19. Pertengkaran
Hay semua....
Ada yang kangen Fian gk? Diujung part ada sedikit suprise untuk readers2 tercintahhhhhh 😂😂😂
Ohh iyaa mau promo juga..
Langsung aja yakk.. happy reading!! 😉😉
🍁🍁🍁
Fian POV
Sejak kedatangan Fatar dua minggu lalu sepertinya hubungan Karel dan Rain mendapat masalah. Terlihat dari wajah Karel yang setiap hari nampak kusut seperti kemeja belum disetrika seminggu.
Aku memakan sarapanku dengan santai. Ini sudah hampir jam tujuh tapi Karel belum juga keluar dari kamar padahal tadi saat aku tinggal dia sedang mandi.
"Nyonya ini tehnya," Meri memberikan secangkir teh kesukaan Fian.
"Makasih yaa," jawabku dengan tersenyum seperti biasa. Aku menghela nafas, jika aku tidak kesana maka hari ini kita akan telat ke kantor. Aku tidak ingin mendapat cap pembawa pengaruh buruk untuk Karel.
Dengan terpaksa aku ke atas menuju kamar kami. Yaa kamarku dan Karel, dia curang, padahal dulu dia bilang akan membuat kamar untukku sendiri.
Aku mengetuk pintu dengan sabar, takut ia sedang ganti baju atau apalah. "Karel!!! ini sudah siang.. ayo berangkat.." teriakku karena sejak tadi ketukan pintu tetap tidak direspon. Tidak ada jawaban dari dalam, apa Karel tidur lagi.
Kubuka pintu kamar untuk memastikan tapi aku tidak menemukan siapapun. "Karel.." panggilku. Kemana orang itu.
Karel keluar dari kamar mandi dengan terhuyung. Aku langsung menghampirinya dan membantu Karel berjalan.
"Kamu kenapa?" tanyaku dengan nada suara khawatir.
Karel menggeleng lemah, wajahnya pucat dengan keringat di keningnya. Baru saja ingin membantunya untuk tidur di ranjang tubuh Karel sudah limbung dan menimpa tubuhku.
"Aduhh Karel.. bangun!! kamu berat..." gerutuku sembari mencoba menyingkirkan tubuhnya. Tidak bisa juga, "aduh mati dah ini.. nggak elit banget mati kehabisan nafas gara-gara ketimpa," racauku. "Karel!! ini badan berat banget sih!"
Dengan usaha ekstra akhirnya aku bisa menyingkirkan tubuh Karel dari atas tubuh mungilku. Aku mengambil nafas dengan rakus. Aishh perasaan tadi pagi masih sehat, ehh masih sehat kan, ohh aku tidak terlalu memperhatikannya.
Aku menyiapkan kompres untuk Karel, hari ini terpaksa aku tidak bisa bergosip ria dengan Putri.
Dengan telaten aku mengurusnya, kubuatkan bubur untuk Karel meski rasa kesalku karena dibohongi belum hilang.
Karel membuka matanya. "Huhh akhirnya bangun juga, ini aku buatkan bubur.. makanlah," ucapku dengan nada jutek seperti hari-hari sebelumnya.
Karel menggeleng lemah, "tanganku lemas,"
Aku tersenyum sinis, "kalau begitu biar kupanggil Rainmu itu untuk mengurusmu," aku langsung melangkah pergi meninggalkannya. Dengan hati berat tentu saja.
Ku telfon orang yang paling kubenci saat ini. "Halo.. lo bisa ke rumah? selingkuhan lo sakit dan gue nggak mau direpotin. Urusin dia sono!" semburku saat dia mengangkat telfonnya. Tanpa menunggu jawaban aku langsung mematikan telfonnya.
Aku benci dengan kata kebohongan, jika Karel jujur dia pergi dengan Rain aku tidak mungkin semarah ini.
Bi Peni menghampiriku dengan bingung, "Nyonya kenapa marah-marah? sedang ada masalah?" tanya wanita yang sudah lumayan tua itu.
Aku meringis pelan, lupa kalau di rumah ini ada orang lain selain aku dan Karel. Semoga Bi Peni tidak mendengar ucapanku tadi.
"Biasa Bi.. hehe lagi PMS," jawabku dengan asal. Bi Peni sepertinya percaya pada ucapanku. "Bi.. nanti kalau ada perempuan datang, langsung suruh ke kamar aja yaa.. Fian mau ke belakang dulu," pesanku.
"Lohh kan ada Tuan diatas, mana bisa begitu?"
Aku mengibaskan tangan, "biarin Bi.. mereka cuma sahabat.. ngakunyaa yaa," jawabku dengan membentuk tanda kutip. Bi Peni tertawa dan mengusap kepalaku.
