33. Karma Itu Ada
Hayyy semuaa.. arrghh akhirnya berhasil triple update wkwk legaaa rasanya
Part2 penyelesaian ini lumayan bikin pusing :D
Langsung aja yaa happy reading yaa :D :* :*
🍁🍁🍁
"Aku ingin mengatakan sesuatu," ucap Stella. Fian yang awalnya ingin membuat susu untuk Raka menghentikan langkahnya. Dia mendekati pintu dan melihat Stella sedang duduk dengan Gavyn di teras depan.
"Aku juga, aku ingin minta maaf karena semalam membentakmu," ucap Gavyn.
Stella mengangguk, "aku memang salah." Dia menghela nafas. "Gavyn aku tidak akan basa-basi, maaf aku harus mengatakan hal yang mungkin membuatmu tidak nyaman. Aku.. aku mencintaimu," ucapnya lancar. Gavyn terdiam, dia menatap wajah Stella yang terlihat tenang. Gadis di depannya ini memang tidak tau basa-basi.
"Aku cukup kaget," jawab Gavyn tenang, berbeda dari ucapannya yang mengatakan dia kaget.
Fian mendengus kesal, pernyataan cinta macam apa ini, kenapa keduanya masih memasang wajah datar. Apa dia perlu menabur bunga di sekitar mereka agar setidaknya ada sedikit warna disana. Tidak, karena nanti akan menyusahkan, dia harus menyapu halaman kalau dia melakukan itu.
"Aku lega sekarang, Fian benar rasanya bebanku terangkat," ucapnya dengan senyum sumringah.
Gavyn memperhatikan wajah itu, mencoba membaca perasaan apa yang dia miliki untuk gadis disampingnya ini. "Menurutmu, bagaimana perasaanku padamu?" tanya Gavyn. Oke sekarang rasanya Fian ingin menarik rambut Gavyn sampai pria itu botak.
Stella mengerutkan keningnya, wajahnya terlihat sangat geli. "Mana aku tau bodoh! kau sendiri yang merasakannya," kekehnya. "Aku tidak akan memaksamu mengerti perasaanku. Aku sudah cukup nyaman dengan hubungan kita saat ini," lanjut Stella.
Kata orang, untuk menyadari perasaan terkadang dia harus meraskan kehilangan agar mengerti arti pentingnya orang itu. Kehilangan Stella, selama ini gadis itu selalu berada dalam radius pengawasannya. Bahkan siapa saja pria yang dekat dengan gadis itu Gavyn pasti tau. "Aku pria yang suka mempermainkan wanita, dan kamu pasti tau itu."
"Tentu saja, aku lebih dari tau tentang itu. Kau selalu meminta bantuanku untuk menyingkirkan mantan-mantanmu itu," keluh Stella. "Dan aku juga tau, kau bisa serius jika kau mau Gavyn. Aku suka dengan caramu mencintai Fian," ucapnya.
Gavyn tersenyum dia merangkul Stella. "Kalau aku menikahimu dengan aku yang masih memiliki perasaan pada Fian apa kau tidak apa?" Mendengar itu Fian membuka mulut lebar, Gavyn benar-benar gila.
Stella memandang Gavyn dengan tatapan permusuhan. Tangannya langsung mengetuk kepala Gavyn. "Kau pikir aku apa? ahh sudahlah, bicara denganmu itu membuat kepalaku pusing! pulanglah ke Jakarta, aku akan menjaga Fian."
Gavyn menarik lengan Stella yang sudah berdiri sampai dia kembali terduduk. Matanya tekunci oleh pandangan mata tajam Gavyn. "Kau akan pergi meninggalkanku nanti?"
Stella tersenyum dan menggeleng. "Mana mungkin? kau bisa apa tanpa aku, siapa nanti yang akan membantumu mengusir semua wanita-wanita itu nanti?"
Fian tersenyum melihat semuanya, kurang jelas apa perasaan Gavyn, dasar pria bodoh. Dia menjauh dari pintu dengan senyum senang, akhirnya Gavyn menemukan wanita yang tepat. Tinggal tunggu saja hari pernikahan mereka.
"Yaampun Rakaa!!!" teriaknya histeris, karena seru menguping dia sampai lupa kalau Raka tadi kehausan. Dia langsung berlari ke kamar. Di kamar Raka sibuk mengacak tas Fian, putranya itu asik menyoret-nyoret lantai dengan lipstick ditangannya. Wajahnya tampak lucu karena terkena lipstick dari tangannya sendiri.
Fian menepuk jidatnya, lipstick mahal favoritnya hancur sudah. Tapi itu lebih baik daripada anaknya menangis kehausan. Fian meringis, "enaknyaa ngegambar.." ucapnya sedikit tidak iklas.
Raka menoleh, dia langsung merentangkan tangannya dan berusaha berdiri. "Ndaaa.." teriaknya. Fian mengulurkan tangannya dan menggendong Raka.
"Raka seneng?" tanya Fian. Raka menepuk-nepuk pipi Fian hingga wajah bundanya itu ikut merah. Fian terkekeh dan mengecup kening Raka. "Bunda seneng, kalau Raka seneng."
🍁🍁🍁
Karel duduk di cafe dengan bertopang dagu, disampingnya Fatar sedang menyuapi Rain, setelah dua bulan yang lalu wanita itu keluar dari rumah sakit Fatar mengurus semuanya. Mereka kembali menikah karena talak yang Fatar jatuhkan termasuk talak satu.
"Ck! apa kalian memanggilku untuk menemani kalian bermesraan?" tanya Karel yang akhirnya jengah dengan pasangan itu.
Rain terkekeh geli, dia mengusap mulutnya dengan tissue di dekatnya. "Kami hanya kasian melihatmu kesepian," ucapnya.
