15. Jealous

Hello guys.. i'm back hihi

Maaf karena updatenya lambat pake banget karena lagi ada problem di dunia nyata 😀

Langsung aja deh yaa happy reading dear 😉

********

Author POV

Fian menutup pintu dengan kencang. Dia langsung meloncat ke ranjang. Selalu begini, setiap dekat dengan Karel darah akan naik secara derastis. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada orang yang begitu menyebalkan seperti Karel. Fian rasa dirinya sudah tidak normal.

Lihat saja sekarang, seharusnya Karel mengejar atau setidaknya pura-pura mengejar karena ada Fatar disana.

Fian berdecak kesal dan melempar bantal Karel. Jangankan mengejar, ingat padanya saja tidak. Berharap pada Karel hanya akan membuang tenaga.

Fian memperhatikan wajahnya di cermin. "Not bad," gumam Fain. Tidak ada salahnya menghibur diri sendiri.

Pintu kamar dibuka, Karel masuk tanpa bicara apapun. Dia memilih untuk berbaring tanpa memperdulikan Fian. Hari ini dia sudah cukup kesal dengan alasan yang tidak jelas.

"Karel, apa aku terlihat imut dengan ini?" tanya Fian, "Karel!! aku imut kan? iya kan?"

Karel telungkup dan meraih bantal Fian untuk menutupi kepalanya. "Berisik!" omel Karel.

Fian terkekeh geli, dia suka melihat ekspresi kesal milik Karel. Mata elang itu akan semakin menajam, dengan alis tebal itu Karel justru semakin terlihat tampan. Fian menggelengkan kepalanya.

"Kamu ingin tidur? ck menyebalkan," ucap Fian sembari merangkak naik ke ranjang. "Ayolah Karel, aku bosan," rengeknya.

Fian menarik bantal yang menutupi kepala Karel tapi Karel tetap tidak peduli. Pria itu justru menutup kedua telinganya dengan telapak tangan dan tetap memejamkan mata.

Fian gemas dengan kecuekan Karel. Dia terus mengganggu Karel agar bangun, dari mulai mengacak rambut Karel dan merapikannya lagi sampai menarik-narik ujung t-shirt yang Karel gunakan. Entah kenapa dia bisa semanja ini dengan Karel, padahal satu bulan yang lalu bicara saja takut. Mungkin karena sikap hangat yang Karel tunjukan beberapa hari ini.

"Aku bosan Karel, jangan tidur," rengek Fian. Tidak ada respon dari Karel. Fian menghela nafas, dia berbaring dan menjadikan perut Karel sebagai bantal.

"Huhh aku harus melakukan apa sekarang," gumam Fian. Dia menoleh pada Karel yang sepertinya sudah tertidur.

Untuk mengisi waktu luangnya ini Fian memainkan ponselnya dan mengecek sosial media yang sudah beberapa hari tidak dia buka.

Ada banyak notifikasi masuk, tentu saja itu ucapan selamat dari para karyawan perusahaan. Ucapan-ucapan itu membuat Fian tersenyum geli karena selalu ada kata-kata memuji Karel yang terselip disana.

Fian menggulir layar ponselnya, dia mengerutkan kening. Postingan yang baru diunggah Putri pagi ini membuatnya menyipit curiga. "Wah ada batu dibalik udang! si Putri sama Pak Cakra ada hubungan ya."

Jemari Fian bergerak cepat menulis komentari di postingan sahabatnya itu.

Terbersit satu ide gila di otaknya, dia melirik jam dinding. Pukul setengah dua siang, berarti di Jakarta masih pukul setengah satu. Ini jam istirahat kantor, kalau dia memosting fotonya dengan Karel pasti kantor akan gempar.

Fian terkikik geli, dia tersenyum lebar kearah kamera. Ia mengambil beberapa foto dengan gaya berbeda. Setelah melihat hasilnya ia langsung memosting foto itu di beberapa sosial medianya. Ia menambahkan keterangan untuk foto itu.

Nyenyak banget bobo siangnya 😄  istirahat yaa sayang 😘😘 Thanks buat plasternyaa, aku sukaa 😊😀

Fian terkikik geli membaca ulang kalimatnya itu. Rasanya tidak sabar menunggu Putri menelfonnya untuk memberi tau respon karyawan kantor melihat postingannya.

-------

Foto Fian yang tidur di perut Karel dengan Karel yang sedang tertidur benar-benar membuat kaum hawa di kantor gempar, ditambah lagi dengan kalimat untuk foto itu. Banyak yang berteriak histeris merasa iri dengan Fian. Bahkan ada pula yang hampir menangis karena patah hati. Putri benar-benar tercengang dan langsung berlari menuju toilet untuk menghubungi Fian.

Fian yang memang sudah menunggu telfon dari Putri hanya bisa tertawa girang melihat layar ponselnya saat nama Putri muncul.

"Yaa hallo.." sapa Fian dengan manis.

"GILAAAA!! Lo harus liat reaksi orang-orang kantor! gilaa pecah!" sembur Putri dengan nada berteriak heboh. Fian menjauhkan ponsel dari telinga

"Biasa aja kalee.." gerutu Fian sembari menepuk telinganya yang pengang.

