14. Si Pengganggu

Hayy guys.. ketemu lagi dimalam minggu.. hehe malam minggu kelabu. Kenapa kelabu? yaa karena langitnya mendung*apadah

Arrggg sudahlahh langsung aja :D

Happy reading guys! part ini panjang lohh.. maksudnya lebih panjang dari part2 sebelumnya :D

************

Fian POV

Kami sedang makan siang di restoran yang berada di dekat resort. Sejak tadi kulihat Karel seperti sedang banya pikiran tapi aku berusaha mengabaikannya.

Saat sedang asik makan, mataku melebar melihat pintu masuk restoran, di sana ada Rain dan Fatar sedang menggandeng kedua anaknya. Aku mengerjapkan mata untuk memastikan penglihatanku. Yaa itu mereka, aku yakin itu. Mataku tidak minus apalagi katarak, jadi sudah dipastikan itu benar-benar si wanita ular.

Aku langsung mendelik pada Karel, "bisa jelaskan tentang itu," tanyaku dengan datar. Sekarang aku tau apa yang dipikirkan Karel.

Karel ikut menatap Rain dan Fatar. "Mereka ingin liburan, jadi aku menyuruh Rain kemari, kita bisa berlibur bersama,"

Aku hanya menatap datar Karel, dan lanjut makan tanpa bicara lagi.

"Heyy kalian disini," sapa Fatar. "Thanks Rel, tadi pagi Rain cerita kalau lo ngajak kami liburan sama-sama. Tapi kami nggak ganggu kalian kan?" tanya Fatar yang sudah duduk di samping Karel.

Aku mencoba tersenyum pada Fatar, "haha nggak, aku justru senang liburan dengan Keyla dan Rasya.." aku mengusap kepala kedua anak itu. Aku teringat kedua anak ini adalah salah satu faktor kuat untuk aku menerima lamaran Karel.

"Tante nanti kita bikin istana pasir ya.." ajak Keyla.

Aku mengangguk dengan semangat, "oke nanti kita bikin yang banyak, setuju??" Keyla dan Rasya mengangguk senang dan memelukku.

Rain tersenyum dan duduk di sampingku, "jangan ganggu tante Fian dulu sayang, tante kalian ingin makan,"

Aku tersenyum dingin pada Rain, "mereka nggak ganggu sama sekali," lo tu yang ganggu, lanjutku dalam hati.

"Emm sorry nih, aku harus balik ke kamar sekarang," pamitku.

"Habiskan dulu makananmu Fian," Karel memandangku dengan sorot mata tegas tpi aku masih membalaskan dengan tatapan datar. Haha bekerja dengannya membuatku belajar ekspresi wajah datar.

"Kenyang," hanya itu jawabanku sebelum berbalik pergi meninggalkan semuanya. Nafsu makanku langsung hilang saat melihat Rain, lebih baik aku segera menyingkir daripada terus berdoa jelek untuk wanita itu.

Aku membanting pintu kamar dan langsun meloncat ke ranjang. Ku pukuli bantal yang digunakan Karel berkali-kali. Memaki-maki Karel dengan terus memukul bantal itu.

"Karel bodoh!!!!!!!!!" teriakku gila-gilaan untuk yang terakhir. Aku segera melempar bantal itu ke sembarang tempat. Kurebahkan diriku, mataku menatap langit-langit kamar. Ada rasa nyeri yang merasuk hingga aku tidak tau harus berbuat apa.

Suara pintu di buka membuatku langsung menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku hingga ujung kepala.

"Kamu marah?" Aku hanya diam mengacuhkan pertanyaannya. "Fian aku tau kamu tidak tidur," Aku tetap diam, terserah dia mau bicara apa.

Karel menarik paksa selimut itu tapi aku tetap menahannya, aku berusaha menjauh agar dia gagal menarik selimut. "Awww.." ringisku saat bokongku mencium lantai. Karena tadi terus bergeser aku jatuh dari ranjang.

"Heyyy!!" teriakku dengan emosi. "Pergi sana! aku ingin tidur," aku bangkit dan kembali merebahkan diri di ranjang.

"Kamu marah?" pertanyaan yang sama diulang Karel dengan sabar.

"Marah apa?" tanyaku dengan nada kesal.

"Marah karena Rain datang,"

Aku menghela nafas, mengatur nada suaraku agar terdengar tidak pedulu. "Kenapa harus marah? itu urusanmu, kamu ingin mengundangnya atau apapun itu terserah kamu, kamu mencintainya kamu bebas melakukan apapun. Di sini aku hanya figuran, tidak berhak marah, lagipula untuk apa aku marah? apapun yang kamu lakukan aku tidak peduli,"

Karel meraih daguku agar menatapnya karena memang sejak tadi aku bicara tanpa melihatnya. "Tidak sopan bicara tanpa menatap lawan bicaranya, kamu pasti tau tentang itu," tegas Karel.

