31. Mencoba Bangkit

Halohaaa semuaaa...

Akhirnya bisa update, ehh iyaa thank you buat tekky wahyu yang kemarin share cerita ini di instagram kamu hehe

Langsung ajaa happy reading guys!! wish you like this chapter ;) :* :*

🍁🍁🍁

Fian menyentuh kening Karel saat melihat wajah suaminya yang pucat. "Demam, kamu sakit?" tanya Fian dengan wajah cemas yang terlihat jelas.

Karel menggenggam tangan Fian yang masih menempel di keningnya. "Hanya kelelahan," jawabnya. Dia berbaring di ranjang sedangkan Fian hanya bertolak pinggang kesal melihat Karel yang selalu mengabaikan kesehatannya.

Karel gemas melihat sikap istrinya itu, dia menarik Fian hingga istrinya itu kini berbaring di sampingnya. Matanya menatap lembut wajah Fian. "Kamu ingin menggodaku? kenapa menggunakan pakaian setipis itu?" bisik Karel.

Wajah Fian kontan memanas, dia tidak memikirkan itu. Tadi dia memakai ini karena memang pakaian ini ada di paling atas tumpukan baju. "Sembarangan.." omel Fian.

Karel terkekeh kecil, bibirnya mendekati bibir Fian dan mulai melumatnya dengan lembut. "Ck aku hampir lupa," ucap Karel. Dia menjauh dari Fian.

Fian mengerutkan keningnya. "Ada apa?"

"Sepertinya aku akan flu, jangan mendekat dulu agar kamu tidak tertular," jelas Karel.

Fian mengerucutkan bibirnya, dia menggelengkan kepalanya, "it's okey, aku tidak apa-apa, mendekatlah Karel.." ucapnya sembari merentangkan tangan. Karel tertawa geli, Fian selalu blak-blakan dalam bicara, dan mengetuk pelan kepala Fian.

"Bodoh! tidurlah," ucap Karel sembari memarik selimut mereka.

Fian mengerucutkan bibirnya, kesal karena Karel tetap tidak ingin mendekat. Dia kemudian menggeser tidurnya agar lebih dekat dengan Karel. Lengannya memeluk Karel yang sudah memejamkan mata. Ditenggelamkan wajahnya di dada Karel mencari kenyamanan. "Boleh yaa, aku tidak bisa tidur," rengek Fian. Karel tersenyum kecil, dia melingkarkan lengannya di pinggang ramping Fian.

Karel menatap pemandangan dihadapannya dengan tatapan kosong. Ingatannya kembali pada masa-masa Fian berada di dekatnya. Saat ini dia sedang berada di taman rumah sakit. Sudah empat bulan lebih dia menjalani perawatan di rumah sakit ini. Keadaannya mulai membaik secara perlahan. Karel mengikuti semua anjuran dokter dan rutin meminum obatnya. Dia ingin sembuh, dia ingin segera mencari Fian.

"Hai kak," sapa Kinan.

Karel mengerjapkan matanya polos, senyumnya mengembang tipis. "Tidak ke kantor?" tanya Karel dengan suara serak karena jarang sekali bicara.

Kinan menggeleng, "hari ini aku ingin disini," jawabnya.

Karel menghela nafas berat, dia bangkit berdiri. Tangannya mengusap lembut kepala Kinan. "Kemana suamimu? aku tidak pernah melihatnya." Karel merangkul bahu adik kesayangannya itu dan mereka kembali ke ruang rawat Karel.

"Dia sibuk," jawab Kinan berbohong. Faktanya, sudah hampir dua minggu suaminya tidak pulang ke rumah setelah pertengkarang besar yang terjadi dalam rumah tangganya. Karel menangkap sesuatu yang aneh, wajah adiknya yang murung tertangkap jelas oleh matanya.

Karel duduk di tempat tidurnya, dia mengamati wajah Kinan yang duduk di sofa dekat tempat tidur. "Ada apa?" tanya Karel dengan suara penuh perhatian.

Kinan menundukan kepala, rasanya ingin sekali dia menangis dan mengadukan semua pada Karel tapi dia tidak ingin memberikan masalah baru untuk kakaknya yang bahkan belum pulih benar. Kepalanya menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja," jawabnya.

Karel tersenyum tipis, dia tidak akan memaksa Kinan untuk bicara karena nanti jika adiknya ini tidak sanggup menampung semua bebannya pasti tanpa diminta Kinan akan menceritakan semua masalah sampai ke detailnya.

Siang ini Fatar datang dengan kedua anaknya. Ini pertama kalinya dia menjenguk dalam keadaan Karel sadar. Sempat kaget dengan kedatangan Fatar, Karel hanya bisa menyambut dengan senyum canggung.

