21. Langit Yang Merindu Hujan
Ekhem, sebenernya gak mau apdet tapi.... ah, sudahlah.
Selamad membaca :D
********************************************************
Senja mulai menyapa, bersama lembayung jingga yang menghiasi langit sore ini. Terasa indah sekaligus memilukan. Suasana taman kota semakin ramai. Banyak remaja, bahkan anak-anak yang turut meramaikan taman kota. Beberapa komunitas inline skate juga mulai melancarkan aksinya dengan meluncur indah di tengah-tengah arena sambil diiringi lagu-lagu kekinian.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian taman kota, di sudut taman tepatnya di bawah pohon asem yang cukup rindang, Iriya duduk sembari mememeluk kedua lututnya. Wajahnya masih tenggelam diantara lipatan tangan, air mata tak hentinya mengalir deras membasahi wajahnya. Separuh hatinya menertawakan kondisinya saat ini yang dengan amat bodohnya malah menangisi seseorang yang jelas-jelas tidak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Bahkan teman sekelas saja bukan. Tapi separuh hatinya lagi terasa sesak, perih, merasa terluka tanpa tau sebab musabab mengapa hatinya mesti terluka.
Gadis itu masih terisak tanpa suara, dalam tiap isaknya tanpa sadar bibirnya mengucap nama Reja. Pelan, bahkan tanpa suara. Otaknya mencoba berpikir realistis, jadi ini yang disebut cinta. Entitas tak terlihat yang begitu paradoks. Perasaan yang menyenangkan, sekaligus memilukan bisa terjadi dalam satu hentakkan. Seperti dua busur yang dilepas bersamaan, rasa sakit dan gembira melebur, mrnciptakan rasa baru yang disebut patah hati.
“Bego, bego, dasar bego!” Iriya bergumam di tengah isaknya.
Dadanya bergemuruh hebat, perasaan asing ini menyerangnya terlalu dalam. Sampai sebuah tangan mendekapnya, membawanya dalam kehangatan, menepuk pelan pundaknya seraya berbisik. “Keluarin aja semuanya, gue temenin.”
Tanpa melihat wajah orang yang saat ini tengah mendekapnya, Iriya malah semakin terisak. Air matanya semakin deras mengalir, isakannya berubah menjadi jeritan tertahan. Tangisnya semakin pecah, bersamaan dengan semakin erat pelukan orang itu.
***
“Nih, minum dulu!”
Iriya hanya mengangguk, sembari menerima sebotol air mineral yang disodorkan orang itu untuknya.
“Thanks.”
“Lo kenapa?”
Dada Iriya mendadak terasa nyeri, lidahnya pun ikut kelu. Bukan pertanyaan yang sulit memang, namun mengingat adegan dimana Reja tengah berpelukan dengan seorang gadis, rasanya seperti ada beban dua ton yang menimpa dadanya hingga terasa amat sesak.
Iriya hanya menggeleng, seraya tersenyum pahit.
“Nggak apa-apa kok. Lo sendiri ngapain di sini?”
“Kakaknya Aryo ngajakin kumpul sama komunitasnya, lo mau ikut?”
Iriya menggeleng lemah, dia tahu persis komunitas macam apa yang dimaksud. Aryo sendiri seringkali mengajaknya bersama teman-teman satu tim futsalnya untuk main ke taman kota tiap akhir pekan hanya untuk melihat aksi kakaknya bersama komunitas Tricking yang super keren se-Kota Bandung.
Biasanya Iriya selalu antusias apabila Aryo mengajakanya. Merasa takjub melihat betapa kerennya Aryo dan A’ Iqbal—kakaknya Aryo—ketika melakukan gerakan-gerakan campuran antara seni bela diri, gerakan senam, B-boying dan beberapa olahraga lain seperti tendangan Taekwondo 540, gerakan twist kupu-kupu dari olahraga Wushu, dan double leg dari olahraga Capoera. Diiringi musik-musik kekinian, biasanya Iriya akan bersorak gaduh apabila kedua kakak-beradik itu mulai melompat, salto dan juga berputar sambil salto.