Aku menepis lengannya, "pergi, aku ingin istirahat," jawabku kembali dengan nada datar.

"Keyla dan Rasya menunggumu,"

"Bilang pada mereka, besok saja mainnya," jawabku. Aku langsung berbaring dan membelakangi Karel.

"Fi.."

"Tolong.. aku lelah.." potongku dengan lirih tanpa menoleh padanya.

Kudengar Karel menghela nafas, "istirahatlah," ucapnya dan setelah itu dia pergi entah kemana. Aku membutuhkan waktu sendiri untuk menetralisir rasa nyeri ini. Setelah semuanya bisa kukontrol, aku baru bisa beraktivitas seperti biasa.

Tidak lama aku langsung jatuh tertidur hingga sore hari saat aku bangun, Karel belum kembali. Yahh apa yang aku harapkan? dia akan tetap di kamar bersamaku padahal ada Rain di luar? haha tidak mungkin.

Aku memutuskan untuk mandi agar lebih tenang. Usai mandi, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Ingin keluar malas, ingin makan tidak nafsu, jadi yang kulakukan adalah bersantai di depan televisi. Mencari acara yang bisa menghiburku.

Drama korea yang beberapa hari tidak ku tonton menjadi pilihan. Saat ini sudah sampai di episode favoritku, air mataku mengalir saat tokoh utama pria di kabarkan meninggal dunia.

Aku mengambil kotak tissue dan meletakkannya di sampingku. "Hiks hiks.. sedih banget si," gerutuku. Tangisan tokoh utama wanita itu membuatku semakin menangis, tanpa sadar sampah tissue berantakan disekitarku.

"Ada apa?" aku menoleh kaget karena sekarang Karel sudah berdiri di sampingku dengan wajah cemas. Kapan dia masuk, sepertinya aku terlalu serius nonton.

Aku mengusap air mataku, ku tunjuk layar televisi sebagai jawaban. Karel duduk di sampingku dan terus menatapku hingga aku merasa risih. "Kenapa sih?" tanyaku yang sudah tidak tahap ditatap seperti itu.

"Kamu menangis karena film?"

"Iya!! kenapa? ingin tertawa? silahkan!" jawabku dengan sinis.

"Aku khawatir, kukira kamu menangis karena Rain datang,"

Aku langsung menoleh pada Karel, ku pasang wajah bingung yang sebenarnya palsu. "Kamu bercanda? menangis karena Rain datang? haha.." aku kembali menatap televisi di depanku, "terima kasih," lanjutku dengan lebih sinis lagi.

Ini sudah petang dan Karel baru kembali, pasti dia menghabiskan waktu dengan Rain. Memikirkan itu aku hanya bisa mencengkram bantal yang ada di pangkuanku.

"Bersiaplah, setelah aku mandi kita akan makan malam dengan Fatar dan yang lain,"

"Aku tidak lapar," jawabku.

"Fian! jangan begini, siang kamu hanya makan sedikit dan sekarang kamu tidak mau makan?" nada suara Karel jelas terdengar menahan kesal. Aku tidak menjawab dan lanjut dengan drama korea di depanku. Ku lirik Karel yang akhirnya menyerah dan berjalan menuju kamar mandi.

Kali ini televisi di depanku seperti tidak berarti apa-apa. Pikiranku kembali kacau padahal tadi sudah lebih tenang. Lebih baik aku kembali tidur dan menenangkan pikiran.

Berbaring di ranjang membuatku lebih rileks, berulang kali kuambil nafas dalam agar emosiku bisa hilang.

"Kamu ingin kubelikan apa? setidaknya makanlah meski sedikit,"

"Tidak usah, aku tidak mau apa-apa,"

"Oke terserah, jangan salahkan aku kalau kamu sakit!" geram Karel.

"Ya, selamat bersenang-senang dengan Rain," ucapku sembari berbalik membelakanginya.

"Hemm, terima kasih," nada itu begitu dingin dan setelah itu kudengar bantingan pintu yang lumayan keras. Aku hanya diam, air mataku menetes perlahan.

"Kenapa gue sensitif banget?" gumamku sembari mengusap air mata.

-------

Aku terbangun merasakan perih di perutku. Ku gigit bibirku menahan perih. Karel sudah tidur nyenyak di sampingku, tidak tau kapan dia datang.

Masih jam satu dini hari, apakah tidak apa kalau aku keluar untuk mencari makan. Yahh mau bagaimana lagi, aku lapar. Aku bangun dengan hati-hati agar tidak membangunkan Karel. 

