32. Berdiri Diatas Serpihan Luka

Hayyy guyss balik lagi nihh mohon maaf karena koment kemarin belum sempet dibales karena fokus sama part ini biar bisa cepet updatenyaa hehe

Happy reading guys ini udah panjang bangett lohhh 5504 kata nahh loo wkwk

🍁🍁🍁

Karel tersenyum lega karena akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit. Hari ini juga dia akan mencari Fian, dan tempat pertama yang harus dia tuju adalah kantor milik keluarga Rain tempat dimana Gavyn bersarang. Karakter yang sama membuat Karel mengetahui secara pasti kekuatan musuhnya. Dengan langkah pasti pria itu masuk ke dalam gedung tinggi itu.

Kedatangan Karel jelas membuat para karyawan kantor kaget karena CEO dari saingan kantor ini datang langsung. Para karyawan wanita menatap kagum Karel, setelah lama hanya mendengar tentang ketampanan CEO dari perusahaan musuh akhirnya hari ini mereka dapat melihat secara langsung. Beberapa berpendapat kalau Karel lebih wah dari Gavyn tapi beberapa berpendapat kalau keduanya sama-sama tampan dan memiliki kelebihan masing-masing. Intinya orang yang menjadi pasangan dari salah satu pria ini harus memiliki mental yang kuat karena setiap hari pasti akan ada godaan.

"Denger-denger bosnya jibran corp udah nikah," bisik salah satu karyawan.

"Masa sih?? yahh sayang banget, bos kita aja belom nikah-nikah, liat aja kelakuan bos yang sering ganti pasangan, pasti itu orang nggak jauh sikapnya," bisiknya lagi.

Karel menghela nafasnya, dia hanya berdiri tenang menunggu lift terbuka. Terserah orang lain ingin bicara apa karena urusannya hanya dengan Gavyn tidak lebih. Pintu lift terbuka, dia langsung masuk dengan beberapa orang yang akan naik ke lantai atas juga. Beberapa orang melirik penasaran pada Karel tapi lebih banyak yang bersikap tidak peduli. Karena bagi beberapa orang, urusan pergi ke kantor hanya untuk bekerja bukan mendengar gosip atau hal tidak penting lainnya maka orang yang tidak peduli akan kehadiran Karel adalah orang yang masuk golongan itu.

Karel berjalan keluar dari lift dan langsung menuju ruangan Gavyn. Tanpa permisi dia membuka pintu ruangan itu.

Di kursi kerjanya Gavyn sudah menunggu dengan senyum menyebalkan seperti biasa. Dia mengangkat alisnya. "Welcome back," ujarnya.

Karel mendengus geli, untungnya dia sudah mampu mengontrol emosinya. Jika tidak, sudah dia hajar pria yang dihadapannya ini. "Kau bawa kemana Fian?" tanya Karel dengan tajam.

Gavyn mengerutkan keningnya. "Kau menanyakan dimana istrimu pada pria lain? kau yang bodoh atau memang pria yang kau tanya itu brengsek sampai berani membawa kabur istri dari pria seperti Karel?"

Karel mengepalkan lengannya, dia mengatur nafas agar tidak terpancing. "Fian milikku, apapun yang kau lakukan padanya dia akan tetap memilihku, jangan membuat dirimu rendah dalam mengemis cinta," ucap Karel.

Mata Gavyn menajam, hanya pria ini yang selalu bisa membalas kata-katanya. Dia tersenyum samar, menyenangkan saat bertemu lawan yang sepadan. Dia bangkit dari kursi kebanggaannya. Kini kedua pria itu saling berhadapan, masih dengan gaya santai tapi tidak mengurangi ketegangan di dalam ruangan ini karena bisa dilihat tatapan mata itu sama-sama tajam dan menghunus. "Kenapa kau yakin Fian akan tetap memilihmu?" tanya Gavyn. "Setelah apa yang kau lakukan padanya selama ini? hemm pria yang cukup arogan.." kekeh Gavyn.

Karel tersenyum sinis. "Cobalah, coba untuk melakukan apapun, ratusan kali kau mencoba maka ratusan kali juga aku akan mengatakan, menyerahlah karena kau sudah gagal. Fian akan tetap memilihku," ucapnya. Rahang Gavyn gemelutuk, bukan karena kata-kata Karel yang sombong tapi karena semua kata-kata itu benar adanya. Fian tidak akan bisa benar-benar meninggalkan Karel.

Gavyn meninju rahang Karel dengan keras. Dia telah kalah dalam pengaturan emosi. Ditinjunya berkali-kali wajah Karel. "Kalau Fian memang berarti kenapa kau menyakitinya terus!!" bentak Gavyn. Karel diam tanpa membalas pukulan Gavyn. "Bagaimana mungkin orang sepertimu bisa mendapatkan Fian!" geramnya.

Karel menggeram kesal, dia membalas pukulan Gavyn. Kakinya menendang perut Gavyn. "Apa kau pikir kau juga pantas untuknya?" tanya Karel.

Gavyn tersenyum sinis meski darah sudah keliar dari mulutnya. "Setidaknya aku pria yang tidak pernah membuatnya menangis sedikitpun," jawabnya.

Karel terdiam, dia melepaskan cengkramannya pada kerah Gavyn. "Kau bawa kemana Fian?"

"Kau pikir aku akan memberitahumu? ohh ayolah kita ini saingan."

"Sudah kubilang kau akan kalah!!" Karel berang. Dia benar-benar ingin menghabisi Gavyn saat itu juga.

Gavyn tersenyum kali ini, senyum yang benar-benar geli. "Aku memang kalah dalam hal memiliki hati Fian, tapi apa kau pikir Fian akan egois untuk tetap mementingkan masalah hati? apa kau tidak sadar juga kalau saat ini kehidupannya bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk Raka juga??" teriak Gavyn.