"Nggak.. ini nggak bisa biasa soalnya ck lo tuh yaa bisa aja bikin suasana kantor jadi pecah! udah tau akun sosmed lo tu selalu di stalkerin sama anak-anak setelah berita tunangan lo! ini lo mosting pas jam istirahat pulaa.."

Fian terbahak mendengar celotehan Putri yahh ini jam setengah dua siang berarti di Jakarta masih jam setengah satu  yang artinya itu adalah jam istirahat.

"Gimana postingan gue? keren kan??" tanya Fian disela tawanya.

"Haha keren banget!! siapa lagi yang berani tidur di perutnya si bos yang galak? lo doang! ehh iya itu idung lo kenapa?"

"Dasar oneng! lagian orang mau ngapain tidur di perut laki gue?? emang perut dia bantal? kalau gue sih istrinya jadi yah sah-sah aja.. hehe biasa Put abis jatoh,"

"Cihh dasar lo! sebelum nikah aja labilnya minta ampun.. pake bilang lo jadi umpan. Sekarang gimana? enak jadi umpan?" cibir Putri.

"Hemm nggak tau deh, gue belum ada seminggu jadi istrinya jadi belom bisa nilai, ngomongin ini gue jadi inget mau cerita sama lo Put," Fian menceritakan keberadaan Fatar dan juga Rain serta tentang dirinya dan Fatar yang semalam suntuk mencari gelang kaki Rain.

"Isshh bu Rain tu yaa nggak bersyukur banget deh.. pak Fatar tu kurang apa sih?"

"Gue juga bingung.. lo tau? Fatar percaya penuh sama Rain, habislah si Rain kalau semua kebongkar,"

"Iya bener, semua harus cepet berakhir. Yaudah lo nggak usah mikirin si Rain.. oh iyaa gimana perkembangan hubungan lo sama bos? udah sampe tahap bikin bos baru buat perusahaan ini belom?"

"Sembarangan! nggak usah mikir macem-macem deh lo.. ehh iya lo sama pak Cakra ada hubungan apa ni? rahasia amat kayanya.." cibir Fian.

"Halo Fi.. halooo ck sinyalnya jelek amat sih!" Fian memutar mata jengah.

"Nggak usah pura-pura deh.. dari tadi sinyal baek,"

"Ohh ketauan.. hehe, yaa gitu Fi, long story deh yang jelas beberapa hari terakhir ini karna kerjaan gue jadi deket sama dia. Lo harus tau, anaknya yang masih bayi itu cantikkk banget! kasian yaa nasib Cakra,"

"Kalau itu gue juga udah tau, waktu acara peresmian kantor baru dia bawa anaknya.. jadi selera lo duda ganteng? boleh lahh boleh,"

"Sial lo.. dia emang selera gue tapi gue bukan selera dia. Almarhumah istrinya dulu kerja di kantor kita juga dan dia itu cantik banget Fi.. lebih cantik dari bu Rain malah. Arrghh kenapa jadi gosip gini si? yaudah gue balik ke anak-anak dulu yaa.. keep enjoy honey,"

Fian mengerutkan kening, tumben sobat gesreknya itu tidak percaya diri. Cakra nama yang tidak asing di telinga Fian dan seluruh karyawan Jibran corp. Cakra adalah orang kepercayaan Karel dan saat ini bisa dipastikam bahwa perusahaan ada dibawah pengawasan Cakra. Gosip tentang istrinya meninggal pasca melahirkan juga selalu jadi bahan pembicaraan wanita pecinta gosip.

"Gue rasa Putri cocok sama pak Cakra, tu anak kalau lagi nggak gesrek jiwa keibuannya kan kuat banget.. hihi bisa tuu jadi emak tiri anaknya pak Cakra," gumam Fian sembari mengecek notifikasi dari akun sosmednya. Banyak komentar-komentar yang mengundang tawa gelinya.

Wahhh Fian gue rela tuker posisi sama lo!!! Hehe. Itu dari Tiara yang bekerja di bagian arsip.

Pak Karel ganteng banget Fi... lagi tidur aja gantengnya minta ampunnnn. Fian tersenyum geli membaca pesan Rahma yang bekerja satu bagian dengan Putri.

Fian mulai menguap, ia meletakkan ponselnya. Karena bantalnya tadi ia lempar dan bantal Karel juga bernasib sama akhirnya Fian meminjam lengan Karel sebagai bantal, ia sudah malas beranjak dari ranjang. Fain berbalik membelakangi Karel dan memejamkan mata.

Karel membuka matanya, ia mendengar nafas Fian yang sudah mulai teratur. Tadi memang dirinya sempat tertidur tapi karena tawa Fian saat menelfon ia langsung terbangun dan mendengar semua ucapan istrinya itu termasuk saat Fian bercerita kalau Rain dan Fatar sedang berlibur disini.

Kepala Karel terus berfikir ucapan Fian tentang habislah Rain jika Fatar mengetahui segalanya. Yahh jika semua terbongkar maka yang mengalami kehancuran parah adalah Rain, wanita yang sangat ia cintai. Tapi mau bagaimana lagi, cintanya membuat ia menjadi manusia paling bodoh, buta dan tuli secara serempak.

