerti, dia hanya memeluk Fian.

"Bukankah bagus jika Karel lupa padamu? kamu kan memang tidak ingin kembali padanya," ucap Stella. Fian menutup wajahnya, rasanya dia ingin menjerit sekarang.

"Aku ingin kembali padanya!! aku tidak peduli nanti akan bagaimana, aku ingin dia ingat padaku.." isak Fian.

Stella meringis kecil, dia melirik kesal pada Gavyn yang saat ini sedang tersenyum geli. "Kalau begitu kau harus berusaha membantu Karel untuk mengingatmu," ucap Stella.

"Dengan cara apa?" tanya Fian.

Stella tersenyum, "pakai foto pernikahan kalian," jawabnya.

Fian terdiam, dia sama sekali tidak membawa foto pernikahan mereka. Dia hanya memiliki satu foto dan itu ada di rumah sekarang. "Gavyn!! ayo kita pulang, aku ingin menunjukan sesuatu pada Karel.." mohonnya.

Gavyn menghela nafasnya, dia mengangguk dan mengajak semua pulang termasuk Karel. Dia memang sengaja membuat Fian datang ke kantor tadi.

Sampai dirumah Fian langsung berlari ke kamarnya dan mengambil satu foto yang dia bawa.

Dia kembali pada Karel yang sedang duduk dengan Fatar. "Ini foto kamu dan aku.." Fian duduk di sebelah Karel. Fian menceritakan semuanya pada Karel, mulai dari pernikahan mereka sampai dirinya hamil Raka.

"Aku tidak ingat," ucap Karel. Fian mendesah lelah. Dia menatap Karel lagi, rasanya semua ini seperti mimpi. Dia bisa duduk disamping Karel lagi, meskipun saat ini Karel tidak mengingatnya.

Karel menghela nafasnya. "Kau terus menangis saat melihatku," ucap Karel. "Berhentilah, air matamu bisa habis nanti." Fatar terkekeh geli, dia langsung pergi meninggalkan kedua orang itu. Mereka membutuhkan waktu untuk sekedar bicara.

"Boleh aku pegang itu?" tanya Fian sembari menunjuk kening Karel.

Karel terdiam, dia mengangguk dan duduk menghadap Fian. Perlahan jemari Fian menyentuh goresan itu. Karel memperhatikan wajah sedih dihadapannya. "Apa ini sangat parah?" tanya Fian.

Karel mengangguk. "Aku hampir kehilangan nyawaku saat itu."

"Apa?" tanya Fian nyaris seperti bisikan. Dia benar-benar kaget, saat sulit begitu dia justru pergi meninggalkan Karel. Mungkin ini hukuman untuknya, Karel tidak ingat apapun tentangnya.

"Maafkan aku Karel, aku benar-benar minta maaf.." lirih Fian yang mulai kembali terisak.

"Tidak perlu minta maaf, sudah kan? aku harus membicarakan bisnisku dengan Gavyn." ucap Karel. Dia bangkit dan pergi meninggalkan Fian yang masih menangis. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin menghancurkan semua rencana yang telah disusun.

Karel menginap di rumah ini, dia memilih untuk tidur di kamar sendiri dan Fian semakin sedih karena itu. Semalaman Fian tidak bisa tidur karena memikirkan cara agar Karel kembali mengingatnya.

Fian bangun pagi-pagi, meskipun dia baru tidur sebentar tapi wajahnya tetap terlihat segar. Dia sibuk memasak sarapan untuk semuanya.

"Wahh tumben sekali, kau demam?" ledek Gavyn. Fian mengabaikan Gavyn. Dia memasak dengan cuek, rasanya sudah lama dia tidak melakukan kegiatan ini.

Fian merapikan semua makanan itu di meja makan. Saat ini Karel sudah duduk dan bicara santai dengan Gavyn. Dia menghentakan kakinya. Dengan dirinya Karel sangat cuek, sedangkan dengan Gavyn yang dulu adalah musuh Karel justru bersikap seperti seorang sahabat.

"Emm siapa yang masak ini semua?" tanya Stella dengan semangat. Dia langsung mengambil piring dan makan dengan lahap, akhirnya dia tidak harus sarapan dengan roti tawar dan selai.

"Fian pastinya," kekeh Rain yang hapal rasa masakan Fian.

