28. Semua Hancur

Hayyy indah kembali datang..

Maaf lama karema aku ngumpulin feel dulu biar yaa nggak flat tapi kutakut gagal.. haha apadah

Langsung ajaa yaa happy reading buat kalian yang udah nunggu..

🍁🍁🍁

Fian berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia menggigit jempolnya sendiri, gemas karena Karel belum pulang juga. Tadi setelah mendengar semua perkataan mengagetkan itu dia langsung mencari taxi dan pulang ke rumah.

Matanya kembali melirik jam dinding. Sudah hampir magrib, kemana pria itu pergi. "Dia nggak bener-bener mau nikahin Rain kan?" tanya Fian pada dirinya sendiri.

Pintu kamar dibuka hingga membuat Fian sedikit kaget. Karel masuk dengan kemeja yang sudah acak-acakan dan wajah lebam. Bisa Fian tebak itu adalah perbuatan Fatar.

Karel duduk di ranjang dan menggulung kemejanya. Matanya menatap Fian yang sejak tadi berdiri mematung tanpa bicara. Mata Karel memutar, dia mengulurkan tangan.

"Kenapa berdiri saja? sini duduk," ucapnya lembut.

Fian duduk di samping Karel tanpa menerima uluran tangan pria itu. Matanya terus menatap Karel, ada banyak pertanyaan di mata itu dan Karel tidak sanggup menjawabnya.

Karel menyelipkan anak rambut Fian ke belakang telinga. Matanya menelusuri wajah Fian yang terlihat sedikit bulat karena sedang hamil. "Kamu sudah mendengar semua," gumam Karel.

Fian mengangguk, "kamu akan menikahi Rain? itu bohong kan? kamu sudah tidak mencintainya kan?"

"Tidak sama sekali, kamu tau itu. Kamu wanita satu-satunya Fi." Karel menghela nafas lelah. "Ini kasus lain, kamu tau aku bertanggung jawab atas semua yang menimpa Rain sekarang," jelas Karel.

Mata Fian kembali memanas, dia menggelengkan kepala. "Nggak aku nggak tau, aku nggak mau tau.." jawabnya.

Karel berlutut di depan Fian, dia juga lelah dengan semua akibat dari perbuatannya ini. "Tolong Fi, bagaimanapun aku harus bertanggung jawab untuk kejatuhan Rain," mohon pria itu.

Fian menggelengkan kepalanya lagi. "Aku nggak ngerti kamu bicara apa Karel, ayoo kita tidur.. kamu pasti lelah kan?"

Karel meletakkan dahinya di lutut Fian, dia mengerti Fian pasti menolak tapi dia juga berada dalam pilihan yang sulit sekarang. Mengabaikan kondisi Rain, itu tidak akan mungkin karena semua berawal darinya. Menikahi Rainpun itu bukan pilihan yang mudah karena dia juga tidak ingin menduakan Fian.

"Aku meminta izinmu untuk menikahi Rain," ucap Karel lugas.

Tangan Fian terjatuh begitu saja, mulutnya ternganga kaget mendengar ucapan Karel. Tadinya ia pikir Karel hanya emosi saat mengatakan itu di depan Fatar. Fian mendorong Karel untuk menjauh.

"Apa kamu bilang? jahat kamu Karel!!" isaknya.

"Maaf Fi, aku harap kamu bisa mengerti posisiku," ucap Karel.

"Mengerti kamu bilang?" desis Fian. "Kurang mengerti apa lagi aku?? selama ini aku selalu berusaha mengerti kamu Karel! aku selalu mengalah dan kamu tau pasti tentang itu!!" bentak Fian berang.

"Fii.."

"Aku tidak bisa! selama aku masih menjadi istri kamu, aku tidak akan mengizinkan kamu menikah lagi apapun alasannya titik!!" nafas Fian naik turun karena emosi. Dia tidak mungkin bisa berbagi, butuh hati yang besar untuk siap dipoligami dan Fian merasa belum memiliki keiklasan yang sebesar itu. Lagipula bagaimana bisa Karel berfikir begitu disaat dirinya sedang hamil besar.

Karel menggenggam lengan Fian, "tolonglah Fi, Rain membutuhkan seorang suami untuk anak di kandungannya," bujuk Karel lagi.

Fian menepis genggaman tangan itu. "Lalu aku tidak butuh kamu? apa anakku juga tidak butuh ayahnya?" tanya Fian pahit.

Karel menundukkan kepala, dia mengacak rambutnya frustasi. Jika ini bukan kesalahannya maka sedikitpun dia tidak akan memiliki pemikiran untuk menikahi Rain. Semua ini murni tanggung jawab karena rasa bersalahnya pada Rain.

