Asal Keluarga

Martin pulang lebih awal. Dia hanya mempunyai satu mata kuliah hari ini. Maka dari itu, dia ingin menjemput adiknya di sekolah dan mengajaknya jalan-jalan. Sudah lama juga mereka tidak menghabiskan waktu bersama karena kesibukan yang selalu mengejarnya setiap saat. Om Yanuar hobi sekali mengajaknya bekerja di kantor, membantu mengecek berkas ini dan itu. Dalihnya sih sekaligus sebagai pembelajaran baginya. Sebagai seorang manusia yang baik, Martin menurut saja.

"Hello, my princess." Martin menelepon adiknya. Dia melihat gerbang sekolah sudah terbuka. Tangannya menggerakkan setir mobil dan mulai memasuki kawasan tempat dia bersekolah dulu itu.

"Hai. Enggak salah sambung, kan?" tanya Fay yang baru saja keluar kelas. Dia tidak mengerjakan PR bersama Eliana (dengan tambahan Eren) setelah pelajaran usai. Tidak ada PR dan mereka memilih untuk berjalan bersama ke gerbang.

"Siapa?" Eliana bertanya tanpa suara.

"Kakakku." Fay juga menjawab tanpa suara.

"Aku jemput kamu. Ayo jalan-jalan." 

Fay membelalakkan matanya. "Kamu ke sini?" Perasaan kaget serta detak bahagia membuncah di dadanya. "Kamu enggak bohong, kan? Jangan ikutan Haikal buat kerjain aku."

"Hahaha. Haikal ngapain kamu lagi?Enggak, Fay. Aku udah ada di parkiran. Kamu ke sini, deh. Aku ada di F12." Martin membaca papan baris parkir. "Lihat bocah itu juga enggak? Sekalian bawa dia ke sini."

"No. Big no." Fay agak ngegas, tapi dengan suara bisikan. Dia tidak ingin jadi pusat perhatian orang-orang sekitar. "Kamu telepon dia sendiri atau nanti aja saat di luar." Mata gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri dengan cepat, awas. Dia berharap bahwa kedua teman yang sedang bersamanya tidak curiga, terlebih lagi Eliana.

"Oke. Oke. Aku enggak akan paksa kamu, Sayang." 

Fay menghela napas lega. Berinteraksi dengan Haikal di sekolah adalah hal pertama yang harus dia hindari selain Bu Aya. Senyumannya mengembang, membuat dua temannya melihat ke arah dirinya dengan heran. "Ada apa?"

"Kakak kamu kenapa?" Eliana dengan rasa ingin tahunya, sungguh membuat gadis itu menggebu bertanya.

Fay tersenyum sambil menghilangkan kedua matanya. "Aku dijemput kakakku. Jadi, maaf, ya, Eren. Aku enggak bisa pulang bareng sama kamu."

Eren mengangguk. Dalam hati, dia ingin melihat kakak Fay. Dia ingin tahu bagaimana rupa lelaki yang sering dibanggakan oleh gadis yang selalu bisa membuatnya tertegun dengan kata-kata dan pertanyaan yang dilontarkan. Dia yakin, mereka pasti bukan orang biasa.

Secara, Fay adalah sepupu Haikal, murid terkenal yang gaya hidupnya sudah bisa ditebak, tidak murah, berasal dari keluarga terpandang. Bahkan saat tidak sengaja bertemu dengan mereka berdua di supermarket kemarin, dia sempat tidak percaya bahwa belanjaan dua anak seumuran dengannya bisa dua troli penuh. Yang membuatnya lebih takjub adalah Fay dan Haikal hanya berdua. Tidak diragukan lagi kalau mereka yang bayar sendiri belanjaan saat itu.

