Terasa Baru Kenal
"Loh, Eren? Di sini juga?" Fay kembali dari kamar mandi. Wajahnya sudah bersih dari air mata dan kembali segar lagi meskipun masih ada bekas kemerahan di ujung hidungnya. Langkahnya terhenti tak jauh dari tempat Eren bersembunyi.
Lelaki itu langsung menegakkan badannya. Matanya melebar dan menatap Fay beberapa detik sebelum dia berlagak seperti kehilangan sesuatu. Tangan dan kakinya bergerak gelisah meskipun tetap terlihat tenang. Dia berdehem, melegakan tenggorokannya yang tercekat karena tertangkap basah.
"Hehehe. Iya. Lagi cari buku buat bikin resensi pelajaran Bahasa Indonesia." Jawaban asal itu membuatnya harus berakting. Dia melongok-longok di antara jajaran buku yang ada di depannya. Tangannya terulur untuk menyela di antara buku-buku tersebut, berlagak mencari referensi.
Fay mengangkat alisnya, maklum. "Emang mau bikin resensi buku apa? Enggak novel aja?" Dia mendekat. Matanya menangkap tulisan yang terpampang jelas di rak tersebut 'Astronomi'. "Wah, ketua kelas emang beda level. Mau bikin resensi aja pakai buku astronomi." Gadis itu ikut melihat-lihat dan memegangi buku yang berjajar itu.
Mampus. Mana tahu Eren tentang astronomi. Dia memang tidak bodoh, sih. Dia juga tahu tentang polaris yang ada di ursa minor atau rasi bintang dua belas zodiak. Namun kalau ditanya tentang jarak bumi ke semua planet yang ada di tata surya, masih sering tertukar. Apalagi tentang supernova, hipernova, cincin lubang hitam, dan apalah itu. Bisa-bisa kepalanya pecah.
Akan tetapi dengan senyuman ramah nan manis, ketua kelas yang sangat loyal itu menarik kembali tangannya. Dia menghadap gadis di sebelahnya dengan gerak santai. "Gak usah sok merendahkan diri. Kalau aku aja sampai pakai buku astronomi, mungkin kamu udah pakai buku undang-undang atau buku biologi yang tebalnya enggak ukuran itu."
Fay tertawa. "Aku enggak segila itu buat dapat nilai sempurna, Eren. Mending aku cari novel aja buat resensi. Lebih gampang. Yang penting ngerjain tugas, kan?"
Eren melihat cara gadis itu tertawa. Sangat lepas meskipun tanpa suara keras. Seperti tidak ada masalah apa pun yang menimpanya tadi. Jujur, Eren terkesiap. Bagaimana bisa ada orang yang cepat berubah seperti itu? Dia pun mengulaskan senyuman, sebagai ungkapan rasa takjubnya sekaligus menjawab pertanyaan Fay sebagai persetujuan.
"Emang kamu mau pakai novel apa buat tugas?"
"Hmm, aku pernah baca novel bagus milik sepupuku. Tapi, aku juga lupa judulnya apa."
"Tunggu, berarti kamu belum kerjain tugas?"
Fay menyengir dan menggeleng.
Eren mendengkus kesal yang dibuat-buat. Seperti orang yang menahan marah tapi hanya untuk bercanda. "Dasar. Aku kira kamu sudah kumpulin tugas. Meskipun aku enggak sehebat kamu, tapi aku juga enggak mau kalah."
"Iya. Iya. Ambisius banget, sih."
Eren hanya tersenyum. Dia sebenarnya tidak suka bersaing. Tidak sama sekali. Hanya saja dia memiliki alasan dan keharusan untuk mendapatkan nilai tinggi meskipun tidak akan pernah sesempurna milik gadis yang sedang bersamanya ini. Paling tidak, dia akan tetap berusaha untuk menyamai.
"Astaga. Ternyata kamu di sini." Suara bisikan tapi ngegas itu berasal dari belakang punggung Fay. "Kebiasaan banget kalau dapet temen, aku ditinggal." Eliana, menarik telinga Fay main-main. Tidak sakit, tapi reaksi teman sebangkunya itu sangat berlebihan sampai Eren melerai mereka.
Eliana melepaskan tangannya. Dia manyun dan memicingkan matanya ke Eren, membuat lelaki itu terdiam dan bertanya-tanya apa yang salah dengan tindakannya. Fay hanya tertawa. Eren sungguh lelaki yang baik hati.
