23. Learn to be stronger

Hay semuaaa..... mohon maaf ngaret banget, pengennya update sabtu tapi ternyata sabtu masih masuk dan lab mandiri terus, dan hpku error.. hiks hiks, mau nggak mau bikin di laptop. Buat yang kesel banget hehe mohon maaf, untuk kedepannya mungkin agak lama juga karena bener2 harus fokus sama ujian praktik.. mohon pengertiannya.

Happy reading guys ;) mudah2an bisa mengobati kangen kalian sama Fian :D

🍁🍁🍁

"Seandainya bisa, aku berharap agar mataku tidak bisa terbuka lagi untuk bangun dan menatap dunia. Aku lelah, aku ingin istirahat saja, dan aku ingin menyusul putriku."

🍁🍁🍁

Bulu mata Fian tergerak, kelopak matanya terbuka perlahan. Fian menyesuaikan cahaya ruangan dengan matanya. Ruangan ini tidak asing untuk Fian. Ruangan berwarna putih dengan aroma dan peralatan yang khas, ini rumah sakit.

Di hadapan Fian ada Bi Peni dan Mariska yang saling menggenggam, matanya menyorot khawatir. Di dekat sofa ada Kinan yang berekspresi tidak jauh berbeda.

Fian menyipitkan mata, otaknya berusaha mengingat apa yang terjadi hingga dirinya bisa berada di rumah sakit. Tiba-tiba ia mengingat mimpi yang baru saja ia alami membuatnya terdiam. Mimpi yang menguras perasaannya.

"Anakku," lirih Fian. Suara itu nyaris seperti bisikan linu untuk didengar. Mata Fian memanas dan butiran air mulai menets dari matanya. Tangannya ia gunakan untuk meraba perut yang saat ini sudah rata.

Kepala Fian langsung menoleh pada Bi Peni. "Bi.. apa yang terjadi? anakku baik-baik aja kan?" tanya Fian.

Bi Peni mendekat dengan senyum getir, wanita paruh baya itu memeluk Fian dan ikut menangis. "Iklaskan, anak Nyoya sudah pergi ke surga." Tadi setelah dilarikan ke rumah sakit Fian segera ditangani namun memang sudah takdir, dokter sudah berusaha sebaik mungkin tapi ternyata janin memang sudah tidak bisa diselamatkan.

Bagaikan disambar petir, tubuh Fian berubah menjadi kaku. Jantungnya terasa dihunus pedang, nafasnya begitu sesak, perih dan sakit. Kepala Fian menggeleng perlahan, "nggak, Fian nggak mungkin kehilangan dia kan??" tanya Fian dengan wajah memohon.

Air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa dicegah. Dirinya bahkan belum memberitau kabar gembira ini pada Karel.

"Sayang, kamu harus sabar.." Mariska mendekati Fian dan ikut memeluk menantunya yang sedang terpuruk.

Kepala Fian menggeleng, ini semua bohong. "Fian ingin anak Fian Maa!!" teriak gadis itu dengan histeris.

Bagaimana mungkin, anaknya, anak yang sudah ditunggu, anak yang membuatnya kembali bangkit sekarang telah tiada dan semua itu karena dirinya. "Tolong kembalikan anak Fian Ma.." pinta Fian.

Siapa yang tega melihat Fian yang ceria kini menangis dengan nelangsa. Fian dengan senyum lebar yang hangat sekarang menjadi Fian dengan wajah pucat dan mata yang memerah bengkak karena terus menangis.

"Istigfar Fian, jangan begini.." lirih Mariska. Dalam hati dia merutuk, kemana putranya disaat seperti ini.

Fian menangis semakin kencang, dia terus menyalahkan dirinya sendiri. Bagi Fian, dirinyalah yang membunuh bayinya sendir. Harusnya ia tahu kalau sedang hamil tidak boleh terlalu lelah. Harusnya ia tidak egois memikirkan diri sendiri tanpa memperdulikan keselamatan janin yang ada di rahimnya.

"Semua salah Fian," gumamnya. Mata itu kosong meski tetesan air matanya tidak berhenti. "Seandainya Fian jujur sejak awal, seandainya Fian memberitau Karel, seandainya.." dia terus bergumam sendiri dan mengabaikan panggilan Bi Peni dan Mariska.