"Nyonya ini ada-ada aja, yaudah ntar kalau perempuan itu dateng langsung bibi panggil deh Nyonya. Gimanapun kan bahaya kalau dua orang bukan muhrim ada di ruang yang sama,"
Aku tersenyum dan menganggukan kepala. Bi Peni benar, terpaksa nanti aku masuk dan menyaksikan drama romantis yang pasti akan membuatku mual tujuh hari tujuh malam.
Di belakang aku sibuk menghitung jumlah ubin, anggap aku kurang kerjaan karena memang faktanya begitu. Daripada aku mengkhawatirkan Karel lebih baik aku menghitung jumlah ubin disekitar kolam renang ini.
"Nyonya.. temannya Tuan sudah datang.." teriak Bi Peni.
Aku mendengus, dengan terpaksa aku menghampiri Rain yang saat ini sedang berdiri cemas di dekat tangga. "Naik sono.. eh lo mau minum apa?"
Rain menggeleng, "nggak perlu repot.. ayo kita langsung ke kamar kalian," ajak Rain. Kami berjalan dalam diam, pikiranku berkelana membayangkan kalau aku istri pertama yang galak dan Rain istri kedua yang menyebalkan. Aisshh memikirkannya saja sudah merinding.
Aku membuka pintu dan mempersilahkan Rain untuk masuk. Kami menghampiri ranjang dimana Karel sedang tertidur pulas. Kulirik bubur yang sejak tadi masih utuh tanpa disentuh sedikitpun.
"Bangun woy.. pujaan hati udah dateng nih," sindirku dengan mengguncang lengannya. Ohh maafkan aku Karel.
Karel membuka mata dan keningnya berkerut. Aku menghela nafas, "gue perlu pergi nggak nih?" tanyaku dengan basa basi.
Rain duduk di kursi dekat ranjang, "disini Fi, aku hanya ingin ngobrol sebentar,"
"Ohh oke.." aku duduk di sofa dan memainkan ponselku, sebenarnya sih pura-pura memainkan karena sejak tadi aku hanya keluar masuk aplikasi tanpa tau ingin melakukan apa.
Sesekali aku melirik kearah mereka berdua. Hey sampai kapan mereka akan diam. Aku bangkit dan mendekati mereka, "gue akan pergi kalau kalian nggak bicara karena ada gue," ucapku dengan ketus.
"Jangan," larang Karel. Aku mengerutkan kening. "Pulanglah Rain, aku ingin istirahat," ucap Karel dengan nada dingin pada Rain.
Mata Rain berkaca-kaca, "ini yang terbaik Karel.. kita harus menyudahi semua,"
Mataku melebar, jadi mereka sudah selesai. Sejak kapan itu, ahh lebih baik aku melihat drama mereka. Aku duduk diatas ranjang dan mengambil seplastik buah yang tadi di bawa Rain. Dengan tenang aku duduk dan memakan buah-buahan itu sembari menyaksikan perdebatan mereka.
"Kalau begitu pergilah, kamu ingin semua selesai kan?" tanya Karel.
"Bukan dengan cara begini, kita bisa bersahabat seperti dulu Karel,"
"Hah bullshit, kamu tidak akan bisa menyatukan kita semua. Aku yang pergi atau Fatar yang pergi, itu pilihannya,"
Aku mengambil satu apel lagi karena yang tadi sudah habis. Sejak tadi aku menatap Karel yang wajahnya serius dan Rain yang berkaca-kaca.
"Aku.. aku," lirih Rain.
"Kamu memilih Fatar, aku tau. Aku tidak akan memaksamu memilihku, kamu benar kalau selama ini semua salah," tegas Karel sembari membuang muka. Saat itulah mata sayu Karel bertemu dengan wajahku dengan pipi menggembung karena penuh dengan apel.
Aku masih mengunyah apel dengan santai meski Karel memperhatikanku. Yahh memangnya aku bisa melakukan apa selain menikmati tontonan.
"Aku harap hubungan kita bertiga bisa tetap baik,"
Karel diam tidak menjawab Rain, matanya masih menatapku hingga aku merasa risih sendiri. "Apa sih?" tanyaku dengan risih.
Saat menoleh pada Rain aku melihat wanita itu tersenyum padaku. "Dan aku harap kamu bahagia dengan Fian," lanjutnya. Hah, sandiwara apalagi ini.
Rain melangkah keluar dan aku berniat mengejarnya kalau tanganku tidak ditarik. Aku menatap tanganku yang ditarik Karel.
"Apa sih? butuh minum? butuh makan?" tanyaku dengan nada tidak sabar. Oke aku tau aku sangat sadis padahal Karel sedang sakit.
Karel diam dan dalam sekali tarikan aku sudah berbari di sampingnya. Karel memelukku dan wajahnya ia letakkan di antara kepala dan bahuku. What the hell!!! posisi apa ini. Saat nafasnya yang hangat menerpa leherku rasanya aku benar-benar merinding.