Flash back

"Aku akan kuliah di London Rain," Karel tersenyum lebar pada Rain yang ikut tersenyum lebar.

"Wahh bagus, itu memang cita-citamu kan? selama Rel.. aku ikut senang," jawab Rain dengan wajah antusias dan senang yang palsu karena Karel bisa melihat dengan jelas itu.

"Aku pasti akan kembali Rain, jangan sedih," Karel mengusap kepala Rain dengan lembut.

Rain mengerucutkan bibirnya, "aku senang bodoh! memangnya wajahku terlihat sedih?"

"Kamu bukan pembohong yang baik. Kita sudah bersahabat tiga tahun aku hapal setiap raut wajahmu saat sedang senang marah sedih dan kecewa, jangan bohong padaku,"

Rain tersenyum lebar, Karel memang selalu begini. Dirinya tidak akan pernah bisa berbohong di depan Karel.

"Kalau begitu kamu harus pura-pura tidak melihatku sedih.. jangan pikirkan aku. Aku baik-baik saja, lagipula disini ada Fatar dia akan menjagaku sama seperti kamu menjagaku ehh bahkan lebih hehe,"

Karel mendengus dan mengacak rambut Rain dengan gemas.

"Jangan pikirkan aku Rel.. kamu harus mengejar cita-citamu buat aku dan Fatar bangga karena memiliki sahabat yang jenius," lanjutnya dengan serius. Karel mengangguk dan tersenyum.

"Besok kamu dan Fatar harus mengantarku ke Bandara.."

"Besok?"

Karel mengangguk pasti, "yaa maaf aku baru mengabarimu hari ini.. sebenarnya aku sudah mengurus semua sebelum pengumuman kelulusan tapi aku hanya cerita pada Fatar karena takut kamu sedih,"

Rain terdiam ia berusaha menyunggingkan senyum seperti biasa. "Oke besok kita akan antar kamu.. hemm udah sore ayokk antar sahabatmu yang cantik ini pulang sebelum kamu pergi jauh," guraunya. Karel sebenarnya tau Rain sudah ingin menangis tapi ia pura-pura ikut tersenyum dan menuruti gadisnya.

Karel tersenyum lebar melihat Rain yang akhirnya datang karena sejak tadi ia menunggu gadis itu. Hari ini dirinya akan berangkat ke London dan kuliah bisnis disana seperti impiannya sejak dulu.

"Mana Fatar?" tanya Karel sembari mengerutkan kening.

Rain cemberut dan melipat tangannya. "Kamu tau dia kan? disaat seperti ini masih saja sempat panggilan alam.. sudah kubilang tadi sebelum berangkat pergi dulu ke toilet tapi dia tidak mau,"

Karel tertawa, memang lucu kalau Rain mulai ngomel pada dirinya dan Fatar.

"Ohh iya dimana keluargamu?"

"Hehe sudah kusuruh pulang, aku tidak mau pergi dengan diiringi tangisan mama yang sebenarnya sedikit berlebihan."

Rain memukul tangan Karel, "sembarangan! dia ibumu bodoh!" mata Rain semakin membulat kesal.

Karel mendengus, "memang benar.. untuk apa dia menangis? dia bahkan bisa menengokku setiap dia ingin.."

Fatar datang dan menepuk bahu Karel. "Apaan si? seru amat?"

"Biasa.. si medusa sedang marah.." bisik Karel dan dibalas tawa kencang Fatar.

Rain memutar bola matanya. "Yahh yah kenapa aku harus dikelilingi dua pria yang menyebalkan dan bodoh ini? nasibku benar-benar mengenaskan,"

Fatar mengedikkan bahu cuek, "harusnya sih lo bersyukur Rain.. kita berdua ganteng jadi masih bisalah dibanggain hehe.."

Rain mendengus dan berkacak pinggang siap memarahi kedua pria yang merupakan sahabatnya ini tapi sebelum melakukannya Fatar sudah merangkul bahunya.

"Stop it.. kita disini untuk mengantar sahabat kita princess.."

Karel tersenyum dan menghela nafas, "yahh bener udah saatnya berangkat." Karel dan Fatar saling berpelukan. "I will miss you brother.. jaga diri,"

"Hehe gue juga! lo belajar yang bener disono.."

Rain tersenyum, "kalian jangan lama-lama pelukannya ntar orang lain mikir yang enggak-enggak.." kikik Rain.

Karel dan Fatar tertawa bersama. "Tolong jagain princess kita ini ya Tar.. gue percaya lo," ucap Karel sembari terus menatap Rain.

"Pasti lahh.."

"Aku bukan anak kecil! dan kamu Karel! jangan hubungi kami sebelum kamu lulus dengan nilai yang baik, setuju?"

"Loh kenapa begitu? itu lama Rain,"

"Agar kamu fokus Karel!! ya kan Fatar... kamu setuju dengan ideku kan??" tanya Rain dengan manja seperti biasa. Fatar mengangguk setuju.