Namun saat ini, antusiasme yang biasa ia tunjukkan ketika menonton atraksi Tricking Aryo, menguap entah kemana. Menghilang, kabur bersama hembusan angin sore.
“Lo udah makan?”
Iriya hanya menggeleng lagi. Pelan, bahkan sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.
“Yaudah, tunggu di sini. Gue ke depan bentar, cari makan.”
Tidak merespon, Iriya hanya diam. Tatapannya kosong mengarah pada hiruk-pikuk keramaian taman kota yang semakin riuh. Musik-musik semakin kencang bermain, mengisi atmosfir sore ini dengan dentuman-dentuman keras dari beat-nya. Sampai orang itu datang lagi dengan sekantung plastik berisi nasi dan lauknya.
“Makan dulu, Ri.”
“Gue mau pulang aja, Jang.” Iriya berucap lemah sembari bangkit dari duduknya, menghiraukan Ujang yang kini menatapnya sambil menganga.
Di tempatnya, Ujang hanya bisa menghela napas pasrah. Sambil menunduk, akhirnya cowok kumal itu hanya mengikuti Iriya ke area parkir. Tangannya mengepal kuat, dalam hati Ujang berjanji akan mengabisi cowok sialan bernama Reja yang dengan kurang ajarnya membuat Iriya menangis.
Ditatapnya lamat-lamat punggung Iriya di hadapannya. Cewek itu berjalan gontai dengan tatapan kosong, tidak ada semangat apalagi senyum yang selalu terpancar di wajah cewek itu. Terakhir dirinya melihat Iriya bersedih adalah saat cewek itu menginap di rumah Anisa, tapi bahkan saat itu Iriya masih bisa marah dan tatapannya tidak se-hampa itu.
“Sialan!” Uajng mendesis pelan, merutuki ingatannya yang dengan lancang malah memutar memori satu jam lalu.
Mengulang-ulang adegan dimana Reja tengah berpelukan dengan seorang gadis cantik, terlihat mengharukan sekaligus mendebarkan. Namun, hal paradoks justru terjadi sekitar sepuluh langkah di belakang pasangan itu. Raut bahagia yang seketika berubah kaku. Senyum merekah, seindah bunga matahari yang tengah mekar, layu seketika. Lenyap. Menghilang digantikan tatapan getir yang menyakitkan.
Ya, Ujang mengetahui semuanya. Ia melihat dengan jelas, bagaimana bunga di hati Iriya yang barusaja mekar dipaksa layu dengan melihat adegan beberapa menit itu.
Kakinya berhenti melangkah, begitu juga dengan Iriya yang ternyata sudah berdiri diam di sisi sebuah motor bebek keluaran awal tahun 2000-an itu. Jalannya lambat, dan Iriya sudah bosan merutuki laju motor Ujang yang bahkan lebih lamban daripada siput. Cowok itu menatap Iriya sekali lagi, sebelum akhirnya menyerahkan helm yang tersangkut di motor matic Aryo.
“Lo serius nggak mau cerita?” tanya Ujang sesaat sebelum ia melajukan motornya.
Dari balik kaca spion, dilihatnya Iriya yang hanya menggeleng lemah. Ujang yang tidak tahu harus berkata apa hanya bisa menggaruk tengkuk, kemudian menyalakan motornya. Iriya belum pernah bersikap seperti itu sebelumnya, terakhir ia terlihat sedih adalah saat pulang dari rumah Anisa dan terakhir Iriya menangis seperti tadi adalah ketika hari peringatan kematian Bapaknya, dan ia tidak bisa pergi ke Bekasi karena sedang ujian.
Dari balik punggung Ujang, Iriya hanya bisa diam. Ia mengerti tentang kekhawatiran Ujang, dan gaya bicara cowok itu yang berubah drastis apabila sedang serius. Namun Iriya sungguh sedang tidak ingin membicarakan perihal hatinya yang terlanjur patah itu pada siapapun. Matanya menatap kosong pada jalanan kota Bandung yang sedikit lengang dan laju motor Ujang yang kian lambat, membuat memorinya justru berputar-putar seperti kaset rusak. Memutar adegan yang sama dalam mode lambat yang kontan membuat hatinya terasa semakin nyeri.