Aku berusaha menjauhkannya tapi gagal. Meski sakit, tenaganya masih jauh lebih kuat dariku. "Kamu ini kenapa? karena Rain pergi aku jadi pelampiasanmu begitu? kamu pikir aku ini apa?" tanyaku dengan emosi. Yah emosi yang tersimpan sejak satu minggu yang lalu.
Karel mengangkat wajahnya, matanya kini menatapku dengan intens. Ditatap sedekat itu siapa yang tidak salah tingkah. Aku berdeham kecil dan menatap sekitar yang penting bukan menatap wajahnya.
"Bisa diam sebentar?" tanya Karel dengan suara serak. Aku mengerucutkan bibirku, menyebalkan sekali dia ini. Akukan sedang menumpahkan kemarahan, kalau diam mana seru.
"Maaf karena aku membohongimu,"
Aku mendengus kecil, "aku sudah biasa kamu bohongi," jawabku dengan ketus.
Karel tersenyum kecil, "aku memang brengsek,"
"Iyaa benar, kamu brengsek. Jadi tolong lepaskan aku karena aku malas dekat dengan pria sepertimu,"
Karel menggeleng lemah. "Boleh aku minta tolong?"
Aku mengerutkan kening, "tergantung, stok pertolonganku sudah hampir habis Karel dan itu semua karena kamu," jawabku. Karel terkekeh lemah dan mencubit pipiku. Tangannya terasa hangat menyentuh wajahku.
Karel memelukku lagi dan kembali meletakkan wajahnya celah bahuku. "Tolong jangan pergi, jangan pernah pergi," lirih Karel.
Aku terdiam, bingung ingin menjawab apa. Karel sedang sakit dan biasanya orang sakit sering bicara yang aneh seperti Karel sekarang ini.
"Aku Fian bukan Rain," jawabku. Tidak ada jawaban dari Karel, yang ada hanya nafas teratur darinya. Sial, dia sudah tidur. Aku berusaha menjauh tapi sepertinya Karel memelukku dengan erat hingga aku sulit bergerak. Pasrah aku hanya diam dan lama kelamaan aku ikut mengantuk dan tertidur.
"Nyonya.." panggilan lembut itu membuatku terbangun dari tidur. Aku mengerjap mata untuk memfokuskan pandangan.
"Ada apa Bi?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur.
"Sudah siang, Nyonya dan Tuan harus makan, sepertinya tadi pagi Tuan tidak makan sama sekali," ucap Bi Peni. Aku melirik bubur di nakas yang masih utuh.
"Yaudah, tolong buat sup yaa Bi.. biar aku bangunin Karel dulu," jawabku. Aku menyingkirkan lengan Karel yang masih memeluk erat pinggangku.
Wajah Karel terlihat pucat, dan suhu tubuhnya juga masih tinggi. Aku ingin membangunkannya tapi melihat wajah itu aku tidak tega.
"Huhh kenapa serba salah," gumamku. Aku memikirkan perilaku kasarku tadi pada Karel. Rasa bersalah muncul, dan aku adalah tipe orang yang akan menangis jika sudah merasa bersalah.
Perlahan satu airmataku lolos, "maaf Karel... aku kasar," bisikku disela tangis. Kutenggelamkan wajahku di lengan. "Aku terpaksa.. kamu bohong dan aku benci itu," lanjutku.
Kuangkat wajahku saat merasa ada yang mengusap kepalaku. Aku melebarkan mata saat melihat Karel sedang menatapku. Apa dia mendengar semua, kalau iya bisa gawat, aku ingin memberikannya pelajaran.
"Kenapa menangis?" tanya Karel. Dia berusaha duduk dan reflek aku membantunya. Setelah dia duduk dengan bersandar di tepi ranjang baru aku sedikit menjauh.
Aku diam tidak menjawab pertanyaannya. Tangannya terulur untuk mengusap air mataku tapi aku menghindar. "Sudah waktunya makan," ucapku masih dengan nada ketus.
Karel menghela nafas, mungkin dia kesal. Tanpa aku duga dia merangkul pinggangku hingga sekarang aku merapat padanya. Bisa aku rasakan panas tubuhnya yang menempel padaku.
"Sampai kapan kamu akan marah?" tanya Karel.
"Sampai aku lupa kalau kamu bohong padaku," jawabku sekenanya.
Lengan Karel menyentuh pipiku dan ibu jarinya mengusap sisa air mataku. "Aku mau kamu kembali, Fian yang ceria, ceroboh, tidak bisa diam, bukan Fian dengan kata-kata ketus dan wajah cuek,"
"Apa pentingnya untukmu?" tanyaku.
