25. The Last Page: Nona Ranting
1:1
Kalau ada hal yang paling melekat dalam ingatan gue, jawabannya cuma satu; masa SMA gue. Oh ya, sebelumnya, perkenalkan, nama gue Rengga Januari. Mungkin banyak yang bingung, kenapa nama gue Januari sedangkan gue lahir di bulan April. Jawabannya simpel, nama Bokap gue Jaya sedangkan nama Ibu gue Nuri, jadi Januari itu-katakanlah-akronim dari nama orang tua gue. Klasik banget. Orang-orang di sekitar gue juga sering manggil gue Reja, mereka bilang Rengga itu terlalu ribet, tapi gue seneng-seneng aja. Asalkan mereka nggak manggil gue dengan nama hewan atau kata-kata aneh lainnya.
Kehidupan gue di SMA Nusantara sebenarnya cukup monoton. Belajar-ikut kegiatan organisasi-bergaul seperlunya-belajar lagi. Siklusnya selalu begitu setiap harinya, sampai gue bertemu dengan seorang cewek yang sangat unik. Saat pertama kali bertemu, jujur, gue kira dia itu bidadari yang jatuh dari langit. Tapi ternyata dia cuma cewek slebor yang ketiduran di atas pohon. Unik banget, kan?
Namanya Iriya Maharani, dia cantik, persis seperti namanya. Awalnya, gue juga berpikir kalau pertemuan kami hari itu hanyalah sebuah kecelakaan yang memalukan, terutama untuk Iriya. Tapi diluar dugaan, pertemuan-pertemuan kami berikutnya justru malah membuat gue semakin penasaran. Kalau di ingat-ingat, dulu Iriya memang punya momen kurang mengenakkan dengan sahabat gue, Fahri. Tapi kejadian itu sudah sangat lama dan jujur saja, gue juga sudah lupa. Di SMA Nusantara kami punya cukup banyak kenangan, katakanlah gue dan Iriya berteman baik, sebelum akhirnya gue menyadari kalau perasaan gue ke dia mungkin lebih dari sekadar teman. Ya, gue suka sama dia.
1:2
Dia lucu, baik, cantik dan jago banget main bola. Dia itu ace-nya tim futsal Nusantara. Yah, meskipun dia punya kebiasaan aneh-nongkrong di pohon mangga. Dan karena kebiasaannya itu juga, gue menjuluki dia si nona ranting. Entah kenapa, hanya menurut gue panggilan itu sangat cocok untuk Riri. Gue juga berpikir, kalau Riri itu orangnya jutek dan pemarah, karena sejauh yang gue lihat, dia sangat sering marah-marah, terutama sama anak-anak futsal. Dan gue juga belum tahu alasannya apa. Tapi, setelah beberapa kali ketemu dan sering ngobrol, ternyata Riri anaknya baik, dan diluar dugaan, wawasannya sangat luas. Dia bisa nyambung saat diajak ngobrol apa aja, dan itu yang membuat gue makin yakin, kalau Riri tidak seperti cewek-cewek kebanyakan.
Pernah suatu hari, dia nemenin gue ke pasar hanya untuk beli buku puisi yang tidak gue temukan di toko buku. Entah karena cuacanya yang panas, atau karena apa, wajah Riri kelihatan merah. Tidak tahu kenapa, bukannya khawatir, gue justru senang liat wajahnya yang manis. Tapi setelah kejadian hari itu, entah ada angin apa, mantan gue-Stevia-datang ke Bandung setelah sekian lama pergi hilang entah ke mana. Dan buat gue, kedatangan Stevia saat itu sama sekali tidak jadi masalah. Perasaan gue sudah benar-benar mati untuk dia, intinya, gue sudah tidak respect sama dia.
Tapi yang jadi masalah, setelah hari itu juga, Riri menghindari gue. Saat itu gue benar-benar tidak tahu, apa Riri benar-benar menghindari gue atau itu hanya perasaan gue saja. Tapi nyatanya memang benar, Riri memang menghindari gue bahkan sampai pura-pura pacaran dengan Ujang, teman satu tim futsalnya.
Boleh dibilang, saat itu adalah titik di mana gue benar-benar hancur. Gue sayang sama Riri, tapi dia malah meninggalkan gue. Dia ikut karantina sebagai anggota timnas futsal putri di Jakarta. Tanpa pesan apapun, tanpa sepatah kata, Riri meninggalkan gue.
1:3
Berita baiknya, setelah kembali ke Bandung gue sempat ketemu sama Riri. Hanya sebentar, tapi cukup untuk-lagi-lagi-menghancurkan gue. Riri pergi lagi, dia kuliah di Jakarta dan entah apa berniat untuk kembali atau akan selamanya tinggal di sana. Meninggalkan gue dengan segala rasa yang masih tersisa dalam diri gue.