"Aku akan berusaha untuk adil,"

Fian mendengus geli, dia mengusap air matanya. "Kamu pikir kamu siapa sampai bisa berlaku adil? adil bukan hanya dalam artian sempit pembagian waktu yang sama tapi juga rasa cinta dan nafkah lahir batin untuk istri-istri kamu," ucap Fian. "Dan aku?" katanya sembari menunjuk diri sendiri. "Aku tidak bisa membagi semuanya Karel, tolong jangan paksa aku untuk berbagi.." mohon Fian.

Karel terdiam, dia menghela nafas berat. Otaknya terus berfikir bagaimana lagi cara untuk bertanggung jawab atas penderitaan Rain. "Tidurlah Fi, jangan pikirkan apapun," kata Karel akhirnya.

Saat ini semua sedang dalam keadaan emosi akan sulit untuk membicarakan masalah yang serius.

"Kamu tetap pada keputusanmu?" tanya Fian. Karel hanya diam dan menarik Fian agar wanita itu berbaring di ranjang. Dia mengecup kening Fian lama. "Aku tidak mau kamu jadi milik Rain, Karel.." lirih Fian.

Karel tersenyum kecil. "Bodoh," ucapnya. Dia berbaring di samping Fian dan memeluk pinggang wanita itu.

"Anak itu.. apa dia anakmu?" tanya Fian takut.

"Apa menurutmu hubunganku dengan Rain sejauh itu?" tanya Karel balik bertanya. "Aku bahkan sempat bingung maksud Fatar tadi," jawabnya jujur.

Fian terdiam, dia lega karena setidaknya itu bukan anak Karel tapi kemudian matanya melebar. "Anak itu.. anak Fatar?" bisik Fian.

Karel menganggukan kepala, "tentu saja."

🍁🍁🍁

Fian duduk di sofa apartemen Putri, tadi pagi-pagi sekali dia sudah menyelinap pergi untuk menemui sahabatnya itu.

"Lo ngapain sih ganggu gue aja.." gumam Putri dengan mata setengah terpejam, rambut berantakan dan sisa liur di ujung bibirnya.

"Lo jelek banget Put," ledek Fian di sela kegiatan bersedihnya. Putri mendengus, dia tidak peduli pendapat tamu tidak diundang ini.

"Lo mau cerita apa cuma mau ganggu gue tidur?" protes Putri. Fian cemberut kesal, dia meminum air putih yang disediakan tuan rumah. Yahh menang benar-benar pelit.

"Karel minta izin untuk menikah sama Rain," kata Fian lemas. Mendengar itu mata Putri yang awalnya tertutup langsung terbuka lebar.

"Serius lo?? kok gitu?" cecar Putri. Fian menceritakan mulai dari insiden Rain pingsan setelah sidang sampai pembicaraannya dengan Karel semalam.

Fian menggeleng sedih, "gue nggak bisa untuk berbagi, ngebayangin Karel harus tidur di tempat Rain dan gue harus nunggu jatah waktu gue aja udah bikin gue stress.." lirihnya.

Putri ikut meringis, dia mengambil selembar tissue untuk Fian. "Nangis sih nangis, tapi itu ingus dikondisikan yaa! agak jijik gue!" katanya. Fian mengabaikan Putri, dia terus menangis sampai matanya membengkak.

"Pulang gih! bos pasti khawatir," saran Putri.

Fian mendongak, "menurut lo apa tujuan Karel menikah sama Rain? dia selalu bilang untuk ngertiin posisinya, gue pusing Put! kalo mau bertanggung jawab emangnya harus dengan cara itu?"

Putri menghela nafas, dia ikut memikirkan semua. Yang berumah tangga siapa yang pusing siapa. "Sebenernya susah juga ada di posisi bos, coba lo pikir apa yang bisa bos lakuin selain memberikan Rain dan anaknya kehidupan yang layak?"

Fian diam tidak menjawab, dia mengusap perutnya karena sejak tadi anaknya menendang-nendang.

"Rain kehilangan suami dan anak-anaknya ditambah lagi sekarang Rain hamil tanpa pak Fatar tau kalau itu anaknya, gimana bos nggak tertekan sama keadaan Rain?" tanya Putri.

"Jadi maksud lo Karel masih punya perasaan sama si Rain nggak?" tanya Fian.

Putri menggeleng, menurutnya disinilah jiwa seorang pria berperan. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. "Ini lebih pada tugasnya untuk bertanggung jawab atas semua yang menimpa Rain, menurut gue sih begitu," jawabnya.

Fian terdiam, dia memikirkan semua jawaban Putri. Kepalanya menunduk lemas. "Jadi gue harus ngizinin Karel?" tanya Fian.

