Lembaran dari Ketua Kelas
Fay sedang berkutat dengan kesibukan hariannya di dapur, sedang membuatkan Martin minuman. Martin tidak suka kopi, maka sehari-hari Fay akan membuatkan segelas susu hangat untuk kakaknya saat sarapan.
Biasanya Martin akan turun dari kamarnya lebih pagi dari dirinya. Lalu lelaki itu akan berolah raga pagi seadanya di halaman belakang rumah atau lari mengelilingi komplek. Namun, ini telah lewat jam tujuh dan lelaki itu belum terlihat batang hidungnya. Tidak ada suara pula dari kamarnya. Fay jadi kepikiran dengan kejadian kemarin. Apa Martin masih tidur? Atau lelaki itu benar-benar marah kepadanya, ya?
Gadis tersebut melihat meja makanyang sudah penuh makanan sambil menghela napas dalam. Kalau tidak ada kejadian kemarin, dia akan langsung menyelonong ke kamar kakaknya dan membangunkan lelaki itu. Dia akan mendusal terlebih dahulu dengan leluasa. Tapi, sekarang dia tidak berani.
Jujur saja teguran termasuk hal yang cukup mencoreng dirinya. Dia terbiasa dilatih untuk patuh dan teladan. Tapi, bukan itu yang sebenarnya terjadi kemarin. Dia tidak ditegur karena berisik melainkan dia dikeluarkan dari kelas. Sungguh hal yang berat di mata Martin yang lebih patuh daripada dirinya.
Akhirnya gadis itu memutuskan untuk mencuci peralatan masak sambil menunggu Martin keluar kamar. Tidak mengapa jika dia harus menunggu lebih lama, sekolahnya cukup dekat dan jam masuk pelajaran pertama masih satu setengah jam lagi.
"Kenapa enggak bangunin aku?"
Fay terperanjat kaget dengan bisikan di sebelah telinganya serta pelukan dari belakang yang mendekap tubuhnya. Gemericik air kran membuatnya tidak bisa mendengar apa pun tadi.
"Kamu ketiduran?" tanya Fay ragu. Badannya terasa membeku. Martin sering memeluknya dari belakang seperti ini. Akan tetapi, kali ini rasanya berbeda. Canggung, tidak enak sekali.
Martin menjawab dengan deheman dan menenggelamkan wajah ke bahu adiknya. "Tadi malam aku harus selesein tugas kuliah sekalian tugas yang dikasih sama Om Yanuar. Heran, kenapa aku masih dikasih kerjaan di semester empat ini."
Fay mengulum senyuman. Martin masih cerewet, berarti lelaki itu tidak sedang marah. "Aku udah bikinin kamu susu, Martin. Minum dulu, deh. Aku mau selesein ini."
Martin mengecup kepala adiknya dan menghidu wangi shampoo gadis tersebut. "Oke, Tuan Putri." Lalu dia melepas pelukannya dan duduk di tempat biasanya di ruang makan.
"Bibi Ranti enggak ke sini?" tanya Martin yang sudah mencomot salah satu menu sarapan di atas meja makan.
"Enggak. Kemarin, katanya Bibi, dia ada urusan di sekolah anaknya."
Martin mengangguk mengerti. Dia memandang punggung gadis yang sangat disayanginya itu. Dia merasa ada jarak tipis antara dirinya dengan Fay. Adiknya tidak secerewet biasanya. "Ayo makan, Fay. Sisanya biar aku aja yang bersihkan nanti."
"Iya, sebentar lagi selesai." Fay mematikan kran dan menanggalkan celemek yang dia kenakan. Pandangannya bertemu dengan milik kakaknya saat dia mengambil tempat di hadapan lelaki itu. Sangat sendu. Dia merasa ada kabut di pagi hari ini.
"Kamu enggak enak badan?" tanya Martin memecah keheningan. Tangannya sudah terulur ke kening Fay.
Gadis itu terdiam. Dia menghentikan gerakannya mengambil lauk. Dia memandang kakaknya. "Kenapa?"
"Kamu lebih diam daripada biasanya. Aku takut kalau kamu sakit dan aku enggak tahu." Senyuman Martin membuat hati Fay menghangat. "Lagian kamu kenapa masak banyak kayak gini pas enggak ada Bibi. Nanti kalau malah kecapekan dan ganggu sekolah kamu gimana?"
