18. Pelipur Lara
Selamat hari senin, buat yang sedang ujian semangat ya!!🍉🍉
*************************************************
Hari beranjak sore, dan tanpa terasa bel pulang sudah berbunyi nyaring. Bunyi yang memekakkan telinga sekaligus yang terdengar paling menyenangkan. Suara riuh ramai sorak-sorai para murid SMA Nusantara yang penat dan rindu dengan suasana rumah sudah memenuhi seisi kelas, tapi tidak dengan Iriya. Gadis kumal plus acak-acakan itu masih setia duduk di kursinya sambil menatap kosong ke sembarang arah.
Anisa yang bingung melihat tindak-tanduk Iriya yang aneh bin ajaib itu hanya bisa duduk kembali di tempatnya kemudian menoel pelan bahu Iriya.
"Ri?" panggilnya, sembari mencolek lengan Iriya. "Oy, Ri! Lo nggak mau pulang?!"
"Hah? Apa?" Iriya gelagapan. Diliriknya seisi kelas yang sudah hampir kosong.
"Lo ngapain sih, bengong aja? Ngelamunin apaan sih?" tanya Anisa yang heran dengan sikap Iriya.
"Nggak ngelamunin apa-apa kok, yuk pulang!"
Baru hendak beranjak dari kelas, Anisa buru-buru menahan lengan Iriya. Sedang yang bersangkutan malah menatapnya heran.
"Kenapa lagi Anisa??"
"Jangan bilang lo lupa, kalo Reja ngajak lo pergi sore ini."
Seperti tersambar petir, Iriya reflek menepuk jidatnya. Bagaimana bisa dirinya malah melupakan poin yang satu itu. Tapi di sisi lain, Iriya justru merasa heran.
"Lo tau dari mana?"
Tanpa menjawab, Anisa hanya mengarahlan pandangannya pada cowok kumal yang sedang asyik tiduran di meja guru. Cepat-cepat Iriya menghampiri Ujang, menabok perutnya keras kemudian pergi begitu saja.
"Kunaon eta budak, Nis?" tanya Ujang sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri akibat pukulan Iriya.
Anisa hanya mengangkat bahu, tanda dirinya sama sekali tidak mengerti dengan sikap Iriya hari ini. Seharian, gadis itu hanya bengong dan bahkan tidak menyadari kalau Ujang sejak tadi menggodanya dan mengatakan kepada seluruh penghuni kelas XI IPS 3 bahwa diriya akan diajak jalan oleh Reja sepulang sekolah.
Baru saja Anisa hendak mengejar Iriya, tangan Ujang sudah menarik tasnya dan menyeretnya ke parkiran. Dan kalau sudah begini, Anisa hanya bisa pasrah. Cewek kepang itu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Iriya dan mengiriminya pesan singkat, semacam, "Kalau ada apa-apa hubungi gue." Seolah-olah Iriya akan pergi berperang.
"Udah, nggak usah dipikirin. Riri udah dewasa." ucap Ujang sebelum menyalakan mesin motornya dan menyerahkan sebuah helm pada Anisa.
Di lain tempat, Iriya yang tengah bingung hanya bisa membasuh wajahnya hingga bersih dan menatap dirinya lama-lama di depan cermin toilet. Ditatapnya wajah berminyak dan kumal yang terpantul itu, kemudian membasuhnya sekali lagi. Entah apa yang terjadi padanya, perasaannya lagi-lagi bimbang.
Sisi lain dirinya terus mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah merawat wajah, sisanya tidak mempermasalahkan.
"Gue kenapa sih? Cuma ke toko buku doang, iya cuma ke toko buku." ucapnya pada diri sendiri, sebelum sekali lagi membasuh wajahnya dan membenahi ikatan rambutnya.
Tak lama, ponselnya berbunyi. Nama Reja yang tertera di sana. Dengan perasaan gugup, Iriya menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Dari seberang, terdengar suara Reja beserta bisingnya kendaraan yang lalu lalang. Tidak banyak percakapan, cowok itu hanya memberi tahu Iriya agar segera menyusulnya di halte depan sekolah.