Putri menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Jangan dipaksain, memilih ngizinin suami buat poligami atau nggak emang nggak segampang milih minum es jeruk atau es kelapa pas cuaca panas, ini menyangkut kehidupan lo seterusnya," kata Putri dengan perumpamaan jeleknya.

Fian mendengus, "apaan sih lo," ketusnya sembari mengusap pipi yang telah basah. Dia bangkit dan pamit pulang karena Karel pasti sudah khawatir di rumah.

Di perjalanan Fian kembali memikirkan semua. Matanya menatap jalanan yang ia lewati. Karel pasti merasa terbebani, tapi dirinya sendiri juga tidak jauh berbeda. Apa kali ini dia harus kembali mengalah pada Karel. Haruskah dia membiarkan Karel menikahi Rain meski itu dengan alasan kasihan.

Fian turun dari taxi dan langsung masuk ke rumah. Di pintu depan Karel sudah menunggu dengan wajah cemas, pria itu langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa kamu pergi tanpa izin dariku?" tanya Karel.

"Maaf, aku butuh bicara dengan Putri," jawab Fian tanpa membalas pelukan Karel.

Karel menghela nafas lega, "awas kalau kamu berani pergi tanpa izinku lagi, berjanjilah Fi," ucap Karel.

Fian tersenyum geli. "Apasih pake janji-janji, memangnya kita ini remaja?" Fian menggelengkan kepala dan berjalan masuk ke rumah.

Sore ini Karel kembali membahas masalah semalam. Mereka duduk di gazebo dekat kolam renang. Fian sudah siap dengan semuanya.

"Aku membutuhkan izinmu," ucap Karel.

Fian menghela nafas, "apa izinku berguna? apa kalau aku bilang tidak maka keputusanmu berubah?"

"Kamu istriku, semua ada di tanganmu," jawab Karel.

Fian menggeleng, "semua keputusan selalu ada di tanganmu Karel, seandainya ucapanmu tadi benar.. harusnya kamu tau apa yang akan kuucapkan," lirih Fian.

Karel mendongak, matanya menatap langit yang berubah menjadi jingga. "Aku tau menikah denganku adalah kesalahan, maaf karena aku tidak cukup mampu membuat kamu bahagia," ucap pria itu.

"Apa itu sama artinya dengan menyerah dengan hubungan ini? apa kamu melepaskanku?" tanya Fian.

Kerel menggeleng, "mana mungkin aku sanggup? kamu tau pentingnya kamu untukku."

Fian tersenyum, "kalau begitu kamu bisa meninggalkan Rain dan melupakan niatmu untuk menikahinya?"

Karel terdiam, dia memikirkan banyak hal. "Tidak semudah itu," dia menoleh pada Fian. "Percayalah, jika ada cara lain aku akan membantu Rain dengan cara itu bukan dengan cara menikahinya," ucap Karel.

Fian tidak suka hal yang berbelit-belit. Jadi intinya Karel tetap pada keputusannya untuk menikahi Rain. Fian bangkit berdiri, "baiklah, berarti kamu harus melepaskan aku," ucap Fian datar.

Mata Karel menajam Fian. "Apa maksudmu?"

Fian bangkit berdiri, dia menahan matanya agar tidak ada satu tetespun air mata yang keluar. Untuk kali ini dia tidak bisa mengalah, untuk kali ini dia tidak ingin mengerti apapun. "Aku minta cerai," ucap Fian tegas.

Karel melebar kaget, "Fian!! apa maksudmu?"

"Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa berbagi, dan kamu tetap pada pilihanmu kan? lalu aku harus apa lagi Karel?" tanya Fian.

Karel menggeleng. "Cukup rumah tangga Fatar dan Rain yang berakhir, aku tidak ingin kita ikut bercerai!" tolak Karel mentah-mentah.

"Kalau begitu buat aku yakin rumah tangga kita pantas untuk diperjuangkan juga," jawab Fian sebelum masuk ke dalam rumah.

🍁🍁🍁

Fian termenung menatap keluar jendela. Hari ini hujan cukup deras, aroma khas tanah yang terkena air bisa dia rasakan. Bunyi gemericik air yang menyentuh tanah membuat suasana semakin terlihat sunyi.

Sejak pertengkaran kemarin Fian belum bicara lagi dengan Karel. Dia memilih untuk menghindari pria itu daripada sakit hati.

Biasanya di jam-jam ini Karel sudah pulang dari kantor tapi tidak untuk hari ini. Entahlah Fian takut untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan Karel saat ini. Fian meniup jendela sekali lagi, tangannya menulis nama Karel dari embun yang ada di kaca.

"Nyonya ngapain?" tanya Meri.