Fian tersenyum kecil, dia terus menatap Karel yang sibuk menatap makanan di depannya. "Kamu ingin makan apa?" tanya Fian.

Karel mendongak, dia mengerutkan keningnya. "Aku akan mengambilnya sendiri," jawabnya. "Semua makanan ini kesukaanku," gumamnya.

Fatar tertawa. "Yahh Fian memang sengaja," kekehnya.

Fian tidak makan, dia hanya bertopang dagu menatap Karel memakan masakannya. Dia benar-benar takjub karena bisa bertahan lama tanpa melihat suaminya itu.

"Hey apa kau akan kenyang karena melihat Karel terus?" tanya Gavyn.

Karel terbatuk, dia berdeham pelan dan lanjut makan tanpa mempedulikan ucapan Gavyn.

Fian mengangguk, "sangat.." lirihnya. Rain tersenyum, dia menatap kakaknya dengan pandangan terima kasih. Saat ini semua bisa melihat, kebahagiaan Fian adalah berada di dekat Karel.

"Apa sekarang kamu ingat aku?" tanya Fian. Karel menggeleng dengan wajah menyesal.

Dua hari Karel menginap di rumah ini, dan pria itu seolah masih menjaga jarak dengan Fian hingga membuat Fian gemas setengah mati. Dia terus berusaha membuat Karel ingat padanya tapi belum berhasil juga.

Hari ini hujan turun, meskipun tidak terlalu deras langit tampak lumayan gelap. Rain mengajak Fian untuk membuat kue. Sepertinya enak hujan-hujan ditemani kue buatan sendiri. "Fi, sepertinya Putri datang, dia didepan sekarang," ucap Stella yang baru saja ikut bergabung.

Fian mengerutkan keningnya. "Hujan-hujan begini?" tanya Fian. Dia langsung pergi ke depan setelah membersihkan tangannya. Kakinya melangkah menuju pintu depan. Di ambang pintu langkahnya terhenti, dia menatap pemandanagn di depannya.

Di bawah rintik hujan, Karel sedang bermain dengan Raka. Karel menggendong Raka yang sedang tertawa. Disamping Karel dan Raka ada Putri yang sedang tertawa bersama Karel. Fian menarik bajunya sendiri, bagaimana bisa Putri akrab dengan Karel.

Karel dan Putri kembali tertawa saat mendengar celotehan Raka. "Uhh lucu bengett, tante mau dong jadi calonnya Raka.." kekeh Putri sembari mencubiti pipi bulat Raka.

Karel tertawa. "Raka mau dengan aunty ini?" tanya Karel.

Raka mengulurkan tangannya. "Tii!!" panggil Raka.

Fian menahan nafasnya, dia tidak suka pemandangan itu. Meskipun Putri adalah sahabatnya dia tetap tidak suka Karel sedekat itu dengan Putri. Dia langsung mendekat, tidak peduli hujan akan membuatnya basah. Mata Fian terlihat marah, wajahnya basah oleh rintik hujan.

"Aku boleh mengajak Raka bermain kan?" tanya Karel.

"Raka bisa sakit kalau kehujanan, sini sayang masuk sama ndaa?" Fian mengulurkan tangannya.

Raka menggelengkan kepalanya. "No noo.." tolaknya.

"Kok Raka gitu sih?? ntar nda nggak mau bikinin susu yaa.." ancam Fian. Sekarang anaknya menolak dirinya.

"Auu yahh ndaa.." rengek Raka.

Fian berdecak kesal, dia langsung mengambil Raka dari gendongan Karel. "Yah sibuk, sama ndaa dulu.. oke?" ucapnya sembari membawa masuk Raka.

"Fian kenapa sih?" tanya Putri bingung.

Karel tersenyum, itu reaksi Fian setiap dia sedang membahas tentang Rain dulu. "Masuklah kau harus ganti baju," ucapnya. Dia juga ikut masuk ke dalam dan langsung ke kamarnya untuk mandi.

Fian memandikan Raka. Putranya itu sepertinya sedang kesal karena sejak tadi tidak menanggapi Fian.

"Lo kenapa sih?" tanya Putri yang sudah masuk ke dalam kamar Fian.

Fian melirik kesal sahabatnya itu. "Lo kenapa akrab banget sama Karel?" tanya Fian.