"Om Karel!!!" panggil Keyla sembari melompat ke pangkuan omnya.

Karel tertawa pelan, dia mengusap puncak kepala gadis kecil itu. Keyla memperhatikan detail wajah Karel. Tangan kecilnya mengusap wajah Karel dengan heran. "Om masih sakit ya? wajah om putih banget."

"Pucat sayang bukan putih," ralat Fatar.

"Tidak, om sudah sehat," jawab Karel. Yaa untuknya, saat ini keadaanya jauh lebih baik karena sudah bisa melakukan apapun sendiri. Melihat anak kecil dia kembali mengingat anaknya dengan Fian. Sudah sebesar apa anaknya sekarang, sudah bisa melakukan apa saja, atau pertanyaan yang paling sederhana bagaimana wajah anaknya.

Kinan masuk ke ruangan dan tersenyum senang menyambut kedua anak Fatar. "Uhh main sama tante yuk?? beli ice cream di depan mau?" tanya Kinan pada Rasya dan Keyla. Dia sengaja ingin membuat Karel bisa bicara dengan Fatar mengingat masalha yang dilewati dua sahabat itu.

"Ayoo!!" jawab Keyla dengan semangat. Tangan kecilnya menarik tangan Rasya dan mereka pergi keluar ruangan rawat Karel.

Fatar tersenyum menatap kedua anaknya yang hilang dibalik pintu. Matanya kini beralih pada Karel yang ikut menatap pintu ruangan. "Gimana keadaan lo?" tanya Fatar.

Karel menoleh, dia mengangguk. "Cukup baik," jawabnya. Dia menghela nafas. "Entah kata maaf pantas atau enggak, gue minta maaf untuk semuanya. Kalau bisa gue ingin memperbaiki semua, tapi sayangnya itu enggak mungkin, gue nggak akan paksa lo untuk maafin gue karena perbuatan gue emang nggak pantas untuk dimaafin," ucap Karel serius.

Fatar menghela nafasnya, matanya menerawang ke atas. Biar bagaimanapun nasi telah menjadi bubur. Memaafkan dan melepas kebencian adalah jalan satu-satunya untuk mengurangi rasa sakit dihatinya.

"Mungkin semua udah jalannya, kalau memang Rain bukan jodoh gue, bukan karena lo juga gue akan pisah dengan dia," jawab Fatar.

Karel menundukan kepalanya, bagaimana dia memberitahu bahwa anak di kandungan Rain adalah anak Fatar. Dia sudah berjanji pada Rain untuk tidak memberitahu Fatar. Padahal mungkin dengan jalan itu kedua sahabatnya ini bisa kembali bersatu.

"Tentang Fian, gue akan bantu mencari dia," ucap Fatar.

Karel menggelengkan kepala. "Biar Fian jadi urusan gue." Helaan nafas Karel terdengar berat, jelas sekali ada beban yang berat dalam pikirannya. "Anak-anak, apa mereka tau tentang perpisahan lo dan Rain?"

Fatar menggeleng, "Rain selalu ke rumah satu kali dalam seminggu, dan anak-anak untungnya nggak curiga meskipun masih sulit membujuk mereka kalau mereka rindu ibunya." Penjelasan Fatar menghantam Karel lagi dan lagi. Kenapa dulu dirinya bodoh sampai tidak memikirkan nasib Keyla dan Rasya. Dia bukan hanya menghancurkan Fatar dan Rain tapi dia juga menghancurkan kehidupan dua anak yang sama sekali tidak mengetahui apapun.

Rain, bagaimana dia saat ini. Sejak dia sadar sepertinya wanita itu tidak pernah datang untuk menjenguknya. Bagaimana kondisi wanita itu sekarang, pasti berat hamil tanpa ada suami disampingnya. Fian juga mengalami itu, bahkan istrinya itu harus melahirkan tanpa ada dia.

Dokter datang untuk mengecek kondisi Karel. Dengan patuh Karel mengikuti instruksi dokter wanita itu. Dari gerak-gerik dokter itu, Karel sebenarnya sadar kalau dokter itu menyukainya tapi dia tetap cuek. Yang terpenting untuknya saat ini adalah sembuh secepatnya.

"Hahh lama disini sepertinya fans lo bertambah," ledek Fatar setelah dokter itu keluar. Dia juga sadar akan sikap dokter muda itu.

Karel mendengus geli, dia mengabaikan ledekan Fatar dan mengambil nampan makanan yang sudah disediakan. Makanan rumah sakit yang selalu membuatnya tidak nafsu makan harus dia lahap semua.

"Kapan lo akan pulang?" tanya Fatar.

Karel menggeleng, dia juga tidak tau karena kondisinya belum stabil. Terkadang kepalanya masih terasa nyeri, dan belum lagi dia masih menyesuaikan diri. Lama tidak berjalan dia juga harus berlatih menggerakan tubuhnya lagi.

