15. Sebuah Misi Rahasia
Setelah kembali dari ruangan kepala sekolah yang pengap dan dipenuhi aroma kopi itu, Ujang mendadak jadi pendiam. Cowok kumal itu mulai memutar otaknya sambil mengunyah permen yupi berbentuk kadal. Akibat misi rahasia dari Kang Dadang, Ujang mendadak jadi harus menggunakan otaknya yang sudah penuh debu dan sarang laba-laba itu.
Kalau saja Ujang tidak berada di dalam kelas, pasti cowok itu sudah menyesap hampir satu bungkus rokok. Sayangnya, saat ini ia tidak mungkin bolos kelas dan hanya bisa bisa bengong di kelas sambil mengunyah permen. Jangan tanyakan kenapa Ujang lebih memilih permen kenyal berbentuk kadal, buaya atau cicak ketimbang permen karet.
Jawabannya, Ujang benci permen karet.
Dulu sekali, ia pernah tidak sengaja menelan permen karet dan bahkan hampir mati karena panik. Ujang teringat akan ucapan Ambu mengenai permen karet yang akan menempel di usus apabila tertelan. Dan hal itu sukses membuat Ujang nongkrong seharian di dalam toilet. Berharap sang permen karet, ikut serta bersama hajatnya yang hendak dibuang. Meskipun dirinya tidak benar-benar tewas dan masih sehat sampai detik ini, trauma itu tetap ada.
Ujang masih mengunyah permen kenyal itu perlahan, sambil bergumam tidak jelas. Suasana kelas yang mulai ramai sebab guru yang bersangkutan baru saja pergi ke toilet, sama sekali tidak mengganggu aktivitas merenung Ujang. Rasanya, lebih baik ketemu soal matematika daripada harus menjalankan misi ini. Ditambah Iriya masih belum memaafkannya, membuat cowok kumal yang kini penampilannya sudah persis seperti gembel itu frustasi.
“AAARRGGHHH!!”
Seluruh mata kini sudah menatap cowok gembel yang kini malah menggaruk kepalanya itu. Beberapa bahkan melotot, dan sisanya justru balik meneriaki Ujang.
“Kaget gue, bego!”
Orang itu adalah Iriya. Cewek yang kini tengah melotot setelah berteriak sambil memukul meja Ujang. Sisa kemarahannya tadi pagi pada cowok acakadul itu belum sepenuhnya sirna, ditambah sekarang Ujang malah sukses membikin geger satu kelas dengan teriakkan-amat-tidak-merdunya. Iriya masih menatap Ujang tajam, seolah dari matanya bisa memancarkan laser panas yang bisa melelehkan cowok rusuh itu saat ini juga.
“Eh, maap atuh, Ri” ucap Ujang sambil garuk kepala yang sukses membuat jutaan ton ketombe berjatuhan dari sarang.
Iriya memicing ke arah Ujang yang kini kembali pada aktivitas bengongnya sambil sesekali mengunyah permen kenyal berbentuk reptil yang melihatnya saja membuat siapapun geli. Merasa diabaikan, Iriya kembali duduk tenang di samping Anisa.
“Si Ujang kenapa deh, Nis?” tanya Iriya akhirnya.
Setengah mati mencoba tidak peduli pada cowok kumal plus menyebalkan yang kini masih bengong sembari mengunyah permen di belakangnya itu, tapi tetap saja rasa penasaran Iriya tidak bisa ditahan. Suara decakkan menjijikkan terus saja terdengar saat mulut Ujang tidak henti-hentinya mengunyah.
Situasi yang amat menyebalkan untuk Iriya, ditambah Anisa yang malah sibuk dengan ponselnya bahkan tidak menggubris pertanyaannya barusan. Kalau sudah begitu, Iriya hanya bisa menghela napas pasrah sebelum sekali lagi menoleh pada Ujang yang ternyata masih tetap pada posisi yang sama.
“Berasa ngomong sama tembok gue!” ujarnya frustasi.
Harusnya ini sudah jadi hal yang biasa. Teman-temannya memang aneh semua, dan Iriya menyadari itu. Sangat sadar malah. Hanya saja, terkadang dirinya malah jadi kesal sendiri. Seperti sekarang misalnya, membuat cewek acakadul itu tidak henti-hentinya mendengkus kesal.