Fian menoleh, "Rii kalo rumah ini nggak ada aku atau Karel, kira-kira bakal sepi nggak?"

Meri bingung dan mengerutkan keningnya. "Yaa sepi lah, nyawanya rumah ini ada di kalian berdua, khususnya Nyonya.. kalo nggak ada Nyonya rumah ini pasti sepi, kenapa sih?"

Fian menghela nafas, "nggak, aku cuma nanya," ucapnya. "Aww.." ringisnya saat bayinya menendang cukup kencang.

"Wahh bentar lagi lahir yaa, nggak sabar gendong.." pekik Meri senang.

Fian ikut tersenyum, "doain semua lancar yaa Ri.."

Meri mengangguk. "Pasti Nyoya.." jawabnya.

Saat waktu makan malam tiba Karel baru tiba di rumah. Mereka makan dalam diam, suasana di sekitar mereka saat ini lebih mencekam daripada film horor yang pernah Fian lihat.

"Aku sudah selesai," kata Fian meski masih ada tersisa setengah porsi di piringnya. Dia bangkit dan naik ke lantai atas. Lebih baik tidur daripada pusing memikirkan Karel.

Matanya terpejam, saat sisi ranjang di sampingnya tergerak ia tau Karel sudah akan tidur. Meski sadar ia sengaja tidak ingin membuka mata, dia ingin tau apa yang akan dilakukan Karel.

Fian merasakan sentuhan lembut di perutnya.

"Hay jagoan, apa kabar hari ini? kamu menjaga bundamu kan?" tanya Karel. Pria itu memang memiliki perasaan anaknya ini adalah laki-laki.

"Maaf karena ayah membuat bundamu stress," gumamnya lagi. "Ayah dalam situasi sulit sekarang, disatu sisi ayah harus memikirkan bundamu, disisi lain ayah dikejar rasa bersalah dan tanggung jawab, apa yang harus ayah lakukan?"

Fian mendengar semua itu, air matanya mengalir. Dia bisa merasakan kalau Karel juga lelah dan tertekan meski pria itu tidak bicara apa-apa.

🍁🍁🍁

Pagi ini Fian duduk di meja makan, tadi dia sudah memasak sarapan untuk Karel. Senyumnya mengembang sempurna dengan wajah cantik dan make up tipis. Dress berwarna pastel dengan ikatan kecil di pinggang semakin mempertegas keanggunannya meski dengan perut membuncit.

"Pagi..." sapa Fian.

Karel mengerutkan keningnya, bukankah kemarin Fian sedang marah. Dia duduk di kursi biasa dan menatap Fian dari atas sampai bawah. "Pagi," balasnya.

"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Fian.

Karel menggeleng, "cantik," gumamnya jujur. Untuknya Fian semakin hari semakin cantik. Fian tersenyum mencibir dan mengambil sarapan untuk Karel.

"Makan yang banyak, aku yang memasak ini untuk kamu," katanya.

Setelah makan Fian mengantar Karel sampai depan. Pria itu berpamitan seperti biasa tapi Fian mencegahnya, dia mengalungkan lengannya di leher Karel dengan manja. Matanya menatap mata hitam Karel.

"Kamu bisa menceraikanku?" tanya Fian.

Wajah Karel yang sudah menghangat langsung berubah datar, "tidak," jawabnya singkat. Fian tersenyum manis dan mengecup bibir Karel hingga pria itu sedikit kaget.

"Aku tau itu, sudah sana berangkat," kata Fian sembari melepaskan rangkulannya. Karel meraih tengkuk Fian dan mencium setiap inci bibir Fian yang manis. Entah dia merasa malas untuk berangkat dan ingin menghabiskan waktu dengan Fian.

"Kenapa kamu menangis?" tanya Karel disela ciuman mereka.

Fian menggeleng, dia kembali mengecup bibir Karel kemudian menjauh. "Berangkat sana.." perintah Fian.

Karel tersenyum dan menganggukan kepala. Tangannya mengusap kepala Fian. "Hati-hati di rumah," pesannya sebelum masuk ke mobil dan pergi ke kantor.

Fian menatap mobil yang semakin jauh hingga akhirnya hilang di tikungan jalan. Senyum lebarnya menghilang tergantikan dengan senyum getir. Perlahan bahunya merosot, wajah cerahnya kembali sedih. Dia sudah memikirkan semuanya semalaman, Karel tidak akan bisa menceraikannya dan pria itu juga tidak bisa lari dari tanggung jawab.

Kaki Fian melangkah kembali ke kamar, dia mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang yang memang tepat ia hubungi sekarang.

"Halo," sapa pria di sebrang sana.

Fian tersenyum kecil, dia menghela nafas. "Hai Gavyn.." sapa Fian.