Ku kira suasana akan lengang, tapi ternyata tetap ramai. Aku berjalan santai mencari tempat makan yang tidak terlalu ramai tapi juga tidak terlalu sepi. Aku menoleh saat merasa ada beberapa orang yang mengikutiku. Benarkan, ada lima orang asing yang memperhatikanku, aku berjalan cepat dan saat sudah agak jauh orang-orang itu sudah tidak terlihat. Huhh aku bernafas dengan lega dan lanjut berjalan santai.

Nasi goreng menjadi pilihan, aku makan dengan santai ditemani alunan musik yang membuatku nyaman. Setelah makan aku tidak langsung pergi, telingaku masih betah mendengarkan musik klasik ini.

"Fian?"

Aku mendongak kaget, "lohh Fatar.."

Fatar tersenyum dan duduk di kursi dekatku. "Mana Karel?"

Aku meringis kecil, gawat. "Emm aku sendiri,"

"Apa?? jam segini kamu keluar sendiri?" aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Karel nggak mungkin memberikan izin,"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "hehe nggak izin, tadi aku lapar jadi keluar aja diam-diam,"

"Astaga.." Fatar tertawa melihatku. "Kalau Karel tau dia pasti marah,"

Benar juga, pasti Karel akan ngamuk. Aku menangkupkan tanganku di depan dada, "tolong jangan lapor Karel ya.. please.." ucapku dengan wajah memohon.

"Haha, santai.." jawabnya sambil tersenyum. Fatar itu pria yang asik, tatapannya lembut dan cara bicaranya juga asik. Dia bisa membuat lawan bicaranya nyaman saat bersamanya. Pokoknya beda jauh dengan Karel.

Aku ikut tersenyum dan kami mengobrol cukup lama. "Ohh iya kenapa kamu keluar jam segini?" tanyaku setelah membicarakan indahnya Bali saat malam.

"Ohh aku mencari gelang kaki Rain yang hilang,"

Aku mengerutkan keningku, "malam-malam begini? kenapa nggak besok aja?"

Fatar kembali tersenyum padaku, "wajah Rain sedih, aku mau saat bangun besok dia tersenyum karena gelang kakinya sudah kutemukan,"

Aku terdiam, hatiku mencelos karena kata-kata Fatar. Fatar benar-benar mencintai Rain, aku yakin suatu saat nanti Rain akan menyesal karena menyakiti Fatar. Rasanya aku ingin berteriak memberitau semua pada Fatar saat ini juga, tapi aku tidak tega membuat pria ini sedih.

"Emm gimana kalau aku bantu cari?" tawarku dengan semangat.

"Haha nggak usah, dari jam sembilan aku sudah cari tapi nihil,"

Mataku melebar, "jadi kamu belum tidur? emang Rain nggak ngelarang kamu nyari gelang kaki itu?"

Fatar mengangkat bahunya, "aku pamit untuk bertemu klien jadi dia nggak melarang,"

Aishh pria ini kenapa baik sekali, tidak cocok dengan si srigala berbulu landak itu. Aku menepuk bahu Fatar, "ayo kita cari, gelang itu harus ketemu!! sayang dong kalau kamu udah nyari lama tapi nihil?" tanyaku dengan mengangkat alis.

Fatar tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kami mencari dengan semangat meski sekarang adalah jam yang paling enak untuk tidur. Tiga jam berlalu tanpa hasil, kami menuju tempat berikutnya. Aku dan Fatar mencari di tempat terpisah agar lebih efisien. Beberapa kali aku menguap, kepalaku juga sudah mulai pusing karena kantuk.

"Huhh belum ketemu juga," keluhku. "Fatar!! kita cari tempat lain, disini tidak ada.." teriakku karena Fatar sedang berada di dekat pantai.

"Kamu kelihatan kacau Fian, kuantar ke kamarmu saja ya,"

Aku menggeleng tegas, enak saja, aku paling tidak suka jika sudah lelah tapi tidak ada hasil. "Ayoo.. tadi selain pantai, Rain kemana?"

"Tadi dia mengajak Rasya ke sana," Fatar menunjuk kumpulan pohon-pohon kelapa dengan rerumputan di bawahnya.

"Untuk apa? pipis?" tanyaku.

Fatar tertawa mendengar pertanyaanku. "Bukan.. Rasya mencari bunglon," jelasnya. Aku hanya berohh ria, yaa pertanyaanku bodoh sih, untuk apa pipis di semak-semak, di sini banyak toilet umum.

"Aku cari di sini, kamu cari di sana.." ucapku. Kembali ku fokuskan pandanganku dengan penerangan dari iphone yang ku genggam.