"Jangan dianggap serius, Ren. Kita, kan, emang orangnya kayak gini kalau lagi berdua." Fay menepuk-nepuk pundak ketua kelasnya, menenangkan. Sepertinya badan lelaki itu menjadi sangat kaku.
"Asal kamu tahu, aku sama dia suka cakar-cakaran." Eliana dan mulut ngawurnya memang masuk dalam daftar sesuatu yang harus dipenjarakan.
Eren lagi-lagi tertegun dengan ucapan teman sekelasnya itu. Wajahnya langsung berubah menjadi penuh dengan tanda tanya seram. Matanya menatap horor ke kedua gadis tersebut. Yang biasa dia lihat di kelas adalah dua gadis yang duduk sebangku ini suka mengerjakan tugas bareng. Kadang mereka berbicara tapi tidak begitu ramah juga.
Eliana puas melihat reaksi lelaki itu. Dia merangkul pundak Fay dan menarik tangan Eren untuk berjalan bersama, meninggalkan perpustakaan. Dia tadi sekilas melihat ada beberapa mata yang melirik mereka dengan sangat tajam. Dia harus segera menyelamatkan nyawa mereka sebelum ditelan oleh para kutu buku yang menyukai kesunyian.
"Karena muka kamu sudah sangat menghibur, Ren. Aku bakalan traktir kamu kebab." Eliana menggiring dua temannya ke stan kebab yang ada di ujung kantin.
"Tapi aku enggak suka kebab." Jawaban polos Eren yang sangat jujur itu membuat Eliana menghentikan langkahnya. Untung saja mereka baru sampai kantin, belum di depan penjual kebab.
Eliana berkacak pinggang dan memasang wajah bete. Fay melirik ke Eren. Seperti yang diharapkan, wajah lelaki itu penuh rasa bersalah, lebih ke ... astaga, polos sekali. Gadis itu terkekeh.
"Jangan didengerin, Ren. Eliana suka gitu. Dia cuma mau beliin makanan yang enggak kita suka." Fay menarik lengan seragam Eren agar sedikit maju, memberikan akses jalan untuk siswa yang lain.
Pundak Fay digeplak Eliana. Membuat gadis itu merintih meskipun tidak benar-benar merasa kesakitan. "Aku enggak sepelit itu juga kali." Eliana tidak terima.
Eren tambah bingung dengan dua teman gadisnya ini. Dia jadi merasa tidak enak. Karena dirinya mereka malah bertengkar. "U-udah. Enggak papa, kok. Aku bisa beli jajan sendiri, kok. Aku bawa kartu kantin juga." Dia menunjukkan kartu pembayaran kantin yang dimiliki oleh setiap murid di sekolah ini.
Fay dan Eliana saling memandang heran lalu mengalihkan pandangannya ke Eren. Selanjutnya, mereka tertawa. "Astaga, Pak Ketua Kelas!" histeris mereka gemas dengan wajah Eren yang terlihat tertekan itu.
"Kenapa kamu enggak kapok, sih? Jadi gemas sendiri. Eliana cuma bercanda, Ren. Dia bakalan bayarin, kok. Jangan terlalu tegang, Eren." Fay tidak tega kalau terus seperti ini. Dia yakin setelah ini Eren akan menjadi sasaran kejahilan Eliana selanjutnya.
"Easy, man. Aku juga enggak bakalan ingkar janji."
Eren masih terlihat tak enak. "Enggak. Beneran aku bayar sendiri aja."
Tanpa pikir lama, Fay mengambil kartu kantin Eren dan meletakkannya di saku dada. "See? Enggak ada penolakan lagi."
Lagi-lagi Eren tertegun dengan kelakuan gadis itu. Dia memiringkan kepalanya dan menutup mata. Bibirnya tersenyum kalah. "Oke. Oke. Kali ini aku ditraktir. Lain kali, aku yang traktir kalian."
Eliana mengacungkan telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. "Enggak ada balasan lagi. Ini aja karena kamu udah baik hati nengok kucing ini di perpus." Kepala Eliana oleng. Ujung rambutnya ditarik oleh Fay.
"Aku beruang, ya. Kalau keluarga kucing, aku singanya."
Absurd.