Karel mendengus kesal, dia mengaduk minumannya tanpa minat. Kedua sahabatnya itu justru menertawai wajah masamnya. "Aku memiliki banyak pekerjaan Rain," keluh Karel. Ini memang sudah malam tapi dia lebih senang menghabiskan waktu dengan melihat setiap lembar pekerjaannya dibanding harus melihat dua pasangan yang sedang bermesraan.
Rain menepuk bahu Karel, "aku akan membantumu, kakakku sudah cukup membuatmu susah," ucapnya.
Karel terdiam, mungkin Rain yang bisa membuat Gavyn membuka suara. "Terima kasih," ucapnya. Besok rencananya dia akan pergi dengan Riko dan mencari Fian lewat data-data kecil yang mulai Riko dapat.
Ponsel Karel bergetar, dia mengerutkan keningnya. "Ada apa ma?" tanya Karel bingung. Tadi dia sudah izin untuk pergi sebentar jadi tidak mungkin ibunya mencari dia.
"Sayang.. tolong ke rumah adikmu sekarang yaa," lirih Mariska. Karel terdiam, tanpa mengucapkan apapun dia memutuskan sambungan telfon.
"Ada apa?" tanya Rain melihat wajah kaku Karel.
Karel berdiri dan merapikan kemejanya. "Aku harus pergi, sepertinya ada yang tidak beres dengan Kinan," gumamnya. Dia langsung keluar meninggalan Rain dan Fatar yang bertatapan bingung.
Karel menyetop taxi, dia memang belum mengendarai mobil setelah kecelakaan itu. Ada rasa trauma setiap dia menyentuk stir mobil.
Rumah Kinan tidak terlalu jauh dari cafe ini. Hanya dalam waktu setengah jam Karel sudah tiba di rumah itu, dia mengerutkan keningnya. Bingung melihat ada beberapa mobil polisi di depan rumah. Karel menerobos kerumunan orang yang ada di depan rumah adiknya. Ada garis polisi yang melintang di depan pagar dan dua orang polisi yang menjaganya.
"Ada apa ini?" tanya Karel dengan wajah khawatir.
"Anda keluarga korban?" tanya polisi itu.
Karel semakin bingung, siapa korban di dalam. Dia langsung mengangguk agar semuanya cepat. Polisi ikut mengangguk dan menuntun Karel untuk masuk ke dalam rumah.
Rumah ini berantakan, terlihat jelas bekas keributan dirumah ini. Mariska dan Danu duduk di dekat tubuh Kinan. Karel membeku di tempat, matanya melebar melihat banyak darah didekat tubuh adiknya itu. Karel berjalan cepat nyaris berlari menghampiri adiknya.
"Kinan!" panggil Karel. Dia menuntun kepala adiknya itu ke pangkuannya. Wajah cantik Kinan memucat dengan pipi yang memar kebiruan. "Kinan.. bangun," panggil Karel dengan lembut sembari mengusap pipi dingin adiknya.
Mariska sudah tidak kuat lagi, dia jatuh pingsan dan Danu mengangkatnya ke sofa.
Karel masih mencoba membangunkan Kinan meski jelas tubuh itu kini sudah tidak bernyawa. "Kii ayolah, kamu selalu tidak lucu saat bercanda," panggil Karel. Dia mengusap tangan Kinan yang memar dibeberapa bagian.
"Siapa yang melakukan ini?" desis Karel sembari menatap bekas tusukan di perut Kinan. Semua yang mendengar itu pasti tau kalau suara itu sarat akan emosi.
"Tuan Satrio," lirih asisten rumah tangga yang menjadi saksi keributan tadi bicara. Karel mengatupkan rahangnya. Dia sudah curiga dengan pria itu sejak awal tapi Kinan tetap kekeh untuk menikah dengan dia.
"Selama ini ternyata tuan sering bermain dengan wanita lain di belakang nyonya, beberapa bulan ini nyonya tau dan sering bertengkar dengan tuan. Tuan.. tuan sering memukuli nyonya.."
Karel terdiam, dia membuka pakaian adiknya dan melihat kulit putih adiknya lebam-lebam. "Berengsek!" desisnya. Dia memeluk Kinan, mendekap erat tubuh dingin itu membuatnya semakin sesak. Kenapa harus adiknya yang mendapat balasan akan semua kesalahannya. Kenapa semua karma ini tidak jatuh pada dirinya sendiri saja.
"Kenapa kalian tidak melaporkan semua pada polisi sejak awal!!" bentak Karel pada beberapa pelayan yang ada di rumah ini. Tidak dia sangka semua bungkam melihat Kinan menjadi korban KDRT selama ini.
Danu mendekati Karel, dia merangkul bahu putranya. "Tenanglah," ucapnya.
"Mana bisa aku tenang? dia membunuh adikku pa!" balas Karel. Danu mengerti perasaan Karel, karena jenazah didepannya ini adalah putrinya dia juga merasakan hal yang sama. Tadi dia bahkan sempat menghajar Satrio saat pria itu dibekuk polisi.
"Maaf Ki.." lirihnya. Dia sudah gagal menjadi suami dan sekarang dia juga harus gagal menjadi seorang kakak. Adik yang selalu ada untuknya sekarang telah pergi, pergi ke tempat yang tidak bisa dia jangkau.
"Dimana dia? dimana si berengsek itu?" tanya Karel sembari menatap tajam orang-orang yang ada di ruangan ini. "Ku bunuh dia," desisnya sembari bangkit.
Danu menahan Karel, tapi karena emosinya yang sudah berada di ujung tidak ada yang bisa mencegahnya. Karel menanyakan kemana Satrio dibawa dan langsung pergi ke tempat itu.