"Penting, sangat penting. Karena sifatmu membuat rumah ini ramai,"
"Cuma itu?" tanyaku dengan mengerutkan kening.
Karel menggeleng, dia kembali mengusap kepalaku. "Aku rindu kamu yang ceria," bisiknya. What?? Please tell me this is real. Oke Fian jangan senang dulu, batinku.
"Karena Rain tidak ada ya?" tanyaku dengan wajah sepolos mungkin.
Karel mendengus pelan, ia kembali menatapku serius. "Rain dan kamu itu beda,"
"Jelas.. mana mau aku disemakan dengan dia," jawabku dengan nada kesal.
Karel tersenyum dan mencium pipiku, "bukan itu maksudku, kamu dan Rain punya arti yang beda untukku,"
"Ohh.. iya aku tau, Rain orang yang kamu cinta sedangkan aku? aku bahkan bukan siapa-siapa, itu jelas beda Karel." Dia menatapku tanpa bicara lagi, dan aku, yaa aku dengan sabar menunggu dia bicara.
"Kamu punya arti khusus yang belum bisa aku mengerti," jawabnya. Boleh aku berharap? TIDAK.
Aku tersenyum kecil, "yaa aku pelampiasan saat Rain tidak ada, dan selalu begitu.. aku cukup sadar Karel," jawabku. Sial cairan bening ini kembali menetes.
"Apa maksudmu? apa selama ini kamu merasa seperti pelampiasan?"
Aku menggangguk, "kamu sangat perhatian padaku, kamu memberikan segalanya tapi saat ada Rain aku bukan apa-apa. Kamu lupa kalau aku ada," keluhku sembari menundukkan kepala. Karel mengangkat daguku hingga kami kembali bertatapan. Aku tidak boleh menunjukan bahwa aku mencintainya, tapi kenapa rasanya sangat sulit.
"Aku lelah Karel," lanjutku. "Aku lelah dengan semua kebohongan yang kamu dan Rain buat," lirihku dengan airmata yang terus mengalir. "Mengakulah pada Fatar dan selesaikan semuanya, kalau memang kamu mencintai Rain bilang pada semua orang. Fatar orang baik, aku yakin dia akan melepas Rain, yahh tapi aku tidak yakin Fatar akan memaafkanmu, dan kamu.. kamu bisa menceraikanku,"
Aku tau ucapan ini salah tapi aku lelah setiap dibawa terbang aku langsung dijatuhkan begitu saja. Karel memberiku harapan dan tidak lama dia akan mengikis semua dengan kelakuannya dengan Rain. Entah dengan cara dia yang berbohong padaku untuk bersama dengan Rain atau saat aku melihatnya berciuman dengan wanita itu. Yahh aku masih sering melihat Karel dengan Rain bermesraan selama lima bulan pernikahan kami.
"Kamu pikir semua semudah itu?" desis Karel. Dia melepaskan rangkulannya dari pingga
Aku menghela nafas, "apa ada jalan lain? coba jelaskan cara lain dari masalah ini? aku tidak bisa berbohong lagi pada Fatar! kamu ingat dia bahkan memikirkan perasaanku sedetail itu Karel!" seruku dengan emosi.
Bi Peni masuk dengan canggung melihat suasana tegang di kamar ini. Aku menjauh dari Karel. "Bi letakkan di meja saja, oh yaa tolong tutup pintunya setelah Bibi keluar," ucapku.
"Ehh emm iya, tapi ini ada masalah apa? selesaikan baik-baik jangan sampai ribut begitu," Bi Peni memang sudah seperti orang tua kami di rumah ini.
Aku tersenyum menenangkan, "masalah biasa, ini juga mau diselesaikan Bi.. makanya Fian minta nanti tutup pintunya." Bi Peni menatap ragu sebelum keluar dari kamar ini tapi bliau hanya tersenyum dan menutup pintu.
Aku kembali menatap Karel yang sedang menundukkan kepala. "Sudah menemukan jawaban untuk masalahmu?" tanyaku kembali memasang wajah serius.
"Aku dan Rain sudah menyelesaikan semua. Kita akan mencoba melupakan semua hubungan gila ini,"
Aku tersenyum sinis, "mungkin lebih tepatnya Rain menyudahi hubungan kalian dan kamu tidak terima," ralatku dari kesimpulan perdebatan Karel dan Rain tadi.
"Apa kamu pikir semudah itu melupakan perasaan yang sudah kusimpan sejak bertahun-tahun lamanya?? aku dan Rain sudah lama saling mencintai,"
"Lalu kenapa dia menikah dengan Fatar?? kalau dia mencintaimu tidak mungkin dia menerima Fatar!!" bentakku. Untung kamar ini kedap suara.
"Ini semua karena Fatar!" balasnya. Aku terdiam, menatap tidak percaya pada Karel.