***
Hari kian terik, seolah mentari masih enggan kembali ke peraduan. Waktu sudah menunjuk ke angka lima, tapi sekumpulan jantan penuh keringat berseragam kuning terang itu masih saja sibuk mengoper bola, sampai suara peluit panjang menghentikan aktivitas mereka.
“Break dulu, Kak!”
Dengan patuh, tim futsal Nusantara mengikuti perintah manager mereka, tapi tidak dengan Ujang. Si kapten malah menarik jersey Iriya sampai-sampai cewek slebor itu hampir terjengkang.
“Mau lo apa, sih?!” teriak Iriya yang hanya dapat kekehan dari Ujang.
“Coba kamu jugling sama zigzag!”
Sambil melepaskan tangan Ujang dari bajunya, Iriya melangkah pergi. “Nggak mau, gue capek!”
“Perintah Kang Dadang, dilarang nolak.”
Iriya membuang napas kasar, menenggak hampir sebotol air mineral yang diberikan Dita sebelum akhirnya kembali ke lapangan. Kalau saja Ujang tidak menyebut nama keramat itu, Iriya tidak akan mau menuruti perintah kapten tim paling tidak diseganinya itu.
Kalau bukan karena Kang Dadang, plus sejak tadi Ujang mengambil vidio dengan kamera DSLR—yang entah didapat dari mana—Iriya tidak akan se-serius ini. Sungguh, energinya sudah benar-benar terkuras.
Iriya mengakhiri aksinya dengan menendang bola secara zig-zag sembari melewati beberapa halangan berupa kerucut berwarna oranye yang sengaja dipasang Ujang, sebelum akhirnya menendang bola dengan kencang menembus gawang.
“Aahhh!!”
Tidak memedulikan sorak ramai teman-teman satu timnya, serta tepuk tangan heboh dari Dita, Iriya langsung merebahkan tubuhnya di tengah lapangan. Rasanya sudah tidak ada lagi energi yang tersisa di tubuhnya, bahkan untuk bernapas. Dari pojok lapangan, Ujang bersorak bahagia sembari memperhatikan hasil vidio buatannya.
“Yes! Mission complete!” ucapnya pelan, sebelum akhirnya menghampiri Iriya yang masih tergeletak tak berdaya di tengah lapangan.
“Bangun, Ri.”
“Sana jauh-jauh!”
Iriya menghirup napas dalam-dalam, sembari mengibaskan tangan pada Ujang. Seolah tidak mau berbagi oksigen dengan cowok itu.
“Pulang urang anterin deh,” bujuk Ujang yang sepertinya tidak berhasil.
Iriya bangkit dari posisi tidurannya, kemudian menoleh pada Dita yang kini tengah berjalan ke arahnya sembari membawakan dua botol air mineral. Entah mengapa, bujukan Ujang barusan malah membuatnya teringat pada Dita.
“Nggak, gue balik sendiri!” tolak Iriya, sesaat sebelum Dita sampai dan menyodorkan sebotol air padanya.
Gadis ayu itu tersenyum menatap Iriya sembari memberikan botol minuman yang dibawanya. “Minum dulu, Kak!”
Iriya yang tidak paham situasi, seketika sadar saat melihat ekspresi malu-malu Dita yang terlihat amat manis, tapi entah kenapa dirinya mendadak mual saat meyadari siapa yang jadi penyebab berubahnya sikap Dita. Buru-buru Iriya bangkit, meninggalkan Ujang yang masih senyum sok manis pada Dita saat gadis itu memberikan sebotol air padanya. Entah sejak kapan, wajah manis Dita yang disertai semburat merah muda itu malah membuat Iriya bergidig geli.
“Berasa jadi figuran FTV gue!”
***
Tidak seperti kemarin, pagi ini bahkan mentari masih betah bersembunyi dibalik awan mendung yang memang sejak tadi sudah menguasai langit. Iriya melangkah gontai menuju kelasnya. Di hari seperti ini dirinya bahkan masih harus sekolah, padahal akan lebih menyenangkan jika di hari seperti ini Iriya masih berada dalam balutan selimut.
