20. Stevia
Selamat membaca, urang teh tau kalian kangen urang. Makanya, baca aja soalnya urang nggak ada di chapter ini.
-Ujang ganteng
***************************************************
Reja masih bergeming, berdiri mematung mengabaikan pelukan erat seorang gadis di hadapannya. Matanya menatap kosong ke sembarang arah, telinganya seolah tuli tak mendengar setiap kata maaf yang terucap dari bibir mungil gadis itu.
Namanya Stevia, gadis cantik nan mempesona sekaligus cinta pertama Reja. Tidak ada yang kurang dari penampilannya. Wajah oval dengan mata bulat, bulu mata yang lentik, hidung mancung juga kulit yang putih bersih. Mungkin definisi cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan visual Stevia. Kepribadiannya juga baik, otaknya cerdas juga ramah. Namun semua itu sudah tidak ada apa-apanya di mata Reja. Semua kecantikan, serta kebaikan Stevia sudah tidak terlihat lagi di matanya.
“Lebih baik lo pergi, gue mau ketemu seseorang.”
Reja berucap datar, terasa amat dingin setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dengan cepat, cowok itu mengangkat tangannya. Mendorong pelan tubuh Stevia yang masih memeluknya.
“Maafin aku... aku mohon, maafin aku....” ucap Stevia sambil terisak.
“Gue udah maafin lo, sekarang lo bisa pergi.”
Reja berucap pelan, bahkan tanpa sedikitpun menatap Stevia yang kini memandangnya dengan mata memerah. Kedua mata yang sembab, karena tak hentinya menangis. Kalau dulu, mungkin Reja tidak akan pernah membiarkan air mata itu menetes dari mata indah Stevia. Kalau dulu, mungkin saja Reja sudah mendekap erat gadis mungil yang masih terisak di hadapannya itu. Kalau dulu.... Kalau saja bukan sekarang. Kalau saja Stevia tidak menyakitinya terlalu dalam, ini semua tidak akan terjadi.
“Lo yang pergi, atau gue yang pergi?”
Stevia menatap Reja, yang kini sudah balik menatapnya tajam. Pertanyaan yang terlontar bersamaan tatapan benci itu, bagaikan ribuan anak panah yang dilempar bersamaan dan menghunus tepat di jantungnya. Terasa nyeri dan menyakitkan.
Air matanya kembali lolos, sebelum akhirnya Stevia mengusap kasar pipinya dengan punggung tangan dan mengangguk pasrah.
“Biar aku yang pergi.” ucapnya pelan.
Jemari Reja mengepal kuat, seraya menatap punggung Stevia yang masih bergetar hebat sampai akhirnya menghilang ditelan rimbunnya pepohonan. Matanya memejam perlahan, menahan amarah yang kian membuncah dalam dadanya tiap kali ia melihat gadis itu, Stevia.
Cowok itu hanya bisa terdiam, membiarkan tubuhnya jatuh terduduk di rerumputan. Menatap kosong pada langit cerah, yang seolah tengah mengejeknya. Ingatannya tergulir pada masa satu tahun ke belakang. Saat bunga cintanya mekar untuk pertama kalinya, saat Stevia masih menjadi kekasihnya. Saat itu, setahun yang lalu.
Hari itu langit begitu cerah, bahkan awan pun enggan menghalangi birunya cakrawala yang tengah menghiasi siang. Idahnya langit, seidah perasaan Reja yang tengah berbunga. Setelah lama menunggu, akhirnya ia bisa kembali bertemu Stevia.
Hatinya berbunga, jiwanya bergairah, ada getaran hebat yang menghambat di tubuhnya tiap kali ia bernapas. Reja bahagia, teramat bahagia. Hubungan jarak jauh yang selama ini jalani berdua saja dengan Stevia, akhirnya bisa berujung temu. Cowok itu mematut diri sekali lagi di depan cermin. Menyisir asal rambutnya dengan jari, merapikan kerah kemajanya, serta menepuk-nepuk pelan celana jeans yang ia kenakan. Takut-takut ada debu yang menempel. Penampilanya sempurna, sesempurna senyum yang kian merekah di bibirnya.
Sudah enam bulan Reja menjalani hubungan dengan Stevia, temannya semasa SMP. Masa muda yang dilaluinya, tidak pernah tanpa kehadiran gadis itu. Dengan hanya melihat senyum di wajah Stevia, Reja merasa hidup. Dan kehidupannya bertambah sempurna, saat dirinya tahu bahwa Stevia juga mencintainya. Awalnya semua berjalan lancar, sampai Stevia terpaksa pindah ke Jakarta karena orang tuanya yang juga dipindah tugaskan ke Ibu kota tiga bulan terakhir.
