23. Sekelebat Masa
Selamat hari Senin, selamat membaca
*************************************************
Waktu berlalu tak terasa, bagai desau angin yang menerpa kulit. Tanpa disadari, sudah enam bulan dilalui Iriya jauh dari teman-teman dan orang tuanya. Pagi ini, seperti biasa Iriya menjalani rutinitas hariannya dengan lari keliling lapangan besar di depan asrama.
Selama enam bulan, Iriya menjalani masa karantina. Tinggal jauh dari Ibu dan juga teman-temannya di SMA Nusantara. Semuanya ia lalui sendirian, meski berat Iriya harus bisa mewujudkan mimpinya. Selama enam bulan ini juga, progresnya berjalan baik dan ia diterima masuk sebagai tim inti. Jadi, tidak ada hal lain yang Iriya lakukan selain latihan.
Udara pagi di Jakarta lumayan sejuk. Meski tak se-sejuk udara Bandung, tapi Iriya masih bisa menikmatinya. Enam bulan ia lalui hanya dengan latihan dan latihan. Sedikit banyak, kegiatan itu membantunya melupakan setitik perasaan asing yang kadang masih ia rasakan. Terkadang, beberapa temannya di asrama mengajaknya jalan-jalan keliling kota, tapi Iriya menolaknya. Waktu senggang yang ia punya hanya dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan ibunya, atau kadang Anisa juga teman-teman satu tim futsalnya.
Seperti pagi ini, saat matahari bersinar cerah di hari minggu, ponselnya berdering nyaring. Setiap hari minggu, Iriya memang dibebaskan membawa ponsel dan juga diberi rehat dari latihan yang melelahkan setiap harinya.
Bibirnya mencetak senyum lebar, sebuah panggilan dari Anisa di pagi hari sudah cukup membuat suasana hatinya membaik. Buru-buru Iriya menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
“Halo, Nis?” panggil Iriya begitu berhasil menempelkan ponselnya di telinga.
“Oy! Maneh di mana? Urang di depan asrama nih barengan yang lain.”
Iriya terkejut bukan main saat tiba-tiba suara menyebalkan Ujang yang menyahut. Cewek yang kini tengah duduk bersandar di bawah pohon angsana itu mendadak bingung sendiri. Namun detik berikutnya Iriya buru-buru bangkit dan bergegas menuju pintu gerbang asrama.
Ditatapnya Ujang, Anisa, Aryo, Imam dan Beben yang kini tengah berdiri di depan pintu gerbang asrama, menunggunya untuk membukakan pintu.
“Lama banget sih, gue sampe kering di sini!” omel Imam begitu Iriya sampai dengan cengirannya.
“Masuk dulu, deh.”
“Bentar, tunggu Dita dulu.” ucap Ujang tiba-tiba yang membuat Iriya tercenung.
Sesaat, ingatannya memutar memori enam bulan lalu. Iriya bahkan masih ingat betul bagaimana raut marah bercampur kecewa yang ditunjukkan Dita padanya.
“Kak Riri jahat! Kak Riri udah hianati Dita. Dita benci sama Kak Riri!”
Masih teringat jelas ucapan Dita padanya terakhir kali, dan Iriya tahu betul apa yang menjadi alasan Dita sampai mengatakan hal itu. Ya, pernyataan Ujang di koridor beberapa hari sebelum Dita meledak-ledak dan marah besar padanya yang tentu saja jadi alasan paling kuat mengapa Dita, si gadis ayu nan polos bisa marah-marah macam singa lapar begitu. Dan sekarang, gadis ayu itu berdiri di hadapannya, tersenyum manis seperti tidak terjadi apapun.
“Dita....”
“Udah, ngobrolnya di dalem aja ya! Panas banget gue nggak kuat.” Kini giliran Anisa yang mengeluh.
Iriya hanya bisa mengangguk, mengiyakan ucapan Anisa sebelum akhirnya menggiring teman-temannya masuk. Meskipun Iriya juga masih bingung dengan kedatangan Dita, ditambah Anisa yang entah sejak kapan menjadi amat manja kepada Beben dan jujur saja hal itu membuat Iriya mual.
