Headset
"Eh, maaf."
Seorang lelaki baru saja menyenggol peralatan tulis Fay. Buku dan tempat pensilnya jatuh di atas lantai kantin yang tidak bisa dibilang bersih itu.
Spontan, Fay langsung merunduk untuk mengambil barangnya. Akan tetapi, tangannya malah bertumpuk dengan lelaki itu.
Mereka saling pandang untuk beberapa detik. Lalu deheman kecil dari Fay membuyarkan tatapan mereka.
"It's okay." Gadis itu tampak tidak mempermasalahkan kejadian barusan. Dia mengambil bukunya. Lelaki itu mengambil tempat pensil.
"Sekali lagi maaf." Lelaki tersebut tampak tidak enak hati. Dia masih berdiri di sisi meja.
Fay tersenyum sembari mengambil tempat pensilnya dari tangan lelaki tersebut. "Enggak papa, kok. Namanya juga enggak sengaja."
Lelaki itu ikutan tersenyum. "Kalau ada yang rusak, bilang, ya. Biar aku ganti."
Menggeleng adalah satu-satunya cara agar kecanggungan percakapan ini segera berakhir. "Enggak papa. Aku yakin enggak ada yang rusak, kok."
Senyuman lelaki itu semakin lebar. "Oke kalau gitu. Tapi, kalau memang butuh tanggung jawab, aku bakalan tanggung jawab."
Fay mengerutkan dahinya. Perkataan lelaki di sampingnya ini agak rancu. Dia pun melirik ke Eliana, mencari petunjuk tentang maksud lelaki tersebut. Akan tetapi, tak ada jawaban dari teman sebangkunya itu. Dia pun hanya mengangguk.
Lelaki tersebut berlalu.
"Siapa, sih?" tanya Fay yang kepo karena sikap lelaki itu bisa dibilang aneh.
Eliana mengedikkan bahu. "Mana gue tahu. Emang lo enggak lihat namanya?"
Fay menggeleng.
Decakan kecil keluar dari bibir Eliana. "Lo aja yang di depannya enggak tahu. Apalagi gue."
Fay terdiam. Benar juga. Kenapa dia tadi tidak melihat nama dada orang tersebut? Baru kali ini dia menemukan lelaki asing yang lembut begitu. Apalagi bulu mata lentik lelaki tersebut sangat panjang.
Fay baru sadar. Mungkin itu yang membuatnya tidak fokus tadi.
***
Headset Fay rusak.
Dia baru ingat kalau tadi sempat terjatuh saat ada lelaki yang menyenggol tempat pensilnya. Dia merutuki diri sendiri karena telah bodoh meletakkannya di sana. Padahal itu adalah hadiah ulang tahun dari Martin dua tahun yang lalu. Mau ngomong bagaimana dia ke Martin kalau barang pemberian lelaki itu rusak.
"Sibuk amat."
Fay menoleh. Dia yang tadinya berjalan pulang sendiri, kaget dengan suara itu. Headset-nya pun terjatuh lagi.
"Eh, maaf."
Segera, Fay memungutnya. "Enggak papa." Dia memaksakan sebuah senyuman. "Mau les, Ren?" tanyanya kepada lelaki yang tiba-tiba berjalan mengiringinya.
"Iya. Aku tadi lihat kamu keluar kelas langsung. Tumben enggak belajar dulu sama Eliana." Eren membuka pembicaraan.
"Kata Eliana tadi dia ada acara. Jadi aku pulang lebih awal juga."
Eren mengangguk paham. "Headset kamu kenapa?"
Fay memajukan bibirnya. "Rusak karena jatuh tadi."
Lelaki itu langsung gelagapan. "Gara-gara aku barusan?" tanyanya khawatir. Sungkan juga karena sudah merusak barang milik orang lain.
"Bukan. Udah rusak tadi di sekolah. Disenggol orang." Fay memajukan bibirnya, sayang dengan benda yang ada di tangannya itu.
Meskipun Eren tahu itu bukan salahnya, tapi ada rasa tidak enak di dalam dadanya. Mungkin nanti dia akan mampir ke toko untuk membelikan gadis ini headset yang baru.
"Besok ada pelajaran Bu Aya lagi, Fay." Dengan sangat hati-hati, Eren mengatakan hal itu. Dia bisa mendengar desahan kecil nan berat keluar dari hidung gadis tersebut. Dia sudah mempertimbangkannya dengan matang untuk membahas tentang guru mereka itu. Bagaimanapun, nama Bu Aya mempunyai kenangan yang tidak baik di benak Fay akhir-akhir ini.