Ruangan ini semakin mencekam, Karel mengepalkan tangannya. "Raka?" tanya itu dengan getaran yang terdengar jelas.

Gavyn mendengus. "Yaa Raka! kau pasti sudah langsung tau Raka adalah anakmu dan Fian! bayangkan saat kau terus menyakitinya dia masih ingin mengingatmu lewat nama Raka!!"

Karel melangkah mundur, jadi nama anaknya adalah Raka. Sangat tidak jauh dari nama dirinya. "Fian.." gumamnya.

Gavyn merapikan jasnya. "Aku memang sama berengseknya denganmu, bedanya aku terang-terangan menyakiti gadis-gadis diluar, sedangkan kau! kau menyakiti gadis yang bahkan kau cintai sejak awal! yaa dia istrimu sendiri!"

"Tapi aku.. aku tidak akan membuat gadis yang kucintai menangis terlebih karena keegoisanku sendiri, bahkan saat denganku maka aku tidak akan membuat gadis itu tergores luka sedikitpun, aku yang akan menjamin itu dengan nyawaku sendiri!" ucapnya.

Karel tau dengan jelas, semua ucapan itu menyindirnya telak. Dia terduduk di lantai. Kepalanya tertunduk, bagaimana caranya dia mendapatkan Fian lagi kalau yang melindunginya sekuat ini.

"Berikan dia padaku, hanya aku yang bisa mengerti dia, hanya aku yang selalu mendengarkan pendapatnya, hanya aku yang tidak pernah memaksanya untuk mengikuti semua keegoisanku." Kali ini Gavyn bersedekap dengan wajah yang terlihat dingin dan menyeramkan.

Karel mendongak, kepalanya menggeleng. "Aku tidak bisa, meskipun kau memang yang terbaik untuk dia aku tetap tidak bisa melepaskannya!" jawab Karel. Egois atau apapun itu, dia memang tidak bisa melepaskan Fian. Selama ini dia berusaha bertahan untuk Fian dan anaknya.

Gavyn menghela nafasnya. "Sudah kuduga, pria menyedihkan," cibirnya.

Karel tidak peduli Gavyn mengatainya apapun. Dia bangkit berdiri, kembali dia tatap tajam pria dihadapannya. "Aku tidak akan melepaskannya."

"Kalau begitu biar aku yang membuat Fian melepaskan dirinya sendiri," jawab Gavyn dengan tersenyum.

"Tidak bisa!!" bentak Karel. "Aku bisa mati kalau dia tidak ada!"

Shoot, Gavyn mengepalkan lengannya sembari tersenyum lebar. "Yaa mati lah kau sekarang bodoh!!" ucapnya sembari kembali memukuli Karel.

"Kau selalu begitu! dulu kau mencintai adikku tapi kau pergi ke luar negri dan kembali untuk menghancurkan hidupnya! padahal aku selalu berusaha membuat adikku bahagia!" bentak Gavyn disela pukulannya. "Sekarang kau juga begitu! kau menyakiti wanita yang aku cintai padahal aku selalu berusaha susah payah untuk membuatnya tersenyum!"

Karel sadar, Gavyn memang sangat membencinya karena dia sudah menghancurkan kehidupan adik kesayangan pria itu.

"Carilah Fian sendiri! dan aku tidak akan membuatmu mudah menemukannya, karena kau.. tidak pantas," desis Gavyn. Dia bangkit dan tersenyum senang melihat Karel meskipun kondisinya sendiri tidak jauh berbeda, bisa dipastikan Karel akan masuk lagi ke rumah sakit.

🍁🍁🍁

"Apa yang kakak lakukan?" tanya Kinan cemas sembari membersihkan luka-luka Karel. "Ohh kakak bahkan belum 24 jam keluar dari rumah sakit!!"

Karel meringis, rasanya bagian dalam mulutnya robek karena banyaknya darah yang keluar. "Ki apa menurutmu aku tidak pantas mendapatkan Fian?" tanya pria itu sembari menahan darah yang menetes dari pelipisnya.

Kinan terdiam, dia mengerti maksud kakaknya ini. "Seburuk-buruknya kakak, kak Fian tetap mencintai kakak. Jangan ragu tentang itu," gumamnya. Dia tidak menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Fian di vila saat itu.

Karel tersenyum kecil, dari jawaban Kinan dia sudah mendapat jawabannya. Untuk pria seperti dirinya Fian memang tidak pantas karena terlalu baik.

Kinan memeluk Karel. "Aku yakin, nanti kak Fian pasti akan kembali, bukankah kata orang cinta akan mengetahui kemana tempatnya pulang?"

Karel menghela nafas, dia mengusap kepala Kinan. Adiknya ini memang selalu bisa membuatnya tenang. "Besok aku harus pergi ke Solo," ucapnya. Kinan mengangguk, dia senang kakaknya tidak menyerah.

Dia pergi menemui keluarga Fian. Tidak mungkin Fian tidak menghubungi keluarganya selama ini. Dalam hati dia berharap banyak dengan kedatangannya hari ini.

"Lohh mas ini suaminya Fian kan?" tanya tetangga di samping rumah Fian.

Karel mengangguk ramah, dia menyalami ibu tua itu. "Rumah ini sepi, ibu dan ayah kemana ya?" tanya Karel.

"Jam segini memang sepi mas, bu Nita ke pasar nah pak Aryo kerja," jelas ibu itu. "Sini mampir disini dulu mas, sebentar lagi juga bu Nita pulang."

Karel mengangguk dan mengikuti ibu itu. Dia ngobrol dengan ibu yang sibuk menceritakan kalau dulu saat resepsinya ibu itu juga datang ke Jakarta. Tidak berapa lama, ibu mertuanya datang dari pasar.

"Naah itu bu Nita, ayoo.." ajak ibu itu.

"Buu.. iki mantumu teko," ujarnya dengan bahasa jawa.