Fay tersenyum lebar. Wajahnya terlihat riang kembali. Kecanggungan yang dia rasakan ternyata hanya sepihak. "Enggak akan. Kamu tahu sendiri staminaku enggak main-main juga."
"Stamina? Kamu enggak pernah suka diajakin jogging. Males olah raga gitu bahas stamina?"
Pipi Fay menggembung. "Kamu pikir aku bersih-bersih rumah setiap pagi itu bukan rutinitas meningkatkan stamina? Lagian, bersih-bersih juga butuh tenaga dan skill."
Martin tertawa mendengar adiknya protes. Ini yang dia mau. Tidak ada dinding di antara mereka. "Skill apanya," dia meneruskan mencibir.
"Kalau enggak punya skill bersih-bersih itu bakalan enggak beres dengan cepat kerjaannya. Lagian ...,"
"Selamat makan." Martin sengaja memutus perkataan adiknya dan menyuap makanannya setelah berdoa. Yang penting adiknya sudah kembali banyak omong seperti biasa.
Fay mendengkus. Selalu saja seperti itu. Martin menghentikan pembicaraan dan mulai makan, membuatnya yang masih ingin beradu argumen malah berakhir diam, memandangi kakaknya dengan tatapan tajam, lalu ikut berdoa sebelum makan. Tapi tak apa. Setidaknya dia sekarang tahu bahwa Martin tidak mempermasalahkan dirinya yang (berbohong) ditegur di kelas kemarin.
***
Para murid Nusa Bangsa High School berjalan memasuki gerbang. Waktu sekarang menunjukkan pukul delapan, masih ada setengah jam lagi untuk masuk kelas. Fay membawa tasnya di pundak dan melangkah dengan ringan. Dia siap menyambut pelajaran dan kelasnya hari ini.
"Pai coklat stroberi!" Itu bukanlah teriakan penjual kue yang magang di depan sekolah pada umumnya. Nusa Bangsa High School tidak mengijinkan penjual mana pun untuk menjajakan jualan mereka di depan gerbang. Kalau mau berjualan, ada kantin yang menyediakan tempat tersendiri untuk para penjual, tentu saja ada seleksi.
Fay hampir terjungkal jika dia tidak menahan berat badan orang yang merangkulnya tanpa kira-kira itu, Eliana. "Tumben banget berangkat jam segini. Biasanya aja berangkat sejam sebelum masuk."
"Ih, berat. Kamu ngagetin aja," kesal Fay. Dia menghirup udara dalam dulu untuk meredakan kekesalannya. "Aku nunggu kakakku yang ketiduran buat sarapan bareng."
"Kamu udah cerita tentang kemarin ke kakak kamu?" tanya Eliana penasaran, antara antusias dan juga was-was. Dia tahu bagaimana Fay yang sangat ketakutan dan khawatir saat dikeluarkan dari kelas kemarin.
Fay mengangguk. "Udah." Dia menatap lurus jalan yang ada di depannya. "Tapi aku bohong."
"Lah? Kok bohong?"
"Karena aku takut kalau jujur, kakakku bakalan lebih kecewa."
Eliana tersenyum paham lalu merangkul pundak teman sebangkunya lagi di sepanjang perjalanan ke kelas. "Gak papa. Itu pasti hukuman pertama dan terakhir. Lagian, aneh juga dihukum cuma karena penghapus jatuh."
"Iya, enggak kayak kamu yang udah langganan."
"Ih, gak boleh doain. Aku ini kalem." Eliana berkacak pinggang dan menghentikan jalannya. Dia menghadap temannya yang mengiyakan ucapannya sambil mengulum senyuman.
Eliana puas. Dia tertawa bahagia. Fay tahu cara membuatnya senang. Memang teman terbaik. "Boleh enggak, sih, aku angkat kamu jadi sahabat?"
"Enggak," jawab Fay cepat. "Kalau kamu masih mau temenan sama aku, ya, temenan aja. Enggak usah lebay pakai bilang aku sahabat kamu."
Eliana mencubit pipi Fay. Yang jadi korban segera melepaskan diri dari tangan berdosa itu. Dia segera melangkah dengan cepat memasuki kelas, meninggalkan Eliana yang sedang mengentak-entakkan kakinya. "Woi, tunggu!"
