16. Keanehan
Hujan masih setia mendera bumi dengan derasnya. Suasana hening kembali memenuhi bus yang semakin sepi. Hanya deru mesin bus yang melaju kencang ditambah teriakkan tidak merdu dari kondektur yang menyerukan arah tujuan bus. Dari dalam, Iriya membuang pandangannya kearah luar. Sesekali, cewek itu mengusap kaca jendela bus yang berembun sembari menyaksikan jalanan yang basah.
Samar, aroma manis esense vanilla merambat masuk ke indera penciumannya. Seperti tersengat listrik, Iriya buru-buru menatap nanar pada sebuah jaket tebal berwarna kelabu yang kini tengah menyelimuti tubuhnya. Matanya masih menatap kosong jaket milik Reja, sedangkan ingatannya malah memutar adegan beberapa menit lalu saat Reja melepaskan jaket itu.
"Jangan sampai sakit."
Lagi-lagi ucapan Reja terngiang di telinganya, menimbulkan getar aneh dalam dadanya. Reflek, cewek kumal itu menekan dadanya yang rata kuat-kuat.
"Apa jangan-jangan gue kena gejala penyakit jantung ya?" gumamnya pelan.
Perasaan asing yang sama sekali tidak dimengerti. Masuk begitu saja, dan membuat dadanya sesak. Entah perasaan asing apa itu, yang Iriya tahu desiran aneh itu hanya timbul jika dirinya berada dekat-atau sedang kepikiran- dengan cowok bernama Reja. Entah perasaan apa itu, sepertinya Iriya harus segera membuat BPJS.
***
Hari masih pagi, tapi Iriya sudah disuguhkan drama remaja alay yang kini tengah memperebutkan pulpen tak bertuah yang menggelinding dari bawah meja.
"Gue yang pertama liat, artinya ini milik gue!"
"Enak aja lo! Ini pulpen emang punya gue, dari kemarin hilang!" teriak cewek yang satu sembari merebut pulpen lucu berwarna pink dari rekan bertengkarnya.
"Gue yang nemu! Punya gue berarti."
"Apaan, sih?! Kan gue yang beli!"
Perdebatan masih terus berlangsung, sampai seorang cowok kumal berjalan masuk ke dalam kelas dengan menyangga tas selempangnya di kepala. Cowok itu berjalan santai, kemudian merebut pulpen cantik yang sejak tadi jadi rebutan itu.
"Gandeng lah! Udah buat saya aja." Ujang bicara santai sambil memasukkan pulpen tadi kedalam saku celananya.
"UJANG!"
Iriya hanya bisa tertawa menyaksikan drama pagi ala teman satu kelasnya itu. Ditambah Ujang yang kini jadi bulan-bulanan dua cewek brutal tadi, membuat Iriya tidak hentinya tertawa sembari memegangi perutnya. Sampai satu pertanyaan Anisa menghentikan kegiatan Iriya menertawakan adegan kekerasan yang masih berlangsung di depan kelas.
"Ri, ini jaket siapa? Lo baru beli?"
Seperti tersambar petir, Iriya yang sebelumnya masih asyik menertawakan Ujang, kini tatapannya tertuju pada sebuah benda yang terlipat rapi didalam tas karton yang sengaja ia bawa. Cewek kumal itu menepuk jidatnya dan buru-buru bangkit dari tempatnya.
"Gue lupa Nis, nanti gue jelasin!"
Dengan langkah besar, Iriya berjalan cepat menuju ruang kelas IPA. Dirinya bahkan sudah lupa, Reja berada di kelas yang mana. Jadi, dengan segenap keberanian Iriya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Cewek itu melangkah mantap memasuki salah satu ruang kelas IPA yang pintunya memang terbuka.
"Permisi!"
Tidak ada jawaban. Suasana yang amat berbeda dengan kelasnya. Bahkan tidak ada suara sedikitpun, padahal belum ada guru yang mengajar. Iriya masih bengong berdiri di ambang pintu, sampai seorang cowok bertubuh tinggi menghampirinya.