Fatar masuk dan menghampiri Danu. "Ada apa ini?" tanya pria itu. Tadi dia memang mengikuti Karel karena melihat wajah sahabatnya itu.
"Fatar tolong kejar Karel!" ucap Danu. Dia tidak sempat menjelaskan semua, yang terpenting saat ini adalah Karel tidak sampai kalap membunuh Satrio.
Fatar terdiam, kaget melihat kondisi Kinan. Dia segera mengangguk dan pergi keluar. "Kamu masuk saja ke rumah, aku harus menyusul Karel," ucap Fatar buru-buru saat masuk ke dalam mobil.
Rain ingin bertanya tapi dia mengurungkan niatnya dan mengikuti perintah Fatar. Dia masuk ditemani polisi, dia melebarkan matanya, langkahnya terhenti di depan pintu melihat kondisi dalam rumah.
"Kinann.." panggil Rain melihat kondisi adik sahabatnya itu.
Karel mencengkram keras stir mobil. Dia berusaha melawan semua traumanya. Saat ini mobilnya melaju cepat ke tempat Satro dibawa.
"Gila! orang ini masih berani ngebut setelah kecelakaan kemarin!" kesal Fatar langsung menginjak gas. Jarum speedometer beranjak naik, ketika sudah bisa melewati mobil Karel baru Fatar membanting stir untuk menghadang laju kendaraan Karel.
Fatar keluar dari mobilnya, dia langsung menghampiri mobil Karel yang langsung terhenti. "Keluar!" perintah Fatar.
Karel keluar dan langsung mencengkram kerah kemeja Fatar. "Minggirin mobil lo sekarang!" desis Karel.
"Kalo gue nggak mau?" tanya Fatar menantang.
Karel tersenyum miring. "Gue tabrak," jawabnya singkat.
"Lo mau kemana? semua butuh lo sekarang!" seru Fatar.
"Gue akan bunuh orang yang bunuh Kinan," jawab Karel. Fatar ternganga, dia meneguk salivanya. Karel benar-benar tertutup emosi sekarang.
"Lo bisa masuk penjara Rel jangan gegabah! biar polisi yang mengurus semua."
Karel mengibaskan tangannya. "Gue nggak peduli," ucapnya. Dia berbalik dan ingin masuk ke mobil tapi ucapan Fatar menghentikannya.
"Lo nggak perduli sama Fian dan Raka? gimana masa depan Raka kalau ayahnya dipenjara?" tanya Fatar. Tangan Karel yang akan membuka pintu mobil melayang di udara. Dia mengatupkan rahangnya. "Biar hukum yang menyelesaikan semua, ayoo Kinan butuh kakaknya sekarang," ajak Fatar.
Karel lemas, dia sudah lelah dengan masalah Fian yang belum bisa ditemukan dan sekarang ada masalah lagi dihadapannya. Seolah belum berhenti, karma selalu menghantamnya bertubi-tubi.
"Kinan.. kenapa harus diaa?" tanya Karel serak. Ayolah semua ini kesalahannya sendiri.
Fatar menghela nafas, dia menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Yang sabar, Kinan pasti dapat tempat yang indah disana, dia wanita yang baik." Karel mengacak rambutnya sendiri.
Karel kembali ke rumah itu dengan Fatar. Di luar rumah masih banyak kumpulan orang-orang yang penasaran. Mereka kembali masuk ke rumah. Jenazah Kinan sudah ditutup. Karel menghampiri ibunya dan memeluk tubuh yang sudah lemas itu.
"Kinan Rel.." isak Mariska. Karel mengusap bahu ibunya, saat ini yang terpenting mereka bisa saling menguatkan.
Karena sudah cukup banyak bukti dan saksi mata keluarga menolak untuk melakukan otopsi. Mereka ingin Kinan segera dikebumikan. Jenazah Kinan dibawa oleh ambulan menuju rumah orang tua Karel.
Banyak orang berdatangan ke rumah besar itu. Keluarga besar, para tetangga, teman-teman orang tua Karel dan teman-teman Kinan yang sebagian besar adalah teman Karel juga. Sejak dulu Kinan memang sangat dekat dengan Karel.
Karel duduk di dekat jenazah Kinan yang sedang dikelilingi orang yang sedang melayat untuk mendoakan dan melihat Kinan untuk yang terakhir kalinya.
Sesil dan Azka datang dengan kedua anak kembarnya. Sesil langsung menghampiri sepupunya itu.
"Rel.. kenapa bisa begini?" tanya Sesil. Karel tidak bisa menjawab apapun, dia hanya tertunduk dan lanjut membaca Yasin dengan orang-orang di dekatnya.
Sesil membuka kain penutup wajah Kinan, dia mencium kening sepupunya itu kemudian dia kembali menutupnya. Dia duduk di samping Mariska yang masih terlihat syok.
"Tante yang sabar," ucap Sesil.
Orang datang silih berganti, meski sudah dini hari rumah ini masih ramai di datangi orang. Karel bangkit, dia naik ke lantai atas untuk masuk ke kamar Kinan yang ada di samping kamarnya.
Karel menekan sakelar yang berada di dekat pintu. Ruangan gelap itu kini terang, menampilkan ruang rapi yang sudah lama ditinggalkan. Untungnya kamar ini terurus dengan baik hingga tidak ada debu yang menumpuk.Dia duduk di ranjang Kinan, matanya menelusuri setiap sudut kamar. Merasakan keberadaan adiknya yang baru saja pergi itu. Rasanya baru kemarin dia tertawa bersama Kinan.
Dalam sunyi, kehilangan terasa semakin pekat dan nyata. Ini bukan mimpi dan khayalan saat diam, Kinan benar-benar telah pergi meninggalkan kenangan indah bagi semua orang yang mencintainya.