Mariska yang khawatir melihat Fian seperti orang linglung langsung memanggil dokter. Psikologis Fian mungkin terguncang karena kejadian ini.

"Maafkan Bunda sayang.. Bunda gagal mempertahankanmu," isak Fian. Dokter datang dan memeriksa Fian yang masih mengoceh. Dokter mengeluarkan suntikan yang telah berisi obat dari kotak dan menyuntikannya pada Fian.

Fian terdiam, menerawang saat merasa ada yang menjalar masuk ke pembulu darahnya. Matanya mulai memberat dan semuanya mulai kembali gelap.

Seandainya bisa, aku berharap agar mataku tidak bisa terbuka lagi untuk bangun dan menatap dunia. Aku lelah, aku ingin istirahat saja, dan aku ingin menyusul putriku, doa Fian diambang kesadarannya.

🍁🍁🍁

Suara-suara disekitar Fian membuat mata gadis itu perlahan terbuka. Pandangannya langsung bertemu pada ayah dan ibunya yang sedang bicara dengan Putri. Fian terdiam, orangtuanya ada disini, berarti semua sudah tau kabar duka ini.

"Ayah.." lirih Fian.

Aryo tersenyum dan mengusap kepala Fian. "Alhamdulillah," katanya dengan lega. Aryo mendekat pada Fian dan mengusap keringat yang ada di wajah putrinya itu. "Apa yang kamu rasakan sekarang Nak?"

Fian mengerjapkan mata, "sakit," jawabnya dengan getir. "Aku ingin anakku yah.." mohon Fian. Ayahnya selalu menuruti apapun permintaannya, jadi bisakah ayahnya menuruti permintaan untuk yang satu ini, karena jika iya maka dirinya tidak akan meminta apa-apa lagi.

Aryo tersenyum getir, dia semakin mendekat dena membisikkan kata-kata yang membuat Fian terdiam. "Fian harus tegar, semua sudah ada yang mengatur.. jodoh, maut. Manusia boleh bersedih tapi jangan sampai meratap apalagi jatuh terlalu dalam."

Fian kembali menangis, ia tidak bisa melakukan apapun selain menumpahkan semua airmatanya. Aryo dan Nita memeluk Fian untuk mengulurkan kehangatan dan ketenangan seperti biasa setiap Fian sedang bersedih. Putri menatap sahabatnya itu dengan airmata yang sudak menumpuk diujung dan sebentar lagi akan tumpah.

"Fian," panggil suara yang tidak asing untuk Fian. Fian menoleh pada sumber suara. Karel berjalan mendekat, pria itu nampak lelah dan raut sedih terlihat dengan jelas di wajah tampannya.

Fian menggigit bibirnya, menahan sedih karena rasa bersalah pada Karel. Aryo dan Nita menyadari situasi, saat ini mereka butuh waktu untuk bicara berdua, saling mengunguatkan satu sama lain. Aryo mengajak Nita keluar ruang rawat Fian

Fian menatap wajah Karel, tapi saat pria itu ingin mengusap airmata Fian, gadis itu menghindar. Fian ingat kejadian semalam sebelum dirinya dibawa ke rumah sakit. Terlalu sakit hatinya karena Karel terus mengulng kesalahan yang sama.

Fian bertanya dengan ketus pada Karel namun Karel tetap tersenyum lembut.

"Untuk apa?" tanya Fian. Ia membiarkan airmatanya terus mengalir. "Aku sudah membunuh anakmu, kamu harusnya membenciku," ucap Fian dengan getir.

"Ahh atau mungkin sebenarnya kamu senang, anakku pergi jadi kamu bisa bebas dengan wanita itu.. iyakan!!" lanjut gadis itu dengan membentak. Fian menumpahkan semua emosinya. "Puas kamu melihatku jatuh?? aku jatuh Karel.. jatuh!!" Fian menangis kencang dan memukul-mukul Karel.

Karel langsung memeluk Fian, pelukan erat yang begitu menenangkan seolah Karel ingin menyalurkan kekuatannya pada Fian. Fian diam mendengarkan Karel mengucapkan kata maaf berkali-kali, pria itu juga mengecup kepala istrinya.

Fian mulai sedikit tenang, Karel segera membantu Fian untuk berbaring. Pria itu menjelaskan semua pada Fian, dan tanpa perlu curiga, Fian percaya karena melihat kejujuran dari mata redup dihadapannya.

