Nama Baik

Fay dikeluarkan dari kelas lagi. 

Kali ini dia hanya mengambil pensil dari tempatnya dan Bu Aya langsung memberi perintah kepadanya untuk keluar. Padahal, sudah lima hari ini dia tenang dan mengikuti kelas seperti biasa karena tidak ada pelajaran Bu Aya. 

Jantungnya berdetak sangat kencang, ingin protes. Akan tetapi, tatapan mata Bu Aya seperti mengatakan bahwa laporan kedisiplinan ada di tangan guru tersebut.

Fay tidak jadi melakukan perlawanan. Dia mengemasi barang dan keluar kelas, menuju perpustakaan. Eliana sempat menahan dirinya tapi dia melepaskan genggaman tangan teman sebangkunya tersebut. Sekarang yang terpenting adalah laporan sekolahnya yang akan dibaca Martin. Tak apa dia keluar, yang penting laporannya tetap baik.

Di perpustakaan, Fay duduk di tempat kemarin. Tempat yang paling tersembunyi. Tidak ada buku di atas meja penjaga yang harus dirapikan. Jadi, dia hanya duduk di bangku kosong, di balik rak buku ekonomi. Dia menatap ke sekeliling. Rasanya engap. Dia ingin menangis tapi tidak bisa. 

Tiga hari kemarin, wali kelasnya memanggil. Dia diberi nasihat untuk tidak melawan atau banyak tanya di pelajaran Bu Aya. Sebagai gantinya, laporan kedisiplinan kelasnya akan aman. 

Tapi, rasanya seperti membohongi kakaknya lagi dan lagi.

Fay mengusap wajahnya yang terasa kebas. Jujur dia khawatir jika Haikal mengetahui bahwa dia di sini dan mengadukannya ke Martin. Saat ditanya kemarin, dia berkilah saja. Dia mengatakan kepada sepupunya itu bahwa dia diminta oleh Bu Aya untuk ke perpustakaan. Kalau dia mengatakan yang sebenarnya, bisa-bisa Haikal yang tak mempunyai takut itu malah membuat rumit masalahnya.

Untungnya, sekarang Fay membawa gawai di sakunya. Meskipun hatinya sedang gundah dan khawatir dengan nasibnya ke depan, gadis itu mencoba untuk tidak menghiraukan. Dia harus mencari pengalihan. Mungkin dengan musik, dia akan merasa lebih tenang. Dia mengeluarkan headset dari tempat pensil yang dia bawa.

Lagu daily playlist-nya diputar.

Gadis itu menenangkan diri sejenak sebelum akhirnya berjalan di antara rak-rak buku. Terkadang dia akan berhenti untuk membenahi letak buku yang tidak simetris. Dia juga membawa beberapa buku yang terlihat menarik untuk dibaca.

"Meskipun tidak ikut kelas pendidikan sosial Bu Aya, aku bisa membaca yang lain," pikirnya. Sekalian juga dia mengambil buku tentang ilmu sosial, hitung-hitung untuk menambal pelajaran di kelas.

Dia pun mulai membaca buku yang diambil dengan iringan lagu yang masih mengalir indah di telinganya. Pena dan buku menjadi teman selanjutnya untuk membuat rangkuman yang dia baca.

Satu buku. Dua buku. Tiga buku.

Gadis itu melihat jam yang melingkar di tangan kanannya. Waktu istirahat hampir datang. Dia pun merapikan buku-buku yang telah diambil, kembali ke tempat masing-masing. Sebenarnya dia masih belum selesai dengan buku sosialnya. Dia lupa terakhir pembahasan yang disampaikan apa. Mungkin lain kali dia akan menulis daftar apa saja yang perlu dia baca di perpustakaan. Lagi pula, dia sudah tiga kali ini tidak masuk di kelas Bu Aya. Mau bertanya ke Eliana tentang apa yang disampaikan di kelas pun, sama saja. Temannya itu pasti hanya menjawab dengan sekedarnya.

"Fay Rose!" Panggil seseorang dari pintu perpustakaan.

Fay segera menampakkan diri. Dia belum selesai mengembalikan buku. "Iya?" Benar dugaannya, yang memanggilnya adalah Eren.

Eren mendekati gadis itu. "Kamu sudah selesai menata buku?"

"Belum." Fay menggeleng dengan wajah tanpa dosa. 

"Mau aku bantu?" 

"Ini buku yang aku pinjam sendiri. Bukan buku yang bertumpuk di atas meja untuk dikembalikan."

Eren mengangguk paham. "Sudah bisa lebih menerima hukuman yang tidak masuk akal ini?" tanyanya berhati-hati.

Fay terdiam sejenak. Kemudian dia mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Ada enaknya juga bisa baca sesuka hati. Tapi, ya, gitu. Nama baikku jadi taruhan."

Eren menatap gadis yang ada di hadapannya ini. "Peduli nama baik?" Dia merasa tidak asing dengan kekhawatiran ini.