"Lo Iriya yang anak futsal itu, kan? Ada perlu apa?"
Iriya menatap cowok tadi dengan tatapan takjub. Bagaimana bisa orang itu mengenalnya, padahal mereka belum pernah bertemu.
"Lo kenal gue?" tanya Iriya yang hanya dijawab dengan kekehan.
"Waktu itu kita pernah sparring futsal, dan karena lo satu-satunya cewek, makanya gue ingat."
Iriya mengangguk tanda mengerti, sebelum tatapannya beralih pada tas karton di tangannya. Hampir saja ia melupakan tujuan utamanya.
"Oh iya, Reja mana?"
Belum sempat cowok tadi menjawab, sebuah suara tiba-tiba saja terdengar dari arah belakangnya.
"Kelas gue bukan di sini." ucap suara tadi membuat Iriya terlonjak kaget.
"Kaget gue!" protes Iriya, sedang yang bersangkutan hanya bisa nyengir sambil menggaruk tengkuk.
"Yaudah, gue masuk ya."
"Thanks, Dhar!" ucap Reja pada cowok tinggi yang kini sudah kembali kedalam kelasnya. Kini tatapan Reja beralih pada Iriya yang tengah berdiri canggung di hadapannya, membuat cewek itu terlihat berkali-kali lipat lebih manis.
"Untung gue jalan keluar, kalo nggak kita nggak akan ketemu."
"Maaf, gue lupa kelas lo yang mana."
"IPA 2." Reja menjawab singkat.
"Ini, gue cuma mau kembaliin jaket lo. Makasih, Ja."
Iriya menyerahkan tas karton berisi jaket tadi kepada sang pemilik. Masih sambil menunduk, cewek itu menunggu Reja mengambil bungkusan itu dari tangannya.
"Kalau hari ini lo masih nggak bawa jaket, pake aja dulu."
Mendengar ucapan Reja, Iriya cepat-cepat menggeleng sembari menatap cowok itu lurus. "Nggak usah! Hari ini cerah." jawabnya lempeng, yang hanya dapat kekehan pelan dari Reja.
Iriya menunduk lagi. Berkat senyum lembut Reja, lagi-lagi jantungnya berdetak kencang sekali.
'duh, gue beneran punya penyakit jantung kayaknya'
"Ri! Riri!"
"Eh, kenapa?" Iriya gelagapan saat ternyata Reja sudah berdiri di hadapannya sembari mengibaskan sebelah tangan.
Cowok itu tersenyum samar, sebelum melangkah masuk ke dalam kelas yang berada persis di sebelah kelas yang Iriya masuki tadi. Cewek kumal itu hanya mendengkus pelan, kemudian berjalan kembali ke kelasnya. Entah mengapa, mendadak dirinya merasa kesal. Sampai derap langkah terdengar mengikutinya dari belakang.
"Kok malah jalan duluan sih?"
Iriya hanya diam sembari memasang tampang cengo, saat kini Reja malah sudah berada di hadapannya. "Cepet, nanti keburu bel masuk."
Tanpa berkata apapun, Iriya mengikuti Reja yang ternyata hanya mengantarnya sampai depan kelas. Bukan apa-apa memang, tapi gerakan tiba-tiba Reja yang mengacak rambut Iriya sebelum memutuskan pergi, malah sukses membuat geger dunia persilatan.
Bukan hanya sekedar siulan, atau ejekan-ejekan laknat yang Iriya dapat, tapi lebih dari itu.
"Ciyeeee akhirnya jadian!"
"PJ kali, Ri!"
"Akhirnya ada juga cowok yang mau sama Riri,"
Itu baru ledekan dari anak-anak cowok, sisanya para cewek justru mendengkus kesal sembari menatap Iriya tajam. Kebanyakan merasa tersaingi, sebab cewek acakadul itu sudah berhasil merebut cowok incaran mereka.