Fay tersenyum jahil. Membuat Eliana yang terkenal cantik dan elegan, menjadi sebal adalah jalan ninjanya. Jarang-jarang gadis cantik itu meninggikan suara atau urakan, kecuali jika mereka sedang berdua.
Fay meletakkan tasnya di atas meja. Dia melihat sekeliling sejenak. Keadaan kelas masih seperti biasanya. Ada yang berbincang, berias, bercanda, merekam video, dan satu lagi kegiatan yang tidak boleh tertinggal, menyontek pekerjaan rumah dari teman. Baiklah, untuk yang terakhir, tidak boleh dicontoh.
Gadis itu menghela napas dalam. Tidak ada yang berubah. Mungkin hanya perasaan dan kekhawatirannya saja yang berlebihan. Dia bahkan kepikiran kalau teman-temannya akan membicarakannya di belakang. Mungkin teman-temannya juga tidak mempermasalahkan kejadian kemarin.
Dia mengedikkan bahu lalu mengeluarkan alat tulisnya.
"Dibilang tunggu, kok, malah ditinggal," protes Eliana yang baru saja masuk kelas. Dia langsung duduk di sebelah Fay.
"Males nunggu kamu nanti jadi obat nyamuk."
"Emang kamu tahu aku habis ketemu ama siapa?" Nadanya seperti menantang Fay untuk menebak sekaligus mengejek.
"Ya, mana aku tahu. Aku, kan, udah di kelas duluan."
"Oh iya." Eliana terkekeh. Dia bisa lepas ekspresi jika sedang bersama teman sebangkunya ini. Begitu pula sebaliknya.
Fay memutar bola matanya. Eliana ini suka sekali agak tidak nyambung, antara sok polos atau memang mau asal ngomong saja. Fay sudah kebal.
"Fay."
Mendengar namanya disebut, gadis itu menoleh. Di sampingnya sudah ada Ketua kelas yang berdiri sambil menyodorkan beberapa lembaran kertas. Fay memandang kertas itu dengan tatapan tanya.
"Buat apa?" tanyanya kepada Eren, sang Ketua Kelas.
"Enggak tahu. Bu Aya yang minta aku tadi buat kasih ini ke kamu." Eren mengedikkan bahunya. "Aku juga enggak paham kenapa beliau kasih kamu daftar beginian."
Fay memandang kertas itu sekali lagi, lalu menerimanya. "Makasih, ya, Eren."
Eren mengangguk. "Sama-sama." Kemudian lelaki itu kembali ke tempat duduknya.
Fay memeriksa lembaran-lembaran tersebut. Isinya adalah daftar nama buku-buku. Ada beberapa yang diberi tanda dengan stabilo. Saat merasa bahwa tidak menemukan jawaban, dia meletakkan lembaran tersebut di atas meja dengan tidak minat. Bagaimana mau minat, saat Eren menyebut nama pemberi kertas tersebut saja suasana hatinya sudah turun.
Bu Aya adalah guru yang telah mengeluarkannya dari kelas kemarin. Mungkin kalau alasannya jelas, dia tidak akan protes dan menerima hukuman yang diberikan oleh Bu Aya. Masalahnya, apa yang salah dengan memungut penghapus yang tidak sengaja jatuh? Alasan yang tidak masuk akal. Bahkan semua yang menyaksikan pasti berpendapat yang sama.
Apakah Fay tidak memberikan pembelaan terhadap dirinya? Jawabannya sudah. Hanya saja Bu Aya tidak menanggapi kecuali dengan wajah semakin memerah padam dan suara yang semakin tinggi. Dia mencoba memaklumi. Mungkin Bu Aya sedang sensitif. Dia tidak mau mengganggu kelas dan mendapatkan sanksi yang lebih. Untung hukumannya masih bisa dibilang manusiawi, menata buku yang menumpuk di meja perpustakaan ke rak hingga pelajaran selesai.
Awalnya, dia berpikir bahwa mungkin ada baiknya dia mengerjakan hukuman itu karena bisa membaca buku di sana. Akan tetapi, dia baru ingat kalau ketidakhadirannya ini akan dicatat di dalam buku evaluasi yang akan selalu dipantau oleh Martin. Dari situlah dia mulai kalap dan berakhir menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top