"Iya, gue menuju halte." ucap Iriya sambil menatap wajahnya--yang masih kumal--sekali lagi, sebelum akhirnya berlalu.
***
Angkot sudah melaju kencang, seperti yang diucapkan Reja saat jam istirahat tadi mereka akan pergi ke toko buku. Dalam hati, Iriya sebenarnya tidak tahu apa yang hendak Reja lakukan di toko buku. Meskipun jawabannya sudah pasti untuk membeli buku, hanya saja cewek itu sebenarnya penasaran buku apa yang mau Reja beli. Ingin ia bertanya, namun apa daya, lidahnya malah terasa kelu. Ditambah suasana angkot yang lumayan ramai, membuatnya enggan berbicara apapun pada Reja.
Sedangkan di sampingnya, Reja sedang berusaha sebisa mungkin menghilangkan suasana canggung yang kini tercipta di antara dirinya dan Iriya. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, sejak bertemu dengannya Iriya sama sekali tidak mengatakan sepatah katapun. Saat Reja mengajaknya untuk menaiki angkot, gadis itu juga hanya mengangguk patuh.
Diliriknya Iriya yang kini duduk berhadapan dengannya. Disampingnya, duduk juga seorang ibu beserta barang belanjaannya. Dihadapannya juga ada seorang siswa SD dan seorang penjual jamu. Keadaan angkot yang tidak terlalu ramai, juga tidak bisa dibilang sepi, membuat Reja serba salah. Ditatapnya Iriya yang tak kunjung menatapnya balik, entah apa yang terjadi pada cewek itu. Sejak menaiki angkot, pandangannya hanya lurus ke depan.
"Ri," panggil Reja, pelan namun mampu didengar Iriya.
Cewek itu menatap Reja dengan tatapan datarnya, yang jujur membuat Reja amat lega. Tanpa bertanya, Iriya hanya mengangkat alisnya sembari terus menatap Reja. Sedang yang ditatap hanya tersenyum dan sukses membuat seluruh pertahanan Iriya hancur.
"Kenapa diam aja?" tanya Reja kemudian.
"Nggak pa-pa."
Iriya menjawab lempeng, sambil kembali mengalihkan tatapannya pada jendela depan angkot. Pertahanannya sudah runtuh seketika tepat saat Reja tersenyum kepadanya. Dalam diam, sebisa mungkin Iriya mengatur debaran jantungnya yang semakin menggila. Rasanya ia bisa tewas terkena serangan jantung kalau terlalu sering melihat senyuman itu. Belum juga debaran jantungnya mencapai batas normal, semilir angin pelan mulai terasa. Reflek, Iriya menolehkan kepala ke arah cowok ganteng di hadapannya yang kini tengah sibuk mengipasi wajahnya dengan topi.
"Ngapain, sih?" tanya Iriya yang heran dengan sikap ajaib Reja.
"Muka lo merah, pasti karena kepanasan. Maaf ya, harusnya gue nggak ngajak lo di saat nggak bawa mobil."
Iriya menatap Reja dengan tatapan takjub. Bisa-bisanya cowok itu mengira semua ini karena kepanasan. Dengan cepat, Iriya merebut topi berlogo SMA Nusantara yang sejak tadi dipakai Reja untuk mengipasinya. Cewek slebor yang kini penampilannya makin kumal itu kemudian memakai topi milik Reja, seraya berkata, "Gue sama sekali nggak kepanasan." Dengan mode datar.
"Ini semua gara-gara senyum lo, Reja bego!" umpatnya dalam hati.
***
Cuaca panas terik saat angkot berhenti tepat di jalan Merdeka, di depan sebuah toko buku yang lumayan besar. Dengan cekatan, Iriya melangkah turun dan tak lupa membayar ongkos tumpangannya. Cewek itu diam sejenak, memperhatikan Reja yang malah ikut diam di sampingnya.
"Eh, kenapa?" tanya Reja begitu menyadari sikap Iriya.