"Siapa yang jadian? Nggak ada tuh!" Iriya menjawab acuh, kemudian duduk dengan tenang di kursinya. Tapi, sepertinya masalah belum selesai sampai di situ, sebab Anisa kini sudah menatapnya dengan tatapan aneh. Antara kesal dan ingin tahu, benar-benar aneh.
"Jadi.... " Anisa sengaja menggantungkan kalimatnya, menunggu Iriya yang melanjutkan.
"Jadi, tadi gue ngembaliin jaket Reja."
Anisa mengangguk-angguk paham, kemudian menatap Iriya dengan alis terangkat. "Lo jadian sama dia?" tanyanya yang sukses membuat Iriya tersentak.
"Nggak! Ngaco aja!" refelek, Iriya melotot kearah Anisa.
"Jadian juga nggak pa-pa."
Anisa menjawab santai, sembari mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Meskipun akan sangat mustahil dan bisa jadi keajaiban dunia yang ke delapan apabila seorang Iriya Maharani bisa berpacaran dengan seseorang, tapi Anisa akan tetap mendukung teman sebangkunya itu.
"Nggak akan, Nis."
Iriya berucap pelan, seiringan dengan dering bel masuk yang memekakkan telinga. Suara-suara bising yang sebelumnya memenuhi seisi kelas, mendadak lenyap. Digantikan keheningan panjang beserta suara cempreng Bu sukma.
***
"Nis cepet! Si Babeh udah nyampe lapangan tuh!"
Iriya tidak henti-hentinya menggedor pintu toilet, saat penghuninya tak kunjung keluar. Hari paling menyebalkan adalah, ketika kelas mendapatkan jadwal olahraga pada siang hari. Persis seperti yang tengah Iriya alami. Matahari seolah tengah mengejeknya dari atas sana dengan teriknya. Ditambah Anisa yang-entah sedang apa-tidak kunjung keluar dari dalam bilik toilet. Padahal Iriya hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk mengganti seragamnya dengan kaus olahraga.
"Nis!"
"Bawel!"
Anisa keluar begitu saja, melewati Iriya yang masih menatapnya kesal. Dengan cepat, Iriya berlari melewati Anisa, menaruh setelan seragamnya di dalam kelas, kemudian menuju lapangan yang ternyata sudah ramai. Seorang pria paruh baya berkumis tebal sudah berdiri disana sembari meniup pluit.
"Kita pemanasan dulu, setelah itu lari keliling lapangan dua puluh putaran."
Sontak semua siswa bersorak gaduh, tidak terkecuali Iriya dan Ujang yang berteriak paling keras.
"Tega pisan si babeh!"
"Beh, kalo Ujang tambah item gimana? Ntar dia nggak diakui sama orang tuanya!"
Ucapan Iriya yang terakhir sukses membuat satu kelas tergelak, hanya Ujang yang malah menarik rambutnya gemas.
"Minta di sleding maneh?!"
"Sudah-sudah, semuanya pemanasan dulu!"
Tidak ada lagi yang membantah ucapan guru yang sudah masuk kategori sepuh itu. Meskipun santai, tapi karena pembawaannya yang tegas, membuat semua murid justru segan padanya.
Sama seperti yang lain, Iriya ikut melakukan pergangan yang disebut pemanasan itu. Padahal cuaca sudah cukup panas, tapi masih disuruh pemanasan juga. Tidak seperti murid lain yang sudah berjalan kelelahan, Iriya justru masih berlari. Meskipun pelan, tapi cewek itu sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Mungkin karena sudah terbiasa, ditambah dua puluh putaran tidak ada apa-apanya dibandingkan 100 putaran seperti yang biasanya diperintahkan Kang Dadang.
"Yang sudah ambil nilai, boleh istirahat!"