"Huhh menyebalkan, oke aku kalah suara,"

Karel mendekat dan memeluk erat Rain. Gadis yang sering ia panggil Hujan. "Aku akan merindukanmu Rain.. dan ada satu rahasia kecil yang ingin aku katakan.." bisiknya sembari memeluk Rain. Karel menghela nafas, "i love you Rain Kathrina.. tunggu aku kembali oke?"

Rain berdiri kaku karena tidak menyangka bahwa Karel memiliki perasaan yang sama padanya. Karel melepas pelukannya dan mengamati wajah Rain yang sudah berkaca-kaca.

"Pasti.." Rain mengangguk dengan senyum yang tidak bisa Karel lupakan. Senyum lega dan ekspresi kebahagiaan yang jelas. Karel mengacak rambut Rain dan menepuk bahu Fatar yang sedang mengecek ponsel.

"Bye.." pamitnya sebelum berbalik pergi.

Flash back off

Karel tersenyum miris, dirinya yang dulu ternyata lebih banyak bicara dan tertawa daripada sekarang. Melihat Fian yang mulai gelisah dalam tidurnya Karel segera mengusap kepala Fian hingga kembali tenang. Yah beberapa hari tidur dengan Fian, Karel jadi mengerti cara menenangkan Fian saat tidurnya gelisah.

Iphone Fian bergetar dan Karel langsung mengecek ponsel itu.

"Halo Fi.. sorry ni gue ganggu lagi.. ini anak-anak pada mau ngomong jadi gue loudspeaker gapapa kan?" Putri langsung berceloteh saat telfonnya diangkat.

"Fian.. cerita dong bulan madunya kalian ngapain aja.."

"Iyaa Fian cerita dong kita penasaran ni,"

Karel menggelengkan kepala, ini pasti ulah istrinya. "Hari ini kami jalan di pantai dan sekarang Fian sedang tidur dipelukan saya. Apa cerita hari ini cukup?" jawab Karel dengan nada santai.

"Kyaa bapak.. maaf pak kami nggak maksud ganggu.. aduhh yaudah pak kita harus balik kerja," ujar Putri dengan gugup.

Karel tersenyum geli mendengar kepanikan disebrang sana, "yaa bekerjalah karena setau saya ini memang jam kerja,"

"Aduh tamat deh kita.. pecat deh inimah.."

"Lagian kita juga si pake kepo honeymoonnya si boss,"

"Arrgh kalau dipecat anak gue mau gue kasih makan apa??"

"Lo belom punya anak Keke.."

"Dasar begok! itu cuma kiasan kesedihan gue!"

Karel hampir tertawa mendengar seruan-seruan dibelakang Putri. Ia hanya berdeham dan menormalkan suaranya. "Nanti kalau Fian sudah bangun aku akan beri tau kalau kamu menelfonnya Putri,"

Karel meletakkan ponsel Fian di atas nakas dan kembali memejamkan mata sembari memeluk Fian. Tidak perlu memerlukan waktu lama untuk jatuh tertidur dalam keadaan nyaman.

------

Fian menguap beberapa kali setelah membuka mata. Ia masih tidur di lengan kiri Karel sedangkan lengan kanan Karel memeluk pinggangnya.

"Ck perut gue laper," gumamnya. Ia berbalik dan menghadap Karel yang masih tertidur pulas.

Dipandangi wajah suaminya yang terlihat polos tanpa raut dingin ataupun marah seperti biasa. Karel terlihat sangat santai dan itu membuat Fian tersenyum.

"Karel..  maaf aku mencinta kamu," bisiknya sembari mengusap pipi Karel, "tapi kamu cinta Rain," lanjut Fian. Miris sekali nasibnya ini.

Karel bergumam hingga membuat Fian gugup takut Karel mendengar semua kata-katanya. Mata Karel perlahan terbuka dan langsung bertemu dengan tatapan kaget Fian.

"Emm hay.." sapa Fian dengan cengiran canggung. Alis Karel terangkat kebiasaannya saat bingung. "Sore.." lanjut Fian. "Iss ini mulut gue kenapa si?" gerutunya, geli mendengar sapaannya sendiri. Ini karena ia salah tingkah. Karel terkekeh, ia tau Fian salah tingkah karena itu sangat jelas terlihat dari wajah gadis itu yang merona.

"Yaya tertawalah Karel.. aku tau kamu memang hobi menertawai kebodohanku," omelnya. Ia menyingkirkan lengan Karel dari pinggangnya dan langsung merangkak menuruni ranjang.

Fian menarik nafas, meski kesal tapi setidaknya ia juga lega karena Karel tidak mendengar ucapan ngawurnya tadi.

"Aku lapar, bisa kita pesan makanan? aku malas makan di luar," ucap Fian yang kembali ingat dengan cacing diperutnya.

"Pesan saja sendiri, aku sudah bilang tadi siang,"

Fian cemberut dan menghentakkan kaki, "tega banget sih, mimpi apa gue punya suami begini," gerutu Fian. "Oke aku akan cari makan sendiri.. bye!"

Karel segera melompat dan meraih lengan Fian hingga gadis itu berbalik dan membentur Karel. "Aduh apa sih?" tanya Fian sembari mengusap dahinya.