2:1
Setelah masa-masa suram, dan terjebak dalam kesendirian berkepanjangan, akhirnya Tuhan berbaik hati dengan memberikan jalan agar gue dan Riri bisa bertemu. Jujur, setelah Riri memutuskan untuk kuliah di Jakarta, semua akses untuk gue menghubungi dia terputus. Kadang, gue sering mampir ke tempat Ujang hanya untuk menanyakan kabarnya Riri di sana. Dan karena itu juga, gue jadi sering kumpul sama anak-anak futsal. Aryo, Imam, Beben, bahkan Anisa yang selalu ikut kalau ada Beben.
"Kenapa nggak lo samperin aja, sih? Riri cuma kuliah di Jakarta, bukan di Eropa."
Waktu itu gue cuma tertawa mendengar wejangan dari Ujang. Yah, percuma juga gue samperin, kalau Riri memang nggak mau ketemu sama gue. Gue hanya nggak mau melakukan usaha yang sia-sia. Dan selama melakukan rutinitas itu, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sama seperti Riri yang sedang mengejar mimpinya di Jakarta, gue juga kuliah di salah satu Universitas negeri di Bandung jurusan jurnalistik. Ujang juga kuliah di kampus yang sama, hanya beda fakultas dan jurusan. Begitu juga dengan teman-teman Riri yang lain, makanya gue sering kumpul sama mereka. Katakanlah, ini juga jadi salah satu faktornya.
Waktu berjalan, satu tahun berlalu tanpa terasa. Siang itu matahari bersinar terik, saat gue menuju ke salah satu perpustakaan universitas. Bukan universitas gue di Bandung, tapi salah satu universitas ternama di Jakarta. Hari itu, gue di undang untuk menghadiri acara seminar di sana, dan berhubung waktu seminarnya masih lama, jadi gue berniat untuk berkunjung ke perpustakaan dulu. Tapi semesta ternyata sudah menggariskan takdir lain buat gue. Gue bertemu Riri.
Ekspresi wajahnya kelihatan kaget banget waktu itu. Dia nyebut nama gue dengan lancar, dan gue yakin kalau Riri masih ingat betul sama gue. Gue tersenyum, menyapa dia dan menikmati perputaran waktu yang seolah melambat. Membiarkan segala rasa tertambat, melepas kerinduan yang selama ini gue pendam sendirian.
2:2
Setelah pertemuan singkat itu, gue mencoba sedikit berbasa basi sama Riri. Tapi sayangnya, dia masih menghindar.
"Apa kabar?" tanya gue.
"Baik."
"Mau ngobrol bentar?"
"Maaf, gue buru-buru."
Dan pertemuan singkat-yang benar-benar singkat-itu berakhir. Riri pergi memasuki gedung perpustakaan dengan terburu-buru, dan gue sama sekali tidak ada niatan untuk mengejarnya. Sudah pernah gue katakan, kalau, gue nggak akan mau melakukan hal yang sia-sia. Riri bahkan tidak mau menatap wajah gue, dan itu sudah cukup jadi bukti bahwa Riri memang tidak senang dengan keberadaan gue.
Saat itu, dengan perasaan kecewa dan sedih tidak karuan, gue pergi meninggalkan gedung perpustakaan. Sudah hilang sepenuhnya minat gue yang tadinya mau mampir ke perpustakaan. Perasaan gue mendadak kacau, dan itu cukup membuat gue down.
3:1
"A' cepetan atuh siap-siap, ini acaranya udah mau mulai!"
"Iya, Bu!"
Gue menyahut, sebelum kemudian merapikan kemeja batik berwarna cokelat muda yang gue kenakan. Sekali lagi, gue mematut diri di depan cermin, memastikan kalau semuanya sudah siap, kemudian berjalan ke luar kamar. Hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidup gue, dimana gue akan mengikat seseorang yang sangat berarti di hidup gue. Bukan, gue bukannya mau menikah, perjalanan gue masih panjang untuk sampai ke tahapan itu.
Malam ini, adalah malam pertunangan gue dengan seorang perempuan yang sudah berhasil menjadi bagian dari hidup gue. Perempuan yang amat berarti buat gue.
***
Sebelum itu, gue mau menceritakan sedikit lagi, perihal pertemuan gue sama Riri waktu itu.
Saat gue sudah berjalan sepuluh langkah meninggalkan gedung perpustakaan, tiba-tiba seseorang mencekal lengan gue. Dia menunduk dalam sembari memegangi lengan gue. Tubuhnya gemetar, dan sambil menangis dia mengatakan sesuatu. Satu kata yang tidak akan pernah gue lupakan sepanjang hidup gue.
"Jangan pergi." katanya pelan.
