11. Pengganti
Ini masih hari senin kan? Masih kok.. aku nggak telat update kan yak ehehe
Okelah... selamat membaca yaw ^^
************************************************
Halte bus sore ini kian ramai, dipenuhi dengan puluhan siswa yang kelelahan dan ingin segera bertemu segarnya air, kasur yang empuk serta semilir angin yang nyaman dari kipas angin. Dan Iriya adalah salah satu dari puluhan siswa rindu air yang kini tengah ikut memadati halte bus sore ini. Pikirannya terus berkelana jauh, memikirkan kejadian tadi siang, sampai sebuah suara mengejutkannya.
“Belum pulang?”
“Ngapain lo disini?”
“Ditanya malah balik nanya.” jawab Reja datar sembari berdiri tepat di depan Iriya sebab semua tempat duduk sudah terisi penuh.
Tidak menjawab, Iriya hanya menggedikkan bahunya kemudian menatap lurus kearah jalanan. “Mobil lo mana?”
“Di rumah.”
Iriya mengangguk, sekilas ia melihat sebuah papan beroda yang tersangkut dibagian belakang tas Reja. Mungkin cowok itu tidak membawa mobil karena naik skate board. Pemandangan ini adalah yang pertama kalinya bagi Iriya, tapi sudah cukup menjadi jawaban atas pertanyaannya tadi. Tidak ada lagi yang memulai pembicaraan, sampai sebuah bus berhenti tepat di depan halte.
“Gue ikut ya,”
“Kemana?”
“Rumah lo.”
Iriya diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu. Ditatapnya wajah Reja yang masih setia dengan senyum plus lesung pipinya, membuat Iriya semakin kehilangan fokus. Sampai suara cempreng kondektur bus mengejutkannya.
“Neng, rek naik teu?”
“Atuh iya! Yaudah Ja, ikut aja.”
Senyuman Reja semakin merekah, padahal suasana bus sedang ramai-ramainya sore ini. Bahkan Iriya sampai kehabisan tempat duduk. Beberapa mata sempat mencuri pandang menatap Reja. Jarang-jarang kan, ada cowok cakep naik bus penuh sesak yang isinya kebanyakan murid sekolah penuh keringat dan bapak-bapak yang hendak pulang selepas kerja. Mungkin untuk yang lain, pemandangan Reja yang berada di dalam bus penuh sesak ini, seperti oase di tengah gurun pasir yang terik, tapi Iriya bahkan tidak bisa fokus sejak tadi karena posisi Reja yang berdiri tepat di belakangnya membuat ritme jantungnya semakin tak karuan.
“Terus lo mau apa ke rumah gue?” tanya Iriya ditengah perjalanan.
“Main aja, emang nggak boleh main ke rumah temen?”
“Boleh si, tapi rumah gue kecil, emang nggak apa-apa?” Iriya bertanya lagi, sambil sedikit menoleh pada Reja.
“Gue cuma mau main, bukan mau ngukur rumah lo.”
Iriya tersenyum. Tidak seharusnya dia bersikap seperti itu pada Reja. Sejak kejadian di perpustakaan tadi, perasaan Reja memang menjadi lebih baik, tapi tidak dengan Iriya. Entah kenapa rasanya apa yang dia ucapkan pada Reja adalah sebuah kesalahan, meskipun dirinya juga tidak tahu di mana letak kesalahannya. Memang sudah sepatutnya Iriya berbuat baik pada Reja, setidaknya untuk membalas hutang budinya pada Reja yang sudah terlalu banyak.
Bus berhenti tepat di depan sebuah gang, Reja ingat ini adalah gang tempatnya terakhir mengantar Iriya waktu itu.
“Sejak kapan lo nggak bawa mobil?” tanya Iriya tiba-tiba, membuat Reja yang sebelumnya asik mengamati seluk beluk jalanan jadi menghentikan kegiatannya dan menatap Iriya lurus.
“Emang gue jarang bawa mobil kok, soalnya suka banyak yang minta dianterin pulang. Emangnya gue supir taksi online?”
“Hahahaha... kocak lo!”
Seketika Iriya teringat akan perkataan Anisa tentang cowok paling ganteng, ramah dan baik hati sampai ia dijuluki most wanted di sekolah. Dan orang itu tak lain adalah cowok yang sedang nyengir di sampingnya. Meskipun Iriya tidak terlalu paham apa maksudnya, tapi pasti hal itu juga ada hubungannya dengan ucapan Reja barusan. Kalau seperti dalam film romantis yang sering Iriya tonton—karena terpaksa—bersama Anisa, biasanya cowok macam Reja akan sering diikuti cewek-cewek genit haus belaian yang akan menumpang kesana-kemari. Jadi, meski tidak terlalu paham, Iriya cukup mengerti arti dari kata most wanted itu sendiri.