"Apa salahnya? apa salah kalau dia menikah dengan orang yang dia cintai? apa Rainmu itu pernah bicara kalau dia tidak mencintai Fatar?" tanyaku dengan nada tidak percaya. Apa mata Karel sudah tertutup parah.
"Rain tidak tega menyakitinya, karena dia juga sahabat Rain sama sepertiku, tapi harusnya Fatar sadar kalau Rain tidak pernah mencintainya," ohh oke aku tersindir. Aku juga harusnya sadar kalau Karel tidak pernah mencintaiku.
Aku tertawa pongah hingga Karel bingung melihatku. "Tidak tega menyakiti langsung tapi tega menyakiti dengan tidak langsung, dan sakitnya berkali lipat lebih parah. Hahh hebat," gumamku. Boleh aku bertepuk tangan dengan semua drama ini.
"Kalian bukan sahabat Fatar! kalian hanya dua orang jahat yang cocok untuk jadi pasangan, pernah dengar jodoh adalah cerminan diri? mungkin benar, dan kamu buktinya. Peselingkuh memang cocok untuk peselingkuh juga," apa kata-kataku menancap? jika iya maka aku akan bersyukur.
Aku pergi meninggalkan Karel, kepalaku panas, hatiku juga panas dan aku harus mendinginkannya. Di dekat Karel aku tidak akan dingin, yang ada aku akan melepuh saking panasnya.
Bi Peni dan Meri menungguku di bawah tangga dengan wajah cemas. Ini memang pertengkaran kami yang pertama selama kami menikah.
"Bi tolong suruh Ucup siapin mobil ya.. aku harus ke kantor," ucapku.
"Nyonya nggak berniat untuk pergi dari rumahkan?" tanya Meri.
"Haha maunya sih gitu, udah nggak usah khawatir gitu.. aku sama Karel baik ko," jawabku berusaha untuk menenangkannya. Aku langsung ke dapur untuk mengambil satu kotak kue di kulkas untuk Putri nanti.
🍁🍁🍁
"Apa?? lo minta cerai??" tanya Putri dengan suara kencang.
Aku melotot padanya, apa mulutnya itu tidak ada pengatur volume. Untung ini di cafe bukan di kantin kantor. "Lo sekali lagi teriak gue sumpel mulut lo pake sepatu gue!"
Putri menunjukkan cengiran bodohnya. "Maap.. gue reflek! lagi lo bikin gue kaget. Masa lo baru lima bulan udah minta cerai? lo mau jadi janda muda?"
Aku mengerucutkan bibirku, "siapa yang mau jadi janda di umur segini?? hikss emang gue punya pilihan?" rengekku.
Putri menepuk bahuku, "si bos Karel belum berubah juga ya?"
Aku mengangguk, "dia udah nyium gue tapi masih mesra-mesraan sama Rain.. apa coba maksudnya??"
"Hah nyium? lo dicium bos? are you kidding me?"
Aku menggeleng, kuceritakan saat Karel menciumku ketika si kembar datang ke rumah. "Gilaa!! itu sih udah ada rasa.. tapi mungkin masih tipis jadi nggak kebaca,"
"Terus gue harus gimana? gue nggak mau berharap," jawabku dengan lemas.
Putri menghela nafas, ia bertopang dagu dan diam sejenak. "Lo tadi bilang bos udah putus sama si cewek uler, mungkin lo bisa nunggu si bos lebih lama lagi, gue yakin sebenernya bos udah suka ama lo,"
"Putus bukan berarti semua selesai Put.. gue nggak jamin mereka bakal menjauh, mereka berdua tuh hatinya dari batu."
"Iya sihh.." desahnya. Kami berdua kembali diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Tadi gue ngomong kasar banget sama Karel, kira-kira dia marah nggak yaa.." gumamku sembari bertopang dagu menatap jalanan yang sekarang diguyur hujan rintik.
"Emang bos pernah marah sama lo?" tanya Putri.
Aku menoleh padanya, sahabatku itu sedang memasang wajah penasaran yang serius. "Nggak sih," jawabku. "Cuma pas dia marah sama Gavyn dan gue nggak sengaja kena imbasnya, itupun nggak bisa dibilang dia marah sama gue,"
"Yaudah kita doa aja biar bos nggak marah sama lo," gumamnya. Cihh solusi macam apa itu. Aku kembali terdiam menikmati tetesan air hujan yang menerpa kaca. Sedang apa Karel sekarang, apakah dia sudah makan.
Sore hari aku baru pulang dari kantor. Bi Peni menyambutku seperti biasa. Aku merebahkan diri di sofa. Lelah juga satu jam lebih di perjalanan karena kemacetan.