Acara pemakaman akan dilakukan pagi ini. Sebelum itu jenazah Kinan dimandikan dan dikafankan. Sebelum wajah itu ditutup Mariska dan Danu mencium kening putri mereka untuk yang terakhir kali.
Karel melakukan hal yang sama, lembut dia usap kening Kinan. Wajah yang kemarin masih merona saat ini hanya berwarna putih tanpa aliran darah. Bibir yang biasa menyunggingkan senyum manis itu kini mengatup kebiruan. Mata yang selalu berbinar saat ini menutup sempurna. "Tidurlah yang tenang," bisiknya sebelum mencium kening Kinan.
Setelah disolatkan di masjid terdekat. Keranda Kinan dibawa oleh ambulans ke kompleks pemakaman tempat nenek dan kakek Karel dikebumikan. Pagi ini ditemani langit yang gelap, orang-orang mengantar Kinan ketempat peristirahatan terakhirnya. Karel, Danu dan Azka turun untuk meletakan Kinan di dalam liang lahat.
Mariska menatap tubuh putrinya. Air matanya kembali menetes, kakinya kembali lemas. Saat ini palang kayu mulai menutupi tubuh Kinan. Karel dan Danu yang sudah naik lagi langsung merangkul Mariska.
Karel melihat sedikit demi sedikit tanah itu mengubur Kinan. Dadanya sesak, bahkan air mata tidak bisa menggambarkan kesedihannya saat ini.
Mereka kembali ke rumah setelah berdoa sejenak di pusara Kinan. Karel langsung duduk di depan teras karena di dalam terlalu ramai dan semua masih menanyakan kejadian semalam. Dia tidak sanggup untuk terus menceritakan semuanya.
"Banyak wartawan di depan," ucap Fatar.
Karel menghela nafas, sudah pasti ini akan ramai diberitakan. Dia mengusap rambutnya. "Gue mau ganti baju dulu," ucap Karel. Karena tadi dia turun maka banyak tanah yang menempel di pakaiannya.
Dia mengganti pakaian dan langsung kembali ke depan. "Kalian lebih baik pulang, Key dan Rasya pasti menunggu," ucap Karel. Fatar dan Rain memang sejak semalam tetap menemani Karel disini.
"Lo nggak apa?" tanya Fatar. Karel tersenyum tipis, dia sudah merasa lebih baik sekarang. "Oke nanti malem gue ke sini," ucap Fatar.
"Sabar Rel," ucap Rain sebelum pergi mengikuti Fatar.
Karel mengeluarkan ponselnya. Dia menghubungi pengacara keluarga yang akan mengurus kasus hukum pembunuhan Kinan. Akan dia pastikan Satrio mendapat balasan yang setimpal.
🍁🍁🍁
Para pekerja di kantor Karel datang setelah jam pulang kerja. Putri ikut dalam rombongan staf HRD. Awalnya dia tidak ingin datang karena merasa tidak enak pada Karel tapi mengingat dia juga sudah mengenal Karel lebih dari seorang karyawan pada bosnya akhirnya gadis itu berdiri di sini.
Putri ternganga melihat rumah keluarga Karel. Dulu Fian pernah bercerita tentang besarnya rumah itu tapi ternyata melihat langsung rasanya masih kaget.
"Putri?" panggil Karel yang baru saja turun dari lantai atas.
Putri menoleh, dia menganggukan kepala hormat. "Pak, maaf kami baru datang," ucapnya.
Karel mengangguk. "Dimana yang lain?"
"Ehh? ke ruang sebelah pak," jawab Putri.
Karel mengerutkan keningnya, dia melihat wajah kagum Putri. Dalam hati Karel mendengus, dua sahabat ini benar-benar memiliki sifat yang sama. Dulu Fian juga berekspresi begitu saat pertama kali masuk ke rumah ini. Belum lagi Putri juga sama-sama seenaknya dalam bertindak dan bicara.
Karel duduk di sofa ruang tamu depan, dia mempersilahkan Putri untuk duduk. "Apa Fian menghubungimu?" Selalu itu yang Karel tanya setiap bertemu dengan Putri.
Putri menggelengkan kepalanya. "Nggak sama sekali pak, saya akan kabarin bapak kalau Fian nelfon saya," jawab Putri.
Karel menundukan kepalanya, kedepannya dia pasti akan sibuk dengan kasus hukum Kinan. Lalu bagaimana dengan urusannya mencari Fian, mengabaikan salah satunya tidak mungkin. Rencananya untuk mencari Fian besok juga sudah dipastikan gagal.
"Bapak yang sabar ya," ucap Putri melihat wajah lelah Karel.
"Fian, bagaimana aku bisa menemukan dia," lirih Karel. Putri terdiam, dia kasihan melihat Karel yang benar-benar terlihat kacau. Dia duduk di samping Karel dan menepuk-nepuk bahu Karel.
"Bapak pasti bisa nemuin Fian," ucapnya dengan nada ragu. Gavyn pasti sangat melindungi Fian, dan bisa dipastikan juga Karel sulit menemukan Fian.
Karel menyandarkan keningnya di bahu Putri. Perlakuan itu membuat mata Putri terbelalak kaget. Dia bingung harus melakukan apa, akhirnya dia hanya bisa mengusap punggung Karel. "Sabar yaa pak," ucapnya.
Cukup lama Karel mengatur nafasnya sampai akhirnya pria itu jatuh tertidur. Putri ingin memindahkan bosnya itu tapi dia tidak kuat. "Si Fian sumpret banget! untung gue nggak baperan!" keluhnya.
Fatar kembali ke rumah Karel, awalnya dia ingin kembali malam tapi dia khawatir dengan kondisi sahabatnya itu sekarang. Dia masuk ke dalam rumah, dan kaget melihat Karel memeluk Putri.