"Aku tahu." Gadis itu menyaku headset-nya. Dia menoleh ke Eren sambil tersenyum lebar. "Doain aja aku enggak dikeluarkan lagi. Atau paling tidak, kalau aku masih dikeluarkan, mungkin karena bernapas, aku akan membuat daftar buku yang akan aku baca di perpustakaan."
Eren tertegun. Dia tidak mengira kalau Fay berpikir sejauh itu. Apalagi senyuman lebar gadis itu sangat ringan sekali terulas di bibir penuhnya. "Kamu siap-siap dikeluarin?"
Jari telunjuk dan jari tengah Fay terangkat. Dia malah cengengesan. "Aku merenung lagi. Tapi, kayaknya bakalan bermanfaat kalau aku menggunakan waktu dengan tepat."
"Kamu berharap akan dikeluarkan besok?"
"Mana ada orang yang mau dikeluarkan dari kelas, Eren?"
"Lalu?"
Fay malas meladeni omongan Eren lagi. Siapa juga yang mau dikeluarkan dari kelas dan berpotensi menjadi omongan orang. Dia segera menggenggam pundak Eren dari belakang dan menghadapkan lelaki itu ke samping. "Sudahlah. Mendingan kamu fokus les saja."
Mereka sudah berada di depan rumah Haidar.
Eren kehilangan fokus. Dia tidak sempat berpamitan dengan gadis itu. Fay malah sudah berjalan menjauh dari sana.
"Hei! Aku besok akan menawarkan diri buat bantu kamu!" teriaknya, entah didengar oleh Fay atau tidak.
Pintu di hadapan Eren terbuka.
"Berisik sekali." Haidar celingukan. Dia mendapati punggung sepupunya di sana. "Bersama Fay Rose lagi?"
Eren tersenyum sambil mengangguk.
"Eren sudah besar ternyata. Sekarang sudah dekat dengan cewek." Haidar menggoda.
"Kakak!" Seperti Eren biasanya, dia terlihat lucu di mata Haidar jika sedang ngambek.
***
"Oh, ternyata kamu bestie sama Ketua Kelas?"
Jantung Fay terlonjak seru. Dia bahkan menghentikan langkahnya sejenak untuk menata napasnya. Kenapa hari ini orang-orang suka sekali mengagetinya?
"Bisa biasa aja enggak?" ucapnya agak meninggikan suara.
Haikal yang semula merangkul pundak Fay, langsung melepaskannya. Dia mengusak rambut belakangnya yang tak gatal. "Iya. Iya. Galak banget."
Masalahnya, dari tadi Fay tidak bisa membuka gembok gerbang. Dia yang sudah sumpek, malah tambah sumpek dengan kemunculan Haikal yang super rese itu.
"Bisa buka enggak, sih?" tanya lelaki itu yang sudah menunggu Fay lama.
"Bentaran. Kalau enggak sabar, sana pulang ke rumah kamu."
Haikal memonyongkan bibirnya. Dia tidak menganggap omongan Fay sebagai usiran sungguhan meskipun dia sendiri sadar kalau sudah satu minggu ini dia menginap di rumah sepupunya. Lelaki itu melihat ke arah langit. Untung pulang sekolah mereka sore hari. Jadi lumayanlah tidak terkena terik matahari berlebihan.
Gembok terbuka. Kedua anak manusia itu serempak menghela napas panjang. Akhirnya mereka bisa masuk kandang juga.
"Mau makan apa?" tanya Haikal yang di kepalanya sudah ada beberapa menu makanan.
"Beli aja enggak, sih? Ini udah seminggu kita habisin yang di kulkas dan belum belanja sama sekali. Mana Martin juga lagi sibuk banget." Fay membuka pintu utama.
"Kamu, sih, aku anterin ke supermarket aja enggak mau." Haikal membuntuti sang tuan rumah.
Fay melirik sepupunya. "Males. Kalau ada yang lihat, nanti urusannya panjang."
"Kenapa, sih, Fay? Lagian pas SMP kita biasa aja."
"Ya, itu soalnya kita enggak satu sekolah, Haikal. Kamu wakil ketua OSIS. Banyak yang lihat kamu. Aku enggak mau dapet gosip yang enggak-enggak. Udah cukup Bu Aya aja yang ngerepotin." Fay melempar tasnya ke sofa ruang tengah. Dia merebahkan diri di sana.
Telinga Haikal yang tajam memang cocok dengan daya pikirnya yang cepat. Dengan segera, dia duduk di sebelah Fay dan menatap gadis itu.
"Jadi yang keluarin kamu dari kelas itu Bu Aya?"
Glek-
Tamat sudah riwayat Fay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top