Karel turun dari tangga dengan kaus dan celana jeans selutut. Wajahnya masih pucat meski tidak sepucat tadi. Aku duduk tegap saat melihatnya tapi ternyata dia melewatiku begitu saja tanpa bicara apapun. Melirikpun tidak.
Suasana makan malam juga tidak jauh berbeda. Aku dan Karel makan dalam diam, Meri terlihat cemas dengan suasana mencekam ini.
Karel sudah selesai makan dan dia langsung pergi. Mungkin dia akan ke kamar untuk beristirahat. Aku memanggil Bi Peni dan Meri.
"Ri.. tolong siapin kamar yang di samping kamar Karel yaa.." pintaku. "Ohh iyaa Bi, tolong jangan cerita ke Mama yaa kalau kita lagi ada masalah." Aku memelas pada Bi Peni.
Bi Peni tersenyum padaku, "iya Nyonya tenang saja, yang sabar yaa.. namanya rumah tangga pasti ada pasang surutnya, harus ada yang mau mengalah." Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tau itu, harus ada yang mengalah dan itu selalu aku.
Malam ini aku akan tidur di kamar samping. Itu lebih baik daripada aku tidur sekamar dengan Karel. Kakiku melangkah melewati kamar kami.
"Ohh sial charger ponsel gue di kamar," gumamku saat akan membuka kamar samping. Aku memutuskan untuk berbalik dan masuk ke kamar kami untuk mengambil charger.
Saat membuka pintu kulihat Karel sedang memijat keningnya sembari melihat laptop. Aku melewatinya dengan cuek dan mencari charger di laci nakas. Setelah benda itu kutemukan aku langsung bergegas keluar.
"Mau kemana kamu?" tanya Karel saat aku akan membuka pintu.
Aku menoleh padanya. "Tidur di kamar samping," jawabku dengan cuek.
"Siapa yang menyuruhmu tidur disana?" tanyanya lagi.
"Nggak ada, cuma inisiatif sendiri."
"Kembali ke ranjang!" perintahnya. Aku ingin membuka mulut tapi dia sudah bicara lagi. "Sekarang!" apa dia tidak bisa dibantah.
Aku menghentakkan kaki dan kembali ke ranjang. Dia mematikan laptopnya dan menghampiriku. "Tidur!" perintahnya. Aku menghela nafas dan berbaring di ranjang, dia menyelimutiku hingga leher dan ikut berbaring di sampingku.
Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa dia tidak marah denganku. Kenapa kalau tidak marah sejak tadi dia diam.
Karel memiringkan tubuhnya dan bertopang kepala. Tidak bicara apa-apa, dia hanya menatapku. Aku balas menatapnya, dia ini kenapa sih.
"Aku minta maaf," ucapnya.
Keningku berkerut, "maaf untuk yang mana? karena kamu bohong atau karena kamu mempermainkan aku?"
"Untuk semuanya," jawabnya.
Aku menghela nafas. "Kalau begitu beri maaf itu untuk Fatar, dia lebih membutuhkannya daripada aku,"
"Kamu marah?"
Aku menggeleng, "ini lebih daripada marah. Jujur aku kecewa, kamu benar-benar keterlaluan Karel. Kamu menyalahkan Fatar atas kesalahan kamu sendiri,"
Karel menghela nafas. "Yaa aku tau aku salah, tadi aku terlalu emosi." Tangan Karel mengusap kepalaku, dan sialnya itu selalu bisa membuatku nyaman.
"Akhiri semua Karel, sebelum semua terlambat.. kamu dan Rain tidak akan dapat apa-apa darihubungan ini," lirihku untuk kesekian kalinya mengingatkan. Aku masih ingin membantunya lepas dari hubungan ini dan semoga dia tidak membuat bantuanku sia-sia.
Karel tersenyum dan merebahkan diri. Matanya menatap langit kamar dengan mata menerawang, "aku yang memaksakan kehendak, dan sekarang semua menjadi kacau. Apa yang harus kulakukan sekarang Fian?" tanyanya tanpa menoleh padaku. "Apa aku harus mengaku pada Fatar? tapi itu akan membuat Rain kehilangan segalanya, dan rasa bersalahku akan bertumpuk-tumpuk lebih kuat. Tapi kalau diam saja aku juga akan terus menanggung beban rasa bersalah pada Fatar meski hubunganku dengan Rain sudah berakhir,"
"Harusnya itu yang kamu pikirkan diawal, apa otak pintarmu itu selalu tidak bekerja kalau ada Rain?" ledekku. Karel menoleh dan melotot padaku.
"Belum cukup kamu menghinaku tadi siang?" sindir Karel.
Aku tersenyum padanya, "maaf untuk tadi.. aku juga benar-benar emosi,"
Karel menggeleng, "aku pantas mendapatkan hinaan itu. Bahkan lebih." Aku menguap lebar, mataku sudah mulai berat. Karel mendekat dan kembali mengusap kepalaku.