"Ada apa kau menelfonku?"

Fian menggigit bibirnya menahan getir, ini adalah waktunya. "Ingat tawaranmu dulu untukku? kamu bilang aku bisa berlari padamu jika aku mulai lelah, apa itu masih berlaku?" tanya Fian.

Hening sebentar disebrang sana. "Hemm, kau tidak apa Fi?" tanya Gavyn curiga.

"Kamu tau Rain dan Fatar bercerai?" tanya Fian mengabaikan pertanyaan pria itu.

Terdengar helaan nafas Gavyn. "Aku selalu mengawasinya tentu aku tau, apa Karel akan kembali dengan Rain?"

Fian tersenyum miris, "kurang lebih begitu, jadi bisa aku lari denganmu? tolong Gavyn, bawa aku pergi." Airmata Fian kembali menetes, dia sudah mengambil keputusan final dan pagi ini, jika tanpa make up pasti Karel tau kalau dia menangis semalaman.

"Kau yakin?" tanya Gavyn.

"Yaa.." gumam Fian.

"Oke aku akan menjemputmu, bersiaplah," katanya sebelum mematikan sambungan telfon.

Fian meletakan ponselnya dan langsung menyiapkan semua. Dia segera mengambil koper dan memasukan pakaian secukupnya. Satu fotonya dengan Karel juga ia masukan karena setidaknya ia ingin menyimpan kenangan itu meskipun tidak memilikinya.

Satu kertas Fian robek untuk menulis surat pada Karel. Dia harap ini cukup untuk menjelaskan tentang semuanya pada Karel. "Maafkan aku Karel, mungkin ini yang terbaik untuk kita, untuk kamu, aku dan anak kita nanti," gumamnya dengan tetesan air mata yang tersisa.

Karena semua sudah Fian rencanakan jadi hari ini dia hanya perlu bersiap-siap dengan cepat untuk pergi. Dia menuruni tangga dengan koper di tangannya. "Loh Nyonya mau pergi kemana?" tanya Bi Peni.

Fian langsung memeluk Bi Peni dan menangis disana, "tolong jaga Karel Bi," bisik Fian. Ini permohonan tulusnya, karena mulai hari ini dia akan pergi meninggalkan Karel dan rumah ini.

"Iya tapi Nyonya mau kemana?"

"Aku harus pergi, sebentar lagi temanku akan datang," kata Fian.

Tepat beberapa menit kemudian Gavyn datang dengan pakaian santai dan kacamata hitamnya. Pria itu tersenyum sopan pada Bi Peni dan menatap Fian serius.

"Aku tanya sekali lagi, kau yakin?" Fian mengangguk, dia sudah menyiapkan semuanya. Gavyn menghela nafas, ini semua keputusan Fian dan dia mengerti kenapa sampai Fian mengambil keputusan ini. Dia membawa koper Fian dan memasukannya ke dalam mobil.

"Nyonya jangan main-main.. kasian Tuan kalau Nyonya pergi seperti ini," mohon Bi Peni sedih.

Fian menggeleng, dia tidak kuat berlama-lama disini. "Aku harus pergi sekarang Bi, tolong jaga Karel untuk aku," dia menyalami Bi Peni dan langsung masuk ke dalam mobil Gavyn. Dirinya juga harus buru-buru jika tidak, dia takut Karel akan menemukannya.

Saat mobil itu mulai berjalan menjauh, mata Fian menatap rumah besar itu. Ingatannya kembali pada saat pertama kali memasuki rumah ini. Rumah ini telah menjadi saksi bisu semua kenangan indah dan menyakitkan antara dia dan Karel.

"Selamat tinggal.." gumamnya.

🍁🍁🍁

Karel menatap kertas-kertas dihadapannya dengan serius. Kepalanya kembali menggeleng. Sejak tadi dia tidak bisa fokus mengerjakan semua pekerjaannya ini padahal sejak kemarin pekerjaan sudah menumpuk sampai membuatnya harus pulang terlambat.

"Aku ini kenapa!" keluhnya sembari membanting semua berkas itu. Dia menyerah, sepertinya dia butuh istirahat untuk beberapa waktu.

Karel bertopang dagu, senyumnya mengembang karena tadi pagi Fian bersikap sangat manis. Nanti setelah pulang kantor dia akan membawakan makanan kesukaan wanita itu.

"Woy!! kenapa senyum begitu? mikir yang enggak-enggak yaa?" goda Yuki yang baru saja masuk ke ruangan. Dia meletakan berkas yang harus Karel tanda tangani nanti.

Karel mendengus, sudah biasa kalau sepupunya ini langsung masuk ke ruangannya tanpa mengetuk. Kadang dia kesal tapi lama-lama dia terbiasa.