Putri terdiam, dia menahan senyumnya. Matanya berbinar senang, "gilaa Fii suami lo hot banget!! ahhh gue rela deh jadi istri keduanya diaa.. aslii nggak boong!!"

"Jadi lo nggak ngasih tau Karel kecelakaan karena itu?" tanya Fian.

Putri menggelengkan kepalanya. "Karena gue nggak mau liat lo sedih," jawabnya.

"Tapi sekarang gue jadi nggak tau apa-apa!!" teriak Fian. "Karel bahkan nggak inget guee.." suaranya melirih. Dia tertunduk dan menutup wajahnya. Rasanya benar-benar prustasi.

Putri mengusap bahu Fian. "Yang sabar yaa, pasti nanti inget. Sekarang kan dia akrabnya sama gue nahh yaudah biar nanti gue yang bantu dia buat inget lo," ucapnya.

"Dengan cara lo deketin Karel?" tanya Fian bodoh.

"Iyalah.." jawab Putri dengan nada menyebalkan. "Dahh ahh gue mau ke kamar si bos, sebentar lagi waktu makan kan? gue spik aja mau manggil hehe.." Putri langsung kabur sebelum Fian semakin marah. Fian ternganga, dia buru-buru mengurus Raka dan memanggil pengasuh untuk menjaga Raka dulu.

Fian langsung pergi ke kamar Karel, dia mencari Putri. "Jangan-jangan dia masuk! ck gue lempar tu anak kalo beneran nekat!" Fian membuka pintu kamar Karel. Sepi, tidak ada orang sama sekali. Keningnya berkerut, tadi sepertinya Karel masuk ke kamar dan Putri bilang akan ke kamar Karel.

Pintu kamar mandi di buka, Karel kaget melihat Fian ada di kamarnya. Saat ini dia hanya menggunakan handuk yang menutupi bagian pinggang hingga lututnya. Rambutnya masih basah karena baru saja keramas.

Fian ternganga, dia lebih kaget lagi karena harus melihat Karel tanpa pakaian. Dada bidang yang selalu menjadi tempat sandarannya. Perut yang membentuk kotak-kotak dan tangan dengan otot yang pas dan tidak berlebihan. Tidak ada lemak berlebih di tubuh itu. Mata Fian nyaris tidak berkedip sejak tadi. Rasanya ada gelayar aneh pada dirinya. Sadar akan angan liarnya yang tidak tepat waktu itu matanya langsung terpejam rapat.

"Maaf," ucap Fian.

Karel tersenyum geli melihat reaksi Fian. Dia melangkah mendekati wanita yang sudah menjadi poros dunianya ini. "Katanya kau istriku, kenapa harus memejamkan mata?" bisik Karel.

Fian merinding, dalam jarak sedekat ini dia bisa mencium wangi shampo dan sabun Karel. Rasanya tubuhnya lemas sekarang, dia hampir jatuh terduduk kalau Karel tidak melingkarkan lengannya pada pinggang Fian.

Fian membuka matanya, takut dia menatap mata Karel. Wajahnya benar-benar panas sekarang. "Hemm yahh aku- emm ehh tolong lepas.." Fian benar-benar bingung ingin bicara apa dan yang keluar justru kata-kata itu. Bagaimana bisa rasanya seperti ada getaran listrik saat kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit Karel.

Karel melepas rangkulannya. Dia berbalik menuju lemari. "Bisa tutup pintunya, aku ingin ganti baju," ucap Karel tanpa menoleh.

Fian mengerjapkan mata, dia sedang fokus mengembalikan detak jantungnya dalam tahap normal. "Yaahh maaf aku mengganggu," ucap Fian.

"Kau tidak perlu keluar, ada yang ingin ku bicarakan," ucap Karel. Fian terdiam, apa Karel akan menceraikannya karena bagaimanapun pria itu sudah tidak mengingatnya sekarang. Lemas dia menutup pintu kamar. Dia berdiri canggung di dekat pintu.

"Duduklah," ucap Karel. Fian seperti robot saat ini. Dia mengikuti perintah Karel dan duduk di pinggir ranjang. Fian menggigit bibirnya untuk mengurangi kegugupan. Karel tersenyum memperhatikan wajah Fian yang mulai berkeringat. Dia duduk di samping Fian, kemeja yang tadi dia ambil hanya dia letakan di ranjang.