Gue sudah kehabisan kata-kata, saking bahagianya, gue malah reflek memeluk dia. Dalam pelukan gue, dia nangis lagi seperti orang kesurupan. Untungnya siang itu tidak banyak orang, sehingga gue dan Riri tidak jadi pusat perhatian.
"Nggak, gue nggak akan pergi." ucap gue, sembari menepuk pelan punggungnya.
Setelahnya, kami ngobrol banyak di warung tenda depan kampus. Dan alhasil, gue tidak jadi ikut seminar, sedangkan Riri terpaksa bolos kelas. Gue tahu ini salah, tapi gue juga tidak bisa memaksa Riri masuk kelas dalam kondisi kacau, plus belum mengerjakan tugas. Jadi, daripada Riri kena hukum lebih baik hari ini dia gue biarkan bolos.
"Hari ini aja ya bolosnya, besok-besok jangan." ucap gue waktu itu.
Riri tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan kemudian menatap gue lurus. "Maafin gue, Ja."
Gue terdiam. Sama sekali tidak tahu, kenapa dia harus meminta maaf. Karena normalnya, gue yang banyak bersalah dalam hal ini. Gue yang terlalu pasrah atas keadaan, dan gue yang tidak mau memperjuangkan dia, tanpa tahu, kalau di sini Riri sendirian. Berusaha melupakan segala ingatan tentang pertemuan kami. Mungkin dalam diamnya, Riri juga merindukan gue.... Mungkin.
3:2
Riri sudah berdiri anggun di hadapan gue. Mengenakan kebaya berwarna cokelat muda yang senada dengan kemeja batik yang gue kenakan, dan rambutnya yang di sanggul menambah keanggunan parasnya yang cantik. Entah kenapa, sejak kejadian di kampusnya empat tahun lalu, setiap kali gue melihat Riri, gue tidak bisa memungkiri kalau, gue jatuh cinta kepadanya setiap hari.
Usia gue saat ini sudah 23 tahun, dan gue baru saja di terima di salah satu kantor penerbitan majalah di Jakarta. Sambil kerja, sedikit demi sedikit uang yang gue hasilkan gue tabung, demi masa depan yang cemerlang. Riri juga sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan di bilangan Jakarta Pusat. Tempatnya tidak jauh dari kantor gue, jadi setiap hari kami pulang-pergi bareng.
"A' jangan bengong!" Suara ibu menginterupsi kegiatan melamun gue.
Di ruangan yang tidak terlalu besar ini, seluruh keluarga sudah berkumpul. Ada Ibu dan Bapak gue, juga Ibu dan Ayah Riri. Teman-teman dari Bandung juga semuanya datang, termasuk Fahri yang rela menyempatkan hadir di acara pertunangan gue. Perasaan gue meluap saking bahagianya, sampai wajah gue tidak bisa menampilkan ekspresi lain selain tersenyum. Di hadapan gue, Riri berdiri canggung. Gue bisa melihat dengan jelas ketegangan dari raut wajahnya.
"Ri, nggak usah tegang." ucap gue menenangkan.
Dia mengangguk, dan sungguh itu manis banget! Kalau di sini tidak banyak orang, Riri pasti sudah ada di pelukan gue. Sambil tersenyum, gue mengambil sebuah cincin dari kotak beludru di hadapan gue, kemudian menyematkannya di jemari mungil Riri. Begitu juga sebaliknya, Riri memasangkan cincin itu di jari manis gue.
"Kalian memang belum resmi menikah, tapi sampai saat itu tiba, kalian harus saling menjaga satu sama lain."
Yang barusan itu suara Bapak gue. Beliau memang jarang bicara, tapi sekalinya bicara bisa ngalahin Mario Teguh.
"Cepet nyusul ya, Ri." Kini giliran Anisa yang meledek.
Sambil mengelus perut buncitnya, Anisa tertawa bersama Riri dan juga Beben. Di sana juga ada Ujang, Dita, Aryo dan Imam. Ujang baru saja menikah dengan Dita bulan lalu. Sedangkan Aryo dan Imam, entahlah, gue juga tidak tahu mau sampai kapan mereka menjomblo.
Gue rasa, cukup untuk hari ini. Tentang akhir yang baik atau bukan, mulai sekarang kami yang akan tentukan. Kehidupan gue dan Riri, kehidupan kami yang sebenarnya baru akan di mulai.
*****************************************************
Burung jalak burung merpati
Sampai ketemu di lain hari
Ini hanya tambahan, jangan di anggap serius. Ibarat babak bonus dalam game. Mau dibaca silahkan, tidak juga tidak apa-apa :)
Terimakasih semuanya, sampai ketemu di lain kesempatan^^
Salam, dari dunia kambing
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top