12. Zona Nyaman


Sore kian gelap, rintik-rintik hujan mulai turun disertai hawa dingin. Keheningan masih menguasai dua insan yang kini tengah berjalan bersisian, sambil mempercepat langkah berharap hujan tidak membasahi mereka.

Setelah kejadian di taman tadi, Iriya tidak tahu lagi harus berbuat apa pada Reja kecuali berterimakasih. Cowok itu sudah melakukan terlalu banyak hal untuknya, bahkan sekarang Reja turut mengantarnya sampai rumah dengan alasan karena hari sudah hampir gelap. Iriya berhenti tepat di depan pintu, sambil mempersilahkan Reja masuk.

“Lain kali aja Ri, udah gelap juga. Lagipula, sekarang gue udah tau rumah lo, jadi bisa main kapan aja.”

Iriya mengangguk tanda mengerti, seraya mengatakan “Makasih banyak, Ja.” untuk yang kesekian kalinya.

“Sama-sama. Yaudah lo istirahat aja, nggak usah dipikirin.”

“Iya, um... Ja, bisa nggak lo rahasiain hal ini?” tanpa berpikir, Reja segera mengangguk.

“Pasti!”

Cowok itu mengerti, betapa sensitif dan terlalu pribadi masalah ini. Jadi, setelah melihat senyum Iriya untuk yang kesekian kali, Reja memutuskan untuk pamit. Rasanya amat lega, bisa melihat Iriya sudah dapat tersenyum lagi seperti sedia kala. Meskipun dirinya belum bisa menceritakan masalahnya pada Iriya seperti yang cewek itu lakukan sore ini, tapi melihat Iriya tersenyum sudah cukup membuat perasaannya membaik.

***

Hujan turun, tepat setelah Iriya selesai membersihkan diri. Dari luar, Iriya mendengar suara Ibunya yang terus-terusan memintanya keluar untuk makan malam.

“Iya, sebentar Bu!”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Iriya buru-buru meraih ponselnya dari atas meja dan menghubungi seseorang. Suara ‘Tuuuutt’ panjang mengisi keheningan selama tiga detik sampai suara diseberang menyahut.

“Halo?”

“Hey Ja, lo udah di rumah?” tanya Iriya, langsung pada pointnya.

“Iya, baru aja. Kenapa, Ri?”

“Disini hujan. Yaudah kalau lo udah sampai, gue tutup dulu ya!”

Setelah mendapat persetujuan dari Reja, Iriya menutup teleponnya seraya menghela napas lega. Setidaknya dengan begini, dirinya bisa makan dengan nyaman.

Saat suara sang Ibu terdengar lagi, Iriya buru-buru keluar dari kamarnya dan segera menuju ruang makan. Entah kenapa, pikiran-pikiran saat di taman tadi terlintas begitu saja saat Iriya menatap wajah Ibunya. Gurat lelah yang kini dipenuhi kerutan itu sudah terpancar jelas di wajah wanita yang sudah melahirkannya. Dan melihat wajah itu, entah kenapa Iriya malah teringat akan tamu yang datang kerumahnya beberapa jam lalu.

“Om Hadi udah pulang Bu?” tanya Iriya tiba-tiba yang sukses membuat atensi sang Ibu yang sebelumnya tengah fokus pada wajan berisi ayam goreng, kini teralih pada anak gadisnya yang juga tengah menatapnya.

“Kamu tau, tadi ada Om Hadi?”

Iriya mengangguk, tatapannya mulai beralih pada meja makan di hadapannya. “Maafin sikap Riri selama ini Bu. Riri terlalu kekanakan, bahkan tadi Riri sampai nggak jadi masuk ke rumah karena Riri liat ada Om Hadi. Nggak seharusnya Riri bersikap seperti itu sama Ibu dan Om Hadi. Riri minta maaf, Bu.”