"Ehh ini nggak kaya yang bapak kira.." ucap Putri panik saat melihat wajah kaget Fatar.
"Emang apa yang saya kira?" tanya Fatar geli. Dia melihat Karel yang memejamkan mata dengan nafas teratur. "Dia tidur?" tanya Fatar.
"Iya pak, kita bangunin aja ya?" tanya Putri.
"Jangan! dia belum istirahat sejak semalam," ucapnya.
Putri ber ohh ria, dia mengangguk. "Yaudah tolong pindahin aja, kalau nggak saya bisa diamuk Fian nanti," kekehnya. Fatar ikut tertawa, dia membantu Karel untuk tidur di sofa. Fatar dan Putri mengobrol di dekat Karel dan pria itu sepertinya memang benar-benar lelah sampai tidak terganggu dengan obrolan di dekatnya.
"Fi.." gumam Karel.
Fatar dan Putri sama-sama menoleh, mereka memperhatikan Karel yang gelisah dalam tidurnya. Wajah Karel berkeringat, keningnya berkerut dan mulutnya terus memanggil Fian.
"Sejak kapan dia begini," gumam Fatar. Putri menggigit bibirnya, dia jadi ikut merasa bersalah. Harusnya saat itu dia langsung menyeret Fian untuk melihat kondisi Karel.
"Sejak sadar, dia memang begitu setiap tidur," jawab Danu yang baru saja mengantar para staf HRD sampai pintu depan. Fatar menghela nafasnya, dia menatap Karel. Kali ini dia tidak bisa membantu banyak.
"Saya pulang dulu deh," ucap Putri. Rasanya dia tidak ingin melihat ini lebih lama.
Danu tersenyum. "Temannya Fian kan? nggak ingin nunggu sampai pengajian nanti malam?"
Putri tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Nggak usah pak, saya ikut berduka cita. Semoga bapak dan keluarga di beri ketegaran," ucapnya.
"Terima kasih yaa sudah menyempatkan datang," ucap Danu. Putri mengangguk dan pamit pergi.
🍁🍁🍁
Gavyn masuk ke ruangan kerjanya. Melihat Rain duduk di sofa untuk menunggunya dia sama sekali tidak kaget. Satu bulan yang lalu dia mendapat kabar meninggalnya adik Karel dan hari ini kedatangan Rain pasti tidak jauh dari pembahasan itu.
"Ada apa?" tanya Gavyn.
Rain menghampiri kakaknya. Dia tersenyum melihat wajah kakaknya yang selalu datar itu. "Kakak pasti tau tujuanku," ucap Rain.
"Dan kamu pasti tau jawabanku," jawab Gavyn.
"Kak tolonglah.. semua sudah kacau, Karel benar-benar membutuhkan Fian," mohon Rain.
Gavyn menghela nafasnya, dia memegang kedua bahu Rain. "Fokus pada urusanmu sendiri, tidak usah memikirkan Karel. Dia pantas mendapatkan itu," ucap Gavyn.
Rain menggeleng tegas. "Kakak tau Fian pergi karena Karel ingin membantu aku kan? sekarang kakak menyuruhku untuk tidak memikirkannya? aku tau kita dilahirkan dari keluarga monster tapi aku tidak ingin kita juga menjadi monster!" seru Rain.
Yaa keluarga monster, ayahnya adalah orang yang tidak tau belas kasihan. Ayahnya adalah orang yang egois dan arogan. Segalanya yang ayahnya inginkan maka semua harus terpenuhi, pria itu mengorbankan apapun untuk mendapat keinginannya. Saat ini ibu yang tinggal di rumah dengan ayahnya juga bukan ibu kandung mereka. Ibu mereka bahkan sudah lama pergi meninggalkan mereka dan entah kemana sekarang. Satu alasan itu juga yang membuat Rain bersyukur ayahnya menolak untuk menerima dirinya lagi.
"Jaga ucapanmu!" ucap Gavyn.
Rain mengusap air matanya. "Nyatanya memang begitu, bahkan keluarga Karel membenci keluarga kita."
Gavyn mengatupkan rahang. Dia duduk di kursi kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan agar emosinya tidak terpancing, dia abaikan Rain yang masih ada di ruangan ini.
"Aku mohon kak, kembalikan Fian," pintanya lagi.
"Dia belum pantas," jawab Gavyn singkat.
Rain memejamkan matanya. Melawan kakaknya ini butuh kesabaran yang ekstra. "Sebenarnya parametes pantas dimata kakak itu apa? apa Karel harus sampai merangkak untuk mencari Fian? atau sampai Karel mati baru dia pantas untuk Fian?"
Gavyn terdiam, dia mengaitkan jemarinya. Parameter pantas, dia bahkan belum menentukan parameter itu, apakah dia akan menunggu Karel menyerah untuk mencari Fian, atau membuat pria itu gila karena tidak bisa menemukan Fian. Dia menghela nafasnya. "Sampai aku lihat seberapa berharga Fian dimata Karel," jawabnya.
Rain duduk di kursi yang ada di hadapan Gavyn. Tangannya menggenggam lengan kakaknya. "Kakak mencintai Fian kan?" tanya Rain. Gavyn tidak menjawab, dia hanya menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut adiknya. "Kembalikan Fian pada Karel," ucapnya.
Gavyn tersenyum miring, dia menarik lengannya. "Aku tidak bisa, lebih baik dia bersamaku. Aku tidak akan membuatnya menangis," jawabnya kekeh.
"Tapi kakak juga tidak bisa membuatnya bahagia!" seru Rain. "Dengan Karel, Fian mungkin menangis, tapi dia juga bahagia."
"Fian bahagia, aku melihat itu."