"Ada Rain di depan," ucap Yuki. "Gue nggak suka dia," gumamnya.

"Aku harus keluar, nanti setelah jam istirahat tolong panggil Nayla yaa," perintah Karel sebelum pergi menemui Rain. Tadi wanita itu menelfon Karel dan memberitau akan datang ke kantor.

Mereka pergi ke cafe dekat kantor. Penampilan Ran masih sama kacaunya sejak dia resmi bercerai dengan Fatar. Hari ini pun dia ingin menemui Karel hanya karena masalah penting.

"Tolong jangan beritahu apapun pada Fatar," ucap Rain to the point.

Karel mengangguk, "aku tau itu, kamu memotong ucapanku saat aku akan memberitahu Fatar," jawabnya.

Rain tersenyum kecil, "biar ini menjadi rahasia kecilku dan kamu," kata wanita itu berusaha bercanda meski gagal.

Karel menatap kasihan wanita dihadapannya, mata itu kini tidak bersinar seperti biasa. Wajah itu terlihat sendu tanpa rona merah seperti biasa. Seolah orang dihadapannya ini bukan Rain, sahabat sekaligus cinta pertamanya.

"Aku serius dengan ucapanku kemarin. Aku akan menikahimu Rain," ucap Karel. "Aku sudah bicara dengan Fian."

Mata Rain melebar, dia kaget dengan ucapan Karel. "Kenapa kamu ingin menikahi aku?" tanya Rain nyaris seperti bisikan.

Karel menghela nafasnya. "Aku yang bertanggung jawab atas apa yang menimpamu, jika aku tidak kembali ke Indonesia dan menemuimu semua tidak akan sampai pada titik ini. Kamu kehilangan Fatar dan kedua anakmu yang berharga, ditambah lagi kamu sedang hamil, kamu tau wanita hamil tanpa suami akan dicap buruk oleh masyarakat, ditambah lagi nanti jika anakmu lahir tanpa ayah," jelas Karel panjang lebar.

Rain tersenyum, dia menggenggam tangan Karel. "Jika kamu tidak kembali kamu tidak akan bertemu Fian, jika kamu tidak kembali kamu tidak akan menikah dengan gadis sebaik Fian, jika kamu tidak kembali mungkin aku tidak akan menyadari bahwa aku mencintai Fatar. Semua sudah jalannya Karel, dan percayalah aku baik-baik saja, jangan membuat dirimu berpikir ini semua salahmu," jawab Rain.

Karel diam, dia menyandarkan kepalanya di meja. Rasanya kepala ini bisa pecah karena semua hal yang memusingkan ini.

"Pikirkan lagi Rain, semua demi anak yang kamu kandung," ucap Karel. Dia bangkit untuk kembali ke kantornya. Hari ini sepertinya dia harus menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat agar bisa pulang dan bertemu Fian.

Karel benar-benar menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin. Dia segera berjalan cepat keluar kantor. Beberapa orang yang menyapanya hanya ia balas dengan dehaman.

Mobil yang dikendarai Karel melaju cepat melewati jalanan kota Jakarta yang masih dikatakan lengang karena belum jam sibuk pulang kerja. Seperti yang dia rencanakan tadi, saat melewati restoran favorit Fian, Karel mampir untuk membelikan porsi kesukaan istrinya itu. Sejak kemarin-kemarin dirinya sudah memberikan tekanan batin pada Fian padahal wanita itu sedang hamil anaknya.

"Fian.." panggil Karel setelah tiba di rumah. Tidak ada sahutan apapun dari dalam rumah besarnya.

Kening Karel berkerut bingung, tidak biasanya rumah ini sepi apalagi ada Fian sebagai penghuni rumah ini. "Bi Peni!! Meri!!" panggil Karel. "Fian!!"

Bi Peni langsung turun ke bawah melihat Karel sudah datang. Wanita tua itu terlihat panik sampai Karel pikir ada yang terjadi pada Fian dan bayinya. "Kenapa Bi? mana Fian?"

"Tuan," ucapnya. Dia ingin menceritakan semua tapi rasanya ada yang mengganjal sampai ia sulit untuk bicara. "Nyonya pergi," hanya itu yang akhirnya bisa dia ucapkan.

Karel jelas semakin bingung. "Pergi dengan siapa? kemana?" tanya pria itu masih dengan raut tenang.

Bi Peni menggeleng, dia memang tidak mengenal Gavyn. Wanita tua itu mencoba mengatur nafasnya agar lebih tenang. "Nyonya pergi dengan koper besar Tuan, lalu dia sempat berpesan pada saya untuk menjaga Tuan," ceritanya singkat.