Iriya melirik Babeh yang kini sudah duduk santai di pinggir lapangan sembari memegang buku nilai. Minggu lalu, kelas mereka memang sedang praktek passing atas bola voli, dan berhubung Iriya sudah mengambil nilai terlebih dahulu, cewek itu bisa bernapas lega sekarang.
Dua puluh putaran sudah terlewati, namun bukannya istirahat di pinggir lapangan seperti Anisa dan teman-temannya yang lain, Iriya justru berlari ke kantin. Tidak ada hal lain yang ia butuhkan sekarang selain air. Dengan napas memburu, Iriya duduk di bangku panjang yang terletak di depan kantin.
"Bi, Aqua satu!"
Belum sempat Bi Neneng mengantarkan pesanan Iriya, sebuah benda dingin seketika menempel dipermukaan kulit pipi Iriya yang kemerahan karena panas. Sontak, cewek itu menoleh dan mendapati sebotol air mineral dingin beserta Reja dan cengirannya.
"Nih!"
Cepat-cepat Iriya meraih botol itu. "Ma-makasih!"
Entah kenapa, suasana mendadak canggung. Ditambah Reja yang malah ikutan duduk disampingnya. Perlahan, Iriya menenggak air dingin pemberian Reja tadi sampai setengah, sebelum akhirnya menoleh kearah Reja yang kini malah tersenyum kearahnya. Iriya mengernyit heran, sepertinya ada yang salah dengan syaraf-syaraf di wajah cowok itu yang membuatnya terus-terusan tersenyum.
"Lo nggak balik kelas?" tanya Iriya, mencoba senormal mungkin.
"Jam kosong, suntuk di kelas."
Iriya hanya mengangguk-angguk sembari membetulkan posisi duduknya. Entah kenapa, suasananya selalu mendadak canggung tiap kali dirinya berada dekat dengan Reja.
"Nanti sore lo futsal?" tanya Reja tiba-tiba yang sontak membuat Iriya menatapnya lurus.
"I-iya!"
"Gue nonton, boleh?"
"Kenapa tanya sama gue? Nonton tinggal nonton." Jawab Iriya,mencoba sesantai mungkin.
Ditatapnya Reja yang-lagi-lagi-tersenyum padanya. "Yaudah, sampe ketemu nanti sore." ucap Reja pelan, sembari menepuk pelan puncak kepala Iriya. Sedang yang bersangkutan hanya bisa berdehem kencang sembari mengalihkan pandangan dari cowok itu.
Reja pergi, meninggalkan setitik perasaan aneh di dada Iriya. Seperti ada gemuruh dahsyat yang meluruhkan pertahanannya. Iriya memegangi pipinya yang memanas, memandangi kembali punggung Reja yang kian menjauh lalau menghilang dibalik koridor.
'Gue kenapa, sih?!'
***
Siang berangsur sore. Para murid satu persatu mulai meninggalkan sekolah, kecuali beberapa siswa ditambah dua siswi yang kini tengah melakukan pemanasan ringan di lapangan. Suara peluit panjang yang ditiup pelatih kesayangan mereka menandakan bahwa perang akan segera dimulai.
Beberapa dari mereka segera membuat regu dengan jumlah masing-masing lima orang. Dari pinggir lapangan, seorang gadis berparas ayu masih mrmperhatikan dengan seksama sesi pertandingan uji coba yang terbilang sengit. Dari arah lapangan, suara-suara teriakan dari para pemain juga pelatih memenuhi seisi lapangan. Wajah-wajah lelah, namun tetap bersemangat terus ditunjukkan para pemain, salah satunya sang kapten yang sejak tadi tak luput dari pandangan Dita.
Gadis itu tersenyum samar, saat ditatapnya Ujang yang kini tengah melakukan selebrasi singkat dengan berlari keliling lapangan sambil tersenyum lebar. Buat Dita, tidak ada pemandangan lain seindah ini. Sambil teesenyum, gadis itu memegangi dadanya yang berdetak tak keruan ditambah aliran hangat yang mengalir di seluruh tubuhnya.