Nita menoleh kaget melihat Karel menantunya itu. "Lohh Karel kenapa ndak ngabarin dulu?" tanya Nita.

Karel tersenyum dan menyalami lengan ibu mertuanya. "Ingin main bu," jawabnya.

"Yaudah ayo masuk," ajak Nita.

Karel mengangguk, sebelumnya dia menghampiri ibu yang tetangga tadi. "Terima kasih bu, saya masuk dulu," ucapnya. Ibu itu tersenyum dan menganggukan kepala.

Di dalam rumah, Karel duduk di sofa sembari melihat ponselnya. Nita sedang ke dapur menyiapkan minuman dan makanan untuk tamu dadakan ini.

"Ada apa nak? wajahmu babak belur begitu, lagi ada masalah? itu keningmu juga ada bekas jahitan, terakhir ketemu belom ada loh," tanya Nita setelah dia ikut duduk di sofa.

Karel menyentuh keningnya, luka permanen akibat kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya itu. "Hanya kecelakaan kecil bu," jawabnya bohong. Tentu saja, mana mungkin kecelakaan kecil bisa membuatnya harus betah tinggal di rumah sakit selama lima bulan.

"Ohh.. maaf ibu nggak jenguk, belom sempet ke Jakarta sama bapak. Kamu juga pasti sibuk yaa? sampai syukuran Raka kamu nggak bisa dateng," ucap Nita. Karel terdiam, benar saja Fian sempat kemari.

Karel hanya tersenyum, "iya saya harus pergi ke Pekan Baru." Bohong lagi karena saat itu dia sedang bertahan untuk tetap bisa bernafas.

"Sayang sekali, ehh tapi ada foto-foto pas acara loh. Tuh di kamar Fian, masuk aja kamu juga butuh istirahat kan?" tanya Nita.

Karel mengangguk, dia masuk ke kamar Fian. Selama menikah, dia baru kali ini masuk ke kamar Fian. Kamar yang dulu ditempati wanita yang kini menjadi ibu dari anaknya. Anaknya, dia langsung mencari album foto itu.

"Raka Eldenis Rajendra.." gumamnya sembari menyentuh tulisan yang ada di depan album itu. Senyumnya mengembang saat foto putranya itu terlihat. "Ini Raka?" tanyanya pada diri sendiri. Pahit rasanya, dia sudah menunggu kehadiran putranya itu selama depalan bulan dan saat sebentar lagi penantiannya tercapai semua justru hancur. Dan itu semua lagi-lagi karena keegoisannya sendiri.

Fian yang menggendong Raka dan tersenyum kearah kamera.

"Maaf karena aku tidak bisa menemanimu saat Raka lahir, maaf karena aku baru bisa mencarimu sekarang." Karel tersenyum, mengusap foto Raka. "Tolong jaga bundamu untuk ayah, doakan ayah bisa menemukan kalian," ucapnya.

Aryo pulang sore hari, dia mengajak Karel bicara sembari menikmati kebun milik keluarga Fian. Di kebun ini ada banyak pohon buah yang Aryo tanam sendiri.

"Ada apa nak?"

Karel memetik buah srikaya di dekatnya. Dulu Fian nyidam ingin buah ini karena susah mendapatkannya akhirnya Karel pulang membawa buah sirsak dan otomatis Fian mengamuk bahkan dirinya dilarang untuk tidur di kamar.

"Fian masih sering menghubungi ayah dan ibu?" tanya Karel.

Aryo tersenyum, dia duduk di kursi dekat pohon mangga. "Jarang, makanya ayah bingung ada apa dengan kalian, ditambah kamu yang tidak ada saat acara penting untuk Raka."

Karel terdiam, apakah dia harus menceritakan semuanya. Dia duduk di samping ayah mertuanya. "Maaf yah, saya sudah gagal menjaga Fian," ucapnya sembari menundukan kepala.

Aryo tersenyum, sudah dia duga kalau saat ini rumah tangga anaknya sedang bermasalah, mengingat saat itu wajah putrinya yang selalu ceria terlihat mendung meski bibirnya masih menyunggingkan senyum.

"Apa yang terjadi?" tanya Aryo.

"Fian pergi, semua karena perbuatan saya."

"Dan kamu tidak tau dimana Fian sekarang? kenapa baru mencarinya sekarang?" tanya Aryo tanpa ada nada marah. Sekarang Karel tau darimana kesabaran Fian.

"Saya bahkan baru mampu untuk berjalan normal beberapa minggu yang lalu," jawab Karel dengan senyum pahit.

Aryo kaget, dia tidak mendengar kabar apapun tentang menantunya bahkan dari besan yang biasanya memberikan informasi apapun. "Fian tau?"

Karel menggelengkan kepalanya. "Saya melarang semua untuk memberitahu dia, setidaknya dia bisa melahirkan Raka dengan tenang karena itu."

"Dia pasti sedih karena meninggalkanmu saat keadaanmu begitu," ucap Aryo.

Karel menghela nafasnya. "Kalau begitu dia tidak perlu tau apapun," jawabnya.

"Dia harus tau, karena dalam sebuah hubungan pernikahan tidak hanya dibutuhkan cinta, tapi ada kepercayaan, kejujuran, kesetiaan dan saling pengertian agar bisa memahami satu sama lain," nasihat Aryo. Karel terdiam, meresapi setiap ucapan ayah mertuanya.

"Jika Fian menelfon, ayah akan langsung memberitahumu nanti," ucap Aryo. Tidak ada pilihan lain karen Fian selalu menelfon dengan telfon umum.

Karel mengangguk, "terima kasih yah," jawabnya. Terima kasih karena ketenangan dan jawaban atas pertanyaannya selama ini.

Sore ini dia langsung kembali ke Jakarta. Dia akan menemui temannya yang selalu bisa diandalkan dalam hal melacak keberadaan seseorang.