"Ehh kenapa tidak dipakai?" tanya Fian. Masalahnya tingkat kegugupannya akan meningkat saat melihat Karel setengah naked begini.

"Nanti saja, aku ingin bicara dulu," jawab Karel. Dia sengaja ingin berlama-lama menikmati wajah Fian yang memerah.

Fian memendang ke segala arah kecuali pada Karel. Kenapa ruangan berAC ini terasa sangat panas sekarang. "Kau tidak mengganti pakaianmu? itu basah," tanya Karel. Lekuk tubuh Fian jadi terlihat jelas karena pakaian itu.

"Ehh emm.." Dalam hati Fian benar-benar merutuki Putri. Ini semua karena ucapan Putri, ahh lagipula dia yang bodoh, mana mungkin Putri berani masuk ke dalam. "Ahh yaa kalau begitu aku akan ganti baju," Fian sudah berdiri tapi Karel menariknya lagi sampai dia kembali terduduk.

"Sudah kubilang aku ingin bicara," ucap Karel. Fian duduk dengan kepala tertunduk, dia benar-benar bingung harus bicara apa sekarang.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa mengingatmu selamanya?" tanya Karel.

Fian mendongak, dia menatap wajah Karel. Dia mengatur nafasnya. "Aku yakin kamu akan ingat, aku akan berusaha.. aku tidak ingin semuanya hilang begitu saja, ini memang salahku karena sudah pergi, harusnya.." Fian kembali menangis, dia sampai tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Aku menyesal Karel.." isaknya.

Karel mengusap kepala Fian. "Sudahlah, jangan menangis." Bukannya diam, Fian justru semakin menangis. Rasanya air mata yang selama ini dia sembunyikan dari semua orang tumpah sudah. "Ssstt hey ruangan ini bisa banjir kalau kau terus menangis."

Fian mendongak, matanya sudah memerah karena terus menangis. "Bagaimana caranya aku harus minta maaf? aku tidak tau kalau kamu kecelakaan.." Dia benar-benar menyesal karena pergi meninggalkan Karel.

"Kau pasti punya alasan untuk pergi meski aku tidak ingat."

Fian mengusap pipinya. "Aku akan buat kamu ingat," ucap Fian. Karel mengerutkan keningnya.

"Dengan cara apa?" tanya Karel dengan wajah menantang. Fian menggigit bibirnya, dia kembali berpikir bagaimana caranya. Dia melirik takut ke arah Karel yang masih menatapnya. Fian menghela nafas, dia mendekati Karel dan dengan berani mengecup bibir suaminya itu.

Karel terdiam, dia menatap Fian yang memejamkan matanya. Dia menggeram kesal, cukup dirinya tidak bisa menahannya lagi, diraih tengkuk Fian agar istrinya itu semakin mendekat. Lumatan-lumatan hangat itu berubah menjadi panas, saat ini Fian sudah duduk dipangkuan Karel.

Lengan Fian melingkar di leher Karel, mereka menjauh saat nafas mereka hampir habis. Wajah Fian benar-benar memerah sekarang. "Karel.." bisik Fian. Dia tidak menyangka kalau Karel akan merespon ciumannya.

Karel memejamkan matanya, saat mata itu kembali terbuka Fian terpaku. Ini tatapan hangat yang selalu Fian dapat dulu. "Kamu sudah ingat?" tanya Fian bodoh.

Karel tersenyum geli, dia mengecup bibir Fian. "Kamu membuatku gila Fi," ucap Karel sebelum kembali merasakan manisnya bibir Fian yang saat ini terasa dingin. Setiap sentuhan seolah menyalurkan kerinduan yang sudah lama mereka pendam.

Mata Fian terpejam saat tangan Karel mengusap wajahnya. "Kamu tidak amnesia yaa?" tanya Fian.

Karel tersenyum, dia mengecup bibir Fian. "Menurutmu setelah kita melakukan ini apa aku lupa padamu?"

Fian terdiam, dia memalingkan wajahnya. Lagi-lagi dia dibodohi. "Aku harus mengurus Raka," ucap Fian sembari mendorong Karel agar menjauh.

Karel menuntun dagu Fian agar mata itu kembali menatapnya. Ada raut sedih yang terlihat jelas di mata Karel sampai Fian terpaku. "Apa jika bukan dengan cara ini, kamu akan mau kembali padaku?"