Fian kaget mendengar Fatar kecelakaan, dia begitu khawatir dengan pria malang itu. Setelah Karel memberitau bahwa Fatar sudah siuman Fian baru bisa bernafas lega.

Fian menatap Karel, tangannya mengusap pipi suaminya itu. "Maafkan aku Karel. Maaf aku tidak memberitahumu, maaf karena aku tidak bisa menjaga anak kita, maaf untuk semua Karel.. aku, aku.." ucapan itu terputus saat Karel mengecup bibir Fian.

"Semua salahku, jika ada yang harus minta maaf orang itu adalah aku," jawab Karel dengan tegas. "Ikhlaskan dia sayang, jangan menangis lagi. Aku sudah berjanji padanya."

Fian mengerutkan kening. "Berjanji pada siapa?"

"Princess kita.." dan saat itu Fian kembali menangis, rasanya airmata ini seperti tidak ada habisnya. Mimpi itu sama seperti Fian, anak itu ternyata berpamitan dengan bunda dan ayahnya sebelum pergi.

Karel berbaring di ranjang dengan Fian yang ada didalam pelukannya. Tanpa henti Karel terus mengusap kepala Fian hingga mata Fian semakin memberat dan akhirnya jatuh tertidur.

Setidaknya satu bebannya hilang, dia sekarang tau. Karel memilih dirinya bukan Rain.

🍁🍁🍁

Hari ini Fian sudah diizinkan untuk pulang oleh dokter. Bi Peni menyiapkan semuanya sedangkan Fian masih diam duduk di ranjang rumah sakit.

Sejak kemarin Karel terus berada di samping Fian, pria itu tidak mau meninggalkan istrinya kecuali dalam keadaan mendesak seperti ke kamar mandi atau mencari makan saat perutnya sudah benar-benar perih.

Setibanya di rumah, Karel menuntun Fian berjalan. Meri sudah menunggu semua di depan pintu.

"Selamat pagi Nyonya.." sapa Meri dengan tersenyum. Fian tersenyum kecil dan menganggukkan kepala.

"Karel.. aku ingin ke taman belakang," pinta Fian. Karel tersenyum dan menganggukkan kepala.

Mereka memilih duduk di gazebo yang ada di dekat kolam renang. "Bisa tinggalkan aku sendiri?" tanya Fian tanpa menoleh.

Karel terdiam, dia ragu meninggalkan Fian yang masih terguncang, tapi bagaimanapun Fian membutuhkan waktu untuk sendiri. Karel tersenyum dan mengusap kepala Fian.

"Baiklah, panggil aku jika butuh sesuatu." Karel bangkit dan mengecup kening Fian sebelum masuk ke dalam rumah.

Fian menekuk lututnya, dalam sunyi Fian kembali memangis sendiri, kembali merasakan sakit yang menyeruak. Entah sampai kapan dirinya begini, mungkin yang ia butuhkan adalah waktu, waktu untuk melupakan rasa sakit ini dan kembali maju untuk menata masa depan.

Hari-hari Fian lewati dengan Karel. Keduanya nampak baik-baik saja di depan orang lain. Namun, disetiap waktu saat kesunyian yang menemani mereka kembali bersedih.

Ini sudah seminggu, dan masih belum ada perubahan. Karel masih bekerja dirumah agar bisa terus mengawasi Fian.

Malam ini Karel makan malam sendiri di meja makan. Fian tadi memilih makan sendiri di kamar dan Karel tidak protes tentang itu. Pria itu memberikan kebebasan pada Fian.

"Tuan.." panggil Meri.

Karel menoleh, "ada apa?" tanya pria itu.

"Nyonya sepertinya sedang menangis lagi," jawab Meri. Karel menghela nafas, ia langsung bangkit dan naik ke lantai atas tempat kamar mereka.

Di depan pintu Karel bisa mendengar isak samar dari Fian. "Sayang, boleh aku masuk?" tanya Karel dari luar.

Fian terdiam, dia mengusap airmatanya dengan buru-buru. "Yaa.." jawab Fian.

Karel membuka pintu kamar dan langsung menghampiri Fian yang duduk di ranjang. Matanya meneliti keadaan Fian yang sedikit berantakan.

