Jawaban Yang Sama

Dua insan itu menghadap ke sebuah bangunan yang bergaya khas Amerika klasik sederhana berwarna putih gading. Sekali lagi, Fay mengerutkan dahinya, memastikan bahwa apa yang dia lihat tidak salah.

"Kamu les di mentor siapa tadi?"

"Mentor Haidar."

"Haidar Allan Alexander?"

Eren menoleh ke gadis itu sambil menunjuk ke papan nama yang tertempel di pintu kayu berwarna hitam itu. "Seperti yang tertulis di situ."

Fay mengangguk. 

"Kenapa?" tanya Eren penasaran dengan reaksi Fay yang menyiratkan sesuatu itu.

"Ternyata orang yang aku kenal."

Mata Eren melebar. "Kamu kenal Mentor Haidar?"

Senyuman Fay terpatri di bibirnya. "Iya. Dia sepupuku."

"Sumpah?"

Fay terkekeh melihat reaksi yang diberikan oleh Eren. Dia mengangguk. "Enggak ada baiknya kalau aku bohong." Mungkin dia sudah lupa kalau dia juga telah berbohong kepada kakaknya soal dikeluarkan dari kelas.

Eren mengangguk percaya seraya tersenyum. "Mau masuk?" tanyanya.

Fay menggeleng. "Karena ini bukan rumah kamu, aku enggak akan terima tawaran apa pun."

Jawaban gadis itu membuat Eren tertawa kecil. Ini bukan Fay yang biasanya dia lihat di kelas. Fay yang serius saat pelajaran dan mengerjakan soal.

"Aku pulang, ya. Udah hampir jam empat." Gadis itu berpamitan dan memberikan lambaian tangan.

Eren membalas lambaian tangan itu lalu terkaku sendiri saat punggung gadis itu menjauh. Tangannya yang masih terkatung di udara langsung menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia tersenyum sendiri.

Pintu yang ada di hadapannya terbuka, memperlihatkan sosok yang tak asing di mata Eren. Dengan segera dia sedikit menundukkan kepalanya. "Hai, Kak Mentor."

Yang disapa mengangkat kedua alisnya. Dia melihat ke arah timur. "Fay Rose?" tanyanya meyakinkan diri.

Eren mengangguk.

"Pacarmu?"

Mata pemuda berhidung mancung itu langsung melebar. Dia menggeleng cepat. "Bukan," jawabnya sambil melambaikan tangan, mengingkari.

Sang mentor, Haidar, tersenyum geli melihat wajah Eren yang memerah. "Gak perlu gugup gitu. Fay memang cewek yang pantas buat disukai." Dia malah menggoda lelaki mungil itu.

Eren mendengkus sambil menatap tajam wajah Haidar. Yang Haidar lihat di hadapannya hanyalah seorang bocah yang sedang ngambek.

"Masuklah. Untung mamamu tidak menelepon untuk memastikan bahwa kamu tepat waktu." Haidar melambai seraya membuka pintu lebih lebar. Dia menepuk bahu Eren. "Aku bukannya mau pamer. Tapi, dia sepupuku."

"Aku tahu." Eren menjawabnya dengan sangat cepat.

"Wah, baru kali ini aku mendengar seorang Eren Naruna memedulikan gadis."

"Ih, enggak usah mulai, Kak." Eren berjalan mendahului Haidar dengan kaki yang mengentak-entak.

Haidar malah gemas sendiri melihatnya.

***

Dengan langkah santai, Fay berjalan menuju rumahnya. Tinggal beberapa langkah lagi dan dia akan mencapai gerbang. Matanya membulat saat menyadari bahwa gembok gerbang rumahnya sudah terlepas dan hanya dikunci slot. Buru-buru dia masuk.

"Aku kira bakalan ada maling atau gimana. Ternyata ada kucing garong." Fay menatap tajam seorang lelaki yang berdiri di depan pintu utama rumahnya. Lelaki tersebut memakai seragam yang sama dengannya. Dia menutup gerbang kembali.

"Aku bukan kucing garong, ya. Aku kucing meong." Lalu lelaki itu bersikap layaknya kucing yang sedang menggaruk telinga dengan manja.

Fay begidik. Rasanya, dia menyesal sudah berkata seperti itu tadi. "Kenapa ke sini?" Dia memutar kunci pintu dan mempersilakan lelaki itu masuk.

"Kangen kamu."

Fay menghentikan langkahnya dan memukul dada lelaki tersebut. "Jangan mulai, Haikal."

Lelaki itu, yang disebut Fay dengan Haikal, hanya tertawa. Dia mengusak rambut Fay gemas. Kebiasaan yang sama dengan Martin. "Enggak ada Bibi?"

Fay menggeleng. "Mungkin masih ada urusan."