"Ahhhh.." aku kembali mengeluh karena tidak ketemu juga. Aku sudah menelusup ke rumput sampai rambutku jadi berantakan tapi gelang itu tetap tidak ditemukan. Kaki dan tanganku sudah pegal. Sekarang sudah jam lima lewat, sebentar lagi matahari terbit.

"Fian? wajah dan rambutmu?" tanya Fatar yang langsung duduk di sampingku. Aku mengibaskan tangan, sudah tidak peduli bagaimana penampilanku.

"Kita istirahat dulu," ucapku. Langit di sekitar kami mulai terang. Orang-orang semakin banyak yang berlalu lalang dan memandang aneh kearah kami. Ehh atau kearahku saja. "Fatar aku akan cari disana," ucapku sembari bangkit. Fatar ikut bangkit dan lanjut mencari.

Setengah jam lagi, jika belum ketemu juga aku akan berhenti. Sebentar lagi Karel bangun, bahaya kalau aku belum kembali.

Oke aku menyerah, sudah setengah jam tapi tetap tidak ada. Mungkin sudah ditemukan orang lain. Aku memanggil Fatar yang masih sibuk mencari.

Langkahku terhenti saat merasa menginjak sesuatu. Kuangkat kakiku dan disana, tergelerak di tanah, gelang batu safir biru yang cantik. Aku segera mengambil gelang itu, ciri-cirinya sama seperti yang disebut Fatar. Apa ini gelang Rain, tapi ini adalah tempat aku duduk tadi dan disini tadi jelas tidak ada apa-apa. Mana mungkin gelang ini jatuh dari langit, atau terbawa angin sampai sini.

"Fian.. kamu menemukannya?" tanya Fatar dengan semangat.

Aku mengerjap beberapa kali, "ehh yaa aku menemukannya di sini," jawabku masih dengan ekspresi bingung.

Fatar mengerutkan keningnya, "mana mungkin? tadi kita duduk disini dan gelang itu sama sekali nggak ada," aku memberikan gelang itu pada Fatar.

"Yang penting gelangnya ketemu, ayoo aku harus kembali ke kamar," Fatar memaksa untuk mengantarku meski aku berulang kali menolak.

"Thanks Fi, maaf merepotkan," ucap Fatar sebelum pergi. Aku segera masuk ke kamar, dan sialnya Karel sudah bangun. Dia sedang duduk di sofa yang menghadap jendela. Perlahan aku mengendap-endap menuju kamar mandi.

"Darimana saja kamu?" suara dingin itu membuat langkahku terhenti. Perasaan tadi aku sudah berjalan tanpa menimbulkan suara. Kutegakkan tubuhku dan langsung berbalik menghadapnya.

--------

Author POV

Sejak bangun tidur, Karel cemas karena Fian tidak ada di kamar. Ia beberapa kali menelfon tapi tidak aktiv. Ia takut Fian akan nekat pulang ke Jakarta mengingat sifatnya kemarin.

Karel hanya bisa duduk di sofa dan menunggu Fian. Jika terjadi apa-apa pada Fian maka dirinyalah yang paling bertanggung jawab. Terdengar suara pintu dibuka. Karel tau itu Fian, ia hanya menunggu apa yang akan Fian lakukan.

"Darimana saja kamu?" tanya Karel setelah tau bahwa Fian sama sekali tidak berniat untuk menjelaskan apapun.

Karel kaget saat Fian berbalik, rambut acak-acakan bahkan ada ranting kecil yang nyangkut disana, wajah yang dikotori tanah, dan lingkaran hitam di bawah mata. "Ka-kamu habis berkubang dimana?" emosinya langsung hilang melihat wajah Fian yang sebenarnya sangat lucu.

Fian cemberut berat, ia berjalan menuju kamar mandi. Mulutnya langsung ternganga saat melihat pantuan dirinya di cermin, pantas orang memandangnya aneh. "Kenapa Fatar nggak bilang kalau muka gue dekil gini..." geramnya. Ia memutuskan untuk langsung mandi.

"Kamu butuh air lebih banyak lagi??" tanya Karel dari luar.

"Diam!!!" teriak Fian. Entah, sifat datar dan cuek Karel langsung hilang saat ada kesempatan untuk meledek Fian.

Fian keluar dengan keadaan yang lebih baik, hanya lingkaran hitam di bawah matanya saja yang belum hilang. Ia tersenyum miring saat melihat Karel sedang tidur telungkup di kursi malas. Dengan santai Fian menduduki punggung Karel dan menyalakan televisi.

"Argggg Fian!!" Karel terbangun kaget merasakan beban di punggungnya.

Fian tertawa girang, "rasakan, makanya jangan meledekku terus,"

"Ck bangun! kamu itu berat," gerutu Karel.