Sampai peluit panjang kembali berbunyi, tanda permainan telah usai. Dengan cekatan, Dita mulai membagikan air mineral pada seluruh anggota tim.
"Duh, baik banget sih dek." Imam berucap sembari mengedipkan sebelah matanya, membuat Aryo reflek memukulnya dengan botol air di tangannya.
"Bisa nggak lo sehari aja nggak alay? Jijik gue liatnya!"
"Yaudah, nggak usah di lihat." jawab Imam lempeng sembari menenggak air mineral yang diberikan Dita.
Sementara Aryo misuh-misuh karena kelakuan absurd Imam, di sisi lain lapangan seperti biasa Iriya memisahkan diri dari sekumpulan jantan bau keringat itu. Dilihatnya Dita yang kini tengah memberikan sebotol air mineral pada Ujang dengan ekspresi malu-malu yang sungguh imut. Sedangkan di hadapan Dita, ada Ujang yang malah cengar-cengir tidak jelas.
Tatapannya masih tertuju pada dua sejoli yang sibuk cengengesan itu, sampai pandangannya menangkap seorang cowok yang kini tengah berjalan dengan santainya. Lagi-lagi, seperti ada yang sedang memukuli dadanya, hingga rasa sesak itu kembali datang. Tapi meskipun begitu, wajahnya masih bisa menampilkan senyum samar.
"Kok di sini sendiri?" tanya Reja sebelum akhirnya duduk di samping Iriya.
Tidak disangka, ternyata cowok itu benar-benar membuktikan ucapannya tadi siang. Padahal Iriya pikir, Reja tidak akan datang.
"Disana bau keringat." Jawabnya singkat.
"Lo juga keringetan kali." Reja berkata sambil terkekeh pelan, yang sukses membuatnya mendapat tatapan tajam dari Iriya.
"Yaudah jauh-jauh sana!"
Iriya membuka tutup botol air mineral di tangannya dengan kasar kemudian menenggak isinya hingga setengah. Sedangkan Reja hanya bisa terkekeh melihat kemarahan cewek itu. Dimatanya kini, Iriya tampak sangat manis.
"Kan gue nggak bilang lo bau." Reja terkekeh pelan, sedang Iriya berusaha setengah mati menenangkan debaran jantungnya yang kian menggila.
"Jadi, Pak Dadang pelatih kalian?" tanya Reja tiba-tiba yang membuat Iriya melotot kearahnya.
"Rahasia oke?!" ucap Iriya cepat.
Reja mengangguk mengiyakan, meski belum sepenuhnya paham mengapa hal itu harus dirahasiakan. Belum sempat Reja bertanya lebih lanjut, peluit panjang sudah kembali dibunyikan Kang Dadang, pertanda bahwa waktu istirahat telah berakhir. Dengan segera, Iriya bangkit dari duduknya. Namun Reja segera menahan lengannya dan sukses membuat desiran itu menjalar kembali ke seluruh tubuh Iriya.
"Semangat ya!" ujarnya dengan ekspresi ceria yang Iriya sendiri tidak tahu apa yang membuat cowok itu terlihat begitu senang.
Buru-buru Iriya mengangguk, tidak ingin Reja menyadari semburat merah yang sejak tadi menghiasi wajahnya. Iriya berlari kecil menuju lapangan sembari merutuk dalam hati. Entah apa yang terjadi padanya sore ini. Satu hal yang Iriya sadari, bahwa penyebab semua keanehan yang terjadi pada dirinya adalah Rengga Januari.
********************************************************
Akhir-akhir ini, aku terserang virus malas. Untungnya aku tidak lupa menyelesaikan tulisan ini.
Hari ini cerah, karena tidak hujan. Tapi aku tidak bisa tidur tanpa memejamkan mata. Tidak tahu kenapa, aku tidak mau makan padahal tidak lapar. Terimakasih sudah membaca^^
Salamku, dari dunia fantasi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top