Rain mengatur nafasnya, dia mencoba tersenyum pada Gavyn. "Bahagia? kakak yakin? bisa kakak bandingkan Fian yang dulu dengan Karel dan Fian yang saat ini dengan kakak? Apa dia masih orang yang sama?"
Telak. Gavyn diam, dia kembali mengingat setiap pertemuannya dengan Fian dulu. Senyum Fian mengembang, tapi bukan jenis senyum yang sama. Mulut Fian bicara, tapi tidak ada lagi ocehan-ocehan lucu darinya. Fian tertawa tapi hanya jenis tawa renyah yang jauh dari karakter wanita itu. Perilakunya tertata rapi, tidak ada Fian yang ceroboh dan akan tertawa saat menyadari kecerobohannya sendiri. Semuanya tertata seolah ingin menunjukan pada semua orang kalau dia bahagia.
"Pikirkan lagi kak," ucap Rain sebelum pergi meninggalkan ruangan ini. Gavyn mengacak rambutnya. Dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan kantor.
Dari jauh Gavyn bisa melihat Karel sedang bicara serius di telfon. Dengan jarak seperti ini dia cukup bisa melihat wajah lelah dan kantung mata Karel. Yaa bisa dimaklumi, pria itu harus mengurus perusahaan, mengurus persidangan dan mencari Fian dalam waktu yang sama.
"Sepertinya kau sibuk," ucap Gavyn.
Karel yang awalnya akan masuk ke dalam mobil mengurungkan niatnya. Dia menatap tajam pria di hadapannya itu. "Jangan buang waktuku," ucap Karel.
Gavyn tersenyum sinis, dia mengangguk dengan wajah pura-pura mengerti. "Aku hanya ingin mengucapkan bela sungkawa," dia terdiam sebentar, "tapi maaf aku tidak akan memberitahu dimana Fian karena kasihan padamu."
"Aku juga tidak butuh belas kasihanmu, kau tidak perlu merasa tidak enak." Sinis Karel membalas semua perkataan Gavyn. Sebenarnya yang cocok menjadi adik Gavyn bukan Rain tapi Karel.
Gavyn tertawa, seperti biasa dia menikmati setiap perdebatannya dengan Karel. Dia mengeluarkan amplop dan memberikannya pada Karel. "Bukalah, dan lihat betapa bahagianya Fian sekarang."
Tangan Karel membuka amplop itu dengan cekatan, tapi matanya masih menatap tajam Gavyn. Apa lagi yang akan pria itu lakukan padanya. Dia mengeluarkan isi dari amplop itu, melihat gambar di foto itu dia tertegun. Fian sedang tertawa dengan seorang anak yang sedang mencoba menggapai Fian.
"Raka sedang senang berjalan, dan kau tau? setiap aku datang maka Raka akan langsung berlari padaku." Cerita Gavyn membuat Karel membeku, dan Gavyn tau kondisi hati Karel saat ini, dia sengaja melanjutkan ceritanya dengan mata menerawang.
"Fian bahagia?" tanya Karel.
Gavyn terdiam, dia kemudian mengangguk. "Sangat." Ponsel Gavyn bergetar, dia menatap layar kotak itu. Senyumnya mengembang tipis, kebetulan yang sangat bagus. "Ahh panjang umur sekali dia," kekehnya.
Karel mendongak, dan Gavyn tertegun melihat mata hitam legam itu redup. "Fian?" tanya Karel serak. Gavyn mengangguk masih dengan memperhatikan wajah Karel yang memucat.
"Ssstt jangan buka suaramu kalau kau tidak ingin membuat Fian menangis lagi!" ancam Gavyn. Dia mengangkat sambungan telfon Fian.
"Yaa?" sapa Gavyn.
"Gavyn lama sekali sih!" omel Fian di sebrang. Karel mendengar suara yang sudah hilang selama satu tahun lebih itu karena Gavyn sengaja meloadspeaker telfonnya.
"Maaf Fi, aku sedang rapat," jawab Gavyn.
"Ohh yaa? kenapa tidak kamu matikan saja telfonnya?"
Gavyn terkekeh kecil. "Aku takut kau menelfonku," jawabnya.
"Yaa ya kamu memang sangat romantis! ahh sudahlah, aku serius Gavyn!"
Gavyn melirik Karel. Pria itu benar-benar mengikuti perintah Gavyn untuk tidak membuka suara meski sepertinya jika bisa mungkin Karel akan berteriak menanyakan keberadaan Fian. "Ada apa?" tanya Gavyn.
"Stella pergi.." jawab Fian.
Damn, Gavyn mengumpat. Stella sudah bilang dia tidak akan pergi. "Kemana dia?"
"Ndaaa.." teriak suara menggemaskan di sebrang.
"Raka.." panggil Karel. Dia mendekat pada Gavyn. Akhirnya dia bisa mendengar suara anaknya.
"Ehh sayang, ssttt bentar yaa nda lagi nelfon daddy."
"Dad?
"Iyaa, Raka diem dulu yaa.."
"Ndaaa auu cucuuu.." rengek Raka. Karel tersenyum mendengar rengekan itu. Putranya sangat menggemaskan.
"Uhh haha anak ndaa haus yaa? sebentar yaa."
"Halo Gavyn? aduh Raka sedang rewel. Intinya Stella ingin pergi, kamu harus cegah dia!"
Sambungan telfon dimatikan oleh Fian. Gavyn menghela nafas, dia harus ke Bengkulu sekarang juga. Pandangannya kembali pada Karel.
"Kurasa itu cukup, kau sudah mendengar suara Raka sekarang."
Karel tidak bisa mengatakan apapun sekarang. Dia terlalu bahagia bisa mendengar suara Fian dan Raka putranya. Mata redup itu seperti kembali bernyawa. Apapun alasan Gavyn, dia harus berterima kasih kelak karena telah menjaga Fian dan putranya.