"Menangis?" tanya Karel.

Fian menggeleng polos, "kelilipan," jawabnya. Karel terkekeh kecil dan mengecup bibir Fian.

"Kamu bisa menangis di depanku, aku disini untuk membantumu bangkit."

Fian terdiam, bibirnya tersenyum tipis. "Ini bukan suamiku, dia bukan pria yang perhatian," ledek Fian sembari memeluk Karel. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di dada Karel, menghirup aroma parfum maskulin yang selalu Fian suka.

"Apa aku terlihat aneh?" tanya Karel. Fian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Duduklah, aku akan buat coklat hangat untukmu," ucap Karel. Sehebat apapun Fian bersandiwara seolah ia kuat itu tidak akan terpengaruh, karena mata gadis itulah yang bicara tentang kesedihan.

Karel bersandar pada dinding dapur, ia mengacak rambutnya. Kepalanya pusing memikirkan bagaimana agar Fian kembali. Ia paham Fian sedih, tapi dia juga tidak ingin istrinya itu menjadi depresi lama kelamaan.

Karel terduduk di lantai dan menutup wajahnya dengan tangan. Bahkan untuk memenuhi janji pada putrinya saja ia gagal.

Fian bersembunyi di balik dinding pemisah antar dapur dan ruang makan, tadi ia berniat untuk menyusul Karel tapi saat akan menghampiri pria itu ia justru melihat semua. Selama ini Karel terkenal dengan sosok datar dan dingin, dan Fian tidak ragu akan hal itu, tapi malam ini untuk pertama kalinya Fian melihat Karel meneteskan airmata.

"Maafkan ayah karena ayah gagal membuat bunda tidak menangis sayang," lirih Karel yang terdengar jelas oleh Fian. Fian menuntup mulutnya dengan tangan, ia kaget mendengar ucapan Karel. Seminggu ini dirinya telah egois, satu fakta penting telah Fian lupakan. Fakta bahwa disini bukan hanya Fian yang merasa kehilangan, tapi Karel juga merasakan hal yang sama ditambah lagi pria itu bahkan belum sempat tau kalau akan memiliki anak, dia tau tapi tepat disaat dia kehilangannya.

"Karel.." panggil Fian yang sudah melangkah mendekati pria itu. Karel mendongak menatap wajah manis Fian. Gadis itu duduk di hadapan Karel, lengannya yang halus mengusap sisa airmata di pipi Karel. "Kamu tau? sekarang kamu terlihat lebih manusiawi," canda Fian.

Karel tersenyum, "kenapa kemari? aku menyuruhmu menunggu."

"Dan membiarkan kamu menangis sendiri disini?" tanya Fian. "Maaf Karel, aku.." Melihat Karel menangis membuat hati Fian terasa diremas, apalagi ini karena ulahnya. Mulai sekarang Fian berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang lebih tegar.

Karel memeluk Fian, pria itu bersandar pada bahu Fian. "Boleh aku menumpang sebentar?"

Fian tersenyum dan mengusap kepala Karel. Mereka diam menikmati waktu berdua, usapan tangan Fian membuat Karel nyaman dan semakin mengeratkan pelukannya.

"Karel.."

"Hemm," jawab Karel.

"Hanya memanggil," jawab Fian. Karel tersenyum, matanya terpejam menikmati aroma tubuh Fian.

"Karel.." panggil Fian lagi.

Karel mendengus kesal dan dengan terpaksa melepas pelukannya. "Ada apa Fi?" tanya Karel.

Fian terkekeh dan berdiri, ia mengulurkan tangan pada Karel agar pria itu mengikutinya.

"Ayoo kita ke kamar," ajak Fian. Karel tersenyum dan langsung membopong Fian ke kamar.

Karel menatap wajah Fian, lengannya mengusap pipi istrinya itu. Wajah Karel semakin mendekat dan pria itu menikmati bibir Fian seperti biasa.

"Karel.. aku dilarang melakukan hubungan selama beberapa minggu ini," ucap Fian saat merasa permainan mereka semakin dalam.

Karel terdiam, dia lupa akan hal itu. Pria itu menjauh dari Fian, dia menarik selimut hingga kepala.

"Ada apa?" tanya Fian yang bingung.