***
Motor bebek super lambat milik Ujang akhirnya berhenti tepat di depan bangunan sederhana bercat putih pudar yang tak lain adalah rumah Iriya. Masih belum bersuara, Iriya hanya turun dari motor, melepaskan helm yang diketahuinya adalah milik Aryo kemudian memberikannya pada Ujang.
“Thanks.” ucapnya pelan.
Lagi-lagi, Ujang hanya bisa menghela napas. Ditatapnya lagi punggung Iriya yang kini sudah lenyap di balik pintu, digantikan Dian yang kini menatap anaknya dengan tatapan heran. Sekilas, matanya melirik pada Ujang yang masih setia duduk di atas motornya.
“Mampir, Jang!” tawar Dian yang hanya dijawab dengan gelengan oleh Ujang.
“Mau langsung pulang, Bu. Belum bikin tugas.”
Bohong. Ujang tidak benar-benar ingin mengerjakan tugas. Ia bahkan tidak ingat, besok ada pelajaran apa saja di sekolah. Cowok itu tersenyum sekali lagi pada Dian, sebelum akhirnya melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Iriya.
Di dalam kamarnya, Iriya buru-buru merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya, mencoba mengistirahatkan pikiran serta hatinya. Berusaha menghapus memori tentang beberapa menit lalu, bekerja keras menata hatinya yang terlanjur kacau. Saat ini, tidak ada yang berubah dari dirinya. Pintu hatinya yang sudah perlahan terbuka, kini sudah kembali terkunci rapat. Di gembok dengan kekuatan ekstra yang kuncinya sudah di buang ke dasar palung paling dalam di sudut hatinya. Bahkan palu gadha raksasa pun tidak akan mampu membukanya.
Mungkin hanya keajaiban yang mampu membuka pintu hatinya lagi. Itupun kalau keajaiban memang masih ada.
***
Mentari menyambut pagi, menelisik kegelapan dengan seberkas cahaya terang yang memenuhi angkasa luas. Langit tak sepenuhnya cerah. Meski mentari tetap berkuasa akan paginya, ada mendung yang diam-diam datang.
Pagi ini, Iriya berangkat lebih awal. Tidak ada niat khusus, hanya ingin menyepi di atas pohon kesayangannya. Syukur-syukur bisa tertidur, sebab semalaman lagi-lagi memorinya memutar ingatan yang sama.
Barusaja Iriya ingin memejamkan matanya, suara-suara alay sudah terdengar dari ponsel jadul bin norak yang terselip di saku roknya.
“Apa?” ucapnya tanpa basa-basi.
“Apaan nih, kak? Ini topi siapa?” tanya seseorang dari seberang.
Iriya hanya mendecak kesal, sebelum melanjutkan obrolannya dengan bocah menyebalkan itu. “Udah ada tulisannya di kertas, cepet anterin sana! Kalo dia nanyain gue, bilang aja gue males.”
Iriya buru-buru mematikan panggilannya sebelum mendengar omelan Aldo. Kepalanya sudah pusing memikirkan ini dan itu, saat ini ia hanya ingin mengistirahatkan badan dan juga pikirannya. Setidaknya sebelum bel masuk berbunyi.
***
Di kelasnya, Reja duduk sendirian sembari menatap ke luar jendela. Langit mendung pagi ini, mungkin akan turun hujan. Wajar saja kalau hari ini hujan, karena sejak beberapa hari lalu hujan sama sekali tidak membasahi kota Bandung. Sama seperti dirinya yang merindukan sejuknya suasana hujan di pagi hari, mungkin hari ini langit juga tengah merindukan hujan.
Matanya masih menatap langit yang luas, saat tiba-tiba saja seseorang berdehem di sebelahnya yang kontan membuatnya membyatnya menoleh.
“Ini topi lo, Kak?” tanya orang itu tanpa basa-basi.
Ditatapnya cowok jangkung berpenampilan acakadul di hadapannya, sebelum akhirnya Reja mengalihkan atensinya pada sebuah topi yang seharusnya benda itu masih berada di tangan Iriya sampai sekarang.