"Secepatnya lebih baik."

🍁🍁🍁

"Anak bunda yang paling ganteng!! waktunya mandi.." ucap Fian sembari membuka satu persatu pakaian Raka.

Raka meraih-raih kalung yang dipakai Fian dan menariknya. Saat Fian mengaduh dengan gaya dramatis maka Raka akan tertawa. "Raka sayang kalungnya ndaa jangan ditarik dong," keluh Fian gemas. Anaknya sepertinya senang sekali menarik-narik kalungnya.

Fian memandikan Raka yang sejak tadi tidak bisa diam dan terus asik bermain air sampai membuat semua pakaian Fian ikut basah. "Sayang ndaa jadi basah semua nii.." Fian menggigit pelan pipi bulat putranya itu.

"Hay jagoan.." Stella duduk di dekat Raka yang saat ini sedang dilaburi bedak dan minyak oleh Fian.

Raka menatap Stella, matanya berdekip polos kemudian mulut mungilnya mengeluarkan kata-kata tidak jelas. "Apaa? Raka ingin apa?" tanya Stella. Fian tersenyum melihat putranya yang tertawa dengan Stella.

Karena Raka sudah empat bulan, maka sebentar lagi dia akan pergi dari vila ini. Gavyn telah menyiapkan semua untuk Fian. Dia dan Stella akan pergi dari sini, meninggalkan semua hiruk pikuk kota dan pindah ke Bengkulu. Di kota itu dia ingin membangun semuanya dari awal, dia akan membesarkan Raka dengan penuh kasih sayang. Minggu depan rencananya dia akan pergi setelah mengurus semua kepindahannya.

Selama seminggu ini, Fian dibantu Gavyn dan Stella mengurus semua. Gavyn telah menyiapkan rumah untuk Fian dan Stella tempati. Setelah membujuk Gavyn dengan berbagai cara akhirnya pria itu setuju membantunya untuk mengurus semua.

Sebelum hari keberangkatannya, Fian memutuskan untuk pergi menemui Putri sahabatnya yang sudah lama tidak dia hubungi. Fian pergi ke kantor Karel dengan diantar supir Gavyn.

Fian memakai kacamata hitam untuk menyamarkan keberadaannya dari orang-orang kantor. Dengan sabar Fian menunggu jam istirahat kantor dan menunggu di kantin tempat biasa dia duduk dengan Putri.

"Lohh ibu?" sapa ibu Nina penjaga kantin.

Fian hampir melompat kaget karena ada yang memanggilnya. Fian mencoba untuk tersenyum santai. "Ehh hay bu Nina," sapa Fian.

Bu Nina membalas senyum Fian ramah. "Ibu udah melahirkan? ohh iya gimana kondisi bapak Karel sekarang?" tanya ibu Nina yang memang tidak tau masalah keluarga Fian.

Fian mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan itu. Memangnya apa yang terjadi pada Karel. Dari ujung dia melihat Putri datang, karena dia tidak memiliki banyak waktu akhirnya Fian mengakhiri obrolan ini dan langsung menghampiri Putri.

"Fii!!" teriak Putri histeris. Fian nyengir bodoh di depan Putri. "Astagaa gue kangen banget sama lo!!" pekiknya sembari berpelukan dengan sahabatnya itu.

"Gue juga!" jawab Fian.

Putri menatap perut Fian yang sudah kembali rata. Matanya berbinar senang. "Lo udah ngelahirin?" Fian menganggukan kepala antusias. "Mana babynya?? cewek apa cowok?"

"Nggak bisa gue bawa Put, anak gue cowok baby Raka namanya, ganteng dong," jawab Fian dengan senyum lebar.

"Yaa jelas ganteng lahh!! bibit unggul!" ceplos Putri. Bicara begitu Putri langsung ingat dengan kondisi Karel yang sampai saat ini bahkan belum masuk ke kantor padahal sudah empat bulan pasca kecelakaan hebat itu.

Fian menangkap wajah murung Putri, dia merangkul bahu sahabatnya itu dan mengajaknya berjalan menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan sebrang kantor.

"Gue harus buru-buru pergi Put, gue kesini mau pamit sama lo," jelas Fian.

Putri mengerutkan keningnya, matanya menyipit menatap tajam mata Fian. "Lo mau kemana?"

Fian tersenyum. "Ke tempat yang jauh," jawabnya.

Putri berdecak kesal, lagi-lagi Fian tidak memberitahu kemana akan pergi. "Permainan ini udah nggak seru Fi, lo harus pulang!" ucap Putri.