"Tapi bukan dengan cara mengarang cerita kalau kamu kecelakaan parah sampai amnesia Karel! kalau semua itu jadi kenyataan bagaimana?" tanya Fian. Dia hanya tidak ingin kalau semua itu justru akan terjadi nantinya.

Karel merapikan anak rambut Fian yang menutupi pipi wanita itu. Matanya menatap dengan intens. "Aku tidak bohong tentang kecelakaan itu, saat kamu pergi aku mencarimu seharian, semua kacau aku lalai dan saat itu aku mengalami kecelakaan, kondisiku kritis selama satu bulan lebih. Karena itu aku tinggal di rumah sakit selama lima bulan."

Fian melebarkan matanya, berarti mimpinya saat itu adalah sebuah firasat. Dia mengusap wajah Karel. "Kamu separah itu dan aku tidak tau apa-apa?" tanya Fian serak. "Gavyn tau?" tanya Fian. Karel menganggukan kepalanya. "Kenapa dia sama sekali tidak memberitahu aku?"

"Dia tidak salah, aku justru bersyukur dia tidak memberitahumu," ucap Karel.

"Kenapa?"

Karel mengusap air mata Fian. "Karena yang terpenting untukku, kamu bisa melahirkan Raka dengan lancar dan kalian berdua sehat," bisik Karel.

"Jadi itu alasan Kinan datang dan tidak memberitahu aku kondisimu?"

Karel mengangguk, ada satu lagi informasi yang harus Fian tau. "Kinan sudah meninggal," ucap Karel.

Fian terperengah, matanya melebar. Semua berita ini datang bersamaan dan semuanya sangat mengagetkan. Betapa kacau hidup pria yang sudah dia tinggalkan ini.

"Bagaimana bisa?" tanya Fian. Pertemuan terakhirnya dengan Kinan adalah kondisi yang kurang mengenakan dan sekarang dia mendapat kabar kalau Kinan telah meninggal.

Karel tersenyum miris, "KDRT, Satrio membunuh Kinan," gumamnya sembari mengepalkan tangan. Lagi berita yang mengagetkan untuk Fian. Hanya dengan mendengarnya saja sudah melelahkan apalagi Karel yang harus menjalani semua itu.

Fian memeluk Karel, dia mengusap kepala suaminya itu. "Aku yakin Kinan akan mendapat tempat yang baik disana, kamu sudah berusaha menjadi kakak yang baik selama ini," bisik Fian.

"Aku merasa gagal," lirih Karel. Fian terus mengusap kepala Karel seperti layaknya seorang ibu yang menenangkan anaknya.

Karel kembali menatap wajah Fian. Sejak tadi dia menyangga tubuhnya dengan lengan agar tidak menimpa tubuh kecil Fian. "Kamu sangat cantik," gumam pria itu.

Wajah Fian memerah, dia menutup wajahnya dengan selimut. "Jangan tatap aku begitu," ucap Fian dengan nada manja.

Karel menarik selimut hingga wajah Fian kembali terlihat. "Biar aku lihat wajahmu," ucapnya. Dia mencium kening Fian, kedua mata Fian yang membengkak, hidung Fiam dan terakhir ia kecup bibi Fian. "Maafkan aku," bisik Karel.

Fian menggeleng, jemarinya mengusap air mata Karel yang jatuh. "Aku yang salah," dia menatap bekas jahitan di bahu kanan Karel. "Pasti ini sakit.. Maaf Karel.." lirihnya.

Karel tersenyum, dia mengecup lengan Fian yang sejak tadi dia genggam. "Ini tidak seberapa, yang lebih sakit adalah saat aku membutuhkan tubuhku untuk mencarimu, tapi aku justru tidak mampu. Aku hanya bisa berbaring tanpa bisa melakukan apapun, saat itu rasanya aku membenci diriku."

"Karel.." Fian menangis lagi. Karel mengusap air mata itu. "Aku menyesal.." lirihnya. Sudah berapa kali dia mengatakan itu.

"Sstt yang terpenting aku masih hidup dan bisa bertemu dengan kamu dan Raka," hibur Karel. Fian memeluk Karel

Mereka diam, sembari menikmati waktu. "Jika aku benar-benar mati, apa reaksimu?" tanya Karel.