Reja kemudian mengangguk, menerima topinya yang diberilan cowok tadi.
“Kata Kak Riri, makasih. Terus kalo kakak mau tau kenapa bukan Kak Riri yang nganter sendiri, katanya dia males. Udah ya kak, gue mau balik kelas.” jelas Aldo panjang lebar yang hanya dijawab Reja dengan anggukan.
Ditatapnya punggung Aldo yang mulai menjauh, kemudian mengalihkan tatapannya pada topi berlogo SMA Nusantara di tangannya. Ada rasa kecewa yg tumbuh di hati Reja. Mengapa bukan Riri yang menemuinya, mengapa cewek itu harus meminta bantuan pada seseorang yang bahkan tidak dikenalnya.
Baru saja Reja hendak mengeluarkan ponsel dari sakunya, bel masuk berbunyi nyaring. Menimbulkan efek kegaduhan yang terjadi seantero sekolah. Murid-murid mulai memasuki kelas, disusul guru yang hendak mengajar.
***
Beberapa hari berlalu, sejak terakhir kali Iriya bertemu dengan Reja di taman kota, sebisa mungkin cewek itu menghindar. Setiap hari selalu datang tepat saat bel masuk berbunyi, menghilang di jam istirahat, dan pulang begitu bel berbunyi. Bahkan Iriya juga tidak ikut latihan futsal beberapa hari terakhir. Untungnya Ujang juga tidak pernah ambil pusing, daripada kena bogem Iriya, lebih baik ia menuruti apa saja kemauan cewek yang tengah patah hati itu.
“Ri, lo kenapa sih?” tanya Anisa yang mulai kesal dengan kelakuan aneh Iriya.
Anisa tahu, ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Dulu, ia juga pernah bersikap begitu. Tepat setelah dikunci di kamar mandi oleh beberapa orang tak dikenal, Iriya juga bersikap persis seperti itu. Seperti menghindar dari apapun. Seolah siapapun yang bertemu dengannya, bisa membuatnya terkena penyakit atau apalah, Anisa kesal sendiri membayangkannya.
Iriya tidak menjawab, hanya menggeleng pelan kemudian melanjutkan kegiatannya menyalin catatan dari papan tulis ke bukunya.
“Serius? Lo aneh banget belakangan ini. Dateng telat, pulang cepat, istirahat hilang. Lo ada apa, Ri?” Iriya menggeleng lagi.
“Ck. Jadi lo emang bener-bener udah nggak nganggep gue sahabat. Oke, kalo emang itu mau lo!”
“Gue baik-baik aja, Nis.”
“Memangnya gue buta?! Gue bisa lihat, Ri! Gue bukan orang bodoh yang nggak mengerti dan nggak bisa baca keadaan. Gue diam selama ini karena nunggu lo yang cerita sama gue, tapi malah ini yang gue dapat.” ucap Anisa sembari bangkit dari duduknya.
“Nis, bukannya gitu!”
“Udahlah, gue capek, Ri!”
Di tempatnya, Iriya hanya bisa menunduk pasrah. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau semuanya akan serumit ini.
“Sialan!” pekiknya pelan sebelum akhirnya memutuskan keluar, menyusul Anisa.
Suasana koridor di jam istirahat kedua memang tidak terlalu ramai, cukup senggang meskipun ada beberapa siswa-siswi yang juga berlalu-lalang dan jujur saja, hal itu membuat Iriya sedikit terganggu. Cewek itu hanya berjalan lurus, mencoba mengikuti jejak-jejak Anisa tanpa memedulikan keramaian koridor.
Kakinya melangkah cepat, matanya menatap lurus ke depan, mencoba mencari keberadaan Anisa. Sampai sebuah tangan mencekal lengannya, menahannya untuk tidak pergi.
Matanya terbelalak, jantungnya berdetak cepat. Sama sekali tidak menyangka kalau ia harus bertemu Reja dalam situasi begini, karena jujur saja, hatinya belum siap.
“Ri, gue mau ngobrol bentar.” ucapnya sembari menatap Iriya lurus.
Yang diajak bicara hanya menggeleng pelan sembari berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Reja.