Semua tidak luput dari pandangan Gavyn. Pria itu menghela nafas lalu pergi. Dia sudah mendapat beberapa jawaban dari pertanyaannya, tinggal menunggu sedikit dan semua akan kembali pada posisinya.
Untuk saat ini biarlah begini, karena ketika menghilang saat itulah nilai berharga itu terlihat. Karel harus belajar menghargai apa yang dia sayangi. Dan lagi, dia juga harus menanyakan keputusan dari Fian.
Saat itu juga Gavyn langsung pergi ke Bengkulu. Dia akan mencegah Stella pergi, karena meski samar dia mulai menyadari arti Stella lebih dari sahabat untuknya.
Penerbangan yang terasa cukup lama bagi Gavyn. Setiap minggu dia terbang ke Bengkulu tapi hari ini rasanya jarum jam berputar sangat lama.
Tiba di bandara Fatmawati Soekarno, supirnya sudah menunggu di depan mobil seperti biasa. "Cepat," ucap Gavyn.
Supir itu tersenyum dan mengangguk patuh, dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati. Kurang dari satu jam, mereka telah tiba di rumah. Gavyn langsung keluar dari mobil dan masuk ke rumah itu.
Stella sedang menarik kopernya keluar dari kamar. Matanya melebar saat melihat Gavyn di hadapannya. "Kau kenapa disini?"
Gavyn tersenyum sinis. "Kau lupa dengan ucapanmu sendiri?" Stella mengerutkan keningnya, seingatnya dia tidak mengatakan apapun pada Gavyn tadi. "Kau akan pergi?"
"Ohh iya, baru saja aku akan menelfonmu," ucap Stella sembari terkekeh.
Mata Gavyn menajam, bukan merasa tidak enak Stella justru tertawa ringan di depannya. Dia melangkah maju, lengannya langsung merangkul pinggang Stella untuk menghapus jarak yang tersisa.
"Kau bilang sendiri untuk tidak akan pergi meninggalkanku? aku benci pembohong Stella!" geramnya.
Stella mengerutkan keningnya, dia benar-benar bingung apa maksud Gavyn. "Astaga Gavyn! kau ini bicara apa sih?" tanya Stella sembari mencoba melepaskan diri. Bukan apa-apa, saat ini jantungnya berdetak sangat kencang. Dia takut Gavyn akan mendengar itu dan menggodanya.
Gavyn mengeratkan rangkulannya saat Stella memberontak. Saat tidak ada lagi perlawanan dari wanita dalam rangkulannya ini baru dia melonggarkan sedikit rangkulannya. "Kenapa kau ingin pergi?" tanya Gavyn.
"Karena aku memang harus pergi, aku harus mengurus beberapa surat yang masih ada di rumah orang tuaku," jawab Stella.
Kini bukan hanya Stella yang menampakan wajah bingung. "Jadi kau bukan pergi meninggalkan aku?" tanya Gavyn dengan tampang bodoh.
Stella membuka mulutnya, jadi ini alasan Gavyn bersikap aneh. Dia mendengus kesal. "Dasar bodoh! kau bisa bertanya dulu padaku." Stella melepaskan diri, dia merapikan pakaiannya.
Gavyn terdiam, wajahnya sudah memanas sekarang. "Fian!!" desisnya. Dia dikerjai oleh Fian.
Stella memperhatikan wajah Gavyn. Dia tersenyum geli. "Yahh aku cukup terharu, kau marah karena aku pergi," kekehnya dengan nada geli.
Gavyn mendengus kesal, dia mengetuk kening Stella agar gadis itu berhenti tertawa. "Dimana Fian?" tanya Gavyn.
"Di belakang."
"Tunggu sebentar, aku ingin bicara dengan Fian," ucap Gavyn.
Gavyn langsung pergi ke belakang rumah. Disana Fian sedang memangku Raka yang tertidur. "Kau mengerjaiku," ucap Gavyn.
Fian menoleh, matanya mengerjap polos. "Apaa?"
"Fian!!" geram Gavyn.
Wajah Fian benar-benar tanpa dosa. "Apaa? memang apa yang aku lakukan?" tanya Fian.
Gavyn gemas, dia menjawil hidung Fian. "Stella pergi ke rumah orang tuanya untuk mengambil dokumen," keluh pria itu.
Fian ber ohh ria, pura-pura baru mengerti. "Yaahh ku pikir dia akan pergi meninggalkan kita."
Gavyn memperhatikan setiap raut wajah Fian. Dia tersenyum dan memandang Raka. "Kau merindukan Karel?" tanya pria itu.
Fian terdiam, dia mengusap kepala Raka. "Kenapa mendadak bertanya tentang Karel?"
"Hanya bertanya," jawab Gavyn. Dia menghela nafasnya. "Fii kau harus tau, Karel tidak menikah dengan Rain," ucap Gavyn.
Fian menoleh kaget, dia benar-benar tidak pernah mendengar informasi tentang Karel dan yang lainnya. "Kamu serius? lalu bagaimana nasib Rain?"
Gavyn mendesah kesal, bagaimana mungkin disaat seperti ini Fian masih mengkhawatirkan orang lain. "Rain kembali pada Fatar," jawabnya.
"Benarkah??" Fian tersenyum senang. "Ucapkan selamat padanya. Dia pasti senang bisa berkumpul dengan Keyla dan Rasya."
"Fii!!" ucap Gavyn. "Berhenti memikirkan orang lain. Bagaimana denganmu? Karel tidak menikah dengan Rain, kalau saat ini kau ingin kembali padanya aku akan mengantarmu sekarang."