Karel terdiam, kakinya langsung terasa kaku. Plastik yang sejak tadi dia pegang langsung meluncur ke lantai. Matanya menatap pintu kamar yang berada di lantai atas. Fian pergi darinya.

Setelah sedikit pulih dari kagetnya, Karel langsung berlari ke kamar. Dia memeriksa lemari Fian yang berkurang isinya. "Fian!!" geramnya. Dia mengambil ponsel di kantung celananya dan mencoba menghubungi istrinya itu.

Nomer ponsel Fian tidak aktif, Karel semakin berang. Matanya mengelilingi setiap sudut kamar, hingga pandangannya jatuh pada selembar kertas yang berada di meja rias. Karel mengambil kertas itu dan membacanya baik-baik.

Untuk Karel

Ini aku Fian, yaa aku tau kamu sudah tau kalau ini dariku.. aku hanya basa-basi untuk mencairkan suasana hatimu yang sedang khawatir padaku.

Karel..
Seperti katamu, lagi-lagi aku yang harus mengerti posisimu. Aku paham kamu merasa bersalah pada Rain, aku senang kamu ingin bertanggung jawab. Tapi aku tidak suka caranya. Aku memikirkan semuanya, sampai pada akhirnya aku paham, mungkin memang cara itu yang paling tepat untuk menolong Rain.

Karel
Menikahlah dengan Rain, aku sudah memberikan izin, doakan agar aku bisa ikhlas yaa?

Pada akhirnya aku mengalah lagi untukmu, tapi maaf Karel mengalahku hanya sampai tahap ini, aku tau kamu tidak bisa memilih untuk menceraikanku atau menolong Rain jadi aku memilih untuk pergi karena aku benar-benar tidak sanggup berdiri didekatmu dengan kamu yang juga milik orang lain. Kamu tidak perlu menceraikanku jika aku pergi dan kamu akan tetap bisa menikahi Rain. Cukup adil bukan?

Maafkan aku Karel, aku benar-benar minta maaf karena pergi membawa anak kita tanpa izinmu. Tolong biarkan aku bahagia dengam anak kita. Nanti kalau dia sudah besar aku akan bilang padanya kalau dia memiliki ayah yang hebat sepertimu.

Karel ada satu permintaanku, tolong jangan mencariku. Karna jika kamu menemukanku aku akan menganggap pertemuan kita adalah kesiapan dirimu untuk menceraikanku.

Berbahagialah kamu dengan Rain

Salam

Fian

Karel menatap nanar kertas dihadapannya. Ruangan terang ini rasanya menjadi gelap secara tiba-tiba. Tubuhnya limbung sampai jatuh ke lantai. Fian pergi, Fiannya sudah pergi meninggalkan dirinya dengan kenangan manis dipagi hari.

Apakah pagi indah tadi adalah perpisahan dari Fian yang tidak dia sadari. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Rasa nyeri yang menusuk ini terasa menyalur ke seluruh tubuh.

"Tuan.." panggil Bi Peni pelan melihat kondisi Karel.

Karel mendongak, "siapa yang membawa Fian?" tanya Karel tajam. Siapapun itu dia akan mencarinya. Tidak ada yang boleh mengambil Fian darinya.

Bi Peni menggeleng dia benar-benar tidak tau siapa itu tapi dia berusaha untuk menggambarkan penampilan itu pada Karel.

Tangan Karel terkepal, mendengar penjelasan bi Peni dia sudah tau pria itu pasti Gavyn. Pria itu dengan berani membawa Fian pergi. Karel menyambar kunci mobil dan kembali keluar rumah.

"Tolong jangan main-main Fian!!" geramnya prustasi. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi, satu orang yang mungkin tau kemana Fian pergi adalah Putri jadi dia harus kembali ke kantor dan menemui gadis itu.

🍁🍁🍁

Karel memanggil Putri ke ruangannya. Bisa dia lihat gadis itu sedikit gelisah dan tidak ingin menatap mata Karel jadi sudah jelas Putri tau tentang kepergian Fian.

"Kemana Fian?" tanya Karel langsung.

Putri berdeham pelan, tidak menyangka bosnya itu langsung bertanya tanpa basa-basi terlebih dahulu. "Saya tidak tau Pak," jawabnya.

Karel menggeram kesal, emosinya terasa mudah meluap sekarang. "Jangan membuat saya marah Putri, dimana Fian?" tanya Karel lagi tetapi dengam suara yang lebih dingin dari sebelumnya.

Putri yakin kakinya sudah bergetar ditatap tajam oleh Karel seperti ini. "Maafkan saya Pak, saya benar-benar enggak tau kemana Fian pergi," jawabnya jujur. Dia mengusap keningnya yang berkeringat. "Yang saya tau Fian akan pergi karena tadi dia berpamitan pada saya," lanjutnya.