Permainan, setelah sejauh ini mana mungkin ini disebut permainan. Kalaupun iya apakah ada orang yang akan melakoni permainan yang menguras hati dan tenaga seperti ini. "Lo pikir gue main-main? setelah sejauh ini? hidup nggak sebercanda itu!" Fian cemberut kesal.

Fian menatap bangunan kantor yang tinggi menjulang. Bangunan yang menjadi saksi pertemuannya dengan Karel. Di dalam sana, mungkin Karel sedang sibuk menekuni dokumen-dokumen seperti biasa. Wajah serius pria itu terlihat sangat tampan dimatanya.

"Kenapa? lo nggak akan liat bos disini," jawab Putri.

Fian menundukan kepala, "gue nggak nyari Karel," lirihnya. Setelah mendongak senyum Fian kembali terbit tapi Putri tau itu hanya topeng, karena senyuman itu tidak sampai ke mata. Mata Fian jelas menunjukan kesedihan. "Gue pergi sekarang," pamit Fian. Dia memeluk Putri sekali lagi sebelum masuk ke mobil.

Mobil hitam itu menjauh, Putri hanya bisa menatapnya. Gavyn pasti tidak memberitahu Fian tentang kecelakaan Karel melihat sikap Fian saat ini.

Fian meminta supir untuk pergi ke rumah lamanya dengan Karel. Dia melihat rumah besar itu dari dalam mobil. Rumah itu tampak sepi dan sepertinya memang tidak berpenghuni. Mungkin Karel sudah pindah juga dari rumah ini.

Fian menghela nafasa, kecewa. Apa dia tidak bisa melihat Karel meskipun hanya sekilas sebelum dia pergi.

Sekali lagi dia memandangi rumah itu. "Jalan pak," gumamnya. Dia memang tidak seharusnya mencari Karel, karena dengan melihat pria itu dia tidak yakin akan mampu menahan diri untuk tidak berlari dan menangis dalam pelukan Karel.

Sampai di vila, Raka meloncat-loncat girang dalam gendongan Stella saat melihat Fian pulang. Fian tersenyum dan langsung menggendong Raka. "Jagoannya ndaa lagi main apa sama mom?" tanya Fian.

Raka bergumam tidak jelas dan menenggelamkan wajahnya di dada Fian tanda kalau dia sedang kehausan. "Ohh anak ndaa haus yaa?? Stella aku ke kamar yaa." Fian terkekeh kecil dan pergi ke kamar untuk menyusui Raka.

"Kau yakin akan pindah ke sana?" tanya Gavyn saat mereka sudah tiba di bandara.

Fian memutar bola matanya. "Aku sudah mempersiapkan semua," jawabnya. Setengah jam lagi mereka akan berangkat.

"Jangan menangis padaku saat kau merasa semua keputusanmu ini salah, aku sudah memperingatkanmu berkali-kali," ancam Gavyn dengan wajah kesal.

Fian meringis kecil, dia tau kalau Gavyn hanya ingin yang terbaik untuknya. Dia mengusap kepala Raka yang berada di gendongannya, putranya itu terus menangis sejak tadi.

"Aduh sayang, kamu kenapa sih?? cupp cupp yaa," Fian menimang Raka agar anaknya ini tenang tapi tidak berhasil.

Stella mendekati Fian dan membantu untul menenangkan Raka. "Mungkin dia haus?" tanya Stella.

Fian menggeleng, tadi dia sudah mencoba menyusui Raka tapi putranya ini tetap tidak bisa diam dan merengek terus. Wajah Raka sekarang memerah karena terus menangis. Fian mengusap airmata anaknya. "Kamu ini kenapa sayang?" tanya Fian. Raka jarang sekali rewel, putranya ini rewel jika haus dan sedang demam tapi hari ini sepertinya memang Raka sedang menguji kesabaran Fian.

Gavyn menghela nafas, kepalanya menggeleng pelan. Mungkinkah Raka menangis karena tidak ingin meninggalkan tempat ini, atau lebih tepatnya orang yang berada di tempat ini. Ayahnya, anak itu pasti merasakan akan semakin jauh dari Karel ayahnya.

Perjalanan yang cukup singkat untuk Fian. Mereka langsung menuju rumah cukup besar yang Fian pilih untuk tinggal di kota ini. Sebenarnya Gavyn sudah menyiapkan rumah besar hampir seperti vila yang mereka tempati di Bogor tapi Fian menolak, rumah ini sudah lebih dari cukup untuk Fian tinggali dengan Raka dan Stella. Yaa hanya mereka dan beberapa pelayan karena Gavyn tidak akan tinggal disini, pria itu harus sibuk mengurus perusahaan di Jakarta dan akan sulit jika dia ikut tinggal.