"Long time no see, apa kabar lo?" tanya Riko.

"Seperti yang lo liat, gua butuh bantuan lo Rik," ucap Karel. Seperti biasa, pria ini selalu to the point. Riko mengangkat alisnya, dia mengangguk dengan wajah penasaran.

"Fian Airis Bella, cari dia," ucap Karel.

Riko terdiam mendengar getar suara temannya saat mengucapkan nama itu. Matanya menyipit. "Istri lo?" Karel mengangguk.

"Cari dia kemanapun," ucapnya lagi.

Riko tersenyum dan mengangguk. "Gue akan bantu cari."

Karel tersenyum dia menepuk bahu teman kuliahnya saat di London itu. "Kabarin gue kalau udah ada informasi. Untuk bayaran urus sama sekretaris gue."

Riko mengibaskan tangannya. "Ntar aja gampang, yang penting istri lo ketemu dulu ngeliat wajah lo yang depresi gini gue takut ntar pas istri lo ketemu ehh lo udah gantung diri," kekehnya. Karel tidak membalas gurauan itu, dia hanya tersenyum kecil.

Ucapan Gavyn benar-benar diwujudkan oleh pria itu. Fian sangat sulit untuk ditemukan, seperti hilang ditelan bumi jejaknya pun hilang. Berminggu-minggu orang-orang Riko mencari tapi tetap tidak ada kabar sama sekali.

Karel menatap jendela besar diruang kerjanya. Matanya tajam menatap jendela seolah ingin membolongi jendela tanpa dosa itu. Tangannya mengepal keras, ini sudah lima bulan dan belum ada kabar sama sekali.

Memaksa Gavyn untuk buka suara juga tidak mungkin karena dia yakin meski dipukuli sampai mati pria itu tidak akan memberitahu keberadaan Fian.

Karel berdecak kesal, rasanya prustasi. Dia bangkit dan langsung menyambar jas kerjanya. Semenjak keluar dari rumah sakit dia kembai tinggal di rumah orang tuanya.

Mariska tersenyum menyambut Karel. "Sudah makan?"

Karel mengangguk, "sudah, mama makanlah, aku ingin ke taman," ucapnya setelah berganti pakaian.

Karel berlari mengelilingi lapangan komplek. Dia mengenakan kaus hitam dan celana training. Setelah dirawat lama bobot tubuhnya tidak menentu, bahkan saat itu dia sangat kurus. Mau tidak mau dia harus rajin berolah raga, lagipula dengan berlari sebanyak mungkin dia merasa bisa mengurangi sedikit rasa sesaknya.

Cuek dia terus berlari meski peluh sudah bercucuran. Beberapa gadis yang sedang berlari sengaja mengikuti Karel di belakang. Bagi mereka melihat Karel itu adalah tontonan gratis yang menyegarkan mata.

"Wahh udah nikah, tu liat pake cincin," bisik seseorang terlalu kencang sampai Karel ikut mendengar itu.

Karel menghentikan larinya saat satu gadis jatuh di sampingnya. Dia berlutut di dekat gadis itu. "Kamu tidak apa?" tanya Karel sembari melihat telapak tangan gadis yang saat ini sedang tersenyum malu.

"Nggak papa kak," ucapnya.

Karel mengangguk dan kembali berdiri. Gadis itu ikut berdiri di bantu dengan temannya. "Aww.." ringisnya.

"Aduhh kayanya dia nggak bisa jalan deh kak," ucap temannya. Karel mendengus, jelas sekali ini drama dari para remaja di dekatnya.

"Dimana rumahmu?" tanya Karel.

Mata remaja itu langsung berbinar senang, dia menyebutkan alamat rumahnya dengan semangat empat lima berbeda jauh dari saat dia meringis kesakitan.

Karel mengeluarkan dompetnya. Dia mengambil uang ratusan untuk gadis itu. "Panggil taxi," ucapan dinginnya membuat para remaja itu ternganga. Mereka pikir tadi Karel akan mengantar temannya pulang.

"Ahh kakak bisa bantu saya ke warung itu aja nggak? soalnya dirumah saya nggak ada orang," masih dengan usahanya.

Karel menghela nafasnya, kenapa remaja sekarang bisa begini. Malas memperpanjang obrolan Karel langsung mengangguk.

"Kakak namanya siapa? aku Anisa," ucap remaja itu sembari berpegangan pada bahu Karel. Dia memang menggendong gadis itu sekarang.

"Telfon orang tuamu, sepertinya kakimu parah sampai kamu tidak bisa berjalan," suruh Karel tanpa menjawab pertanyaan basa-basi remaja itu. Anisa cemberut kesal, memangnya sejelek apa dia sampai orang ini tidak mau meliriknya.

"Makasih kak," ketusnya setelah tiba di warung.

Karel berdeham kemudian berbalik dan melanjutkan lari sorenya. Dia memandang cincin pernikahannya. Apa kurang jelas kalau dirinya sudah milik orang.

Langit sudah menggelap, Karel semakin mempercepat larinya. Sampai dirasakan tubuhnya lelah dan nafasnya sesak baru dia berhenti dan duduk di pinggir lapangan.

Kepalanya tertunduk dalam, memikirkan segala cara agar menemukan Fian. Mencari seseorang dalam daerah seluas Indonesia saja susah apalagi ada kemungkinan Gavyn membawa Fian ke luar negri.

"Tolong beri aku kesempatan satu kali Fi, aku akan memperbaiki semuanya, tolong izinkan aku untuk melindungi kamu dan Raka," lirihnya.

Seandainya angin dapat berhembus mengirim suara, Karel harap dimanapun Fian, wanita itu dapat mendengar setiap permohonannya.

Dari kejauhan, seseorang memperhatikannya, seseorang mendengar permohonan itu. Dan orang itu hanya tersenyum melihat kejatuhan pria yang selalu terlihat kokoh itu.