"Aku duluan, ya. Dadah." Fay mempercepat langkahnya menuju parkiran. Dia tidak mau membuat kakaknya menunggu. Plus, dia juga tidak mau dibarengi oleh Eliana sehingga teman sebangkunya itu bisa melihat siapa kakaknya. Dia juga tidak mau mengambil resiko dicecar oleh Eren dengan berbagai pertanyaan yang mungkin ada di kepala lelaki penuh rasa penasaran itu.

Jujur, dia belum pernah memperlihatkan foto kakaknya kepada gadis itu. Dia takut kalau sekiranya Eliana mengenal kakaknya, mengingat Martin juga sudah terjun di dunia bisnis selama ini. Bisa dipastikan bahwa Om Yanuar sudah membawa lelaki itu untuk bertemu para pebisnis ternama juga. Berbeda dengan dirinya yang sedari dulu 'disembunyikan'.

Fay mengenali mobil yang digunakan oleh kakaknya. Dia bersyukur karena Martin tidak menurunkan kaca jendela atau keluar dari mobil. Jadi, tidak ada yang akan memperhatikannya.

Namun, tidak semua persangkaan Fay benar. Beberapa orang yang mengenal dirinya dan tahu kebiasaannya, jalan kaki pulang pergi ke sekolah, malah terpaku saat melihatnya masuk mobil. Terlebih mobil yang dinaiki adalah jenis mobil hybrid keluaran baru. Pasti hanya beberapa orang berada yang memiliki mobil tersebut.

Tak terkecuali Eren. Dia sampai lupa menutup mulutnya saat melihat body belakang mobil tersebut. Mobil itu persis dengan mobil yang diinginkan oleh kakaknya, Erwin. Hanya ada berapa puluh di Indonesia dan Fay yang dia kenal sebagai gadis sederhana dibandingkan dengan Eliana yang suka memakai barang branded, menaikinya sekarang.

Lelaki itu tak habis pikir. Selain Fay adalah murid teladan dan peraih nilai tertinggi paralel, ternyata dia berasal dari keluarga (yang kemungkinan besar) bukan keluarga sembarangan. Dia jadi semakin tertarik dengan gadis itu. Baiklah, mungkin bertanya kepada sepupunya adalah jalan yang terbaik untuk memenuhi rasa penasarannya.

***

Eren berjalan sendiri ke tempat lesnya. Dia memencet tombol bel beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Bahkan mentornya yang biasanya membuka pintu sebelum dia menekan bel pun tidak muncul-muncul. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk membuka pintu di hadapannya. 

Tidak terkunci. Berarti, mentornya ada di dalam.

"Kak Haidar." Eren mencoba mengundang respons dari sang pemilik bangunan. Dia meletakkan tasnya di atas kursi piano yang terletak di ruang tamu dan melangkah lebih ke dalam secara perlahan. "Kak Haidar."

Tak ada respons dari siapa pun. Bahkan dia sudah sampai ke dapur, bagian belakang bangunan ini. Dia jadi bergidik sendiri.

"BAA!"

Sejenak, jantung Eren terasa berhenti. Dia membeku lalu merasakan dadanya berdebar hebat. Untung dia tidak berteriak. Dia segera berbalik dan menggenggam kedua tangannya di depan dada. "Kakak ini ngagetin aja."

Haidar tertawa. Dia mengusak rambut Eren dan merangkul pundak remaja yang lebih pendek darinya itu. "Aku baru aja selesai ngerjain laporan. Maaf, buat kamu kaget. Emang kaget banget, ya?" Dia menunjuk ke arah tangga yang berseberangan dengan dapur.

Eren mengomel tak jelas. Bibirnya maju.

Mereka berdua menuju ke ruang tamu. Akan tetapi, langkah Eren terhenti saat melihat ada pigura besar yang berisi foto. Sepertinya itu adalah foto keluarga mentornya.

"Haikal?" tanya Eren sambil menunjuk ke foto tersebut.

Haidar mengangkat kedua alisnya. Dia berpikir sejenak. "Ah, aku lupa kalau kamu satu sekolah dengan Fay Rose dan Haikal. Iya. Dia adikku. Kenapa?"