Mendengar serentet kalimat panjang tadi dari mulut Iriya, Dian buru-buru mematikan kompor dan menghampiri anak semata wayangnya itu. Ditatapnya Iriya yang masih tertunduk.

“Ibu paham, kenapa kamu begitu. Ibu nggak marah sama kamu, Ibu juga udah maafin kamu.” ucap Dian lembut, sambil menggenggam erat kedua tangan Iriya.

“Kita sama-sama perlu waktu, dan mungkin kamu butuh waktu lebih lama. Ibu bisa memahami itu, Nak.”

Lagi-lagi Iriya tidak bisa menahan air matanya. Penuturan Ibunya benar-benar tepat sasaran, dan hal itu sukses membuat Iriya semakin merasa bersalah. Air matanya kian mengalir deras, saat tubuh Iriya kini sudah berada dalam dekapan lembut sang Ibu.

“Maafin Riri Bu. Riri janji, akan minta maaf juga sama Om Hadi.” ucap Iriya disela tangisnya.

Dian hanya bisa tersenyum lembut, sembari menepuk pelan pundak Iriya. Memang benar, segala yang terbaik akan datang disaat terbaiknya. Dan kini adalah saatnya. Meskipun acara makan malam kali ini dipenuhi air mata, tapi Dian bahagia. Putri kecilnya sudah benar-benar dewasa sekarang.

***

Setelah acara makan malam yang dipenuhi tangis haru, waktu semalaman disambung dengan mengenang masa lalu. Dian sudah bisa tersenyum lega, saat Iriya mulai bisa tersenyum. Tanpa disangka, ternyata menjadi lebih dekat dengan Iriya membuatnya bisa mengenal sosok cuek itu lebih jauh. Dian banyak bercerita tentang masa kecil Iriya yang sering diajak main bola oleh Bapaknya sampai memecahkan kaca jendela rumah tetangganya.

Salah satu alasan mengapa Iriya sangat senang dengan futsal tidak lain juga karena peran sang Bapak yang sejak Iriya kecil selalu mengajaknya bermain bola. Iriya memang perempuan, tapi tidak ada salahnya kan, kalau perempuan bermain sepak bola? Toh, laki-laki juga banyak yang senang masak di dapur. Awalnya, Dian juga menentang keras perihal Iriya yang selalu bergabung dalam tim futsal sekolahnya, tapi lama-kelamaan wanita itu lelah sendiri dan membiarkan Iriya melakukan apa yang diinginkannya.

Semua cerita itu mengalir begitu saja dari mulut Dian, sampai sebuah pertanyaan meluncur mulus dari bibir Iriya.

“Kalau Om Hadi, dia orang yang seperti apa Bu?"

Dian tersenyum singkat, kemudian melepas pandangannya ke sembarang arah. “Om Hadi itu rekan kerja Ibu. Dia orang yang supel, gigih dan pantang menyerah. Makanya Ibu yakin kalau dia bisa menjaga Ibu, dan itu berarti dia juga bisa menjaga kamu.” Ada jeda sebentar, sebelum akhirnya Dian melanjutkan ucapannya.

“Ada sifatnya yang sama persis dengan Bapak. Tapi bukan berarti Ibu membandingkan dia dengan Bapak, apalagi berfikir untuk menggantikan Bapak. Nggak sama sekali. Bapak akan selalu ada dihati Ibu, begitu juga Riri.”

Iriya mengangguk paham. Pikirannya sudah lebih positif sekarang. Sebelumnya dia selalu menganggap Om Hadi adalah sosok yang asing, sebab Iriya tidak betul-betul mengenalnya.

“Kayaknya Riri harus kenalan lagi sama Om Hadi, Bu. Sekaligus minta maaf.”

“Nanti kalau ada waktu, Ibu akan pertemukan kalian.”