"Hemm ternyata disini sangat panas," gumam Stella yang sudah terbiasa tinggal di Bogor yang terkenal sebagai kota hujan. Fian mengangguk setuju, tapi suasana rumah ini tenang tidak kalah dengan vila yang mereka tempati. Udara di sekitar juga masih baik karena cukup jauh dari pusat kota.

"Aku harus segera kembali ke Jakarta," ucap Gavyn. Dia menghampiri Fian dan memberikan kunci rumah itu serta satu kunci mobil yang sudah Gavyn sediakan untuk Stella dan Fian selama tinggal disini.

Fian mengangguk. "Terima kasih Gavyn, mulai minggu depan aku akan masuk ke kantor dan kamu bisa memotong separuh gajiku untuk membayar sewa rumah dan mobil ini." Dia memang akan bekerja di cabang perusahaan Gavyn sedangkan Stella akan membuka praktik di rumah ini. Raka akan diurus oleh para pengurus rumah yang sudah disediakan Gavyn selama Fian pergi bekerja.

Gavyn mengibaskan tangannya. "Fokuslah untuk membangun kehidupanmu yang baru karena ini pilihanmu," ucapnya. Dia menggendong Raka yang tadi ada di gendongan Stella. "Hay jagoan, daddy pergi dulu dan kau harus menjaga bunda dan mommymu selama daddy pergi okey?" ucapnya. Raka, akan dia sayangi dan jaga anak ini semampunya untuk Fian karena dia tau seberapa berharga Raka untuk wanita yang dia cintai itu.

🍁🍁🍁

Fatar berjalan cepat menuju mini market karena langit mulai mengeluarkan rintik-rintik kecil air. Dia menggerutu kesal karena mobilnya harus menginap di bengkel.

Kaki Fatar melangkah menuju kumpulan rak minum setelah masuk ke dalam mini market itu. Dia mengambil beberapa botol soft drink dan langsung menuju kasir. Dia meletakan belanjaannya di meja kasir dan langsung mengambil dompet di kantungnya.

"Ada lagi?" tanya kasir.

Fatar mendongak kaget mendengar suara kasir itu. Matanya melebar sama seperti mata bulat sang kasir. "Rain?" gumam Fatar.

Rain langsung mengubah raut wajahnya. Dia mencoba tersenyum ramah. "Ada tambahan pak?" tanya Rain lagi. Fatar masih terdiam, kepalanya menggeleng pelan. Dia menyerahkan selembar uang seratus ribuan dan langsung menyambar plastik belanjaannya dan pergi keluar tanpa menunggu struk dan kembalian.

Fatar syok, jelas sekali. Dia mengenal Rain sangat lama, sejak mereka SMA. Dia tau sikap Rain, karena wanita itu lahir dari keluarga yang berada jadi Rain memang manja dan tidak pernah mengenal bekerja. Sekarang, dia melihat sendiri Rain bekerja bahkan wanita itu bekerja menjadi kasir.

"Apa yang dia lakukan," gumam Fatar.

Di bangunan samping mini market. Fatar bersandar di tembok bercat biru yang telah pudar. Dia memutuskan untuk menunggu Rain pulang meski sepertinya jam pulang masih cukup lama.

Hujan angin yang cukup deras membuat Fatar yang sebenarnya terlindung dengan atap ikut basah. Dia melirik jam tangannya, sebentar lagi Rain pasti akan pulang.

Benar dugaan Fatar, Rain keluar dengan payung di tangannya. Wanita itu berjalan santai menerabas hujan angin itu. Matanya melebar saat melihat Fatar menunggunya.

"Mas kenapa disini?" tanya Rain yang sudah menghampiri Fatar.

"Aku ingin bicara," jawab Fatar sembari menatap datar Rain.

Rain menghela nafas, "ayo ikut aku, kamu bisa masuk angin kalau tetap disini dalam keadaan basah begitu," ajak Rain. Terpaksa dia harus mengajak Fatar ke kontrakan kecilnya yang berada di dekat sini. "Aku cuma punya satu payung, tidak apa kan kalau berdua?" tanya Rain.

Fatar mendengus geli, payung sekecil itu untuk berdua. "Pakailah, aku tidak butuh," ucapnya. Rain terdiam, dia mengira Fatar menolak karena tidak ingin berdekatan dengannya padahal pria itu hanya tidak ingin Rain ikut basah.

Rain berjalan duluan sedangkan Fatar berjalan dibelakangnya menerobos hujan. Mereka tiba di gang kecil sampai Rain berhenti di rumah kontrakan kecil dan mengeluarkan kunci dari tasnya. Fatar mengerutkan keningnya. "Rumah siapa ini?"

Rain menundukan kepalanya, dia harus jujur kalau sudah tidak tinggal di rumah lama mereka. Dia masuk ke rumah dan membuka pintu lebar-lebar. "Masuk dulu Mas, biar aku siapkan handuk dan minuman hangat," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Fatar.