Fian menggeleng, ia akan terus duduk di sana sampai puas mengerjai Karel. "Tidak mau! aku kecil, mana mungkin berat," ucapnya dengan santai. Ia justru sibuk mencari chanel yang seru.

Karel menghela nafas dan pasrah diduduki istrinya yang menyebalkan itu. Sebenarnya ia bisa saja bangun tapi itu akan membuat Fian jatuh.

Lama posisi itu membuat Karel pegal dan menggerutu pada Fian meski tidak ditanggapi. Fian terpaksa berdiri karena haus, ia langsung berlari menuju kulkas kecil yang berada di dekat televisi.

Karel langsung duduk dan meregangkan tubuhnya. Matanya menatap kesal Fian yang dengan santai duduk di sampingnya.

Karel mencubit pipi Fian. "Aduhhh lepas Karel!!" rengek Fian.

"Ini balasan untuk tadi," jawabnya. Ia melepas cubitannya dan mengambil camilan yang Fian pegang. Dengan santai ia memakan camilan itu meski dipelototi Fian.

"Jadi? habis dari mana kamu sampai kacau begitu?"

Fian terdiam, bingung harus menjawab apa. "Emm jalan-jalan tapi tadi sendalku nyangkut di rumput, jadi yaa gitu deh karena mau mengambil sendalku,"

Karel jelas tidak percaya tapi ia hanya mengangguk, yang terpenting Fian baik-baik saja sekarang dan sepertinya istrinya ini sudah kembali seperti biasa mengingat hari ini tidak ada wajah sedih seperti kemarin. Yahh semalam, meski samar Karel melihat wajah sedih Fian. Entah karena apa, mungkin Fian sedih karena harus banyak berbohong di depan Fatar.

"Ayo kita akan sarapan dengan Fatar dan Rain,"

Fian tersenyum senang, perutnya memang lapar, energinya terkuras karena berjalan terus untuk mencari gelang kaki Rain. Ohh Fian tersenyum sinis, betapa baiknya dia mau mencari benda milik orang yang dia benci.

"Oke tunggu sebentar," ucap Fian. Ia mengambil kunciran dan mencepol rambutnya. Hari ini ia sudah berjanji akan main dengan Keyla dan Rasya, jika rambutnya digerai pasti akan mengganggu.

------

Fatar dan Rain sudah menunggu di sana dengan Keyla yang duduk di pangkuan Fatar dan Rasya yang sibuk memegang sendok dan garpu tanpa memakan makanannya.

"Hay.." sapa Fian dengan riang.

Fatar menoleh dan tersenyum hangat, "hay Fi," kondisinya tidak jauh beda dari Fian. Mata pandanya juga terlihat jelas. Jelas itu membuat Karel curiga. Kenapa bisa kebetulan sekali.

"Kayanya lo capek banget," pancing Karel pada Fatar.

Fatar terkekeh sebelum menjawab, "yaa lembur dengan klien," jelasnya. Fian memilih duduk disamping Fatar dan menggoda Keyla.

Fian dan Fatar tertawa karena Keyla semangat menceritakan tokoh kartun yang disukainya. Rain dan Karel hanya diam melihat keakraban Fian dan Fatar.

Fatar mendekat dan berbisik pada Fian, "kamu terlihat seperti zombi," kekeh Fatar. Fian melotot dan memukul bahu Fatar.

Fian ikut berbisik pada Fatar, "ngaca om! situ juga kaya zombi! raja zombi malah.." Fatar mengangguk hikmat dan kembali berbisik.

"Oke jadi kita berdua adalah partner zombi? lumayan juga.." Fatar mengucapkan kata itu dengan serius dan setelah itu memasang tampang lucu hingga membuat Fian terbahak.

Keyla mengerutkan keningnya, "papa sama tante ngomongin apa si? Key mau ikut.."

Fian menoleh pada Keyla disela tawanya. "Ehh haha nggak, itu.. Papa kamu bilang kalau sekarang tuyul itu rambutnya panjang! jelas tante nggak terima dong," kekehnya.

Keyla memasang wajah bingung, "emang sekarang rambutnya tuyul udah panjang Pa?" tanya gadis kecil itu dengan polos.

"Iya sayang, sekarang yang botak itu kuntilanak," jawab Fatar sekenanya.

"Kok bisa botak?"

"Yaa karna dicukur dong.." jelas Fian. Rain dan Karel saling melempar tatapan bingung. Perasaan kemarin Fian dan Fatar tidak seakrab ini.