"Ini masih belum cukup untukmu," ucap Gavyn.

🍁🍁🍁

Fian masuk ke dalam rumah, hari ini cukup melelahkan untuknya. Dia merebahkan dirinya di ranjang. Matanya terpejam tanpa mengganti pakaian kantornya.

"Ndaa.. mamammm.."

Mendengar suara menggemaskan itu mata Fian terbuka. Pasti tadi Stella yang meletakan Raka. Dia tersenyum senang melihat Raka sedang memainkan rambutnya. "Rakaa ndaa mau bobo," ucap Fian.

Raka mengerjap polos, dia merangkak dan menciumi Fian sampai pipi Fian terkena liur Raka. "Mamamam.." rengeknya.

Fian meledek Raka, dia sengaja memejamkan matanya untuk pura-pura tidur dan tidak lama suara tangis Raka memenuhi ruangan. "Ehh jangan nangis dong, anak ndaa sini.. laper yaa," dia segera menyusui Raka dan anak itu langsung diam.

"Jagoan nyusu terus.." kekeh Stella.

Fian tersenyum, "Raka udah mandi?"

Stella menggeleng, "belum, dari tadi mainan terus." Fian mengangguk, senang sekali bisa memandikan Raka karena setelah kerja di kantor waktunya dengan Raka jadi berkurang.

"Ndaa mumuu $$#$#€₩¥£," oceh Raka.

Fian menggaruk kepalanya."Aduh Raka ngomong apa? nda nggak ngerti.."

Stella tertawa melihat wajah bingung Fian. Wajar kalau Raka saat ini sedang aktif bicara dan yang jelas hanya kata nda mii dan mamm.

Raka senang bermain air, karena setiap mandi maka anak itu pasti selalu meloncat-loncat girang. Di tangan kanannya ada bebek karet yang selalu dia bawa saat mandi. Tangan kirinya sibuk memukul-mukul permukaan air.

Fian tertawa melihat anaknya terlihat ceria sekali. "Ini nda lama-lama pake jas ujan yaa kalo mandiin Raka.." kekehnya. Dia segera mengangkat Raka yang terlihat sangat tidak iklas meninggalkan air.

Setelah memandikan Raka dan membersihkan dirinya sendiri Fian mengajak putranya untuk bermain di taman dekat rumah mereka. Di taman ini, Fian biasa menghabisan waktu liburnya dengan Raka.

Sore ini taman ramai, ada anak seusia Raka yang datang dengan kedua orang tuanya. Raka selalu senang melihat teman seusianya bermain dengan kedua orang tuanya. Anak itu akan bertepuk tangan dan tertawa.

"Raka seneng yaa?" tanya Fian getir. Raka hanya bertepuk tangan girang melihat pemandangan di depannya. Anak itu sedang digendong ayahnya dan ibunya sedang memotret mereka.

"Ndaa yahh.." kekeh Raka.

Fian langsung menoleh kaget, dia menatap Raka. "Raka bilang ayah?"

"Yahh?" Raka mengucapkan itu lagi sembari menunjuk pria yang sedang menggendong anaknya.

Fian tersenyum, "itu bukan ayah, kan ayahnya Raka lagi kerjaa.. nanti kalau ayah pulang Raka mau minta apa?" tanya Fian.

"Ndongg!!" teriaknya. Fian menggigit bibirnya. Dia menggendong Raka dan memeluk erat putranya itu.

"Sekarang nda dulu yaa yang gendong.." bisiknya.

"Yahh.." kata Raka.

Fian buru-buru mengusap airmatanya. Dia menatap wajah Raka. "Iyaaa nanti.." ucapnya. Semoga bukan ucapan belaka, tidak dia sangka berpisah dari Karel rasanya sangat sulit.

Rakanya, sejak awal anak ini memiliki ikatan yang sangat kuat dengan Karel. Mengingat dulu saa dia hamil setiap malam Karel pasti mengajak bicara Raka tentang apapun itu.

Hari-hari selanjutnya Fian jalani untuk Raka. Dia tetap tersenyum tegar dan nampak kuat untuk Rakanya. Dia tidak menangis dihadapan semua orang agar semua menganggapnya kuat dan mampu untuk membesarkan Raka sendirian.

Hari ini adalah hari ulang tahun Raka. Satu tahun sudah putranya hadir dan memberikan cahaya baru untuknya. Sebuah pesta kecil Fian adakan untuk syukuran.

Stella menyiapkan balon-balon sedangkan Fian sibuk menyiapkan kue ulang tahun berbentuk mobil cars kartun kesukaan Raka.

Suara mobil yang berhenti di depan rumah menandakan Gavyn sudah sampai. Fian tersenyum melihat Raka yang girang dam minta turun dari gendongan pengasuh itu.

"Turunin aja Bi, tapi ikutin yaa.." ucap Fian.

Raka diturunkan dan anak itu langsung melangkah kecil menuju pintu. Di pintu Gavyn tersenyum dan merentangkan tangannya. "Ayoo sini.. daddy bawa banyak mainan," ucap Gavyn.

Raka bertepuk tangan dan hampir jatuh karena hilang keseimbangan. Beruntung pelayan di belakangnya sigap dan akhirnya bocah itu melanjutkan langkahnya.

"Ayoo sedikit lagi.." Gavyn sudah siap menangkap tubuh kecil Raka.

Raka semakin mempercepat langkahnya dan langsung menabrak Gavyn. Pria itu terkekeh dan menggendong Raka tinggi-tinggi. "Anak daddy sudah satu tahun, Raka ingin apa? coklat, permen, mainan, sepeda, mobil?"

Fian memutar matanya. "Gavyn apa kamu pikir anakku bisa mengendarai sepeda apalagi mobil?" tanya Fian.

Stella terkekeh geli, Gavyn memang bodoh. "Biarkan dia Fi, dia memang selalu memanjakan Raka," kekehnya.