Begitu menginjakkan kakinya di ambang pintu kelas, suasana sudah ramai. Bukan ramai karena murid-murid kelasnya, melainkan ramai oleh komplotan tim futsal tukang rusuh. Di kursi paling belakang, Iriya bisa melihat Ujang yang kini tengah memasangkan kain berwarna merah ke tembok. Di belakangnya, ada Aryo, Imam dan Beben yang masih sedia memegangi kursi yang menjadi pijakan Ujang sembari memberikan instruksi tidak penting.
“Kanan dikit, Jang!” Aryo memulai instruksinya.
“Miring itu, Jang ke tengah dikit,”
"Kanan yang bener, Jang!"
“Ish! Meuni gandeng!” omel Ujang pada ketiga temannya yang sejak tadi hanya memberikan instruksi asal-asalan dan sama sekali tidak membantu.
Iriya yang penasaran akhirnya mendekati sekawanan rusuh itu, tepat begitu sampai di belakang Imam, cewek itu menepuk keras punggungnya. Membuat Imam sampai melompat karena kaget, untungnya Ujang tidak sampai terjatuh akibat gerakan tiba-tiba Imam.
“Ngapain sih, lo pada?”
Setelah membuat geger satu kelas dengan teriakan Imam, Iriya hanya merespon dengan pertanyaan datar macam itu. Plus dengan tampang datar juga yang sukses membuat Imam hampir saja menaboknya.
“Riri, coba kamu duduk!”
Masih dengan ekspresi datarnya, Iriya mengikuti instruksi Ujang untuk duduk di bangku paling belakang. Ada raut bingung di wajah cewek itu, sampai akhirnya sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
“Ada apaan, sih?”
“Ada kamu, ada aku, ada kita.” jawab Aryo asal yang kemudian dapat tendangan dari Iriya.
“Adaww sakit!” Aryo memekik alay sembari memegangi tulang keringnya yang barusaja dapat tendangan maut dari Iriya.
“Jang! Ada apaan?” Iriya bertanya lagi.
“Poto, Ri,” jawab Ujang lempeng sembari mengeluarkan sebuah kamera DSLR dari dalam tas. “Diem, jangan gerak.”
“Nurut Ri, si Ujang ampe bela-belain nyolong kerudung Ambu buat jadi latar foto lo!”
Sontak, ucapan Beben barusan sukses membuat seisi kelas tertawa. Tak terkecuali Iriya yang malah terbahak. Ujang sendiri masih sibuk mengotak-atik kamera di tangannya, sampai kemudian cowok itu meminta Iriya diam sejenak.
“Jangan gerak-gerak atuh, Ri!”
Iriya yang mendengar ucapan Ujang barusan, reflek menoleh ke arah kamera di tangan Ujang. Masih dengan senyuman yang mengisi wajahnya, Ujang segera mengambil foto cewek itu. Momen yang sangat pas. Ujang tersenyum puas sembari memperlihatkan hasil jepretannya pada Beben, Imam dan Aryo, sebelum akhirnya mereka bersorak girang.
“Emang buat apaan, sih? Ngapain kalian ngambil foto gue?” tanya Iriya yang lagi-lagi dibuat bingung dengan sikap keempat cowok rusuh di hadapannya.
“Buat nakutin tikus.” jawab Aryo sambil terkikik, membuat Iriya hampir saja menendang kakinya lagi. Namun, cowok itu berhasil menghindar. “Nggak kena wee....”
“Awas aja lo!”
Aryo buru-buru kabur, sebelum tendangan Iriya mendarat di bagian tubuhnya yang lain. Sementara Ujang dan Beben kebagian membereskan kain merah yang tak lain adalah kerudung Ambu. Iriya hanya bisa menghela napas pelan. Entah apa yang akan dibuat oleh teman-temannya, dirinya hanya bisa berdoa kalau itu bukanlah hal buruk.
“Ada apaan nih?” tanya Anisa yang baru saja datang. Cewek kepang itu menaruh asal tasnya di atas meja, kemudian menatap heran kearah Iriya, Ujang, Beben dan Imam yang memang masih berada di kelasnya.
“Eh, Anisa.” Ucap Beben sambil tersenyum.
“Ada apaan, Ben?” tanya Anisa sembari mendekat kearah Beben, membuat cowok bongsor itu seketika jadi salah tingkah.
“Em, ini misi rahasia Nis. Pokoknya rahasia, nggak boleh ada yang tau.” jawab Beben sembari mengusap tengkuk. Entah kenapa, kalau dekat-dekat Anisa rasanya seperti ada aliran listrik di sekitarnya.