"Tidak boleh! aku tidak akan bisa," Fian menatap mata Karel lekat. Dia tidak akan mampu kehilangan Karel. "Harus aku duluan," lanjutnya. Dia tau Karel pasti bisa melewati semua tanpa dirinya. Karel lebih kuat menjalani itu.

Karel tersenyum, dia mendekap erat tubuh Fian. Merasakan keberadaan wanita yang telah lama pergi ini. "I miss you Fi," ucap Karel dengan suara serak. Fian menggigit bibirnya menahan isak. Dia benar-benar merasakan itu juga. Bukan hanya dirinya yang menderita, Karel juga begitu bahkan lebih.

Fian merasa terlepas dari beban yang begitu berat. Kemarahannya benar-benar meluap. Dia ingin tetap bersama Karel, meski nanti dia mungkin akan banyak menangis. Karena tanpa Karel dia harus mematikan hatinya dan hidup seperti itu berat meski tanpa air mata.

"Ndaa!!" teriak Raka dengan suara gedoran pintu. Semua nuansa romantis langsung pecah seketika.

Karel tersenyum, dia menyandarkan kepalanya di bahu Fian. "Sepertinya jagoan kita haus," ucap Karel.

Fian terkekeh, dia mengusap kepala Karel. "Sekarang aku harus mengurus Karel junior dulu," kekeh Fian. Karel bukannya menjauh justru semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Fian. "Apa kamu tidak mau mengalah pada Raka?" tanya Fian.

Karel menjauhkan dirinya. "Apa aku perlu membantumu memakai pakaian?" tanya Karel. Fian mendengus kesal, dia mengalungkan lengannya di leher Karel.

"Tolong ambilkan bajuku," ucap Fian dengan senyuman. Karel mencium kening Fian.

"Pakai kemejaku, bajumu basah."

Fian keluar dari kamar dengan menggunaan kemeja Karel yang terlihat besar ditubuh mungilnya. Dia berkacak pinggang melihat Putri yang sedang berdiri di depan pintu dengan Raka.

"Put!! sini lo gue hajar!!" jeritnya.

Putri ternganga, dia langsung kabur ke ruang tamu dan Fian mengejarnya. "Lo emang bener-bener minta di lempar!!" teriak Fian.

"Ehh yang penting lo udah rukun!!" balas Putri masih berusaha menghindar dari kejaran Fian. Raka hanya menatap bingung bundanya yang berlari mengejar aunty barunya. Anak itu bertepuk tangan dan tertawa saat melihat Fian berhasil mengerjar Putri.

Karel tersenyum, dia mengangkat Raka ke dalam gendongannya. "Apa kamu suka melihat bundamu kesal?" tanya Karel dengan wajah geli.

Raka terkikik, dia memeluk leher Karel. "Yahh.." panggilnya.

🍁🍁🍁

"Yahh gue kira lo bakal kurung Fian selama 24 jam," ucap Fatar. Saat ini mereka sedang berada di meja makan untuk makan malam.

"Tadinya begitu, tapi sekarang gue harus berbagi sama jagoan ini," jawab Karel sembari mengusap kepala Raka yang duduk di pangkuannya.

Fian sedang mempersiapkan makanan dengan Rain dan Stella. Wajahnya masih kesal karena semua justru memasang wajah tanpa dosa tadi.

"Hey harusnya kamu tersenyum sekarang," ucap Rain.

Fian berdecak kesal. "Masih kesel aja gue.." keluhnya. Dia langsung pergi setelah membawa dua piring ayam yang sudah di masak oleh pelayan rumah ini.

"Mana Gavyn?" tanya Fian. Sejak keluar kamar dia belum melihat pria itu.

"Belum pulang, dia itu kan sejenis dengan Karel.." jawab Fatar. Karel yang disinggung sama sekali tidak terpengaruh, dia justru merapikan rambut Fian yang duduk disampingnya. Fian mengerucutkan bibirnya, dia harus bertanya alasan kenapa Gavyn menutupi semuanya.

Gavyn tiba dirumah, wajahnya terlihat lelah. Dia langsung duduk bergabung dengan yang lain. Matanya jatuh pada Fian yang menatap kesal padanya. "Yahh sepertinya sandiwara sudah selesai," ucapnya.