"Ini bukan Jakarta yang kamu hapal jalannya, duduk! kita pesan makanan." Fian mendengus dan duduk kembali di ranjang. Sisa hari mereka habiskan untuk bersantai di kamar. Fian sebenarnya bingung kenapa Karel betah di kamar padahal di luar sana jelas-jelas ada Rain, tapi ia membiarkannya. Baguslah kalau Karel tidak dekat-dekat wanita itu.

--------

Hari ini Karel menemani Fian mencari aksesoris karena sejak pagi Fian sudah merengek seperti anak kecil padanya. Karel heran, kenapa setiap Fian merengek ia pasti selalu meloloskan keinginan istrinya itu.

"Menyebalkan.. semua bagus! aku bingung ingin yang mana," gerutu Fian sembari berkacak pinggang di depan kumpulan gelang kaki dengan hiasan khas laut.

"Beli saja semua kalau kamu mau," jawab Karel dengan cuek. Ia ingin segera pergi dari tempat ini karena risih dengan para perempuan yang mencuri pandang kearahnya.

Fian membulatkan mulutnya, "enggak sekalian beli tokonya?"

"Boleh kalau kamu mau,"

Fian mencibir dan langsung mengambil satu yang paling menarik sejak tadi. Bukan karena bentuknya yang indah meskipun memang yahh itu indah, tapi karena tadi Karel sempat menyentuhnya. Dengan begitu dirinya bisa menganggap bahwa gelang itu pilihan Karel untuknya.

"Hari ini kita akan kemana?" tanya Fian semnari berjalan disamping Karel.

"Menemani Rain ke butik," jawab Karel.

Fian langsung menghentikan langkahnya, ia menatap punggung Karel yang masih lanjut berjalan. Kepalanya tertunduk lesu dan kembali berjalan, "ada Fatar, apa itu tidak terlihat aneh?"

"Fatar pergi ke rumah orang tuanya dengan Rasya, Rain tidak bisa ikut karena Keyla tidak mau ikut pergi." Setelah itu Fian hanya diam, ia berusaha untuk mematikan hatinya untuk sehari kedepan. Kenapa dirinya sekarang terlihat lemah.

Berjalan di samping Karel yang menggendong Keyla dan bicara hangat dengan Rain itu sesuatu yang susah untuk Fian tapi gadis itu tetap tampak ceria dan sesekali menjaili Keyla yang sedang rewel.

"Fian.. kamu bisa belanja di butik itu juga, aku yakin kamu pasti akan suka koleksinya," Rain tersenyum ramah pada Fian.

Fian yang tadinya sedang tertawa langsung menampilkan wajah datar. "Aku lebih suka belanja di pasar," tolaknya mentah-mentah. Karel menghela nafas dan memilih untuk mengabaikan ucapan ketus Fian. Rain hanya tersenyum miris dan tersenyum kecil.

Di butik Karel membantu Rain memilih dress. Keyla sudah lama tertidur di gendongan Karel sedangkan Fian lebih memilih melihat dress di bagian lain. Semua kain indah itu terlihat sama saja di mata Fian, dengan wajah tak berminat ia terus melihat-lihat koleksi yang ada.

"Wahh kalian pasangan suami istri romantis, pilihan Anda bagus sekali Pak. Ini memang koleksi terbaru dan terbaik,"

Fian segera menoleh dan mendapati Karel dan Rain yang sedang tersenyum canggung di depan pegawai butik ini. Hatinya seperti diremas, sakit sekali rasanya. Fian menggigit bibir bawahnya, ia segera membuang pandangannya ke luar jendela.

Setengah jam kemudian mereka keluar dari butik. Langit mendung menyambut degan suka cita. "Sepertinya sudah gerimis, ayo kita harus cepat kembali ke resort," Karel melangkah duluan sembari menutup kepala Keyla agar tidak terkena tetesan air hujan.

Fian melirik Rain, "terima kasih, lo memang perempuan terular yang pernah gue kenal, terima kasih karena lo berhasil merusak bulan madu gue," ucap Fian dengan sinis, sejak tadi ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Maaf, kamu berhak membenciku," Rain menundukan kepalanya.

"Kalian sedang apa! cepatlah!" teriak Karel yang sudah berjarak cukup jauh. Mereka memang berjalan kaki tadi karena butik ini memang dekat. Fian dan Rain segera berlari menyusul Karel.

Tetesan air dari langit semakin berkejaran menuju tanah. Suara tetesannya semakin kencang disertai angin. Beberapa orang berlarian untuk berteduh.

"Fian carilah tempat berteduh! aku akan mengantar Rain dan Keyla dulu," Karel menarik lengan Rain dan mengajaknya berlari meninggalkan Fian yang sekarang berdiri mematung.

Fian memandang Karel dan Rain yang menjauh hingga keduanya hilang dari pandangan. "Karel.." lirih Fian. Ia menangis di bawah hujan, menumpahkan air mata sepuasnya karena saat hujan tidak akan ada yang tau bahwa dirinya menangis.