***
Setelah mendapat omelan Anisa di depan gerbang asra tadi, Iriya buru-buru mengajak kawanan rusuh itu ke dalam asrama. Meminta mereka duduk di kursi lobby kemudian menyiapkan beberapa gelas air. Meskipun sebenarnya Iriya ingin memberikan lebih, tapi sayangnya di asrama tidak ada minuman lain selain air putih.
“Jadi, ada apaan kalian dateng rame-rame ke sini?” tanya Iriya yang sukses membuat Aryo melotot.
“Oh, jadi lo nggak seneng kita tengokin? Kalo gitu ngapain kita jauh-jauh ke Jakarta, mohon-mohon sama A’Iqbal biar dipinjemin mobil?” ucap Aryo kesal.
“Bukan gitu maksud gue, Ar. Kenapa tiba-tiba dan nggak bilang gue dulu?”
Aryo hanya mendengus, sedangkan di sampingnya, Imam tengah berusaha meredakan kemarahan Aryo dengan mengelus-elus lengannya.
“Lo ngapain sih? Jijik gue!” omel Aryo yang risih dengan kelakuan Imam.
Sementara Aryo dan Imam berseteru, yang lain hanya bisa tertawa lepas. Rasanya sudah lama sekali Iriya tidak merasakan atmosfir bahagia seperti sekarang ini. Ditengah kebahagiaannya, matanya melirik pada Dita yang kini masih tertawa di sebelah Ujang.
“Dita, gue mau minta maaf. Soal pertemuan terkhir kita, dan soal semuanya.” Iriya berucap pelan, yang justru dapat gelengan dari Dita.
“Nggak, Kak! Justru Dita yang harusnya minta maaf sama Kak Riri. Kak Amar sudah cerita semuanya sama Dita, dan nggak seharusnya Dita bicara begitu sama Kak Riri.”
“Kak Amar?” tanya Riri dengan alis berkerut.
“Itu panggilan sayang.” sahut Ujang sembari merangkul Dita yang sukses menerbitkan semburat merah di pipi gadis ayu itu.
“Kalian... pacaran?”
“Yaiyalah Riri, tuh si Anisa juga bulan depan kayaknya mau nikah sama Beben. Tiap hari lengket banget, sampe kesel gue liatnya.” ucap Imam yang kemudian dapat tabokan dari Beben.
Iriya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan Anisaa belum menceritakan hal itu padanya.
“Kok lo nggak cerita sama gue, Nis?”
“Gimana mau cerita Ri, kita juga baru jadian kemarin. Jadi ya sekalian aja, bilang langsung.” jelas Anisa.
“Lo kapan Mam, jadian sama Aryo?”
“Idih najis! Gini-gini gue masih normal ya! Mana mau gue sama Aryo.” Ucap Imam dengan suaranya yang menyaingi toak masjid.
“Yeu emangnya gue mau sama lo?! Udah nggak waras kali.” Aryo bergidig jijik sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke samping Iriya.
Di tempatnya Iriya hanya bisa tertawa melihat kebahagiaan, juga sikap absurd Aryo dan Imam yang tak henti membuatnya tertawa. Sepertinya semuanya sudah kembali seperti semula, bahkan ini jauh lebih baik. Dalam hati, akhirnya Iriya bisa bernapas lega. Dengan begini, sepertinya semua akan baik-baik saja saat dirinya benar-benar pergi nanti.
“Jadi kapan lo berangkat ke Filipina?” tanya Anisa tiba-tiba.
“Bulan depan gue berangkat. Karena diterima masuk tim inti, makanya banyak yang harus dipersiapkan.” jawab Iriya.
“Enak lo ya, kita lagi pusing mikirin ujian lo jalan-jalan ke luar negeri.” ucap Imam enteng.
“Iya Ri, kita sekarang udah kelas tiga, nggak terasa tahun depan kita lulus.” sambung Beben sambil menatap teman-temannya.
“Ya emangnya kenapa kalau kita lulus? Kita tetep temenan, kan?” tanya Iriya yang dapat anggukan dari teman-temannya.
“Yah, meskipun satu persatu dari kita mungkin akan pergi jauh dan mengejar mimpi masing-masing, tapi suatu saat kita pasti akan sama-sama lagi. Iya, kan?” ucap Anisa, yang lagi-lagi dapat anggukan dari teman-temannya.