Fatar duduk di kursi kayu di ruang tamu kecil itu. Rain keluar dari kamar dengan dua handuk ditangannya, satu untuk Fatar satu untuk dirinya sendiri yang meskipun sudah menggunakan payung tetap terkena air hujan. Fatar mengusap kepala dan wajahnya dengan handuk itu sedangkan Rain pergi ke belakang untuk membuat teh.

"Terima kasih," ucap Fatar sebelum meminum teh itu. Dia selalu senang dengan teh buatan Rain. "Jadi rumah siapa ini?"

"Aku mengontrak disini sekarang," jawab Rain. Fatar menyipitkan matanya, bukankah selama ini dia sering mengantar Rain ke rumah lama mereka. "Aku minta maaf karena bohong lagi padamu," ucap Rain lirih.

Fatar mengatupkan rahangnya. "Sudah berapa lama kamu kerja di mini market itu?"

"Setelah perceraian kita aku pindah kemari dan langsung bekerja disana." Rain juga menceritakan kalau semua yang diberikan Fatar telah dia tinggalkan dirumah itu. Fatar terdiam, berarti sudah empat bulan dan dia tidak tau sama sekali.

"Kenapa kamu tidak kembali ke orang tuamu? aku sudah mengembalikanmu pada mereka."

Rain menundukan kepalanya, Fatar memang tidak tau kalau seluruh keluarganya sudah menolak dia, hanya Gavyn yang masih memperhatikannya. "Aku hanya ingin belajar hidup sendiri," gumamnya.

"Dengan perut membuncit begitu?? jangan gila Rain!" seru Fatar. "Karel sedang dalam keadaan sulit, dia tidak mungkin menikahi dalam waktu dekat ini," lanjutnya.

Lagi Rain merasa terlempar, Fatar masih mengira ini anak Karel. "Aku memang tidak ingin menikah dengan Karel. Ini anakku dan aku akan mengurusnya sendiri," jawab Rain datar.

Fatar menghela nafas, sadar kalau dirinya sudah tidak berhak mengatur kehidupan Rain lagi mengingat talak yang sudah ia jatuhkan. Mereka sama-sama terdiam, sibuk dengan pikian masing-masing. Hujan semakin deras diluar mengeluarkan hawa dingin yang menusuk. Rain meniup legannya sendiri karena mulai kedinginan, menuntup pintu rumah jelas tidak mungkin karena sedang ada Fatar dan dia tidak ingin ada pikiran buruk dari para tetangga.

Mata Fatar menangkap jelas setiap pergerakan Rain, dalam hati dia mendesah kesal. Seandainya bisa dia akan merengkuh tubuh Rain dan menyalurkan kehangatan, sekali lagi seandainya bisa. "Masuklah ke kamarmu, aku akan pulang nanti setelah hujan reda," ucapnya.

Rain menoleh, memperhatikan detail wajah Fatar yang saat ini sibuk menggulung kemejanya yang basah. Wajah pria itu tampak lelah dengan kantung mata yang terlihat jelas, sesibuk apa pria ini sampai kurang tidur begitu batin Rain. "Aku nggak apa-apa," ucap Rain. Dia mengulurkan tangannya.

"Sini kemejamu biar ku jemur di belakang, kamu bisa sakit jika tetap memakainya," lanjutnya. Fatar mengerutkan keningnya, berpikir sejenak. "Ck tenang Mas, aku nggak bakal apa-apain kamu."

Mendengar itu Fatar justru tersenyum geli. Dia melepas kemejanya dan memberikan itu pada Rain. "Bukan aku yang harus takut, tapi kamu Rain," ledeknya. Rain menerima kemeja Fatar dengan wajah yang memerah. "Kenapa wajahmu memerah?" tanya Fatar yang jelas bentukya adalah ledekan.

Rain menghela nafasnya, dia mendorong punggung Fatar untuk masuk ke kamarnya dan langsung menutup pintu. "Kamu istirahat saja di dalam, nanti akan aku bangunkan kalau hujannya reda!" teriak Rain dari luar kamar. Dia menyentuh dadanya yang berdetak kencang, ayolah dia bukan remaja sekarang.

Ternyata cuaca seolah berpihak pada pasangan ini. Hujan tidak juga reda, menahan pasangan ini untuk tetap bersama. Fatar masih tertidur pulas di ranjang Rain, sudah beberapa hari dia sulit tidur dan saat ini tidurnya terasa benar-benar tenang tanpa beban. Rain masuk ke kamar untuk mengambil selimut karena di luar cukup dingin. Pintu sengaja dia buka dan dia buru-buru mengambil selimut dalam tumpukan lemari. Mata Rain jatuh pada Fatar yang tidur tanpa menggunakan pakaian.