"Yaa dan aku butuh jawaban kenapa aku tidak tau sama sekali tentang Karel," ketus Fian.

Karel menghela nafasnya. "Sudah aku bilang Fi, Gavyn ingin yang terbaik untukmu."

Gavyn tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Maaf karena sudah menutupi semuanya, kau berhak marah."

Marah, pada Gavyn. Atas semua yang telah pria itu lakukan untuk menolongnya. Fian bukan orang yang tidak tau diri. Dia menghela nafasnya, Gavyn memang selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya meski tetap saja menutupi semua itu salah, salah besar.

"Jadi Karel hilang ingatan itu ide siapa?" tanya Fian.

Gavyn mengacungkan tangannya. "Aku, yahh anggap saja ini balasan karena kamu membuatku kalang kabut saat kamu menelfonku bahwa Stella pergi," ucap pria itu dengan santai.

"Satu sama," ucap Gavyn.

Fian ternganga. "Bodoh!! aku benar-benar khawatir!"

"Ohh aku juga begitu," jawabnya. "Lagipula ini agar kau percaya kalau Karel pernah kecelakaan parah," ucapnya.

Fian melotot kesal. "Memangnya mataku ini rabun? aku bisa lihat bekas luka di keningnya."

Gavyn menggeleng. "Kalau hanya itu kau bisa saja mengira itu luka karena jatuh dari kamar mandi," jawabnya.

"Tidak mungkin aku berpikir begitu!! di bahu Karel juga ada bekas luka!" protesnya.

"Woww sepertinya kalian sudah benar-benar kembali," kekeh Gavyn.

Fatar yang sejak tadi menjadi pendengar akhirnya ikut bicara. "Tentu saja, Fian bahkan tidak keluar dari kamar Karel selama berjam-jam!" Mendengar itu semuanya tertawa.

"Lihat siapa yang pasangan baru disini?" kekeh Stella. Wajah Fian memerah sedangkan Karel hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Mereka saat inu menjadi bahan godaan.

🍁🍁🍁

Fian menatap wajah Karel yang berbaring di sampingnya. Tangannya mengusap wajah Karel. "Kenapa tidak tidur?" tanya Fian karena sejak tadi Karel hanya diam dan menatapnya.

Karel menggelengkan kepalanya. "Tidurlah, aku akan menjagamu," bisik Karel.

Fian mendekatkan dirinya, dia memeluk Karel. "Tidur Karel, aku tau kamu lelah."

Karel tetap menggelengkan kepalanya. Dia mengusap lembut kepala Fian agar istrinya itu tertidur. Untuk malam ini, dia ingin terus menatap wajah Fian karena saat memejamkan mata dia takut semua akan kembali hilang.

Paginya di taman belakang rumah ini, Fian duduk dengan Karel dan Raka. Karel meletakkan kepalanya dipangkuan Fian, matanya terpejam menikmati sentuhan tangan lembut istrinya ini.

Jika ini hanya mimpi Fian tidak ingin bangun. Jika ini hanya fatamorgana dia tidak ingin sadar. Apapun itu biarlah tetap begitu asal Karel disampingnya.

"Fi, pulanglah denganku. Semua sudah menunggumu," ucap Karel.

Fian tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Aku juga ingin pulang, dan aku ingin mengunjungi makam Kinan," jawabnya. Setidaknya dia ingin minta maaf atas pertemuan terakhir mereka.

Mata Karel terbuka, dia tersenyum menatap wajah Fian. "Aku akan mengantarmu," ucap Karel. Matanya mengunci pandangan mata Fian. Senyum Fian terlihat begitu manis seperti biasa.

Karel merapikan poni rambut Fian. "Kenapa kamu harus memotong rambutmu?"

"Kenapa jelek yaa?" tanya Fian panik.

Karel terkekeh, dia menggelengkan kepalanya. "Kamu selalu cantik, tapi aku seperti menikahi gadis remaja."

Fian menyubit pinggang Karel. "Sembarangan! lagipula aku memang lebih muda dari kamu," ucap Fian. Karel bangun, dia duduk menghadap Fian. Ditatap seintens itu, Fian jadi jengah dan menutup wajahnya dengan tangan. "Karel sampai kapan kamu mau menatapku begitu??"