"Jangan PHP Karel.. kalau aku jatuh cinta padamu kelar hidupmu," sinisku.
Karel terkekeh kecil dan memelukku. "Dasar bodoh! ayo tidur."
🍁🍁🍁
Aku dan Karel kembali menjalani hari-hari seperti biasa, kami kembali saling bercanda dan bertengkar karena masalah kecil. Bukan pertengkaran parah seperti kemarin itu, tapi hanya pertengkaran yang sepertinya terlihat bodoh karena itu menyangkut hal konyol.
Sebulan setelah pertengkaran besar kami sepertinya Karel dan Rain benar-benar menjauh. Dan aku bersyukur atas itu.
Hari ini aku benar-benar sibuk di kantor sedangkan Karel sibuk diluar kantor. Dia melarangku untuk ikut, katanya diluar panas dan aku pasti akan kelelahan, dan katanya juga, aku akan rewel jika sedang kelelahan.
Sembarangan, memangnya aku anak kecil, yahh meskipun fakta itu benar tapi tidak usah sejujur itu juga kan. Sorenya saat jam pulang Karel mengabari kalau dia tidak bisa pulang bersama jadi aku terpaksa naik taxi.
Makan malam Karel belum juga pulang. Aku menunggunya hingga kulirik jam dinding, ini sudah hampir jam dua belas malam dan orang itu belum pulang.
"Nyonya tidur saja, biar saya yang menunggu Tuan," tawar Meri. Aku tersenyum padanya. Untung aku memiliki asisten rumah tangga yang baik seperti Meri dan Bi Peni.
"Kamu aja Ri yang tidur, aku nggak tenang kalau Karel belum pulang," kataku dengan jujur. Yahh aku benar-benar khawatir, aku takut terjadi apa-apa di jalan saat Karel menyetir sendiri.
Jarum jam terus berjalan hingga menunjukkan pukul setengah dua dini hari. "Itu orang kemana sih.." keluhku. Meri sudah tidur di sofa yang ada di dekatku. Kasian dia, dia benar-benar menemaniku.
Beberapa menit kemudian aku mendengar mobil masuk ke parkiran. Aku berlari dan membuka pintu. Ku lihat seorang pria turun dari mobil Karel.
"Loh kamu siapa?" tanyaku dengan bingung.
"Lo istrinya Karel ya? gue Pian temennya Karel," jawabnya. Ohh jangan bilang terjadi sesuatu pada Karel.
"Iya.. Karel mana? dia kenapa? dia baik-baik aja kan? kenapa dia belum pulang?" cecarku dalam satu tarikan nafas.
Pian tersenyum dan menepuk bahuku. "Tenang dulu, Karel baik tapi gue butuh bantuan lo nih, si Karel hangover tuh."
Aku ternganga. "Apa??" ini pertama kalinya aku tau Karel suka minum alkohol. "Kenapa bisa minum? emang ada masalah apa sih?" tanyaku dengan nada kesal.
"Ehh ohh sorry, gue sama anak-anak cuma ngajak minum soalnya kita jarang ngumpul. Nggak nyangka juga Karel bisa sampe hangover gitu," jawabnya dengan nada dan wajah bersalah. Aku menatapnya sebal tapi yasudahlah, sudah terlanjur. Kami memapah Karel sampai kamar dan merebahkannya di ranjang.
"Makasih ya.. kamu pulang aja, ntar aku salamin ke Karel," usirku dengan halus. Aku ingin mengurus Karel secepatnya. Untung dia mengerti dan langsung pamit pulang.
Aku membuka kedua sepatu Karel, setelah itu kubuka jasnya. Dia bergumam tidak jelas tapi aku mengabaikannya.
"Lepas nggak yaa.." gumamku sembari memegang kemejanya. Kalau tidak dilepas kamar ini akan bau alkohol dan aku benci itu.
Terpaksa aku melepas setiap kancing kemeja Karel sampai pada kancing terakhir Karel menarik tanganku. Aku melebarkan mata kaget.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Karel dengan mata menyelidik.
Aku mendengus, "kamu bau alkohol, kalau tidak mau dibantu yasudah lakukan saja sendiri," kataku dengan mengerucutkan bibir. Karel menarik tanganku dengan kuat hingga aku menimpa tubuhnya. Tanganku menempel pada dadanya yang tidak ditutupi kemeja karena tadi aku sudah melepasnya.
"A-apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan gemetar.
Karel tersenyum dan mengusap pipiku. "Cantik," gumamnya. Wajahku memanas, ohh tenang jangan senang dulu, dia sedang mabuk.
"Karel kamu mabuk, tidurlah," jawabku dengan gugup. Bukannya menjauh Karel justru semakin mendekatkan wajahnya. Bibirnya mengecup bibirku dan lama kelamaan ciuman itu semakin dalam. Dia menyapu habis bibirku. Ada apa ini, kenapa aku lemas.