Meja ini dipenuhi tawa Keyla dan Rasya saat Fian bercerita tentang pengalamannya saat kecil. "Iyaa jadi dulu tante main subuh sama temen-temen tante pas lagi pulang kampung, nahh rumah nenek tante itu deket kuburan, tante sama temen tante liat kain putih terbang-terbang yaudah tante lari.. ehh kesandung gara-gara tanta pake sendal tinggi, udah takut-takut sampe jatoh ehh ternyata yang terbang itu mukena yang lagi di jemur.. huhh lagian itu orang malem-malem jemur mukena udah tau rumahnya deket kuburan," gerutu Fian yang masih kesal dengan si pemilik mukena itu. Jika dia tau orangnya maka Fian sudah niat ingin memberi nasihat bahwa menjemur mukena malam-malam itu tidak baik karena bisa membuat orang jantungan.

Keyla tertawa mendengar kekonyolan tantenya ini. Ia senang kenal dengan Fian yang baik dan ceria.

"Itu kamu saja yang bodoh," untuk pertama kalinya Karel membuka suara lagi setelah tadi bertanya pada Fatar. Fian melengos dan mengabaikan ledekan Karel.

Usai makan mereka langsung ke pantai. Rasya dan Keyla semangat mengajak Fian membangun istana pasir. Fatar memilih ikut bermain dengan Fian dan anak-anaknya, sedangkan Rain duduk agak jauh sembari menyiapkan camilan untuk semua. Karel duduk di samping Rain, menemani wanita yang dicintainya itu.

"Fatar kelihatan akrab dengan Fian," gumam Rain. Karel hanya diam, yaa dia setuju dengan ucapan Rain. Dari sini ia bisa melihat Fian yang tertawa lepas sembari mengejar Rasya yang duduk di pundak Fatar.

-----

"Awas yaa kalian..." ucap Fian pura-pura kesal pada Rasya dan Fatar. Fian tertawa sembari mengejar Fatar yang menggendong Rasya. Keyla ikut tertawa meski tadi kesal karena istana pasirnya dirusak papa dan saudara laki-lakinya.

Fian berusaha tetap tertawa riang seperti biasa meski hatinya panas karena tau Karel sedang duduk berduaan dengan Rain. Rasanya ingin berlari kesana lalu menarik tangan Karel dan teriak pada Rain bahwa Karel miliknya dan Rain harus tau diri.

"Tante.. ayo dong bikin istana lagi," Keyla mengguncang lengan Fian yang sedang melihat Karel dan Rain.

"Ehh iya ayo.."

Fatar dan Rasya ikut membuat istana setelah lelah berlarian dengan Fian tadi. "Kamu nggak cemburu ya liat Rain sama Karel berduaan?" tanya Fian tiba-tiba.

Fatar menoleh dan tersenyum mengerti pertanyaan istri sobatnya ini. "Mereka cuma sahabat Fi. Aku, Rain sama Karel itu bersahabat, dari mos SMA kita bertiga selalu main bareng sampai waktu lulus Karel mutusin untuk kuliah di luar jadi tinggal aku dan Rain deh. Satu tahun setelah aku dan Rain menikah baru Karel balik ke Indonesia, jadi ya wajarkan Rain akrab sama Karel? namanya juga sahabat,"

Fian kaget mendengar fakta itu, jadi itu cerita sebenarnya. Dari garis besar itu Fian bisa menyimpulkan sendiri kenapa Rain selingkuh dengan Karel. Ternyata sebelum menikah dengan Fatar, Rain sudah jadi pemilik hati kedua pria tampan itu.

"Ohh hehe iya si," Fian pura-pura membenarkan ucapan Fatar.

"Aku ngerti perasaanmu, tapi percayalah pada suamimu, aku sudah lama kenal dengan Karel, dia itu bukan pria yang suka main-main dalam mengambil keputusan, dia sudah memilihmu untuk menjadi partner hidupnya, menjalani komitmen yang sakral. Berarti dia sangat mempercayai kamu untuk menjadi ibu dari anak-anaknya, jangan khawatir dengan hal yang sederhana begitu,"

Fatar begitu dewasa, saat bicara tidak ada nada menasehati tapi ucapannya bisa masuk ke kepala. Rasanya Fatar dan Karel itu manusia yang sifatnya berbanding kebalik. Fatar yang yang baik, asik, ramah, dan sabar, pembawaannya selalu membuat orang senang. Sedangkan Karel, datar, dingin, galak, dan tidak sabaran, belum lagi saat sifat jailnya muncul, pembawaannya selalu membuat orang lari terbirit-birit.

Ehh tapi bukankah orang sabar itu justru berbahaya? pernah dengar jangan remehkan marahnya orang sabar? yaa jika orang sabar sudah marah maka habislah. Fian terkekeh dalam hati, habislah kau Rain jika Fatar tau yang sebenarnya.

"Bener juga sih, yaa emang apa lagi yang harus aku lakukan selain percaya sama si galak itu? haha susah yaa punya suami ganteng?" canda Fian. Fatar tertawa mendengar candaan Fian.