"Jangan mendekat," jawab Karel.

Fian tertawa, dia ikut masuk ke dalam selimut dan menggoda Karel. Entah apa yang terjadi di dalam sana sampai selimut itu terlihat ramai.

"Fian.." geram Karel.

🍁🍁🍁

Pagi ini Karel sudah siap dengan kemejanya. Dia memakai dasi di depan cermin.

"Kamu akan ke kantor?" tanya Fian yang masih berbaring malas di ranjang.

"Ya, aku sudah tidak ke kantor lebih dari seminggu," jawab Karel. Fian bangkit dan menghampiri Karel. Lengannya melingkar dileher suaminya.

"Aku ikut.." rengek Fian.

Karel tersenyum geli, "kamu masih harus istirahat," jawabnya.

Fian menggeleng, "aku sudah tidak apa-apa, ayolah.. aku butuh suasana ramai."

Karel berpikir sejenak, kalau Fian di rumah terus maka akan banyak waktu untuk menyendiri dan itu tidak baik.

"Baiklah, tapi kamu hanya boleh duduk disampingku. Setuju?" tanya Karel. Fian mengangguk antusias dan langsung memeluk Karel.

Ini adalah hari pertama Karel dan Fian datang ke kantor setelah Fian masuk ke rumah sakit. Para karyawan yang memang tau berita duka itu berbondong-bondong mengucapkan bela sungkawa pada musibah yang dialami bosnya itu.

Fian tersenyum lembut pada rekan-rekannya yang sedang duduk di depannya. "Terima kasih semua.." ucapnya.

Karel tersenyum dan merangkul pinggang Fian. "Yaa terima kasih, maaf tapi sekarang Fian harus istirahat," kata Karel. Para karyawan takjub melihat wajah hangat Karel yang tidak biasa.

"Ohh silahkan Pak," jawab Fanya yang disetujui oleh yang lain.

"Semangat Bu!! bikin lagi yang banyak sama bos!!" teriak Eka ketika pasangan itu berjalan menjauh. Fanya melotot dan langsung menjitak kepala Eka. Orang ini tidak tau malu.

Fian menoleh dan tertawa kecil, dia mengacungkan jempolnya dan lanjut berjalan.

Karel mulai sibuk meneliti data spesifikasi perangkat yang satu bulan lalu dibuat. Kemarin selama seminggu lebih semua ia serahkan pada Cakra dan seperti biasa, Cakra selalu bekerja dengan baik.

Fian duduk di sofa dan memainkan ponsel Karel yang baru saja ia isi dengan beberapa game. Pintu ruangan Karel dibuka, kepala Yuki muncul dari sana.

"Ehh hehe gue kira lagi ngapain di ruangan sampe anteng banget.." kekehnya. Dia berjalan masuk dan duduk disebelah Fian.

"Rel.. Fatar mau dateng sama Rain nanti," ucap Yuki.

"Rain?" tanya Fian. Yuki mengangguk polos dan dengan santai memakan coklat milik Fian yang ada di meja.

Karel menoleh, "jam?" tanya Karel.

"Hemm katanya sih jam makan siang." Yuki beralih pada Fian, "lo beli coklat dimana? enak.."

"Nggak tau, Karel yang beli." Otak Fian berfikir, dia sudah lama tidak bertemu dengan Rain. Yuki keluar ruangan untuk kembali ke meja kerjanya.

Fian langsung mendekat dan tanpa sungkan duduk dipangkuan Karel. "Rain kemari?"

Karel mengerutkan kening, "lalu?"

"Kamu benar-benar sudah move on kan?" tanya Fian dengan wajah khawatir.

Karel tersenyum geli dan mencubit pipi Fian. "Aku sudah punya istri, istriku itu galak luar biasa, kalau aku menyukai wanita lain nanti aku bisa digantung hidup-hidup," jelasnya.

Fian langsung mencubit pinggang Karel. "Siapa yang galak? aku orang yang lemah lembut," ucapnya.

"Lemah lembut? sepertinya kata itu jauh dari istriku," ledeknya.

"Karel.." rengek Fian.

Jam istirahat Fatar benar-benar datang dengan Rain. Fatar langsung memeluk sahabatnya itu. "Gue udah tau kabar Fian, yang sabar brother," ucapnya sembari menepuk-nepuk Karel.