Dengan langkah lesu Fian berjalan menuju tebing bebatuan. Bajunya sudah basah, untuk apa dirinya berteduh. Dari tebing tinggi itu ia bisa melihat hamparan laut yang indah meski dihiasi awan gelap. Fian duduk di salah satu batu dan mendongakan kepala, menikmati setiap tetes yang menerpa wajahnya.

"Kalau ingin bunuh diri silahkan, aku akan jadi penonton," seruan di belakang Fian membuatnya menoleh kaget. Pria itu berjalan mendekat dan duduk di batu yang lumayan dekat dengan Fian.

"Bukannya kamu yang kemarin?" Fian memperhatikan pria yang duduk santai itu. Yahh itu pria yang ia tabrak kemarin.

"Hai," pria itu melepas topi dan kaca mata hitamnya. "Dua kali kau tidak mengenaliku,"

Mata Fian melebar, "Gavyn? ke-kenapa kau disini?"

Gavy memasang smirk andalannya. "Aku pria yang bisa melakukan apapun,"

Fian berdecih, kenapa disaat kacau begini ia bisa bertemu pria yang menyebalkan seperti Gavyn. "Kalau begitu kau jin," cibir Fian.

Gavyn tertawa, "yah begitulah.. jadi? kapan kau akan bunuh diri?"

"Aku tidak ingin bunuh diri! pergilah.. kau dan adikmu itu sama, apa hobi kalian itu mengikuti orang yang sedang honey moon?"

Kali ini Gavyn yang melebarkan mata. Tadi ia berlari panik mengikuti Fian yang berjalan cepat menuju tebing. "Kau gadis yang sulit di tebak," jawabnya mengabaikan pertanyaan Fian. "Dan kau gadis paling bodoh atau mungkin polos,"

"Hey!! beraninya mengataiku bodoh! dasar penguntit," sinis Fian.

Gavyn mendongakkan kepala, menikmati aroma hujan yang ia sukai. Sudah lama rasanya ia tidak bermain di bawah hujan. "Kau berkorban begitu besar untuknya, bodoh sekali. Apa perasaan sentimentil itu selalu membuat orang menjadi bodoh?"

"Apa maksudmu?"

Gavyn menoleh dan tersenyum pada Fian. Bukan senyum meremehkan seperti biasa, hanya ada senyum tulus disana hingga Fian hanya bisa diam. "Cinta.. kau, Karel dan adikku menjadi orang bodoh karena perasaan sentimentil itu, haha tidak bisa dipercaya, Karel pintar tapi kenapa dia bisa menjadi sebodoh itu,"

Fian terdiam, apa yang dikatakan Gavyn semua benar, kecuali tentang dirinya yang bodoh. "Aku menikah dengan Karel bukan karena mencintainya tapi karena.. arrgg sudahlah! pergi sana!!"

"Aku akan pergi jika kau pergi," jawab Gavyn dengan santai. Fian menggeram, disaat situasi hatinya sedang kacau yang dibutuhkan hanya ketenangan dan itu semua hancur karena pria menyebalkan itu. Fian bangkit tapi karena bebatuan disini begitu licin, Fian terjatuh dan luka di lututnya semakin lebar membentur batu.

"Fian!! astaga.. kau ini ceroboh sekali!" Gavyn dengan cepat menolong Fian untuk berdiri. Gavyn menghela nafas dan berjongkok. "Naiklah, kau akan sulit berjalan dengan kaki begitu." Fian menatap ragu punggung Gavyn. Ia merasa tidak enak karena tadi sudah bersikap kasar. "Aku hanya ingin menolongmu." Gavyn tersenyum saat lengan Fian merangkul lehernya. Ia berdiri perlahan dan melangkah dengan hati-hati.

"Terima kasih, maaf aku selalu ketus,"

Gavyn menoleh dan menatap lembut mata Fian. "Apa jika sudah jinak kau akan semanis ini?"

Fian memukul punggung Gavyn. "Memangnya aku hewan," gerutu Fian. Gavyn tertawa riang dan lanjut berjalan.

"Hey jawab dengan serius pertanyaanku, kenapa kau bisa disini?"

"Jujur aku penasaran dengan rencana Karel, kenapa dia harus melibatkanmu di dalam hubungan absurdnya dengan adikku." Fian meletakkan dagunya di bahu Gavyn dan mulai mendengarkan cerita pria itu. "Biar bagaimanapun aku seorang kakak, dan aku menyayangi Rain.. aku tidak ingin dia menyesal pada akhirnya,"

Fian tersenyum, ia pikir Karel salah jika menyebut Gavyn itu monster. "Aku iri, aku ingin dilindungi seperti Rain juga, dia dikelilingi pria hebat. Fatar, Karel dan kau Gavyn."

"Jadi aku ini pria hebat?" pertanyaan itu dijawab dengusan oleh Fian. "Oh yaa Fian aku serius bicara ini, berhenti jadi wanita yang ceroboh,"

"Apa maksudmu?"

"Hemm berjanjilah kau tidak akan marah, sudah sejak awal aku mengawasi kalian, termasuk saat kau keluar dini hari sendiri." Gavyn menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku tau kau sadar kalau sedang diikuti, beruntung aku melihat segerombolan pria pemabuk itu. Aku terpaksa menghajar semua sebelum mereka berhasil meraihmu dan saat kau membantu Fatar mencari gelang kaki Rain, jika bukan karena para anak buahku kau tidak akan menemukan gelang itu."