Karel menarik tangan Fian, dia menggenggamnya. "Sudah aku bilang kan? biar aku lihat wajahmu," ucapnya tegas. Dia serius akan kata-kata itu.

Fian tersenyum geli, dia bangkit dan duduk dipangkuan Karel. "Kamu sudah melihatku semalaman," sindirnya. Karel melingkarkan tangannya di pinggang ramping Fian. "Siang nanti kamu harus tidur, kita baru saja bertemu Karel jangan sampai kamu sakit dan melarangku untuk mendekatimu seperti biasa," sungutnya.

Karel menjawil gemas hidung Fian. "Iya tapi kamu ikut tidur denganku," ucapnya sebelum mengecup singkat bibir Fian.

"Kenapa cuma sebentar?" protes Fian.

"Ada Raka sayang," ucap Karel.

Fian menoleh pada Raka yang sibuk bermain lego, wajah putranya itu nampak serius dengan kening berkerut.

"Ck Raka juga tidak akan protes," ucap Fian dengan wajah kesal. Karel tertawa, Fian sudah kembali seperti dulu.

Karel menyelipkan rambut Fian dibelakang daun telinga. Wajahnya mendekati Fian yang sudah memejamkan mata. "Buka matamu," bisik Karel. Fian membuka matanya dan saat itu Karel baru melumat bibir Fian.

Fian tidak bosan menatap wajah Karel, rasanya dia ingin menebus waktunya yang kemarin-kemarin. "Emm Karel," panggil Fian. "Kata Gavyn pria itu bisa menahan kebutuhannya paling lama itu tiga bulan," ucap Fian.

Karel mengerutkan keningnya, dia langsung mengerti arah pembicaraan Fian. "Gavyn bilang begitu?" Fian menganggukan kepalanya. "Yahh sebenarnya Gavyn benar, kenapa?" tanya Karel dengan wajah santai.

Fian ternganga, dia menatap tajam mata Karel. "Terus kamu? kita sudah pisah lebih dari satu setengah tahun," tanya Fian dengan curiga.

"Menurutmu?"

Fian mengerucutkan bibirnya. "Karel!! aku serius," rengeknya.

"Kamu pikir aku memiliki waktu untuk memikirkan itu? aku sibuk mencarimu setelah keluar dari rumah sakit, aku mengurus perusahaan yang sudah kutinggal selama lima bulan, ditambah aku juga harus mengurus sidang kasus Kinan."

Fian terdiam, dia memang terlalu kekanak-kanakan kalau mencurigai Karel begini. Dia menundukan kepalanya. "Maaf," ucapnya.

Karel mengeluarkan kotak berwarna merah yang sudah ia siapkan sebelumnya. Pria itu berlutut di depan Fian. Wajahnya nampak serius dengan pandangan hangat yang selalu bisa membuat Fian meleleh.

"Dulu saat pernikahan kita aku tidak melamarmu dengan sungguh-sungguh, aku menawarkan sebuah permainan komitmen yang akhirnya membuat kita sama-sama lelah. Biar aku membuat penawaran lagi," ucap Karel.

Dia menggenggam tangan Fian. "Fian Airish Bella, aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan kamu. Aku ingin membesarkan anak-anak denganmu. Apa kamu mau hidup dengan pria sepertiku?"

Mata Fian berkaca-kaca, dia mengangguk dan langsung memeluk Karel. "Kita tidak perlu menikah ulang kan?" kekeh Fian ditengah tangisan harunya.

Karel tertawa, dia mendekap erat tubuh Fian. "Bodoh," ucapnya.

Raka menoleh, dia langsung berdiri dan menghampiri kedua orang tuanya. Tangan kecilnya menarik kaus Karel. "Yahh Ndaa.." protesnya.

Karel tersenyum dia menggendong Raka. Saat ini semua terasa lengkap, meski dia harus kehilangan Kinan sekarang. Tapi kebahagiaan memang tidak ada yang sempurna, setidaknya Karel belajar sesuatu. Tentang bagaimana menghargai perasaan seseorang.

🍁🍁🍁

Masih ada beberapa part untuk Fian dan Karel sebelum epilog sooo tunggu yaaa

Mohon maaf kalau feel gk sesuai sama ekspektasi aku udah berusaha untuk bikin sebisaku ^^

Lagi proses mikir konsep cerita Gavyn Stella :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top