"Oke. Jadi kita hanya berdua, nih?"

"Menurut kamu?"

"Kesempatan, sih."

Fay memicingkan mata. "Buat?" tanyanya penuh selidik.

"Berduaan sama kamu, Sayang."

"Haikal! Jijik!" Fay mendorong Haikal yang sedari tadi membuntutinya sampai depan kamar. Sepupunya itu memang kurang kerjaan dan selalu saja usil. Bahkan Martin yang lebih tua dan lebih penyabar saja kadang kehilangan kesabarannya jika Haikal sudah berulah.

Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Dia segera menuju kamar yang biasanya dia pakai saat menginap di rumah sepupunya ini. Dia akan mengganti baju.

Tak lama setelah itu, Fay yang sudah memakai baju rumahan, kaos lengan pendek dan celana selutut, langsung ke dapur. Tak ada sisa makanan di sana. Padahal tadi dia jelas memasak lumayan banyak. Dia menelepon Martin.

"Kamu bawa bekal?" tanyanya setelah mendengar nada teleponnya diterima.

"Iya. Kamu masak banyak. Aku bawa bekal buat temanku yang di kos. Kamu sudah pulang?" Martin baru selesai mengikuti kelas.

"Sudah. Ada Haikal di sini."

"Syukurlah, ada yang menemani."

"Kamu mau pulang malam?"

"Bahkan aku mungkin menginap, Fay. Kamu ditemani Haikal dan berangkat bareng besok enggak papa?"

Fay mendengkus. "Aku enggak mau berangkat bareng Haikal."

"Kenapa?" Bukan Martin yang bertanya, tapi itu adalah suara dari balik badan Fay, suara Haikal.

Gadis itu sontak menoleh. Lagi, dia menghadiahi Haikal dengan pukulan. "Kaget!"

Haikal tersenyum puas. Dia mengambil alih gawai Fay dan menekan tombol pengeras suara. "Aku bakalan jaga dia. Kamu fokus aja ngerjain tugas dari Om Yanuar." Lalu dia tertawa.

"Itu bapakmu, ya!" teriak Martin dari seberang sana.

Haikal malah terbahak-bahak.

"Oke, Martin." Fay mengambil gawainya lagi. "Aku akan buat makan malam untuk setan satu ini."

"Bahasa, Fay," tegur Martin.

"Dadah." Gadis itu langsung mematikan sambungan teleponnya, lalu dia melipat bibirnya ke dalam. Kelepasan. Bisa-bisa dia didisiplinkan oleh Martin habis ini.

"Makanya. Kalau ada Martin, remnya jangan blong." Haikal merangkul bahu Fay. "Mau bikin apa, sih? Yang enak pokoknya."

"Bantu bikin makan malam. Enak aja udah numpang tapi enggak usaha." Fay tidak menolak rangkulan Haikal.

"Oke. Kita bikin yang aku bisa aja. Aku baru dapat resep dari Haidar." Haikal melepaskan tangannya dan menuju kulkas. "Kamu punya ayam?"

"Ada."

"Telur?"

"Lengkap."

"Sawi putih, bokchoy, sosis, dan tepung-tepungan?"

"Aku punya tepung beneran."

Haikal yang semula meneliti isi kulkas dengan seksama, berbalik seraya menatap tajam ke Fay. Gadis itu hanya menunjukkan giginya.

"Itu ada di lemari. Kamu mau bikin apa?" Fay duduk di kursi di balik bar dapur.

"Pokoknya. Ini resep dari Haidar. Kamu pasti suka."

Fay mengangguk. "Nanti aku lihat kamu masak, kalau rasanya pas dan enak, aku akan bikin buat Martin."

Haikal tersenyum miring. "Martin akan berterima kasih atas apa pun yang kamu buat, Fay."

Gadis itu membenarkan. "Tidak sepertimu yang cerewet."

"Aku pemilih karena memang lidahku lidah mahal. Tak boleh sembarangan. Aku mau jadi chef dan aku harus menjaga lidahku."

Fay terdiam. Dia memikirkan sesuatu. Dia menatap punggung sepupunya yang lincah di dapur ke sana kemari.

"Haikal," panggilnya.

"Hmm?"

"Kenapa tidak mau bantuin Martin untuk mengelola perusahaan? Kasihan Martin."

Haikal mendesah. Pertanyaan itu tidak pernah dia sukai. "Jawabannya akan sama dengan jawaban jika aku bertanya kepadamu, kenapa kamu tidak pernah mau berangkat sekolah bersamaku atau bahkan tidak pernah mau berbicara denganku jika di sekolah."

Fay terdiam. Dia menimbang jawaban. Lalu, dia menunduk dalam. Benar kata Haikal. Jawabannya pasti sama.

Mereka tidak mau kesusahan menjalani hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top