Rain melirik selimut di lengannya, karena hanya ada satu akhirnya dia mengambil jaketnya dan selimut itu dia gunakan untuk Fatar. Melihat wajah Fatar yang sedang tertidur Rain memutuskan untuk memperhatikan wajah yang sudah dia rindukan itu, lama sekali rasanya dia tidak melihat Fatar sampai sedekat ini. Rain duduk di lantai kamar dan bertopang dagu, lengan kanannya ia gunakan untuk mengusap wajah Fatar.

Sentuhan itu tidak asing, sentuhan itu menghangatkan, dan Fatar tau itu sentuhan dari tangan lembut Rain. Perlahan matanya terbuka, mata coklat yang tajam milik Fatar bertemu dengan mata Rain yang terbelalak kaget. Mata Fatar masih menatap tenang setiap inci wajah Rain seolah wanita itu hanya ilusinya.

"M.maaf," ucap Rain gugup.

Fatar tersenyum tipis, memperhatikan rona wajah itu. Tangannya mengusap pipi Rain. "Ada apa?" tanya Fatar dengan nada lembut persis seperti dulu saat mereka masih dalam satu ikatan pernikahan. Rain yang sudah lama tidak mendengar nada hangat itu langsung mengeluarkan airmata. Dia menangis sampai membuat Fatar bingung. "Hey kamu kenapa?" tanya Fatar panik.

Rain mendongak, memberanikan diri menatap mata Fatar. "Kalau aku bilang, aku sangat menyesal melakukan semuanya apa kamu akan percaya?" tanya Rain.

Fatar terdiam, dia menundukan kepalanya. "Maaf karena membuatmu pisah dengan Keyla dan Rasya." Dia berpikir pasti itu yang membuat Rain menyesal.

Rain menggeleng, dia menggenggam tangan Fatar. "Kamu benar, mereka tidak pantas memiliki ibu seperti aku, mereka pantas mendapatkan ibu yang lebih baik dan kamu pantas mendapatkan istri yang baik." Fatar mendengus geli, bahkan dia tidak pernah berfikir untuk mencari pengganti Rain. Semua perpisahan ini meninggalkan luka yang menganga cukup besar untuknya. "Aku benar-benar minta maaf mas, aku menyesal, karena perbuatanku yang bodoh aku jadi kehilangan semuanya," isaknya.

"Kamu tidak akan kehilangan anak-anak, kamu masih bisa bertemu mereka, aku tidak akan melarangmu," hibur Fatar.

"Aku juga kehilangan kamu mas," lirih Rain.

Fatar tertegun, dia mengerjapkan matanya. "Kehilanganku?" tanya Fatar sedikit geli. "Kamu tidak mengigau?" Rain hanya diam dan tidak menjawab apapun, raut wajahnya serius dan tidak ada sedikitpun niat untuk bercanda. Fatar menghela nafasnya. "Kenapa baru sekarang?" tanya Fatar getir.

Rain tersenyum pahit, bicara begini saja bisa mengabiskan energinya. "Aku juga tidak tau," jawabnya jujur.

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Fatar. Rain mengangguk, Fatar menarik lengan Rain agar duduk di ranjang karena sejak tadi Rain masih duduk di lantai. "Bagaimana perasaanmu dengan Karel?"

"Tidak lebih dari sahabat yang semestinya," jawab Rain. Mata itu menggambarkan kejujuran, tapi tidak ada gunanya kekujuran itu saat ini. Kejujuran itu tidak akan mengubah semua, yang ada justru semakin menggores luka yang baru. Luka karena menyesal pernah melepaskan.

Fatar merangkum Rain dengan tatapannya. Kepalanya mendekat kearah Rain, lengannya mengusap wajah dingin Rain lembut. Bibirnya mengecup bibir Rain, perlahan, lembut dan tidak menuntut.

Rain membeku, dia kaget dengan perbuatan Fatar. Satu tetes air matanya kembali mengalir dan kemudian dia memejamkan mata, membalas setiap kecupan Fatar yang dia rindukan.

Keduanya menjauh saat hampir kehabisan nafas. Rain sudah tidak tau seberapa merah wajahnya sekarang karena rasanya wajahnya panas.

Fatar tersenyum melihat wajah Rain. Ini jelas bukan ciuman pertama mereka tapi ini berbeda dan Fatar bisa merasakannya. Rain menggunakan hatinya.

"Wajahmu memerah," ucap Fatar.

Rain menunduk malu, "jangan melihat aku begitu." Dia jengah ditatap seintens itu oleh Fatar.