"Thanks Tar," jawabnya.

Rain duduk disamping Fian, wanita itu tersenyum lembut pada Fian meski disambut dengan kejutekan. "Kamu yang sabar yaa, pasti nanti akan dikasih lagi," ucapnya.

"Hemm, thanks," jawab Fian.

Fatar dan Karel saling mengobrol tentang pekerjaan sedangkan Fian hanya diam begitu pula dengan Rain.

"Sayang, aku harus meeting sebentar, kamu tidak apa aku tinggal?" tanya Karel.

Fian menoleh, "ohh iya, nanti aku bisa ajak Putri ke sini,"

"Rain, aku ikut Karel, kamu disini dengan Fian ya.." ucap Fatar. Rain mengangguk dan kedua pria itu pergi meninggalkan ruangan.

Kedua wanita itu saling diam, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Fian bangkit, berniat untuk pergi meninggalkan ruangan.

"Fi, bisa bicara sebentar?" tanya Rain.

Fian menoleh, ia menghela nafas dan kembali duduk di sofa. "Apa?" tanya Fian to the point.

Rain tersenyum dan menundukkan kepala. "Aku tau kamu membenciku, dan aku terima karena aku memang pantas mendapatkan itu." Airmata keluar namun ia segera menghapusnya.

"Sekarang aku dan Karel sudah berakhir, dan aku berharap kamu mau menjadi temanku," lanjutnya.

"Untuk apa?" tanya Fian.

Rain mengangkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk. "Karena aku ingin belajar darimu," jawabnya. "Kamu wanita yang baik, aku tau sejak awal kalau kamu yang bisa menghentikan semua permainan gila ini."

Fian menghela nafas, "kamu bisa belajar dari wanita yang lebih baik dariku, ibumu sendiri contohnya."

Rain kembali menangis, "Mom membenciku saat kak Gavyn memberitau perselingkuhanku dengan Karel," jawabnya.

"Mom, Daddy, Kak Gavyn.. aku kehilangan semua.. aku hanya mempunyai Fatar dan anak-anak itupun aku masih terancam kehilangan mereka setiap ingat mungkin semua akan terbongkar,"

Fian menatap kasian wanita di depannya ini. "Apa kamu tidak berpikir semua itu saat memulai semua?" tanya Fian.

Rain menggeleng, "semua terjadi begitu saja Fi, saat itu aku benci semua ini, aku mencintai Karel tapi aku harus menikah dengan Fatar.. hanya karena Fatar sahabatkulah aku menerima semua. Aku berusaha melayani Fatar semampuku, tapi Karel kembali dan membawa semua harapan bodohku," jelasnya.

Kepala Rain menggeleng, "sekarang aku sadar, ternyata aku tidak benar-benar tidak mencintai Fatar, pria itu selalu ada untukku, dia yang selalu sabar karena kelakuanku, dia yang masih mencintaiku meski dia tau aku tidak mencintainya."

"Apa?? Fatar tau kalau kamu tidak mencintainya?? apa Fatar tau pria yang kamu cintai itu Karel?" tanya Fian dengan kaget.

Rain menggeleng, "itu yang dia tidak tau, Fatar pria baik dia tidak pantas mendapatkan wanita seperti aku, tapi aku mencintainya Fi.. itu kusadari saat kemarin aku mendapat kabar kecelakaannya, aku begitu takut,"

Fian memeluk Rain, wanita ini bebannya ternyata sangat berat. Rain menangis dipelukan Fian. "Aku takut aku akan kehilangan mereka," ujarnya.

"Ssstt tenang Rain, Fatar tidak akan tau," jawab Fian dengan tidak yakin. Kebohongan tidak akan bisa bertahan selamanya.

"Semoga begitu," ucap Rain. "Jadi kamu maukan berteman denganku?" Fian mengangguk setuju, cara terbaik untuk bahagia adalah melepaskan kebencian dan mencoba untuk memaafkan. Dan Fian akan mecoba hal itu karena disini, Rain tidak sepenuhnya bersalah.

Setelah Rain tenang, mereka mengobrol hangat. Sesekali Rain tertawa mendengar Fian cerita dengan berapi-api tentang sikap Karel yang terlalu datar.

"Semalam aku melihat Karel menangis," ucap Fian.