Eren menatap dua gadis yang sekarang bercek-cok lagi itu dengan tatapan tak percaya. Dia kira, dia sudah mengenal setiap anggota kelasnya dengan baik. Ternyata ada yang terlewat. Dia seperti tidak mengenal Fay si pintar nan rajin, peraih nilai tertinggi ataupun Eliana si anggun nan cantik, penyita perhatian cowok kelas lain. Apa yang dia hadapi dari tadi malah membuatnya seakan bertemu orang baru.
Mereka berdua sama barbarnya saat bersama. Seru juga.
***
Suasana kantin sangat tenang. Terdengar dentingan alat makan dan percakapan orang yang sedang menikmati makanan mereka. Begitu pula dengan Fay, Eliana, dan tentu saja Eren yang baru bergabung dengan duo berjiwa barbar.
Eren duduk di depan Eliana sebelah tembok pas. Sedari tadi dia memandang Fay yang masih menyimpan kartu kantinnya. Dia harus mendapatkannya kembali dan membayar makanannya sendiri nanti.
"Fay," panggil Eliana agak ngegas. Eren yang termenung jadi kaget dan mengedipkan matanya beberapa kali.
"Hmm?" Fay menggigit ayam krispi yang dia tusuk dengan garpu. Kedua alinya naik.
"Ketua kelas kita ternyata enggak sopan sama cewek. Dia ngelihatin kamu terus." Eliana menunjuk ke arah dada teman sebangkunya.
Fay terkekeh dengan mulut yang masih menggigit ayamnya. Dia melihat Eren yang salah tingkah. Dengan cepat, dia menyenggol lengan Elia dengan sikunya. "Udah, El. kamu bikin Eren jantungan mulu dari tadi."
Eliana tertawa melihat wajah Eren yang berubah seperti tomat, merah.
"Kalian memang biasanya seramai ini, ya?" Eren mendengkus, sedikit membuang wajahnya yang memerah malu.
"Maaf, ya, Ren. Eliana emang kayak gitu. Jangan tertipu lagi sama muka dan penampilan dia. Enggak mencerminkan sama sekali." Fay mendapatkan cubitan di pipi kanannya yang penuh dengan ayam.
"Enggak akan aku bayarin punya kamu," ancam Eliana setelah melepaskan jarinya.
"Enggak papa. Ada kartunya Eren. Tenang aja," jawab Fay enteng, tanpa dosa, apalagi beban. Dia menepuk saku di dadanya.
"Iya, enggak papa. Pakai aja," kata Eren ikhlas dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ketua kelas idaman.
Serempak, Fay dan Eliana memutar bola matanya malas. "Cowok pengertian kayak dia enggak seru. Terlalu serius kalau ngomong." Bahkan ucapan mereka berdua sangat serempak sambil mengibas-ngibaskan tangannya melintang di leher.
Keseruan percakapan mereka sedikit teredam oleh suasana kantin menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Perhatian para murid yang ada di sana teralihkan ke sebuah rombongan berisikan lima lelaki yang baru saja mendapatkan makanan yang mereka inginkan dan hendak mencari tempat duduk. Bisa dibilang, mereka adalah kumpulan lelaki yang disegani di sekolah.
Mereka adalah para murid yang penting di sekolah; Hyuga dan Jilian adalah anak basket; Sukma, Aros, dan Haikal adalah anggota OSIS. Mereka disegani bukan hanya karena visual, namun juga karena bakat. Terlebih lagi di antara mereka ada menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS. Satu catatan lagi, mereka masih kelas sepuluh, satu generasi dengan Fay, Eliana, dan Eren.
Fay menoleh sejenak ke sumber fokus orang-orang di kantin, begitu juga dengan Eliana dan Eren. Tapi, Fay segera menarik pandangannya dan memilih untuk menyuap makanannya lagi. Alasan lain untuk menyembunyikan wajahnya dari lima orang itu.
"Geng famous emang beda, ya?" Eren asal berucap, bukan untuk mendapatkan sebuah jawaban.
"Kamu mau terkenal kayak mereka?" Fay bertanya balik dengan nada sedikit mengingkari.
Eren hanya melipat bibir dan mengedikkan bahunya. Pipinya jadi agak menggembung. Dia menikmati makanannya lagi. Ada sesuatu yang membuatnya ingin terus melihat ke arah lima murid terkenal itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top