"Tentu." Fay memicingkan matanya. "Memangnya kamu tidak?"

"Harus peduli enggak, sih, demi menjaga nama baik keluarga kita?"

Gadis itu mengangguk. Dia berjalan kembali, menuju rak buku yang dia pinjam. "Apalagi kehidupan kita penuh dengan tuntutan."

Eren merasa takjub dengan ucapan Fay yang sebenarnya biasa saja itu. Dia seakan menemukan orang yang mengalami kehidupan yang sama dengan dirinya. "Banyak tuntutan dari orang tua, ya?"

Fay mengulurkan tangan, meletakkan buku di tempatnya. Dia tersenyum kecil. "Bukan orang tuaku yang menuntut, Ren, tapi kehidupan yang harus aku jalani."

Lelaki yang selisih tingginya hanya sepuluh sentimeter dengan gadis yang sedang bersamanya itu, termenung. "Kehidupan yang menuntut?"

Fay mengangguk. "Aku hanya berdua dengan kakakku yang harus mewarisi banyak materi peninggalan orang tuaku. Kami harus bekerja dan belajar lebih keras demi memiliki reputasi yang baik."

Eren tertegun. Ternyata ada juga teman sekelas yang merasakan beban seperti ini. "Sama." Lelaki itu tetap membuntuti Fay. "Aku juga begitu. Orang tuaku pengusaha sukses. Kakakku juga sudah punya perusahaan di ibu kota. Sedangkan aku ... nilai tertinggi di kelas saja hanya pernah meraihnya satu kali di Junior High School."

"Hampir semua keluarga pebisnis begini, ya?" Fay melontarkan pertanyaan sarkastis untuk kehidupan mereka berdua. "Dikengkang banget enggak, sih?"

Ucapan Fay barusan terdengar sebagai candaan di telinga Eren. Lelaki itu setuju. "Benar. Rasanya kayak mau mati."

Fay selesai mengembalikan buku. Dia menghadap ke Eren. "Tapi, jangan mati. Ayo jalani ini sampai kita bisa maki balik kehidupan."

Eren tertawa. "Oke. Aku akan semangat juga menjalani hidup meskipun harus mendapatkan tekanan sana sini."

"Kamu terlalu baik, sih, untuk mendapatkan tekanan. Memang siapa orang yang tega menekan kamu seperti ini?" Fay menempelkan jari telunjuknya ke lengan Eren dan menusuk kulit lelaki itu.

Lagi, Eren tertawa. "Kamu ini selalu bisa membalikkan pembicaraan. Aku sedang serius."

Fay tersenyum. Dia juga sedang serius. Serius untuk tidak membahas masalah tekanan hidup yang membuatnya kewalahan setiap hari. Sudah mending tadi dia lebih tenang dengan membaca buku sambil mendengarkan musik. Dia tidak ingin kepikiran lagi. "Ayo ke kelas, Ren. Eliana tadi ke mana?"

"Emang Eliana enggak ke sini?"

"Kamu yang pertama ke sini setelah bel istirahat."

Kalau sekarang, sudah ada banyak murid yang masuk ke perpustakaan.

"Tadi aku lihat dia keluar kelas juga."

"Ih, bocah itu. Minta dijewer. Masa temennya kesusahan dia enggak samperin. Nanti kalau ditanya Eliana, aku di mana, bilang aja aku males ketemu dia." Fay mengambil peralatan tulisnya.

"Katanya berbohong tidak ada gunanya." Eren masih mengingat apa yang dikatakan oleh Fay tempo hari.

"Tapi kalau untuk ngerjai Eliana, itu sangat berguna."

Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari perpustakaan.

Belum saja berjalan jauh, mereka malah dihadang oleh gadis yang hendak dijauhi oleh Fay itu. Eren hanya bisa terkekeh melihat wajah bete Fay.

"Kayaknya aku harus pergi dari sini, deh. Aku bakalan mengganggu perang kalian."

Fay menatap Eliana dengan nyalang. "Masih inget temen?"

Eliana memasang wajah melas. Dia langsung menggandeng teman sebangkunya. "Strawberry milkshake plus ayam goreng. Aku bakalan teraktir."

"Oke."

Memang kalau sudah klop, tidak perlu banyak bicara.

"Habis dari mana?" tanya Fay di tengah perjalanan mereka ke kantin.

"Tadi ada urusan sebentar."

"Lebih darurat daripada aku?"

Eliana memperlihatkan giginya.

Fay tidak bertanya lagi. Tidak semua urusan Eliana harus dia ketahui.

Di kantin, Fay duduk berhadapan dengan Eliana. Tidak ada tempat kosong yang berjajar, jadi mau tidak mau mereka harus seperti orang pacaran yang duduk saling menatap. Mana tempat mereka di ujung dekat jalan lagi.

Fay meletakkan alat tulisnya di atas meja. Dia berbicang dengan Eliana sambil menunggu pesanan datang.

Bruk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top