"Kamu tau Fian pergi dan kamu tidak memberitahu saya??" suara Karel sudah mulai meninggi.

Putri semakin merasa terjepit, dia benar-benar bingung harus melakukan apa tadi siang Fian menemuinya dan berpamitan.

"Lo mau kemana?"

"Kemanapun yang penting gue bisa melahirkan dengan tenang. Maaf gue nggak bisa ngasih tau lo, takutnya lo nanti nggak tega sama Karel terus lo ngasih tau ke dia."

Itulah kata-kata terakhir dari Fian sebelum sahabatnya itu pergi dengan Gavyn jadi mau bagaimanapun Karel memaksa, Putri tidak akan bisa menjawabnya.

Karel mengacak rambutnya, satu harapannya sudah musnah. Pada siapa lagi dia harus bertanya tentang Fian. "Kemana Fian," gumamnya sembari berfikir keras.

"Bapak nggak akan menemukannya," ucap Putri. "Gavyn udah mengatur semua dengan rapi."

Kepala Karel menggeleng, "saya akan menemukan dia, harus, apapun caranya," jawab pria itu. Dia bangkit dan pergi menggunakan mobilnya.

Semua tempat yang sering mereka kunjungi bersama Karel datangi tapi tetap nihil. Dia juga berusaha menghubungi seluruh keluarga Fian tapi semua justru bingung kenapa Karel bertanya keberadaan wanita itu.

Sampai tengah malam Karel masih mencari tidak tentu arah. Fian tidak boleh pergi dari hidupnya, bagaimana dia bisa menjalani hidup normal tanpa Fian.

Ponsel Karel sejak tadi berdering tapi dia mengabaikannya. Jika bukan Fian maka semua terasa tidak penting. Beberapa kali ia memukul dashboard. Otaknya terus bekerja memikirkan kemana Fian akan pergi.

Jika kamu menemukanku aku akan menganggap pertemuan kita adalah kesiapan dirimu untuk menceraikanku

Satu kalimat dari surat itu membuatnya tersadar. Kakinya langsung menginjak rem. Dia tidak menyangka Fian akan pergi dan memberikan luka yang sangat dalam seperti ini. Luka ini jauh lebih sakit daripada luka saat mengetahui Rain menikah dengan Fatar.

Lagi-lagi Karel menyentuh dadanya yang terasa sesak. Bagaimana mungkin Fian membuatnya berada diposisi seperti ini. Apa yang harus dia lakukan, mencari Fian dengan artian menceraikan wanita itu atau dia harus diam dengan artian dia harus hidup layaknya seorang patung.

Karel melanjutnya perjalanannya. Dia tidak bisa diam dan membiarkan Fian pergi. Matanya sudah memerah, fokusnya hilang. Jalanan besar dihadapannya juga sudah mulai buram.

Satu cahaya terang menyilaukan mata Karel. Cahaya itu semakin dekat sampai akhirnya mata Karel melebar. Kakinya langsung menginjak rem kuat-kuat sampai suara decitan rem tapi sayang semua terlambat.

Kecepatan mobil Karel yang sudah mencapai kisaran 100 km/jam membuatnya tidak bisa menghindar dari truk yang berjarak lumayan dekat dengannya. Tabrakan tidak bisa terelakan, benturannya terdengar sangat keras dari kedua benda logam itu.

Kejadian itu begitu cepat, Karel menatap nanar kursi di sampingnya yang biasa ditempati Fian. Darah segar mulai mengalir dari beberapa bagian tubuh. Seluruh tubuhnya terasa sakit sampai dia mulai sulit bernafas.

Yang terlintas dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana jika Fian mendengar kabar kecelakaan ini. Bagaimana syoknya Fian nanti padahal wanita itu sudah akan melahirkan dan bagaimana jika dia pergi meninggalka anaknya dalam status anak yatim. Satu tetes airmata Karel jatuh, sejak awal dirinya memang hanya bisa membuat Fian menangis, bahkan sampai akhir jika ini memang akhir hidupnya.

"Maafkan aku sayang.." katanya dengan suara selembut hembusan angin. Karel perlahan kehilangan kesadaran saat nyeri itu terasa semakin menusuk hingga sarafnya. Bahkan dalam keadaannya diambang kesadaran bayangan Fian tetap memenuhi kepalanya.

🍁🍁🍁

Mohon maaf kalau ada yg kecewa atau ngerasa gk ada feelnya.. karena asli lagi buntu banget wkwk

ohh iya kemaren ada yg ke neo soho buat liat mario maurer?? huaa author kesono dan asli ganteng banget marionyaa

see you in the next chapter guys ;)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top