"Ohh ya?" tanya Rain sedikit kaget. "Berarti Karel benar-benar terpukul, percayalah dia bukan tipe pria cengeng," lanjutnya.

Fian mengangguk, "benar.. kemarin adalah pukulan untuk kami," jawab Fian dengan sedih.

Rain menepuk bahu Fian dan tersenyum hangat. "Kata orang, kita akan berada di atas setelah melewati ujian, mungkin inilah ujian agar hubunganmu dan Karel menjadi lebih kuat," hibur Rain.

Benar, bahkan tanah liat akan terlihat lebih kokoh dan kuat setelah dibakar dalam api yang suhunya ribuan derajat.

"Percayalah, setelah melewati ini kamu akan menjadi wanita yang lebih tegar," kata Rain.

Fian mengangguk dan tersenyum riang, "aku memang harus menjadi lebih tegar," jawabnya.

Fatar dan Rain di kantor hingga sore hari. Hari ini rencananya mereka akan makan malam bersama, dan Fatar akan menjemput kedua anaknya. Karel dan Fian juga pulang untuk bersiap-siap.

"Aku sudah berdamai dengan Rain," ucap Fian sembari menata rambutnya di depan cermin.

Karel menghampiri Fian dan memeluk wanita itu dari belakang, wanita yaa Fian bukan gadis lagi bukan. "Sukurlah," ucapnya.

Fian menoleh sedikit, matanya bertemu dengan mata Karel yang menyorot lembut. "Kita bisa memulai semua dari awal?" tanya Fian.

Karel mengangguk, "yaa," jawabnya. "Ohh aku jadi ingat ucapan Eka tadi," gumam Karel.

"Yang mana?"

Karel tersenyum miring dan mengecup pipi Fian. "Buat yang banyak.. hemm bisa diatur," ucapnya sembari menganggukkan kepala seolah memikirkan benar-benar ucapan itu.

"Cihh dasar," dengus Fian.

"Aku ingin punya banyak anak, kalau sebelas bagaimana?" tanya Karel.

"Itu buat anak apa buat tim sepak bola?" tanya Fian dengan sewot.

Karel tertawa geli, "oke.. sembilan," tawarnya.

"Haha.." Fian tertawa dengan suku kata. "Kamu aja sana yang hamil!" jawab Fian. "Emang hamil itu gampang?" Fian bangkit dan berjalan menuju ranjang untuk melihat ponselnya.

"Yaayaa.. lima kalau begitu,"

Fian menoleh, "dua, kan katanya dua anak lebih baik," jawab Fian.

Karel mendengus, ia duduk disamping Fian dan meletakkan kepalanya dipangkuan wanita itu. "Kalau dua rumah kita akan sepi Fian.. ayolah," mohon Karel.

Fian gemas sendiri dan mengecup bibir Karel. "Yaa baiklah tergantung harga yang kamu berikan yaa," jawabnya.

"Kamu ingin apa? rumah, mobil, kalung, atau apapun?" tanya Karel dengan antusias.

Fian langsung menyubit lengan Karel. "Untuk apa itu semua? harganya itu kesetiaan kamu sebagai suami, selebihnya itu hanya bonus," jawab Fian.

Karel tersenyum, dirinya tau betul wanita yang ia nikahi ini. "Aku akan berusaha untuk setia, semoga kamu menjadi wanitaku selama didunia dan dikehidupan mendatang nanti."

"Aamiin," jawab Fian. "Sekarang kamu harus siap-siap karena sebentar lagi kita berangkat," ucap Fian sembari mengusap rambut Karel.

"Hemm tiba-tiba malas," keluh pria itu. "Kita tidak usah datang," putusnya.

"Ck mana bisa begitu, Fatar sudah menunggu."

"Kamu mencemaskan Fatar?" tanya Karel tidak terima.

Fian memutar bola matanya, Karel itu benar-benar. "Karel.." geram Fian. Pria itu dengan kesal bangkit dan mengenakan kemeja formalnya. Dalam hati Karel mengeluh kesal, ingin berduaan dengan istri sendiri saja susah.

Senyum Fian mengembang, semoga ini memang babak baru bagi hubungan mereka, dan semoga mereka tetap bisa melewati semua ujian yang akan datang nanti, termasuk disaat semua kebohongan besar terungkap.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top