“Ri, sebentar aja.”
“Gue lagi ada urusan penting, Ja.” jawab Iriya, tidak sepenuhnya berbohong, namun matanya tidak mampu menatap manik hitam Reja yang begitu mengintimidasi.
“Gue mohon, sebentar aja, Ri!”
“Lo nggak denger Riri bilang lagi ada urusan? Jangan maksa begitu lah!” ucap Ujang yang entah datang darimana dan tiba-tiba melepaskan tangan Reja dari lengan Iriya.
“Jang, biarin gue bicara sebentar sama Riri.”
Tanpa menghiraukan wajah memelas Reja, Ujang hanya menoleh singkat pada Iriya yang justru menggeleng lemah.
“Riri nggak mau ngobrol sama lo.” Ucap Ujang, pelan namun tegas.
“Sebentar aja, Ri. Gue mohon.” Reja memohon lagi, tapi jawaban Iriya tetap sama.
“Riri nggak mau, lo jangan maksa!”
Kini Ujang mulai kehabisan kesabaran. Cowok kumal itu menepis tangan Reja yang berusaha meraih kembali lengan Iriya dalam kuasanya dan hal itu sukses memancing kemarahan Reja.
“Gue nggak ada urusan sama lo, Jang! Urusan gue sama Riri.”
“Urusan Riri jadi urusan gue juga, jadi lo jangan seenaknya!” ucap Ujang sembari menunjuk wajah Reja.
Pertikaian mereka di koridor saat jam istirahat, tentu membuat banyak mata menatap penasaran. Bisik-bisik yang menyakitkan telinga juga mulai berdesis. Ingin tahu, perihal apa yang membuat dua cowok yang bagaikan langit dan inti bumi itu sampai bertikai.
“Memangnya lo siapa?! Hah?!”
Giliran Reja yang mulai emosi. Cowok itu menyingkirkan telunjuk kotor Ujang dari depan wajahnya, kemudian mendorong bahu Ujang. Tidak keras, namun cukup sampai membuat Ujang terhempas ke belakang.
“GUE PACARNYA RIRI!” ucap Ujang dengan suara lantang, yang kontan membuat bisik-bisik tadi berubah menjadi seruan heboh.
Di tempatnya, Iriya hanya bisa terpaku menatap dua cowok yang tengah berdiri di hadapannya. Tatapannya terkunci pada Ujang, yang entah dapat ilham darimana malah mengatakn hal itu. Di hadapannya, ada Reja dengan raut kecewa bercampur marah. Jemarinya mengepal kuat, tatapannya menghujam tepat manik hitam Ujang.
Sambil tersenyum miring, Ujang maju selangkah. Mendekatkan bibirnya pada telinga Reja, sebelum akhirnya berbisik. “Gue lebih berhak, dan lo! Jangan pernah deketin Riri lagi.”
Kemudian Ujang berlalu, sambil menarik pelan lengan Iriya dan membawanya menjauh. Meninggalkan Reja yang masih terpaku di tempatnya, merasakan hatinya yang getir serta jiwanya yang gersang. Dadanya kian sesak, bagai ditikam ribuan sembilu. Rasanya menyakitkan. Tangannya masih mengepal kuat, giginya bergemelutuk menahan amarah. Langit cerah siang ini, tapi tak secerah hati Reja yang patah.
Bahkan langit pun tak ikut bersedih. Reja tersenyum pahit, sebelum akhirnya meninggalkan koridor dengan hati pilu. Dalam hati ia berharap langit pun akan merindukan hujannya. Dan kala langit tengah bertemu dengan hujan, setidaknya hujan bisa menyembunyikan airmatanya dan sedikit mengobati lukanya.
*******************************************************
Panjang dan gaje, hehe
Maapin yak, akhir-akhir ini lagi banyak urusan hehe
Buat yang sedang melaksanakan UNBK (aku tau diantara kalian tidak ada yg baca wattpad, tapi yahh) semangattt \^○^/
Jangan ditungguin yak minggu depan, hehe~
Selamat hari senin
Selamat tanggal 1
Selamat hari gajian
Hehe
Salam, dari dunia kambing🐑
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top