"Justru itu, jangan terlalu memanjakan Raka, aku tidak ingin anakku jadi anak yang manja nantinya," ucap Fian.

Stella mendekati Gavyn dan Raka karena semua pekerjaannya sudah beres. Dia mengambil Raka dari gendongan Gavyn meski anak itu tidak mau.

"Dad.. mii.." rengek Raka.

Stella menggelengkan kepala. "No sebelum daddymu cuci tangan," jawabnya. Gavyn mendengus kesal, dia mengacak rambut Stella gemas dengan sahabatnya yang selalu rewel masalah sepele.

Raka tertawa melihat Stella yang marah-marah pada Gavyn. Dia memeluk leher Stella dan menyandarkan kepalanya di bahu mommynya itu. Acara yang sederhana, dengan mengundang anak-anak dari tetangga dekat rumah ini.

Sejak awal acara Raka terus tertawa senang dengan Gavyn dan Stella. Fian mengabadikan semua moment penting ini.

"Sana, biar aku foto kau dan Raka," ucap Gavyn.

Fian tersenyum dan langsung menggendong Raka. Beberapa foto diambil untuk Fian dan Raka dan sisanya Fian dan Raka berfoto dengan Stella dan Gavyn.

Malam ini karena Raka kelelahan anak itu langsung tertidur pulas. Gavyn sudah kembali lagi ke Jakarta karena pria itu setiap datang memang tidak pernah menginap. Bisa Fian mengerti, kesibukan pria itu memang luar biasa.

"Tidak tidur?" tanya Stella.

Fian tersenyum dan menggeleng. "Kamu sendiri?"

Stella menatap bintang-bintang dilangit. "Aku selalu menatap bintang sebelum tidur," ucapnya.

"Pantas, namamu juga artinya bintang. Jangan bilang nanti anakmu juga kamu namakan bintang," kekeh Fian.

Stella ikut terkekeh, dia tersenyum. Matanya yang indah masih setia menatap bintang-bintang itu. Mata yang jika terkena sinar matahari maka akan terlihat sebiru lautan.

"Kenapa tidak jujur kalau kamu menyukai dia?" tanya Fian.

Stella menoleh kaget. "Apa maksudmu?"

"Kamu menyukai Gavyn," kekeh Fian. Tinggal dengan Stella dalam waktu satu tahun sudah cukup untuk bisa mengenal gadis itu.

Stella tertawa. "Sangat jelas yaa?"

Fian tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Sejak kapan? sepertinya dulu kamu belum menyukainya."

"Sejak aku sadar, kalau Gavyn sudah berubah. Dia tidak main-main dengan wanita lagi," jawab Stella. Dia menyandarkan punggungnya pada tembok. "Sayangnya dia berubah karena wanita lain," lanjutnya.

Fian diam, dia menatap keatas langit. "Aku wanita lain itu," ucapnya pelan. Stella menangguk, dia tau Fian tidak akan sebuta itu. "Bicaralah pada Gavyn, perasaanmu akan lega saat mengatakan semuanya."

"Aku pasti mengatakannya tapi nanti, saat aku sudah siap untuk dijauhi olehnya," ujar Stella. Fian menundukan kepalanya.

"Apa kamu marah padaku?" tanya Fian.

Stella tersenyum geli, kepalanya menggeleng. "Mana mungkin? itu hak Gavyn. Sama sepertimu yang tidak membenci Gavyn meski dia mencintaimu secara terang-terangan padahal kamu hanya mencintai Karel, atau Gavyn yang tidak membencimu karena kamu yang tidak membalas perasaannya."

Fian terdiam, dia menghela nafasnya. Suara gemerisik di sekitar menggambarkan kesunyian. Fian dan Stella sama-sama menikmati pemandangan malam yang cerah ini.

"Karel.. seperti apa dia? yang aku dengar dia pria yang menyakitimu sampai kamu harus pergi dan hidup seperti ini," tanya Stella.

Fian tersenyum, menggambarkan sosok Karel dimatanya akan membutuhkan waktu lama, bahkan semalaman saja tidak cukup. "Dia pria dingin dan menyebalkan.. percayalah kamu akan memiliki keinginan untuk mencakar wajah dinginnya saat bicara dengan dia meski hanya 10 menit," kekeh Fian.

Stella ikut tertawa, "kamu tidak membencinya? meskipun dia sudah menyakitimu?"

Fian tersenyum. "Dia memberikan aku kebahagiaan juga, jadi bisa dibilang dia memberikan kebahagiaan dan rasa sakit dalam porsi yang sama. Kalau dalam posisi ini, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?" tanya Fian.

Melihat Stella tidak menjawab Fian kembali melanjutkan ucapannya. "Aku menikah dengan Karel bukan atas dasar cinta, aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam peperangan yang bahkan sejak awal sudah diketahui siapa pemenangnya. Aku jatuh pada pesona pria menyebalkan itu, dia membuatku merasa di atas awan dan setelah itu dia kembali menjatuhkanku," ucapnya dengan nada getir.

Stella mengusap bahu Fian, baru kali ini dia mendengar semua dari mulut Fian langsung.

"Aku seolah harus terus berlari untuk menyeimbangkan langkahku dengannya. Aku jatuh berkali-kali dan dia hanya bisa mengatakan hati-hati kalau kamu ingin mengikutiku."

"Karel.. seandainya dia mengerti, aku tidak membutuhkan apapun selain dirinya. Seandainya dia tau aku terlalu sakit meninggalkan dia, aku.." Fian menangis dan Stella langsung memeluknya. "Aku meninggalkannya untuk menolong Karel, aku tidak ingin dia merasa bersalah pada Rain, aku hanya tidak ingin Karel bersedih tapi.. sekarang aku pasti menjadi sumber rasa sakitnya.."

"Ssstt Fii tenang, dimana obatmu?" tanya Stella. Fian terus menangis tanpa menjawab pertanyaan Stella.