"Iya?" Lelaki itu melebarkan matanya.

Haidar mengangguk. "Haidar. Haikal. Sepertinya nama kami sudah serasi untuk jadi kakak adik. Apa kurang cocok?" candanya.

Ini menjawab sebagian rasa penasarannya tentang keluarga Fay. 

"Tadi aku lihat kamu jalan sendiri. Tumben enggak jalan sama Fay Rose." Haidar mengajak Eren berjalan lagi.

"Tadi dia dijemput pakai mobil. Makanya enggak jalan bareng."

Haidar mengangguk paham. Dia melihat wajah Eren yang seperti menahan sesuatu. Satu senyuman terulas di bibirnya. "Kamu mau ngomong apa, Eren?"

Eren sudah duduk di kursi piano. Dia berpikir sejenak sebelum mengeluarkan pertanyaan. "Ehmm, Keluarga Mentor ... termasuk keluarga yang di atas, kan?"

Haidar malah tertawa mendengar pertanyaan canggung remaja di hadapannya ini. Dia paham maksud Eren. Kepalanya mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Aku yang enggak keterima di beasiswa di Juiliard, akhirnya mengambil jalur mandiri dan lulus dari sana."

Punggung Eren menegak. "Juiliard?"

"Loh, kok kaget? Bukannya mama kamu yang memilih aku untuk jadi mentor karena aku lulusan sana, ya?"

Eren menggeleng polos. Dia hanya mematuhi perintah mamanya saja selama ini dan tidak mau banyak tahu.

"Astaga." Haidar mengelus-elus rambut Eren. "Enggak papa, sih. Emang enggak harus semua tahu apa pencapaian kita. Yang terpenting di dunia adalah diri kita sendiri."

Eren mengedipkan matanya perlahan. Ucapan Haidar membuatnya tertegun. Sebelas dua belas dengan ucapan Fay yang berefek baik untuknya. Dia jadi menyimpulkan bahwa selain dari keluarga berada, Fay juga berasal dari keluarga yang bijaksana. "Beruntungnya ...."

Haidar mengamati perubahan wajah Eren yang jadi manyun. "Kamu juga mempunyai keberuntungan sendiri, Eren. Keberuntungan setiap orang pasti berbeda."

Lelaki yang semula menunduk itu mendongak lagi. "Salah satunya adalah bertemu dengan Kakak."

Ucapan Eren sungguh manis. Haidar jadi meleyot. "Astaga. Bisa aja kalau ngomong." Dia duduk di sebelah anak bimbingnya itu. Sepertinya Eren sedang tidak tertarik untuk belajar piano kali ini. "Sekolah kamu gimana? Enggak ada anak nakal di kelas kamu, kan?"

Lelaki yang lebih muda itu tersenyum. "Semua aman terkendali. Aku juga merasa berguna dengan bantu mereka mengatasi beberapa masalah."

"Seperti?" Haidar selalu mendengarkan apa yang Eren ceritakan. Lama waktu yang mereka lewati bersama, membuat Haidar mengerti apa yang bisa membuat Eren merasa lebih baik.

"Mengajarkan beberapa pelajaran yang tidak dipahami, membantu mengurus kelompok piket kelas, mengerjakan latihan bersama .... Aku pikir aku cukup berguna jadi ketua kelas. Hehehe."

Haidar hanya mengulaskan senyum sambil menyangga kepalanya dengan tangan, mendengar bocah itu bercerita. Eren mengingatkannya kepada Haikal kecil yang cerewet. Semua yang dialami oleh adiknya akan diceritakan semua kepadanya.

Jari Eren menjentik. "Ah! Aku juga membantu Fay Rose membereskan buku di perpustakaan saat dia dikeluarkan dari kelas."

Haidar duduk dengan tegak seketika. Dahinya berkerut. "Fay Rose dihukum?"

Eren terdiam. Sungguh demi apa pun, dia pasti salah memilih topik cerita barusan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top