Semuanya tetap berjalan normal, meskipun jarak membentang Reja sadar betul kalau cintanya tidak akan pudar terhapus jarak. Begitu juga sebaliknya. Toh, meskipun jarak berkilo-kilo meter memisahkan, langit yang luas tetap menghubungkan mereka.
Dengan perasaan campur aduk, antara bahagia, senang, rindu, juga haru yang kian bersatu padu dalam hatinya, Reja bergegas menuju sebuah kafe di sekitaran taman kota. Ia memang sudah biasa mengajak Stevia kencan di sana atau sekedar main skate bersama Fahri. Taman kota selalu menyimpan banyak cerita. Dan seperti halnya hari ini, saat langit tengah tersenyum, sepertinya taman kota akan mencetak kenangan lain.
Reja tidak bisa menyembunyikan senyumnya, setelah memarkirkan mobilnya di halaman kafe ia segera masuk. Beberapa pegawai kafe yang sudah mengenalnya menyapa ramah, yang hanya dibalas dengan senyum. Langkahnya terasa ringan, Reja buru-buru menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai dua dan tiga kafe tersebut.
Seperti biasa, Reja tahu persis tempat favoritnya dengan Stevia, yaitu area rooftop lantai tiga. Selain karena tidak terlalu ramai, di area itu juga satu-satunya bagian kafe yang tidak dibatasi dinding atau kaca. Tempatnya terbuka, juga rindang karena ada beberapa ranting pohon besar yang di tanam di halaman kafe ikut membuat teduh suasana.
Dengan langkah ringan, serta jantung yang sudah tidak berirama sesuai ritme, Reja melangkah mantap ke satu meja yang memang biasa ia tempati. Namun, betapa tetkejutnya dia saat melihat sesuatu yang sama sekali tidak ingin dilihatnya.
Di pojok ruangan, Stevia Berdiri berhadapan dengan Fahri. Tanpa menunggu waktu lama, gadis itu mengikis jaraknya dengan Fahri dan secara mengejutkan malah mencium tepat di bibir Fahri. Tidak ada yang bisa Reja lakukan saat itu. Tubuhnya seolah kaku, debaran yang sejak tadi ia rasakan seketika terhenti dan berganti menjadi denyutan menyakitkan. Fahri yang menyadari kehadiran Reja, buru-buru melepaskan lengan Stevia yang masih melingkar di lehernya.
“Ja, ini nggak seperti yang lo lihat.” ucap Fahri sembari menghampiri sahabatnya.
Tidak ada jawaban, Reja hanya terdiam. Tatapannya hanya tertuju pada Stevia yang kini juga menatapnya. Tidak ada perasaan, apalagi penyesalan dalam tatapannya. Hanya tatapan dingin yang terasa asing. Tatapan Stevia saat itu, bagai belati yang menghunus tepat di jantungnya. Menghancurkan segala perasaan cinta yang tumbuh di sana. Stevia yang ia cintai, sudah tidak ada lagi. Perasaan itu hilang, lenyap layaknya debu yang disiram air.
“Stev—“
“Nggak ada yang perlu aku jelasin lagi ke kamu, Ja. Semuanya sudah jelas. Dari awal, aku memang nggak pernah cinta sama kamu.”
Lagi-lagi, Reja hanya bisa terdiam. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu dan seluruh tubuhnya mati rasa. Aliran darahnya seolah terhenti, mematikan denyut jantungnya. Rasanya, seluruh tatanan dalam tubuhnya hancur saat itu.
“Maksud lo apaan sih?! Becanda lo nggak lucu Stev!” kini giliran Fahri yang angkat bicara.
Ditatapnya Stevia yang juga menatapnya tajam, kemudian beralih pada Reja yang masih mematung di hadapan mereka.
“Aku nggak bercanda Fahri, sejak awal aku Cuma suka sama kamu. Aku nggak sungguh-sungguh mencintai dia, ini aku lakukan hanya demi kamu.” Jawab Stevia yang bahkan enggan menyebut nama Reja, membuat cowok itu makin tidak berdaya.
Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Perkataan terakhir Stevia sudah memukul telak Reja, hingga yang bisa dilakukan cowok itu hanyalah pergi dari hadapan Stevia sembari membawa luka. Langkahnya yang tadi terasa seringan bulu, kini justru terasa amat berat. Seolah ada batu besar yang diikat di kakinya, hingga ia harus tertatih untuk turun dan meninggalkan kafe.