Aku ingin menjauh tapi Karel lebih cepat dia menarikku hingga sekarang dia berada di atasku. Mataku menatap takut, apa yang harus kulakukan. Jika tidak berhenti sekarang maka semua akan berlanjut karena sekarang Karel sedang mabuk.
"Ka.." belum sempat memanggilnya dia kembali menciumku. Karel menggigit bibir bawahku hingga bibirku terbuka dan dia langsung memanfaatkannya untuk kembali menyapu bibirku. Aku mendorongnya menjauh tapi sia-sia.
Ciumannya turun ke leherku. Aku hanya bisa mengalungkan lenganku pada lehernya dengan pasrah. Ohh maafkan aku, aku bukannya ingin memanfaatkan kesempatan toh aku sudah menolak sejak tadi.
Semua berlanjut begitu saja, aku memberikan hartaku yang paling berharga untuk Karel. Aku memejamkan mata dan airmataku menetes. Antara sedih dan bahagia tapi kalian pasti tau apa yang lebih dominan.
Karel mencium keningku lama kemudian kedua mataku lalu yang terakhir bibirku.
"Terimakasih Rain," gumamnya dengan pelan. Aku melebarkan mata, Rain? bisa bayangkan betapa hancur rasanya. Mataku memerah, aku terisak. Aku benar-benar merasa seperti wanita murahan.
Karel sudah tertidur pulas disampingku. "Brengsek!" makiku dengan penuh airmata. Aku langsung memakai seluruh pakaianku dan berlari ke kamar mandi.
Aku duduk di pojok dan menangis sepuasnya. Entah berapa jam aku menangis sampai tertidur di kamar mandi.
Dengan berat aku berdiri dan menatap pantulan diriku di cermin. Wajahku tampak kacau dengan mata bengkak yang memerah. Aku menghela nafas, lebih baik aku mandi dan membersihkan seluruh tubuhku agar tidak ada jejak Karel. Kata-kata Karel kembali terngiang, apa sejauh itu hubungannya dengan Rain. Mataku memanas LAGI. Ahh sudahlah memikirkan itu aku akan terus menangis.
Satu jam kupergunakan untuk mandi. Setelah itu aku keluar untuk mengambil pakaian. Sebenarnya badanku rasanya remuk tapi aku harus terlihat kuat. Mataku jatuh pada Karel yang masih tertidur pulas.
Aku menggigit bibir bawahku. Rasa sakit itu kembali muncul, aku tidak siap melihat Karel. Dengan cepat aku mengambil baju dan langsung berlari keluar dengan pakaian mandiku. Ini masih pukul lima pagi dan pasti yang sudah bangun hanya Bi Peni.
🍁🍁🍁
Mataku menerawang, aku sedang duduk di taman dekat kantor. Tadi setelah mandi aku langsung berangkat agar tidak bertemu Karel.
Putri kusuruh datang kemari untuk menemaniku. "Woyy lo kenapa nyuruh gue dateng ke sini?" tanya Putri yang baru datang. "Lohh Fi.. lo kenapa?" wajahnya panik melihat keadaanku.
Aku diam menatapnya dan perlahan airmataku kembali jatuh. "Gu..gue gue udah nggak perawan Put," isakku.
Putri melebarkan mata, "maksud lo?"
"Karel.. Karel ngambil semuanya, gue ngerasa jadi cewek murahan," lanjutku. Aku semakin menangis dan Putri memelukku.
"Sshhh tenang dulu Fi, coba jelasin dengan jelas.. gue nggak ngerti," ucapnya. Aku menceritakan semua mulai dari Karel yang mabuk hingga Karel menyebut nama Rain.
"Apa??? kurang ajar!! sialan tuh cowok! kalau bukan bos udah gue tempeleng deh!" emosinya.
"Gue murahan banget ya?" tanyaku.
"Enggak! lo nggak murahan! Karel aja yang brengsek." Putri terdiam sebentar lalu kemudian dia ikut menangis. "Maafin gue Fi, ini semua karena saran dari gue.." lirihnya.
Aku tersenyum kecil meski airmataku masih mengalir. Kupukul bahunya dengan pelan. "Bukan salah lo.. ini murni kesalahan gue yang emang bego," jawabku.
Putri terdiam dan langsung memelukku. "Apapun yang terjadi nanti gue akan selalu ada disamping lo, lo harus kuat Fi.." lirihnya. Aku mengangguk dan kembali menangis dipelukan sahabatku itu.
🍁🍁🍁
Nahhh lohhh gimana nasib Fiannn????? Ada yang kesel Karel??? Kalau mau hajar dia silahkan indah mendukung 😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top