“Ohhh....”
Dengan cuek, Anisa kembali ke tempatnya. Menyusul Iriya yang kini sibuk merapikan bukunya. Di belakang, Beben masih terus memperhatikan Anisa. Semakin hari, Anisa semakin terlihat manis. Dengan penampilan sederhana dan apa adanya, gadis itu sudah terlihat luar biasa.
“Ben, bantuin atuh!” sampai suara menyebalkan itu harus menginterupsinya dari kegiatan memperhatikan Anisa.
Sambil sesekali menoleh pada Anisa yang sedang tersenyum pada teman sebangkunya, Beben membantu Ujang melepaskan paku payung yang sebelumnya ia gunakan untuk menempelkan kerudung ke tembok. Jangan tanya dimana Imam! Karena saat ini, cowok playboy cap kodok itu malah sibuk menggoda beberapa siswi di kelas Iriya.
***
Akhirnya, mendung yang sejak pagi sudah menguasai langit, kini mulai menumpahkan isinya. Titik-titik kondensasi hasil yang selama ini tertahan oleh awan di atmosfir, mulai berjatuhan ke bumi. Sepi mulai mengisi suasana halte tempat Iriya duduk. Entah kenapa, halte sangat sepi hari ini. Hanya ada dirinya dan beberapa siswa yang juga tengah duduk di sisi paling pojok sembari mengeratkan jaket.
Suhu udara Bandung ditengah cuaca begini memang tidak bisa lagi dikatakan sejuk, melainkan amat dingin. Hawa dingin kini mulai merasuk kulit Iriya, ditambah dirinya memang tidak memakai jaket hari ini. Tau akan hujan deras begini, tadi Iriya ikut nebeng dengan Beben. Anisa juga sudah pulang diantar Ujang tadi.
Cewek itu menghela napas pasrah, sembari menunggu bus karatan yang tak kunjung datang. Sampai suara deheman menginterupsi keheningan suasana hujan sore ini.
"Hey!"
Sepertinya semesta memang masih punya rencana lain. Sebab di sore hari yang dingin, plus sedang hujan begini, Reja hadir dengan senyum hangatnya. Iriya masih belum berkata apa-apa, hanya mengerjap beberapa kali sembari merasakan denyutan aneh di dadanya kala ia menatap senyum cowok di hadapannya itu.
"Belum pulang?" tanya Reja yang hanya dapat gelengan dari Iriya.
Tidak seperti sebelumnya, cewek yang hanya mengikat asal rambutnya itu kini menatap lurus kearah jalanan. Seolah pemandangan hujan jauh lebih menarik daripada cowok ganteng dengan senyum menawan yang kini masih duduk di sampingnya.
"Nggak bawa mobil lagi?" tanya Iriya tiba-tiba, bahkan tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan basah di hadapannya.
"Naik bus lebih asik." jawab Reja.
Lagi-lagi, Iriya hanya mengangguk dan membiarkan keheningan kembali mengisi ruang diantara mereka. Sampai sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Reflek, Iriya bangkit dan menoleh sekilas pada Reja. Tidak sanggup rasanya kalau harus menatap cowok itu lebih lama, sebab jantungnya bisa-bisa hilang kendali.
Jadi yang ia lakukan hanya menoleh sembari berkata. "Duluan, Ja." dengan nada lempeng.
"Sebentar, Ri!" ujar cowok itu yang membuat langkah Iriya terhenti.
Cewek kumal itu kembali menoleh, menatap Reja yang sekarang malah sibuk melepaskan jaket dari tubuhnya. "Jangan sampai sakit."
Lagi-lagi ada desiran aneh dalam dada Iriya ketika Reja memasangkan jaket itu ke tubuhnya. Ditambah dengan kata-kata terakhir yang diucapkan cowok itu sebelum Iriya menaiki busnya. Ditatapnya lagi Reja yang masih berdiri disana dengan senyuman serta lesung pipi yang menghiasi wajahnya, sampai bus kemudian melesat di tengah hujan. Meninggalkan halte yang kian sepi bersama detakan jantung Iriya yang makin menggila.
'Kayaknya gue punya gejala lemah jantung.'
************************************************
Selamat hari senin!
Mohon kritik dan sarannya ya XD
Selamat membaca ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top