"Ehh kita foto-foto aja yukk, Rasya sini deket tante," ajak Fian. Ia mengeluarkan iphone dari kantungnya. Mereka berfoto ria dengan berbagai gaya lucu. Fian tertawa melihat hasil fotonya.

"Nanti kukirim semua," ucap Fian pada Fatar yang ikut melihat hasilnya.

"Oke.."

Sekarang mereka berempat memilih bermain lempar bola. Fatar melempar bola menuju putri kecilnya Keyla yang sudah menunggu penuh harap.

"Yeyyy Key bisa nangkep!!" teriaknya girang. Keyla melempar bola menuju Rasya. "Rasya tangkep ya.."

Rasya lompat untuk menangkap bola itu, Fian bertepuk tangan menlihat gaya Rasya yang keren tadi. "Sini lempar ke tante,"

Rasya tertawa dan melempar bola itu tapi bolanya terlempar jauh kearah pepohonan. "Sebentar yaa tante ambil dulu!" teriak Fian sembari berlari.

Saaf akan mengambil bola, kaki Fian tersandung batu hingga jatuh dan hidungnya membentur akar pohon. "Aww.." ringisnya.

Fatar melebarkan mata kaget dan langsung menghampiri Fian. "Kamu nggak papa?" tanya Fatar panik sembari mengulurkan tangan.

Fian meringis kecil dan meraih tangan Fatar yang terulur untuk membantu. "Nggak, hehe udah biasa,"

Fatar tersenyum, "hidungmu memar,"

"Oh ya?" Fian menyentuh hidungnya sendiri dan meringis.

"Ayoo kuantar ke Rain dan Karel,"

"Nggak usah, kamu main sama Keyla dan Rasya aja, aku bisa jalan sendiri," tolak Fian. Ia berjalan dengan tertatih meninggalkan Fatar. Ia ingin lihat apa yang sedang dilakukan Karel dan Rain.

-------

Karel menyipitkan mata saat Fian berjalan pelan kearahnya. Sedetik kemudian dia tau penyebab Fian berhenti bermain.

"Fian kamu kenapa?" tanya Rain yang kaget melihat darah di lutut Fian.

"Cihh biar saja, sana main lagi!" sinis Karel. Rain langsung menoleh mendengar nada sinis itu.

Fian cemberut dan duduk di samping Karel. Ia membersihkan luka di lututnya dengan air. Karel ini bukannya bantu malah marah-marah, batin Fian.

Rain mengambil plaster dari tasnya, "pakai Fi, aku selalu nyediain ini untuk anak-anak jadi maaf ada gambarnya,"

"Thanks," ucap Fian dengan singkat. Plaster itu bergambar binatang gajah yang lucu, khas anak-anak tapi Fian tidak mempermasalahkan itu, tohh siapa yang akan memperhatikan lututnya. Fian langsung menempelkannya ke lutut.

"Satu lagi Rain," ucap Karel. Rain langsung memberikannya pada Karel. Karel menarik lengan Fian agar lebih mendekat padanya.

"Apa?" tanya Fian dengan wajah bingung. Tadi marah-marah, kenapa sekarang menariknya mendekat.

Karel mengusap pelan hidung Fian, "ceroboh," ucap Karel saat melihat Fian meringis. Karel menyiapkan plaster, reflek Fian menutupi hidungnya dengan tangan.

"No!! aku nggak mau," ucap Fian sembari berusaha kabur namun gagal karena Karel merangkul pinggangnya. "Karel.. lepas! aku nggak mau pakai itu!! malu.." rengek Fian.

"Malu apa? sudah sini!" Karel berusaha membuat kepala Fian diam. "Fian! jangan bergerak terus!"

"Nggak!!" Fian tetap menutup hidungnya rapat-rapat. "Nanti aku seperti anak kecil!"

"Memang iya! sekarang diam dan jangan merengek, salah sendiri ceroboh," omel Karel. Fian makin cemberut berat diomeli Karel seperti itu di depan Rain. Karel menghela nafas, dengan hati-hati ia menempelkan plaster ke hidung Fian.

"Karel.. lepas sajaa yaa aku malu.." pinta Fian.

"Kamu terlihat imut, sudah jangan cerewet!" ketus Karel. Saking ketusnya Fian sampai tidak sadar ada pujian dikalimat itu untuknya. Lain dengan Rain yang sadar betul akan itu. Kepala wanita dua anak itu menunduk dalam, kedua pria yang berharga dalm hidupnya memiliki perhatian lebih pada gadis itu.

"Duduk disampingku dan jangan ikut main lagi!" perintah Karel dengan nada tegas. Fian hanya mengangguk lesu dan duduk di samping Karel sembari terus menyentuh hidungnya.