Namun, langkahnya terhenti begitu dirinya sampai di depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading, saat pintu rumah berwarna cokelat pudar itu tidak menutup penuh dan memperlihatkan Ibunya yang tengah berbincang santai dengan seseorang. Iriya mengenal orang itu, tapi tetap saja dimatanya pria itu akan selalu jadi orang asing. Tubuhnya seketika membatu, hanya ada satu hal yang terlintas dalam benaknya saat ini, yaitu lari.
“Mau kemana, Ri?”
“Ikut gue!”
Tanpa menunggu jawaban Reja, Iriya sudah menarik lengan cowok itu dan membawanya pergi ke suatu tempat. Entah apa yang terjadi pada Iriya, Reja sendiri sangat penasaran akan sikap tiba-tiba cewek itu, tetapi dirinya hanya diam saja saat mereka sampai di sebuah taman yang sudah mulai sepi.
“Maaf Ja, lain kali aja main ke rumah guenya, jangan sekarang.”
Iriya berucap tanpa sedikitpun menatap Reja. Kepalanya tertunduk, pandangannya hanya menatap lurus ke sembarang arah. Iriya tidak terlihat seperti Iriya yang biasanya. Iriya yang pecicilan, mendadak jadi pendiam dan hal itu sukses membuat Reja kehabisan kata-kata. Keduanya hanya saling diam, membiarkan keheningan menguasai atmosfir di sekitar taman sore itu.
***
Angin berhembus kencang, seiringan dengan cuaca yang kian mendung sore ini. Reja sama sekali belum bicara, pun dengan Iriya yang masih mempertahankan posisi duduk dengan kepala tertunduk. Ini tidak benar, dan Reja sudah tidak tahan dengan situasi seperti ini. Sampai kemudian cowok itu berdehem keras dan kontan saja membuat atensi Iriya yang sebelumnya tertuju pada tanah merah dipijakannya, kini beralih menatap Reja dengan ekspresi tidak terbaca.
“Ada apa?”
Tidak menggubris pertanyaan Reja, Iriya malah kembali tertunduk. Pikirannya kembali melayang, memorinya kembali memutar adegan beberapa menit lalu. Ditambah dengan bayang-bayang Bapaknya yang selalu muncul tiap kali dirinya mengingat wajah Om Hadi, membuat Iriya selalu membandingkan keduanya.
Ini semua di luar kendali Iriya. Bukan inginnya membandingkan dua orang yang jelas-jelas berbeda, hanya saja pikiran dan hatinya tidak pernah berjalan sinkron. Terutama di saat seperti ini.
“Nggak ada apa-apa Ja, lo pulang aja.”
Iriya berucap, tanpa sedikitpun melihat Reja. Rasanya tidak sanggup, kalau disaat seperti ini Iriya masih harus melihat tatapan teduh milik Reja. Tapi ternyata Iriya salah. Saat dirinya mengira Reja bangkit dan bergegas pergi, nyatanya cowok itu malah berjongkok di hadapan Iriya. Tanpa sepatah katapun, Reja meraih wajah Iriya yang entah sejak kapan mulai memerah.
“Ada gue Ri, lo bisa ungkapin apapun perasaan lo. Jangan lo pendam sendiri.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Dan tepat pada hitungan ketiga, tangis Iriya pecah. Cewek itu menangis seperti orang gila di hadapan Reja. Untungnya suasana taman di sore hari yang disertai mendung itu sudah sepi, bahkan hampir tidak ada seorangpun disana.
Reja masih belum bicara, hanya membiarkan Iriya menangis sambil sesekali menepuk pelan pundak gadis itu, persis seperti yang Iriya lakukan padanya tadi siang. Selama lima menit Iriya menangis, persis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, sampai akhirnya gadis itu lelah sendiri. Reja masih diam, memperhatikan Iriya yang kini menyeka wajahnya asal dengan punggung tangan dan menarik ingusnya kasar.
“Orang yang tadi sama Ibu gue itu namanya Om Hadi,” ucap Iriya tiba-tiba. “Calon ayah gue.” lanjutnya, kini sambil menatap Reja lurus.
“Maaf ya Ja, nggak seharusnya gue cerita begini sama lo. Gue cuma bingung harus berbuat apa, di saat gue bicara seolah-olah semuanya baik-baik aja, tapi nggak dengan perasaan gue.”
Sesekali Iriya menyeka air mata yang masih saja menetes. Perasaannya kacau, dan mungkin hal itu juga yang membuatnya entah bagaimana bisa menceritakan semuanya pada Reja. Melihat Iriya yang seperti itu, Reja tidak bisa berkata-kata. Bukannya tidak mengerti, Reja justru sangat paham dengan apa yang sedang dialami gadis itu. Sekali lagi, dirinya melihat sisi lain gadis itu. Sisi lain seorang Iriya Maharani yang rapuh dan penuh luka. Seolah, kalau Reja menyentuhnya, Iriya akan hancur berkeping-keping.