Iriya hanya bisa tersenyum. Melewati enam bulan tanpa bertemu dengan mereka mungkin bisa ia lalui. Dan mungkin, suatu saat ia juga akan melalui waktu-waktu panjang tanpa kehadiran teman-temannya. Tapi ia percaya, mereka akan selalu ada meski jarak memisahkan.
***
Sekolah ramai seperti biasanya. Ribut sana-sini, murid-murid yang terlambat, juga guru-guru yang tidak lelah mengomel pada siswa yang tidak taat aturan. Semuanya berjalan normal seperti biasa, namun tidak dengan hatinya.
Enam bulan berlalu bagai desau angin yang menerbangkan dedaunan kering. Tak terasa. Bahkan dirinya kini sudah menjadi siswa senior di SMA Nusantara. Waktunya sebagai seorang pelajar sudah tidak lama lagi, tapi seseorang menghilang dalam hidupnya dan jujur saja itu membawa pengaruh yang cukup besar untuk kehidupannya.
Pagi ini ia bersandar pada salah satu dahan pohon mangga belakang sekolah. Sambil menghilang dari riuh keramaian sekolah, ia menyepi di tempat yang menjadi favorit seseorang yang kini juga sudah menjadi tempat favoritnya. Sampai kasak-kusuk suara di bawah pohon mengganggu ketenangannya.
“A’ Reja, Bapak mau mangkas dahannya! Turun dulu!” ucap Pak Amin yang sudah siap dengan peralatan berkebunnya.
“Yah Pak, jangan dipangkas.”
“Sedikit aja, A’! Dahan yang itu nggak akan Bapak tebang, takut Neng Riri marah.”
Reja terdiam. Hanya satu nama, dan sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu. Sejak pengakuan sepihak Ujang di koridor beberapa bulan lalu, Iriya bagai hilang ditelan bumi. Gadis itu selalu menghindar darinya, dan beberapa minggu setelahnya ia hanya mendengar kabar bahwa Iriya pergi mengikuti karantina timnas futsal putri U16 untuk perhelatan olahraga Sea Games beberapa bulan lagi di Filipina. Iriya benar-benar menghilang.
Tak ada lagi yang menyebut-nyebut namanya, tak ada lagi yang membicarakannya, atau hanya sekedar mengingatnya. Tak ada lagi suara gaduh dari lapangan futsal di pagi hari. Iriya pergi, meninggalkan setitik ruang kosong dalam hati Reja.
“Kenapa lo pergi, Ri? Kenapa lo menjauh?”
Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalanya. Entah sudah berapa kali ia memohon pada Anisa, dan mengemis pada Ujang, jawaban yang didapat hanya satu kalimat yang sama.
“Jangan ganggu Riri, dia lagi fokus ngejar mimpinya. Lebih baik lo juga urus kehidupan lo sendiri.”
Tidak kurang, tidak lebih. Semua orang seolah bungkam. Dan yang bisa Reja lakukan hanya diam dan menunggu, sambil berharap suatu saat Iriya akan kembali. Bukan kembali sebagai Iriya yang menghindarinya, tapi kembali sebagai Iriya yang dulu. Teman ngobrolnya dikala sepi, dan sahabat yang selalu ada untuknya. Juga sebagai seseorang, yang punya tempat khusus dihatinya.
Mungkin harapannya terlalu muluk, tapi ia akan terus berharap. Tidak peduli apakah Iriya akan kembali atau tidak, tidak peduli seberapa besar penolakan yang akan ia dapat, ia akan terus berusaha. Memperjuangkan apa yang harus ia perjuangkan. Sekelebat masa yang singkat, hari-hari yang ia lalui bersama Iriya mungkin hanya akan menjadi kenangan. Tapi beberapa masa yang akan datang, hanya akan menjadi cerita bahagia.
***
Selamat hari Senin ^^
Reja : Kak, gue ulang tahun lo nggak mau ngucapin apa-apa gitu?
Aku : Hah?! Emang kamu ulang tahun? Kapan?
Reja : Tega bener lo kak! Masa lupa
Aku : Oh iya! Sepuluh April, maaf ya aku lupa
Reja : Terus aja jadi kambing -_-
Aku : Maaf yaa maaf
Reja : Sana cari rumput
Aku : Selamat ulang tahun ya!
Reja : Udah telat, kambing! Udah sana cari rumput!
Aku : Iya iya :'(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top