Fian memandang Gavyn. Dia menggigit bibir bawahnya. "Karel tidak menikahi Rain karena aku pergi. Seandainya aku tidak pergi dia pasti melanjutkan rencananya, aku.. aku takut untuk meneruskan semuanya Gavyn," lirih Fian. Benar dia takut, terlalu takut untuk kembali pada Karel.
"Jadi? kau tetap tidak ingin kembali padanya meski alasan kau pergi sudah hilang?" tanya Gavyn.
Fian menundukan kepalanya. "Kamu lebih dari tau apa yang aku alami selama ini. Aku tidak bisa kembali padanya, dia akan menyakitiku lagi dan lagi nanti," jawab Fian.
Gavyn menghela nafas, dia mengusap keningnya sendiri. "Karel kecelakaan Fi," ucap Gavyn.
Fian menoleh dengan wajah geli, dia tersenyum dan memukul bahu Gavyn. "Tidak usah membuat cerita dramatis agar aku kembali padanya!"
"Apa aku terlihat suka berdongeng?" tanya Gavyn. Fian mengangguk santai. "Ahh sudahlah kembali padanya juga akan percuma, dia tidak bisa mengenalimu sekarang. Ck sepertinya kecelakan itu cukup parah," gumamnya dengan wajah serius.
Fian mengangguk dengan tawa gelinya. "Jika dia tidak ingat padaku, yasudah aku akan berkenalan lagi dengannya," kekeh wanita itu. Wajah Gavyn semakin kesal, di depan wanita ini dia tidak pernah bisa memasang wajah dingin. "Ayolah kamu harus tersenyum, kamu baru saja mendapatkan Stella," bujuk Fian.
Gavyn mengusap kepala Fian. "Kau harus memikirkannya Fi," ucap Gavyn. Jika Fian sudah mengatakan siap untuk bertemu Karel maka dia akan langsung memberitahu pria itu.
"Aku sudah bahagia dengan Raka. Lagipula ada kamu dan Stella didekatku, aku sudah senang," ucap Fian. Jika tadi Rain tidak bicara begitu maka saat ini Gavyn akan percaya semua kata-kata Fian.
Gavyn menghela nafas dan menganggukan kepalanya. "Aku harus mengantar Stella, kau tidak apa?"
Fian mengangguk. "Aku baik-baik saja. Pergilah," ucapnya. Gavyn mengusap kepala Fian sebelum bangkit. Dia menghentikan langkahnya di balik tembok itu, senyumnya mengembang saat mendengar isak lirih Fian.
"Pembohong yang baik," gumamnya. Dia melanjutkan langkahnya. Di depan Stella sudah menunggu dengan wajah kesal.
"Ada apa sih?" tanya Stella. Gavyn tidak menjawab. Dia menggenggam lengan Stella dan menuntun gadis itu menuju mobil.
Di mobil Gavyn masih tetap diam. Dia fokus dengan ponselnya. Mereka saat ini sedang menuju bandara.
"Kita akan menikah, dan aku ingin mengadakan pesta pernikahan di sini," ucap Gavyn masih dengan menatap ponselnya.
Stella mengerutkan keningnya. "Kau ingin menikahi ponselmu?"
Gavyn mendongak, dia memutar bola matanya. Salahnya sendiri bicara tanpa melihat Stella, gadis itu selalu mempunyai kata-kata yang akan membuatnya kesal. Dia mengulangi kata-kata itu dengan manatap mata Stella.
"Aku tidak bilang mau menikah denganmu kan? kenapa kau sudah membahas tempat pernikahan kita?" tanya Stella. Lagipula lamaran macam apa ini.
"Gavyn, aku tidak ingin menikah saat kamu belum yakin dengan perasaanmu sendiri. Aku bukan Fian yang rela menikah dengan pria yang tidak mencintainya." Stella menyandarkan tubuhnya di kursi dan memandang jalanan.
"Apa dengan menawarkan komitmen yang serius padamu itu bukan cinta?" tanya Gavyn.
Stella menoleh, dia terkunci dengan pandangan mata Gavyn. "Kamu mencintai Fian.." gumam Stella.
Gavyn tersenyum. "Fian itu bintang yang tidak bisa ku gapai, dia bintang yang sudah dimiliki orang lain dan aku juga sudah memiliki bintangku sendiri."
"Kau lebih mengerti aku daripada orang lain. Menurutmu apa aku akan main-main saat menawarkan sebuah komitmen?"
Stella menggeleng, Gavyn bukan pria yang menawarkan sebuah komitmen pada wanita. Pria memang suka bermain dengan wanita tapi semua wanita itu tidak pernah ada yang dia tawarkan sebuah komitmen pasti itu.
"Menurutku cinta itu adalah komitmen, saat aku mencintai seseorang maka dia akan kujadikan temanku untuk menjalani hidup, dan dia akan kujadikan ibu dari anak-anakku, aku akan memberikan sisa hidupku untuknya."
Jika Stella terbuat dari es maka dia pasti akan meleleh sekarang. Tidak perlu ribuan bunga untuk rayuan tidak pasti. Tidak perlu coklat disaat valentine untuk janji semu. Karena yang dibutuhkan wanita adalah kepastian, lewat sebuat komitmen bernama pernikahan.
"Aku terima lamaranmu," ucap Stella.
Gavyn tersenyum dan mengacak rambut Stella. "Kita persiapkan semua secepat mungkin."
🍁🍁🍁
Ini udah panjang yaaa.. agak lama karna asli tiba2 bleng dan feel ilang semua. Nahh loh ketar ketir dikejar target tapi feel ilang :D
Dengerin lagu sedih juga tetep gagal gk tau kenapa sampe kesel sendiri.. akhirnya cuma bisa gulung2 dikasur hufftt
Ahh sudahlah, nggak usah curhat ndah wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top