Di tempatnya, Fahri menatap Stevia penuh kemarahan. Tujuannya pergi kemari sama sekali bukan untuk ini semua. Mereka sudah bersahabat sejak lama, dan hanya karena pernyataan konyol gadis itu, persahabatannya terancam hancur. Fahri mencengkram kuat lengan Stevia, menatap wajah gadis itu yang tanpa sedikitpun merasa bersalah, dan malah tersenyum padanya.
“Lo udah gila, hah?! Maksud lo apa, Stev?” ucapnya, sebisa mungkin menahan amarah dalam dadanya.
“Aku suka sama kamu Fahri, apa yang kulakukan selama ini hanya demi kamu. Termasuk pacaran sama dia, semuanya demi kamu! Semua aku lakukan supaya bisa lebih dekat dengan kamu!”
Stevia berkata sambil terus menatap Fahri. Wajahnya merah padam, matanya menatap nyalang, pertanda kalau gadis itu tidak main-main. Fahri mengerti, amat mengerti. Hingga kemudian cowok itu hanya menghela napas kasar, sebelum akhirnya melepas cengkramannya pada lengan Stevia hingga gadis itu terhempas ke belakang.
Fahri menatapnya tajam, sebelum berbisik pelan di telinga Stevia. “Kalau begitu caranya, lo salah. Lo nggak akan dapat apa-apa, justru malah akan kehilangan semuanya.”
Cowok berkacamata itu melenggang pergi, tepat setelah mengucapkan kata-kata itu pada Stevia. Di tempatnya, gadis cantik itu hanya bisa mematung, berpikir keras mengenai kesalahan yang telah ia perbuat. Stevia menyadari satu hal, bahwa hari itu ada sepotong hati yang ia hancurkan hingga tak berbentuk.
Reja menekan kuat dadanya yang kini terasa amat nyeri. Bahkan mengingatnya saja membuatnya sulit bernapas. Sudah tidak ada lagi Stevia yang dulu. Di matanya kini, yang ada hanya seorang gadis jahat yang memaksanya masuk kedalam jurang yang disebut patah hati. Ia bahkan masih ingat betul, hari dimana Stevia masih sempat mengunjunginya, mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya sebelum kembali ke Jakarta.
Bekas luka itu masih ada, rasa nyerinya juga masih tersisa. Ditambah dengan kehadiran Stevia dalam hidupnya lagi, seperti menyiram garam diatas luka yang menganga. Perih.
Reja merogoh sebuah kotak dalam sakunya, mengeluarkan isinya dan menaruhnya di bibir. Asap mengepul, bersamaan dengan perasaannya yang kian berantakkan. Dihisapnya lagi asap nikotin itu, menahannya dalam-dalam, membiarkan asap itu memenuhi paru-parunya sebelum akhirnya melepaskannya ke udara. Dadanya masih terasa sesak, bukan karena asap rokok, tapi karena bayang-bayang Stevia yang masih saja bermain dalam pikirannya.
Dihembuskannya lagi asap putih itu ke udara, sebelum ia rebahkan tubuhnya di rerumputan. Menghirup dalam harum aroma rumput yang bercampur bau tembakau sembari memejamkan matanya. Sampai sebuah notifikasi membuyarkan lamunannya.
‘Maaf, gue nggak jadi datang. Besok gue kembaliin topi lo di sekolah.'
Lagi-lagi, Reja hanya bisa menghela napas pasrah. Dirinya bahkan melupakan Iriya. Segala hal tentang Stevia sudah membuatnya lupa, bahkan ia tidak mengenali dirinya saat ini. Dan kalau Iriya tahu apa yang terjadi padanya hari ini, cewek itu sudah pasti akan terluka.
“Maafin gue, Ri.” lirihnya pelan, sebelum kemudian kembali memejamkan matanya.
Senja mulai menyapa, membawa hembus angin yang terasa pilu. Meninggalkan hati yang tengah meratap, merasakan nyeri tiap gores luka yang didapatnya. Reja hanya bisa menghela napas kasar, mencoba membuang segumpal ingatan tentang Stevia tanpa tahu, bahwa di lain tempat semesta sudah memberi luka baru pada seseorang.
*****************************************************
Selamat membaca, maaf aku gak bisa update jadi minta di update-in sama Ujang. Jadi harap maklum kalau dibajak ya :)
Kalau ada yang mau QnA silahkan tanya disini, biar kuberi contoh : kenapa Reja namanya Januari padahal lahirnya bukan bulan Januari?
Nah seperti itu ya! Aku mau lanjut berlari-lari di alam mimpi dulu.
Salam, dari pulau kapuk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top