"Jangan sentuh hidungmu terus," Karel menarik tangan Fian dan menggenggangnya karena tau jika tidak begitu tangan Fian akan jail memegangi hidung. Fian sedikit kaget, jantungnya kembali berdetak lebih cepat hanya karena perlakuan sederhana itu.

"Ehh emm sorry, aku nyusul anak-anak ya.." pamit Rain yang akhirnya memilih menjauh. Fian mengerutkan keningnya melihat wajah sedih Rain, dalam hati ia bertanya apakah wanita itu cemburu padanya.

Karel hanya mengangguk sebagai jawaban, ia kembali fokus pada Fian yang memasang wajah bingung. Gadis ini selalu mempunyai banyak ekspresi, batin Karel. Dan faktanya Karel selalu menyukai apapun ekspresi Fian yang sering terlihat lucu.

"Kenapa?" tanya Fian saat sadar dirinya diperhatikan. Karel hanya mendengus dan menatap Rain mulai bermain dengan keluarganya.

Siang ini mereka makan bersama si restoran yang Fian dan Karel kunjungi saat pertama kali tiba di Bali. Keyla dan Rasya terus saja berceloteh menceritakan semua permainan yang tadi dimainkan.

"Karel? apa sekarang sudah boleh dibuka?" tanya Fian untuk ke tiga kalinya sejak tiba di restoran. Ia malu karena beberapa orang tersenyum melihatnya.

"Tidak," Karel lanjut makan dengan santai dan sesekali mengajak bicara Rasya.

"Kalau sekarang?" tanya Fian setelah lima menit berlalu.

"Tidak." Fian tertunduk lesu dan mengaduk makanan di depannya. Sejak tadi itulah yang dia lakukan. Hanya mengaduk spaghetti di piringnya.

"Karel.. kalau sekarang boleh kan?" wajahnya memelas. Ia menarik-narik ujung t-shirt Karel.

"Fian!" teriak Karel. Semua menoleh kaget, sadar akan hal itu Karel segera memejamkan mata dan menghembuskan nafas, "bertanya lima menit sekalipun aku akan tetap menjawab tidak. Sekarang makanlah makananmu dan jangan bertanya," ucap Karel dengan nada sabar.

Fian semakin cemberut dan meletakkan sendoknya. "Aku tidak mau makan,"

Karel memijat kening, kelakuan istrinya ini membuat kepalanya pusing.

Fatar tertawa melihat wajah prustasi sahabatnya. Baru kali ini ia melihat Karel pusing karena wanita, biasanya pekerjaanlah yang membuat Karel memasang wajah prustasi.

"Tante kenapa? ngambek ya?" tanya Keyla dengan polos.

Karel tersenyum dan mengacak rambut gadis kecil itu. "Tantemu membuat om pusing," adu Karel. Fian mendelik kesal, memangnya disini siapa yang salah.

"Tante cantik pake itu, jangan ngambek lagi yaa.." hibur Rasya. Fian menatap Rasya dengan berkaca-kaca, akhirnya ada yang menghiburnya. Fatar dan Rain tertawa melihat tingkah Rasya yang berperan sebagai orang dewasa untuk Fian.

"Sudah-sudah.. kalian ini, makanlah Fian, jangan membuat pusing suamimu," ucap Rain.

Fian menggeleng tegas, "aku tidak akan makan,"

Karel memutar matanya, "biarkan saja dia Rain. Awas kalau kamu merengek lapar nanti," ancam Karel. Fian menghentakkan kaki kesal dan pergi menuju resort.

Sembari berjalan Fian terus menggerutu, bagaimana bisa dia memiliki suami yang super menyebalkan seperti Karel. "Arrgg gimana gue mau ngambil hatinya??" teriak Fian yang tidak peduli orang sudah memandang aneh dirinya.

Bukkk

Fian jatuh terduduk, ia meringis kecil.

"Maaf Nona, kau tidak apa?" suara bariton itu membuat Fian mengerutkan kening. Fian mendongak dan mendapati seorang pria yang menggunakan topi dan kaca mata hitam.

"Ohh nggak, maaf yaa tadi saya nggak liat," ucap Fian malu-malu.

Pria itu membantu Fian bangun dan berdiri kikuk saat Fian mengucapkan terima kasih padanya.

"Emm maaf Nona saya harus pergi, permisi," pria itu menunduk dan berjalan cepat meninggalkan Fian. Fian hanya bisa menatap kepergian pria itu dengan tatapan bingung.

"Pria aneh.." gumamnya.

********

So? gimana pendapat kalian di part ini?

see you in the next chapter ;)

Anddddd happy weekend guyss!!!! :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top