Fian ternganga, jadi ini semua penjelasan akan keheranannya malam itu. Pria ini yang telah menyelamatkan dan membantunya.

"Berhentilah sebelum terlambat dan jatuh semakin dalam, aku tidak yakin bisa membantumu nanti jika kau masih memilih bertahan dengannya,"

Deg kata-kata itu seperti sambaran petir yang membuat Fian membatu. "A-apa maksudmu?"

Gavyn kembali menoleh pada Fian, "kau tau pasti apa maksudku," setelah itu mereka hanya diam hingga tiba di depan kamar Fian dan Karel. Gavyn menurunkan Fian perlahan. Baru akan membuka kenop pintu sebuah suara dingin menyambut mereka.

"Bagus, aku panik mencarimu dan ternyata kamu asik dengannya," sambut Karel yang baru saja tiba dengan baju basah tak jauh berbeda dengan Fian dan Gavyn saat ini.

"Kau sendiri asik dengan adikku," jawab Gavyn dengan santai. Seketika kepalan tinju datang menghantam wajah Gavyn.

"SUDAH KU BILANG JANGAN GANGGU ISTRIKU!"

Fian melebarkan matanya, syok melihat darah mengalir dari sudut bibir Gavyn. Satu tinju lagi dilayangkan oleh Karel.

"Karel stop!!!" Fian segera menghampiri Gavyn dan mengusap darah itu. "Kau berdarah," tangan Fian yang bergetar digenggang oleh Gavyn.

"Menjauh dariku, kau bisa terkena pukulannya," Fian menggeleng dan berbalik menatap tajam mata Karel yang juga sedang menatap tajam dirinya.

"Kenapa kamu memukul temanku? apa maumu?" bentak Fian.

"Minggir," desis Karel. Fian menggeleng tegas hingga Karel mendorong pelan bahu Fian agar menyingkir.

Untuk ketiga kalinya Karel melayangkan tinjunya tapi untuk yang terakhir ini korbannya adalah Fian yang tadi langsung kembali berdiri di depan Gavyn.

"Fian!!" teriak Karel dan Gavyn bersamaan. Fian meringis kesakitan, rasanya giginya ingin rontok. Sialan, Karel benar-benar tenaga gajah, rutuknya dalam hati.

Fian mendongakkan kepala meski kepalanya terasa pusing. "Puas? kalau sudah tolong jangan ganggu Gavyn."

"Fian! sudah ku bilang jangan dekat-dekat dengannya!" Karel kembali membentak Fian meski ia khawatir melihat pipi Fian yang lebam dan sudut bibir Fian mengeluarkan darah.

"APA HAKMU!!! kamu bebas melakukan apapun! kenapa aku tidak??? aku ingin berteman dengan Gavyn dan itu pilihanku." Fian melangkah mendekat dan tersenyum sinis pada Karel. "Bukankah dalam pernikahan kita ada peraturan untuk tidak ikut campur urusan masing-masing dan bebas menjalin hubungan dengan orang lain?" tanya Fian dengan suara lirih lebih seperti bisikan hingga hanya Karel yang bisa mendengar.

Karel terdiam, ia melangkah mundur. Ini memang peraturan yang ia buat sendiri mau bagaimanapun Fian benar.

"Gavyn, ayo masuk.. luka-lukamu harus diobati,"

"Pikirkan lukamu, aku tidak apa," Gavyn bangkit dan mencengkram kerah kemeja Karel.

"Kau akan membayar atas lebam yang ada di wajah Fian," desis Gavyn. Fian segera menarik Gavyn masuk, soal Karel ia tidak peduli mau ikut masuk atau tidak.

Mereka duduk di sofa sedangkan lewat sudut mata Fian bisa melihat Karel duduk di ranjang dan menatap jendela besar di hadapannya. Kepala Fian menggeleng, abaikan dia Fi, batinnya.

Fian menyiapkan kompres untuk dirinya dan Gavyn. "Ini kau harus mengompres pipimu," Fian menyodorkan handuk kecil pada Gavyn.

Mereka berdua sibuk mengompres luka masing-masing, sembari sesekali mengobrol ringan. Karel seperti tidak ada di ruangan ini bagi mereka.

"Kenapa kau terus menolongku?" tanya Fian saat rasa penasarannya sudah sangat kuat.

"Entah, sepertinya karena rasa bersalah.. sejak pertama aku menganggapmu wanita matrealistis, dan saat malam pernikahanmu aku sadar.. kau wanita baik dan yang terpenting kau cantik,"

Fian melotot dan mencubit lengan Gavyn. "Dasar!! Ehh tapi kau benar, aku matrealistis.. coba kalau kau traktir aku makan, aku akan habiskan uangmu,"

Gavyn tertawa dan mengacak rambut Fian, "uangku tidak akan habis meski kau makan sampai perutmu buncit,"

Fian tersenyum lebar, "terima kasih Gavyn. Aku senang berteman denganmu,"

"Berlarilah padaku jika kau mulai lelah, aku akan merentangkan tangan lebar-lebar untuk menyambutmu," Gavyn berbisik dan mengedipkan matanya.