Iriya tersenyum singkat. Memang tidak mudah keluar dari zona yang selama ini membuatnya nyaman. Ada perasaan sakit yang dirasakannya, tapi itu hanya sementara. Sebab, apa yang Iriya rasakan sekarang, jauh lebih baik. Ternyata hanya perlu membuka diri, untuk terbebas dari luka. Meski memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari kalau belum mencoba? Dan Iriya merasakan hal itu sekarang.

Bahkan senyumnya masih terukir jelas saat gadis itu baru saja tiba di sekolah.

“Pagi, Neng!”

Iriya hanya mengangguk sembari tersenyum lebih lebar menjawab sapaan Pak Amin di depan gerbang. Langkahnya terasa ringan, dalam hati Iriya berencana akan membelikan Reja makanan saat istirahat nanti. Meskipun makanan itu tidak akan setimpal dengan ucapan penuh makna dari cowok itu yang berhasil memperbaiki hubungannya dengan sang Ibu.

“Bola bergeser ke tiang, di oper ke Ujang, Ujang ke Imam, dari Imam terus dibawa lari, Imam terus menerobos dan bola sampai ke Riri lalu....”

Suara membahana Aryo langsung terdengar begitu Iriya memasuki area koridor. Anak-anak itu memang tidak pernah kapok, padahal baru dapat peringatan serius dari Kang Dadang. Karena terkejut dan tidak tahu situasi, Iriya yang baru sampai plus tiba-tiba saja ada sebuah bola di kakinya, reflek menendang bola tadi sampai mengenai sesuatu. Atau tepatnya seseorang.

“GOOO–”

Teriakan membahana Aryo beserta anak-anak futsal yang sedari tadi asyik main di koridor langsung berhenti saat menyadari siapa yang menjadi objek sasaran bola Iriya barusan.

“IRIYA MAHARANI!”

Suasana koridor yang sebelumnya ramai macam pasar, seketika hening. Hiruk-pikuk beberapa murid yang memang tengah berlalu-lalang mendadak terhenti. Waktu seolah berhenti di titik itu, saat di mana semua pandangan tertuju pada Iriya yang kini tengah meremas jarinya sambil merapal doa. Semoga tuhan menyelamatkan nyawanya kali ini.

“Riri!”

“I-iya, Kang.” Iriya menjawab, tanpa sedikitpun menatap wajah mengerikan Kang Dadang.

“Kamu berdiri satu kaki di samping tiang bendera, tangan di telinga, mulut jepit penggaris. SE-KA-RANG!” ucap Kang Dadang penuh penekanan.

Mendengar perintah itu, buru-buru Iriya berlari ke tengah lapangan dan melaksanakan hukuman tingkat dewa dari Kang Dadang. Untungnya ia tidak lupa membawa penggaris hari ini, atau itu memang pertanda.

“Sesuai perjanjian, kalian semua saya skors selama tiga pertandingan.”

Serentak, semua yang terlibat menganggukkan kepala, tidak ada yang berani membantah. Seperti Bu Sukma, perintah Kang Dadang juga mutlak, terlebih lagi Kang Dadang adalah kepala sekolah. Satu-satunya pilihan adalah menurut, jika tidak mau dapat masalah yang lebih runyam.

“Semuanya masuk kelas! Lima menit lagi bel masuk” Ucap Kang Dadang yang segera dipatuhi oleh semua murid. “Riri, kamu berdiri sampai jam pelajaran pertama selesai.”

“Siap Kang!”

Setelah kepergian Kang Dadang, suasana koridor semakin lengang. Tidak ada yang lalu-lalang seperti sebelumnya, bahkan anginpun tidak berhembus. Entah Iriya harus marah pada siapa setelah ini, intinya baik Ujang, Aryo dan terutama Imam akan kena masalah besar.

***

Entah sejak kapan, matahari sudah terasa amat terik sepagi ini. Dan entah sejak kapan juga, bel pergantian jam pelajaran berlangsung lama sekali. Yah, Iriya memang baru berdiri selama sepuluh menit, tapi rasanya sudah seperti sepuluh jam! Berdiri satu kaki dengan pose yang amat tidak biasa, ditambah posisi strategis di depan tiang bendera, dimana pada jam sekarang matahari pagi tengah menyorot penuh, sungguh penderitaan yang luar biasa.