"Emang kita mau ngapain ke toko buku? Iya, gue tau jawabannya pasti mau beli buku. Tapi, buku apaan?"
Reja hanya terkekeh pelan mendengar pertanyaan beruntun dari Iriya, yang entah mengapa terdengar amat lucu di telinga.
"Gue mau cari buku puisi."
Iriya mengangguk-angguk, kemudian melangkahkan kakinya memasuki toko buku. Dari luar, tempat itu nampak seperti toko buku pada umumnya, tapi dalamnya ternyata sangat besar. Bahkan kuga dilengkapi berbagai fasilitas seperti lift. Sejenak, Iriya sukses dibuat takjub dengan besarnya toko buku itu, sampai kemudian ia menemukan beberapa rak besar berisi buku komik berjejer tak jauh dari tempatnya berdiri.
Tanpa menoleh, ia menepuk bahu Reja. "Ja, lo cari buku puisinya sendiri aja. Gue tunggu di sini oke?" ucap Iriya yang lebih terdengar seperti perintah.
Lagi-lagi Reja hanya tersenyum sembari menyaksikan tingkah Iriya yang seperti anak kecil. Setelah melihat Iriya yang kini tengah disibukkan dengan tumpukkan serial komik Miko, barulah Reja meninggalkan cewek itu.
Beberapa menit berlalu, Iriya masih sibuk cekikikan sendiri sambil membaca komik sampai kemudian Reja justru datang menghampirinya.
"Buku yang gue cari nggak ada, Ri." ucap Reja begitu menghampiri Iriya. "Itu emang buku lama sih, mungkin memang nggak dicetak ulang."
Iriya menatapnya bingung, entah buku macam apa yang dicari Reja sampai tidak bisa ditemukannya di toko buku sebesar ini.
"Lo udah cari ke semua tempat? Udah tanya sama Mas-masnya?"
Reja mengangguk cepat mengiyakan pertanyaan Iriya. Sebelumnya, dia memang sudah berkeliling dan menanyakan kepada beberapa pegawai toko buku mengenai keberadaan buku yang hendak ia beli.
"Ikut gue aja yuk!" ucap Iriya, tanpa sadar cewek itu menarik lengan Reja. Membuat cowok yang kini memakai jaket berwarna navy itu tersenyum tipis.
Masih sambil memegangi lengan Reja, Iriya berjalan menuju halte kemuduian memberhentikan sebuah bus yang kebetulan melintas. Dari dalam bus, lagi-lagi tidak banyak percakapan yang terjadi antara mereka. Iriya masih diam sembari menatap keluar jendela, memperhatikan jalanan kota Bandung yang kian ramai. Sedangkan disebelahnya, Reja turut disibukkan memperhatikan wajah Iriya yang tersembunyi dibalik topi sekolah.
Ada senyum tipis yang menghiasi wajah Reja, sampai kemudian bus menepi di pinggiran jalan Palasari tak jauh dari pasar. Tanpa banyak bicara, Iriya membawa Reja masuk menelusuri Pasar Palasari, sampai matanya menangkap jejeran kios maupun lapak penjual buku di sana.
"Disini bukunya nggak semua baru, tapi lumayan lengkap." ucap Iriya sambil berjalan. "Kali aja buku yang lo cari ada di sini."
Reja mengangguk, kemudian mulai menelusuri satu demi satu kios. Memeriksa setiap tumpukkan buku, dan tak lupa bertanya pada para penjualnya. Belum juga ia dapat buku yang dicarinya, Iriya keburu memanggil. Dilihatnya Iriya yang tengah berbicara pada salah seorang pemilik kios.
"Kenapa, Ri?" tanya Reja begitu sampai di hadapan Iriya.
"Udah dapet?" Reja menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Iriya. "Emang lo mau cari buku puisi apa?"
"Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus, karya Chairil Anwar."
Iriya mengangguk mengerti, "Aya teu Mang?" tanya Iriya pada seorang pria di hadapannya.