Stella langsung masuk ke dalam dan mengambil obat Fian. Obat yang Fian konsumsi setiap kondisinya seperti ini. Obat depresi yang sudah lama Fian tinggalkan semenjak ada Raka.

Kondisi Fian yang kembali menurun membuat Stella langsung menelfon Gavyn. Tanpa berpikir panjang malam itu juga dia kembali ke Bengkulu meski sudah lelah.

"Apa yang terjadi?" tanya Gavyn sembari memperhatikan Fian yang tertidur dengan air mata yang masih mengalir. Sudah lama dia tidak melihat pemandangan ini.

"Aku membahas Karel," lirih Stella.

Gavyn menatap tajam Stella. Dia menarik lengan Stella keluar rumah agar pembicaraannya tidak terdengar oleh Fian. "Sudah kubilang jangan bahas Karel di depan Fian!" seru Gavyn.

"Maaf, aku tidak sengaja," lirih Stella.

Gavyn mendengus kesal. "Kenapa kau bisa sebodoh ini." Dia langsung masuk dan menghampiri Fian.

"Ssstt hey tenanglah," bisik Gavyn.

Mata Fian terbuka, dia menatap Gavyn. "Karel.. apa dia baik-baik saja?" tanya Fian.

Gavyn tersenyum dan mengangguk. "Dia baik, kau harus tenang kasian Raka jika dia melihat bundanya begini."

Mendengar nama Raka, dia kembali tenang. Dia mengatur nafasnya. "Aku ingin tidur dengan Raka," ucap Fian sembari melangkah pergi.

Fian memeluk Raka, dia terus menciumi pipi putranya.

Pagi ini Fian sudah kembali seperti biasa, dia mendesah kesal karena semalam harus melewati batas. Harusnya dia lebih bisa mengontrol emosinya.

"Hari ini kau libur saja," ucap Gavyn saat Fian duduk di kursi meja makan.

Fian mengangguk, dia menatap Gavyn dan Stella bergantian. Sepertinya dua orang di hadapannya ini sedang bersitegang. Fian berdeham memecah kesunyian. Tetap tidak ada yang membuka suara sampai sarapan selesai ruangan ini masih sepi.

Fian menghampiri Gavyn yang sedang berdiri di dekat halaman samping. Dia tersenyum tipis pada pria yang sedang menatap tenang dirinya.

"Maaf karena merepotkanmu," ucap Fian tulus.

Gavyn tersenyum geli. "Kau sudah baikan?" tanya pria itu. Fian menganguk, dia sudah merasa jauh lebih baik. "Baguslah," ucap Gavyn.

"Ada masalah apa kamu dengan Stella?"

Gavyn terdiam, dia memandang langit. "Hanya perdebatan kecil, kau tau hubungan persahabatan memang diwarnai perdebatan agar tidak flat." Jujur dia menyesal sudah membentak Stella semalam, dan untuk meminta maaf dia terlalu malu.

"Kamu tidak memiliki perasaan untuk Stella?" tanya Fian.

Gavyn menggeleng. "Aku mencintai wanita yang sering menangis dihadapanku," kekehnya.

Fian menghela nafas. "Kamu tau aku tidak bisa membalas perasaan itu," gumamnya. "Gavyn, coba buka sedikit hatimu. Aku yakin kamu akan tau kalau sebenarnya ada nama lain dihatimu," ucap Fian.

Gavyn mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

Fian tersenyum, dia memandang Gavyn dengan tatapan gelinya. "Perasaan ingin melindungi itu hadir karena adanya rasa cinta," ucapnya. Fian melangkah pergi, dia masuk ke dalam rumah meninggalkan Gavyn yang diam membeku.

Gavyn tau maksud Fian. Stella, gadis itu yang selalu dia lindungi dan Fian tau itu. Tapi bukankah dia melindungi Stella karena status persahabatannya sejak dulu. Satu lagi kesamaan antara Karel dan Gavyn. Kedua pria itu sama-sama bodoh dalam mengetahui perasaanya sendiri.

🍁🍁🍁

"Cemas?" tanya Karel pada Fatar.

Fatar menundukan kepalanya. Hari ini Rain melahirkan anaknya. Diluar Fatar menunggu dengan Keyla dan Rasya. Sejak satu bulan terakhir ini, Rain memang tinggal dengan kedua anaknya di rumah Fatar. Sedangka pria itu, dia mengalah untuk tinggal di rumah orang tuanya.

"Tentu saja, saat melahirkan Rasya kondisi Rain langsung drop," jawabnya.

Karel tersenyum dan menepuk bahu Fatar. Cukup menggelikan memang, Fatar mengira itu bayi Karel tapi saat ini yang cemas justru pria itu, sedangkan Karel hanya duduk tenang disampingnya.

"Pa adeknya cewek apa cowok yaa?" gumam Keyla dengan wajah senang.

"Cowok," jawab Rasya yang sangat ingin memiliki adik cowok untuk teman bermainnya.

"Ihh Rasyaa.. nggak mau, Key maunya cewek!" bantah Keyla.

Fatar tersenyum mencoba untuk tenang, dia mengusap kepala dua anaknya ini. "Cewek atau cowok yang penting mama dan adek sehat," jawabnya menengahi. Perdebatan itu selesai, keduanya setuju. Yang terpenting adalah semua selamat dan sehat.

Dokter keluar keluar dari ruangan. "Suami ibu Rain?"

Fatar melirik Karel. "Apa?" tanya Karel.

"Ck masuklah, lihat bayi itu," ucap Fatar.

Karel menghela nafasnya, dia mendorong bahu sahabatnya itu. "Gue kurang berpengalaman, lo aja sana!" perintahnya. Karena memang yang berhak masuk untuk melihat kondisi Rain dan bayinya adalah Fatar.