Lagi-lagi Iriya hanya bisa menghela napas, berharap angin berhembus kencang kearahnya sembari mencoba menghibur diri dengan kalimat ‘Matahari pagi bagus buat kesehatan’ yang terus saja diucapkannya dalam hati. Sampai sebuah suara cempreng nan halus mengejutkannya.

“Kak Riri!”

Reflek, Iriya menolehkan kepalanya dengan susah payah dan mendapati seorang gadis berparas ayu yang kini tengah nyengir padanya. Iriya hanya mengangguk singkat, menanggapi sapaan Dita. Melihat seragam olah raga yang dikenakan Dita, sudah pasti kalau akan ada murid-murid yang senam, atau paling tidak pemanasan di lapangan ini sambil mengejeknya.

‘Sial!’ pekiknya dalam hati.

Belum cukup ternyata penderitaannya pagi ini, masih ada lagi masalah yang akan terjadi dan Iriya harus siap mental menghadapi itu semua. Tangan kirinya melepas pegangan yang sebelumnya mencengkram erat telinga kanannya, lalu secara kilat melihat jarum panjang pada jam analog yang kini melingkar di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi.

“Kak Riri kena hukum ya? Pasti sama Kang Dadang” Tebak Dita yang buru-buru dapat anggukan dari Iriya.

“Kak Riri tenang aja, hari ini Pak Bowo absen dan cuma kasih tugas rangkuman, jadi nggak akan ada anak-anak yang keluar kelas. Kalaupun ada, paling anak-anak cowok yang mau main bola nanti.”

Jelas Dita, yang seolah tahu keresahan Iriya. Lagi-lagi Iriya hanya mengangguk paham, karena bibirnya masih menjepit penggaris dan tidak memungkinkan gadis itu untuk bicara. Sampai tiba-tiba saja Dita sudah berdiri di sampingnya, menoleh ke kanan dan kiri persis seperti maling ayam yang hendak beraksi, kemudian mencopot penggaris yang sejak tadi bertengger di bibir Iriya.

“Dit, jangan cari masalah!” Desis Iriya, takut suaranya terdengar Kang Dadang. Yah, meskipun dirinya juga tidak tahu Kang Dadang ada dimana.

“Kak Riri, Dita mau tanya.”

“Apa?”

Gadis itu tampak terlihat kebingungan dan salah tingkah, membuat Iriya jadi ikutan bingung dibuatnya.

“Kak Riri, udah berapa lama kenal Kak Ujang? Kalau boleh Dita tau...”

Belum sempat melanjutkan ucapannya, Dita buru-buru menaruh lagi penggaris besi 30 cm tadi diantara bibir Iriya. Saat matanya menangkap sosok menyeramkan dibalik hijab biru tua yang kini tengah berjalan menyusuri koridor.

“Ada Bu Sukma! Kak Riri, ceritanya nanti aja jam istirahat ya!”

Belum sempat Iriya menjawab, Dita sudah berlari menaiki anak tangga menuju kelasnya di lantai tiga. Entah ada apa dengan anak itu, yang membuat Iriya bingung setegah mati. Kenapa Dita harus membahas Ujang disaat suasana begini?

Sontak bayangan wajah kumal beserta tubuh cungkring Ujang terlintas dalam kepala Iriya, membuat kepalanya mendadak pusing.

‘Gue nggak punya penyakit vertigo! Ini efek matahari. Ya, efek matahari.’

Iriya terus merapal. Berharap semoga apa yang menjadi dugaannya tidak membuatnya pingsan pagi ini.

**************************************************

Hay sobat ranting!

Makasih banget ya, karena masih setia membaca cerita ini^^

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa XD

Selamat membaca :)

Senin, ditemani derai hujan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top