"Kamu malu? kita sudah pernah melakukan yang lebih jauh dari ini," ucap Fatar geli. Kemudian ķesadarannya kembali. Saat ini Rain bukan istrinya lagi. "Maaf, aku sudah melewati batasku. Aku lupa kalau saat ini kita hanyalah dua orang tanpa ikatan suci pernikahan," lanjutnya. Dia berdiri keluar dari kamar dan kembali duduk di kursi kayu.

Rain duduk lemas, dia terdiam untuk menetralisir jantungnya yang masih berdetak kencang. Setelah jantungnya kembali normal dia baru menyusul Fatar. "Emm, kamu lapar mas? perlu aku carikan makan?" tanya Rain.

Fatar menggeleng, dia melirik jam tangannya. "Aku pulang saja, kasian anak-anak dirumah," ucapnya.

"Tapi diluar masih hujan," jawab Rain.

"Sepertinya hujannya akan lama, kalau hujan ini berhenti besok apa aku boleh menginap disini?" tanya Fatar.

Rain mengangguk polos, kenapa tidak boleh. "Boleh saja," jawabnya.

Fatar tersenyum gemas, dia menjawil hidung Rain. "Kita ini bukan suami istri lagi sayang, apa kata orang nanti kalau aku menginap disini?"

"Ohhh, oke.." jawab Rain sembari menganggukan kepalanya.

"Dimana kemejaku?"

"Di belakang, aku ambilkan dulu." Rain bangkit tapi Fatar mencegahnya.

"Biar aku saja yang ambil," ucap Fatar sembari berjalan ke belakang. Rain menghela nafasnya, senyumnya terbit, setidaknya saat ini hubungannya dengan Fatar membaik.

Ponsel Fatar yang ada di meja bergetar, Rain mengambil ponsel itu. "Mass!! ada telfon," teriak Rain.

"Tolong angkat!" balas Fatar.

Rain mengangkat telfon itu dan menyapa orang disebrang. "Yaa halo?"

"Lohh Papa lagi sama Mama? ihh pantes nggak pulang-pulang.. kok Key nggak diajak sih??" sembur Keyla disebrang.

Rain meringis kecil, suara putrinya ini sangat nyaring. "Iya nanti sebentar lagi papa pulang, ini Key pake hp siapa sayang?" tanya Rain karena nomer ini tidak dikenal.

"Pake hp tante Nana," jawab Keyla.

Nana, nama itu asing di telinga Rain. Keningnya berkerut bingung dan matanya jatuh pada Fatar yang sudah rapi dengan kemejanya. "Siapa tante Nana?" tanya Rain tidak jelas bertanya pada Fatar atau pada Keyla.

"Temennya papa ma, tadi dia ke rumah," jawab Keyla polos.

Rain menutup sambungan ponselnya langsung tanpa mengucapkan apapun sampai Keyla mengernyit bingung di sebrang. "Nana?" tanya Rain.

Fatar mengerutkan keningnya. "Nana? ada apa dengan dia?"

"Siapa dia?" tanya Rain.

"Dia partner bisnisku, sudah dua bulan dia dan aku mengurus proyek yang sama," jawab Fatar santai.

Rain menghela nafas, entah kenapa dia emosi karena wanita itu sampai berani main ke rumah dan mendekati kedua anaknya. "Dia ada dirumahmu," ucap Rain sedikit ketus sembari membuang pandangannya ke samping.

"Ohh!! aku sudah janji dengannya, Rain aku harus pergi sekarang," ucap Fatar dengan buru-buru. Rain hanya diam dan menganggukan kepalanya.

Fatar menghentikan langkahnya, dia kembali mendekati Rain. "Bersiaplah, aku tunggu diluar," ucapnya.

"Aku ikut?" tanya Rain kaget.

"Tentu saja, anak-anak tau aku sedang denganmu, kalau kamu tidak ikut pulang pasti mereka marah padaku," jelas Fatar. Rain mengangguk mengerti, Fatar benar. Dia langsung bangkit dan mengganti pakaiannya secepat mungkin. Sebenarnya dia juga ingin ikut karena rindu dengan Keyla Rasya, dan jika boleh jujur dia juga sedikit penasaran dengan wanita bernama Nana.

🍁🍁🍁

Mereka mencoba untuk bangkit dengan caranya masing-masing. Fian bangkit dengan cara meninggalkan semuanya dan memulai dari awal. Karel bangkit dengan berusaha sekuat mungkin untuk sembuh dan mencari Fian.

Fatar bangkit dengan cara mencoba memaafkan semuanya dan Rain bangkit dengan cara belajar lebih banyak akan arti kehidupan yang selama ini dia lewati.

🍁🍁🍁

Baby raka mau mandi duluu yaa kakakkkk :D

Next part mudah2an bisa cepet soalnya hari ini sama besok author libur kuliah yeyyyy wkwkk

See you in the next chapter guys ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top