Pria berusia sekitar pertengahan lima puluhan itu mengangguk, kemudian mulai menjelajahi tiap tumpukkan buku. Tangannya dengan cekatan memeriksa tiap judul, seolah sudah hapal dengan seluruh isi dari tiap tumpukkan. Sampai tangannya menemukan sebuah buku bersampul cokelat, terlihat sedikit usang namun masih dalam kondisi yang amat baik.
"Ini," ucap pria tadi, seraya memberikan buku yang dimaksud Reja kepada Iriya.
"Yang ini, Ja bukunya?"
Reja hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Iriya barusan.
"Sabaraha Mang?"
"Dua puluh ribu aja, Neng. Emang bukan barang baru, tapi masih bagus. Semua halamamnya juga masih utuh." ucap Mamang penjual buku itu.
Reja mengangguk mengerti, kemudian segera mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu dari dalam dompetnya. "Makasih, Mang."
Reja berbalik, matanya menyapu seisi pasar yang memang tidak terlalu ramai sore ini. Hingga ditemukannya Iriya yang tengah berjongkok diantara tumpukkan buku komik. Tangannya dengan lihai membolak-balikkan halaman dengan cepat, wajahnya sumringah disertai senyuman. Dari jauh, ada getaran hebat yang menjalar dalam dada Reja kala melihat senyum itu. Dengan cepat, Reja menghampiri Iriya yang masih asyik menelusuri tiap halaman pada buku di genggamannya.
"Ri!" panggil Reja, yang kontan membuat Iriya mendongak kearahnya.
"Udah dapet bukunya?" tanya cewek itu.
Reja mengangguk cepat, membuat Iriya ikutan berdiri. Di tangannya, sudah ada satu plastik kecil berisi serial komik lama yang memang ingin ia beli.
"Itu apaan, Ri?" tanya Reja sembari menunjuk bungkusan yang dipegang Iriya.
"Oh, ini seri komik Ghost School. Dulu gue pernah baca punya Aryo, tapi belum gue baca sampai selesai malah keburu dihilangin sama Imam."
Reja kembali mengangguk, tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya, ia sudah amat bahagia kala melihat sorot antusias dari wajah Iriya saat menjelaskan kisah-kisah dari komik yang dibelinya. Sebenarnya Reja juga sudah tahu cerita-cerita tentang sekolah yang berhantu dari komik itu, tapi entah kenapa rasanya menyenangkan mendengar Iriya bercerita.
"Lain kali kesini aja kalau mau beli buku, Ja." ucap Iriya ditengah keheningan sore.
"Sama lo juga ya?"
Tidak menjawab, cewek kumal yang saat ini masih memakai topi sekolah milik Reja itu hanya mengangguk pelan. Dari tempatnya, Reja melihat semburat merah yang tersembunyi dibalik topi itu. Amat menggemaskan sekaligus lucu. Wajah Iriya yang biasanya datar, atau paling-paling hanya pasang ekspresi marah ternyata bisa terlihat lucu saat memasang ekspresi malu.
Reja masih tersenyum dalam diam, sedang Iriya lagi-lagi merutuki dentuman-dentuman menyebalkan di dadanya. Suasana sore kian ramai, disertai semburat jingga di langit kota Bandung menambah syahdu kebersamaan dua insan yang kini masih berdiri canggung di tempatnya masing-masing. Sampai bus yang ditunggu datang, dan membawa mereka menjauh dari suasana canggung yang kian menyiksa.
*****************************************************
Padahal kemarin itu bukan hari ini, kenapa besok bukan juga lusa?
Apa tidak ada yang ingin bertanya sesuatu seputar cerita ini? (Emang ada yang baca?) oh, iya diriku lupa.
Kalau memang tidak ada, yasudah aku mau pergi ke pantai. Mencari keong dan melakukan survei mengenai, kenapa pasir pantai ada garamnya? Akan aku cari tahu, mungkin saja ada pedagang garam yang menumpahkan barang dagannya.
Kalau begitu, aku pamit.
Salam, dari pulau kapuk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top