Fian ternganga, "hah playboy kelas kakap! hemm oke aku akan pikirkan tawaran itu." Mereka kembali tertawa bersama.

"Aww," ringis Fian. "Sepertinya bibirku robek, aku tidak bisa tertawa,"

Gavyn meraih dagu Fian dan menelitinya, "aku panggilkan dokter ya,"

"Tidak usah, pergilah Gavyn. Kau harus mengganti pakaianmu yang basah, aku akan bicara dengan Karel,"

Ragu Gavyn mengangguk dan pergi meninggalkan Fian. Biar bagaimanapun ini memang harus diselesaikan secepatnya.

----------

Fian segera menghampiri Karel setelah Gavyn pergi. Ia menatap marah Karel. "Aku tidak suka kamu kasar pada Gavyn,"

"Aku tidak suka kamu dekat dengannya," balas Karel dengan sama sengitnya.

Fian tersenyum, tidak habis pikir dengan jawaban Karel. "Kupikir tadi sudah jelas, aku punya hak yang sama denganmu Karel!"

"Dia bisa menghancurkan semuanya!"

"APA YANG AKAN HANCUR???" Fian berteriak meski bibirnya terasa perih. Sudah kepalang basah, ia sudah kesal dengan Karel dan ditambah lagi dengan tingkah suaminya itu saat memukuli Gavyn.

"APA!!!" tanya Fian karena tidak ada jawaban dari Karel.

"Istirahatlah, bibirmu kembali berdarah," jawab Karel lunak dan pergi meninggalkan Fian yang masih meledak.

"Karel!! aku belum selesai bicara!" teriak Fian. Karel benar-benar membuat kepala Fian ingin pecah. "Pergilah!! aku memang tidak penting! pergilah sesukamu!" teriakFian meski Karel sudah pergi. Tangisnya kembali pecah, belum seminggu dan rasanya sudah begini.

Mandi membuat kepalanya menjadi dingin. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah pucat dihiasi lebam keunguan di pipi dan luka di bibir ditambah matanya yang bengkak karena menangis semakin membuat Fian mengenaskan.

Fian menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam tapi Karel belum kembali ke kamar. Mungkin Karel marah dengannya, tapi bukankah yang harus marah adalah dirinya.

Tidak ada yang bisa Fian lakukan hingga ia memilih untuk tidur. Tubuhnya terasa nyeri dan tidak bisa leluasa bergerak. Dalam tidur Fian merasa kepalanya diusap dan ada rasa dingin di keningnya.

---------

"Ugghhh.." gumaman Fian segera membuat Karel terbangun. "Karel," suara lemah keluar dari mulut Fian.

"Sstt tidurlah." Kantung mata Karel membuat Fian mengernyit bingung. Karel memang baru tidur pukul lima karena sejak semalam ia menunggu dan mengganti kompres Fian.

Karel ingat semalam, saat kembali dari kamar Rain dan Fatar ia melihat Fian yang meringkuk seperti janin dengan tubuh yang menggigil.

Fian menggeleng dan menepis lemah lengan Karel yang menyentuh bahunya, "aku ingin pulang," lirih Fian.

"Tapi ini belum satu minggu,"

Fian menggeleng lemah, pancaran mata memohon dengan jelas terlihat oleh Karel. "Tolong.. aku ingin pulang," ulang Fian yang semakin lirih.

Karel tau ini salahnya, kemarin emosinya meluap karena ia benar-benar khawatir pada Fian.

"Baik, tapi kamu harus sehat, semua akan khawatir kalau kita pulang dengan kondisimu begini,"

Fian mengangguk dan berbalik memunggungi Karel. "Aku serius dengan ucapanku kemarin Karel. Jangan ikut campur urusanku dengan Gavyn."

Karel menggeram, jarinya mengepal. Entah apa yang dilakukan pria licik itu pada istrinya hingga sekarang sifat Fian berubah.

"Ya," hanya itu. Setelah itu Karel memilih untuk pergi. Meninggalkan Fian seperti biasa.

Fian tersenyum miris, "Maaf Karel, si playboy itu berhutang padaku, aku harus bertengkar dengan Karel karena dia,"

Kata-kata manis Gavyn kemarin membuat Fian tersenyum. Mungkin nanti ia akan menerima tawaran itu, karena jujur baru melangkah saja rasanya sudah lelah.

Sepertinya ia harus menetralkan perasaannya dulu agar tidak terlalu menggebu seperti sekarang hingga bisa terus bersama Karel tanpa rasa cemburu dan sakit. Yahh mungkin menjauh dari Karel untuk sementara adalah pilihan yang tepat.

"Setidaknya ini yang terbaik untuk gue," gumam Fian setelah memikirkan semua.

*********

See you guys.. hehe

Udah panjang kan??

Ehmm kira-kira pas Fian menjauh Karel gimana? Gavyn gimana? Rain gimana? Eeaaaa tunggu yaa 😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top