Fatar masuk ke ruang bersalin, dia mendekati Rain yang saat ini sedang memejamkan matanya. "Apa dia tidak apa?"

"Tenang saja, ibu hanya kelelahan," jawab dokter. "Sebentar yaa pak, bayinya sedang dibersihkan," ucap dokter.

Fatar mengangguk, dia mendekati Rain. Diusap peluh dikening Rain. "Terima kasih sayang," bisiknya seperti dulu saat Rain melahirkan Keyla dan Rasya.

Suster mendekat pada Fatar, dia tersenyum dan mengulurkan bayi perempuan yang sedang menangis itu. Fatar tersenyum sumringah, dia langsung mendekap anak itu dengan hati-hati.

Tangisan bayi itu terhenti, Fatar mengusap pelan wajah cantik bayi itu. Satu airmatanya menetes, dia merasa senang sekali. Tangan kecil bayi itu menyentuh lengan Fatar dan menggenggam pelan, dan saat itu juga Fatar langsung menoleh pada Rain.

Ini anaknya, ini putrinya. Entah kenapa dia yakin itu. Karena perasaan ini sama seperti saat kehadiran Keyla dan Rasya dikehidupannya. Fatar menciumi putrinya itu, dia mengucapkan kata maaf berkali-kali. Entah berapa kali dia menyakiti hati Rain dan anaknya setiap dia ragu anak siapa ini.

Dengan hikmat, Fatar mendekatkan wajahnya ke putrinya ini. Suara lembutnya melantunan azan di dekat kepala bayi yang ada di dekapannya ini.

Ada rasa lega yang membuat sisa-sisa kemarahannya meluap sudah. Meninggalkan rasa sesal atas rasa sakit yang dia berikan pada Rain. Saat ini, dia sudah memutuskan untuk kembali pada Rain. Dia akan menebus semua yang dia perbuat selama beberapa bulan ini. Akan dia jaga wanita yang dia cintai ini.

Fatar keluar dari ruangan, dia tersenyum melihat kedua anaknya sedang berusah membujuk Karel agar dapat masuk ke dalam.

Ibu Fatar sudah datang, dia tersenyum dan menghampiri putranya. "Gimana kondisi Rain?"

"Baik bu, tolong jaga anak-anak. Aku ingin pergi sebentar dengan Karel," pamitnya. Dia mengajak Karel pergi ke taman rumah sakit.

"Udah tau kalau dia anak lo?" tanya Karel.

Fatar menoleh kaget, dia lupa orang macam apa sahabatnya ini. "Lo juga tau dia anak gue?" Karel mengangguk.

"Gue bisa ngerasain itu saat mendekapnya," jelas Fatar sembari menerawang.

Karel menghela nafasnya, beruntung sekali sahabatnya ini. Dia tidak seberuntung Fatar, jangankan untuk mendekap, melihat langsung wajah putranya saja tidak bisa. Yang dia miliki hanyalah foto yang dia ambil dari salah satu album itu.

"Maaf, gue membuat lo harus kehilangan Fian," ucap Fatar.

Karel mengeleng. "Salah gue, harusnya sejak awal gue kasih tau lo. Gue yang minta maaf, tapi itu janji gue sama Rain untuk tetap tutup mulut." Fatar mengangguk, dia yang salah sampai tega menanyakan hal itu pada Rain.

"Gue akan rujuk dengan Rain," gumam Fatar.

Karel mengangguk. "Yaa itu bagus, lagipula bukannya perceraian lo nggak sah karena Rain hamil?" tanya Karel. Fatar mengangguk, dia akan mengurus semuanya. Lagipula, saat itu dia bahkan belum menjatuhkan talak sampai tiga kali.

Fatar dan Karel masuk ke dalam ruang rawat Rain. Di sana Rasya dengan setia memijat lengan Rain dan Keyla sibuk menciumi pipi adiknya.

"Hay.." sapa Rain.

Fatar duduk di ranjang, ikut melihat bayinya yang saat ini ada dalam dekapan Rain. "Aku sudah menyiapkan nama," ucap Fatar. Rain menoleh kaget, dia pikir Fatar tidak akan menerima putrinya. "Aku tau dia anakku, dan bukan Karel yang memberitahu itu," jelasnya.

Rain mengerutkan keningnya. "Siapa yang memberitahumu?"

Fatar tersenyum, dia mencium kening putrinya. "Dia yang memberitahu semuanya," ucap Fatar.

"Mana mungkin??" tanya Rain. Tidak mungkin bayinya bicara kalau Fatar ayahnya. Fatar terkekeh geli, dia mengusap kepala Rain.

"Bukan dengan bicara, ikatan batin seorang ayah pada anaknya juga kuat Rain," kekeh Fatar yang tau apa yang ada di dalam pikiran Rain.

Fatar menoleh pada Karel yang sejak tadi memandang bayi itu. Dia mengerti saat ini sahabatnya itu tengah menahan semua emosinya karena pasti berat untuk Karel berpisah dari anak yang sudah dia tunggu itu.

"Lo mau menggendongnya?" tanya Fatar.

Karel mengerjapkan matanya. "Boleh?" tanya Karel dengan suara serak.

Rain tersenyum, "tentu saja boleh, kemarilah," ucapnya.

Karel mendekat, dengan hati-hati dia menerima bayi kecil itu. Senyumnya mengembang, seperti inikah rasanya menggendong seorang bayi.

Rain dan Fatar saling berpandangan melihat Karel sampai meneteskan airmatanya. "Aku harus membujuk Kakak," gumamnya. Fatar mengangguk setuju. Mereka harus membantu pria itu untuk mencari Fian meskipun Karel menolak.

🍁🍁🍁

Aku ngumpulin feel pake dengerin lagu sedih berkali-kali sampe mama enek denger lagu yang sama mulu wkwk mudah2an bisa menyalur yaa feel nyaa

See you in the next chapter ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top