“Lo nggak perlu minta maaf Ri, lo sendiri yang bilang ke gue tadi, kalau mendung nggak selalu hujan kan?”
Mendengar ucapan Reja, Iriya terkekeh pelan. “Omong kosong!” ucapnya tiba-tiba.
“Itu semua Cuma omong kosong, Ja! Kenyataannya, setiap mendung itu pasti hujan. Setiap luka pasti sakit. Sekuat dan sekeras apapun gue berusaha menerima, hati gue akan selalu menolak.”
“Lo lihat pohon itu, Ri?” tanya Reja sembari menunjuk sebuah pohon besar di hadapan mereka.
Iriya hanya mengangguk, sembari mengikuti arah pandang Reja. Cowok itu tidak langsung mengutarakan maksudnya, hanya diam membiarkan angin berhembus kencang. Dilihatnya Iriya yang masih fokus menatap pohon besar yang kini tertiup angin, menyebabkan beberapa dedaunan kering ikut berguguran bersama hembusan angin.
“Daun yang gugur itu nggak pernah menyalahkan angin, tahu kenapa?” Iriya menggeleng pelan. Masih sambil menatap pohon besar tadi.
“Sebab dia tahu, akan ada daun baru yang menggantikannya. Ranting yang patah juga begitu, akan berganti dengan ranting baru yang lebih kuat. Jadi lo nggak perlu menyalahkan keadaan, apalagi lari. Lo cuma harus menerima. Sebab segala yang patah akan kembali tumbuh, yang hilang juga akan berganti, dan yang terluka akan terobati. Cuma waktu yang bisa melakukan itu, dan yang bisa lo lakukan hanya menerima dengan ikhlas.”
Pandangan Iriya yang sejak tadi tertuju pada pohon rindang yang daunnya masih bergoyang tertiup angin, beralih menatap Reja yang kini juga tengah menatapnya. Cowok itu tersenyum menampilkan dua lesung pipi yang menghiasi wajahnya.
“Semua sudah ada penggantinya, hanya tinggal seberapa siap kita menerima setiap perubahan.”
Iriya belum menjawab, hanya mengangguk pelan. Pandangannya kembali teralih pada pohon. Entah kenapa, setelah mendengar ucapan Reja pohon itu terlihat lebih menarik.
"Hanya waktu ya?"
Iriya bergumam pelan sambil kembali memikirkan perkataan Reja. Cowok itu benar. Seratus persen, tidak ada yang salah dari perkataan Reja. Sesuatu yang mustahil kembali, hanya butuh pengganti untuk melanjutkan kehidupan yang ditinggalkan. Begitu juga yang terjadi pada Bapaknya. Iriya tahu, Ibunya juga sama terluka. Ibunya juga sama kehilangan. Namun wanita itu tetap tegar dan ikhlas menerima segala keadaan, kemudian bisa bangkit hingga seperti sekarang. Harusnya Iriya sadar, kalau tindakannya sangat kekanakan.
"Lo benar Ja, gue cuma harus menerima," ucapnya pelan.
Angin kembali berhembus, menerbangkan helaian rambut Iriya. Reja tersenyum singkat, melihat wajah yang kini sudah tak lagi muram, bahkan ada senyum tipis yang menghiasi wajah itu. Menerima hal baru dalam kehidupan memang tidaklah mudah. Tapi menghargai pengganti yang telah tuhan siapkan adalah suatu keharusan. Dan detik ini, Iriya sadar, meski tidak mudah, ia hanya akan mensyukuri apa yang diberikan tuhan padanya.
Mungkin dia juga akan berterimakasih, karena tuhan turut mengirim Reja untuknya.
Iriya menoleh, menatap Reja yang masih setia dengan senyumnya. Dan untuk yang kesekian kali, Iriya merasakan desiran aneh tiap kali melihat senyum itu. Entah bagaimana dirinya harus mengartikan desiran itu. Untuk sekarang, hanya ada jutaan kata terimakasih yang tidak terucap untuk cowok itu.
************************************************
Selamat hari senin, kawan ranting!
Terimakasih karena sudah mengikuti kisah Riri sampai sejauh ini :)
Dan terimakasih untuk dukungan serta komentarnya.
Tenang aja, meski sepi pembaca aku akan tetap lanjutkan cerita ini. Aku nggak sedih, marah, apalagi kehilangan semangat. Aku akan terus menulis... seperti tujuanku, kalau aku menulis bukan untuk jadi terkenal, tapi untuk menjadi diriku sendiri :)
Jadi aku ucapkan banyak terimakasih untuk kalian yang sudah berbaik hati meluangkan waktu untuk membaca ceritaku yang nggak seberapa ini... terimakasih
Duh, maap jadi curhat kan >_<
Sekali lagi terimakasih ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top