07. Misteri tim futsal (1)
Pagi datang bersama suara ketukan di pintu kamar Iriya.
“Riri, Anisa! Bangun Nak!”
Anisa bangun terlebih dulu, kemudian membuka pintu kamar menunjukkan cengirannya pada Dian, memberitahu kalau dirinya sudah bangun. Sementara Iriya, cewek selebor itu hanya menggumam tidak jelas dan malah melanjutkan sesi tidur ‘anggun’-nya.
Anisa duduk sejenak, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang masih tercecer di alam mimpi, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan berteriak superkencang di telinga Iriya.
“KEBAKARAN! ADA KEBAKARAN!”
“Hah?! Ibu! Ada kebakaran!” Iriya kelabakan, sedang si biang kerusuhan malah terkikik geli.
“Lo bohongin gue ya, Nis? Nggak lucu ih!”
Anisa mencoba mengendalikan tawanya saat Iriya sudah mendelik kesal kearahnya. “Iya maaf, kan biar lo bangun.”
“Nggak harus teriak dengan suara lo yang nyaingin toak masjid begitu!” teriak Iriya yang lagi-lagi dibalas kekehan oleh Anisa.
“Hampura ih, kitu wae marah. Mending mandi sana!”
Tanpa membalas lagi ucapan Anisa, Iriya buru-buru menyambar handuknya dan bergegas ke kamar mandi. Pagi-pagi sudah dibikin kesal, dan kalau sudah begini Iriya butuh pelampiasan.
***
Setelah menyantap dua piring nasi goreng buatan Ibu, dan misuh-misuh sepanjang pagi pada Anisa, Iriya sampai di sekolah dengan raut yang tidak bisa dibilang ceria. Semua orang menyingkir dari koridor begitu melihat Iriya. Cewek itu bahkan lebih menyeramkan dari Hitler kalau sedang dalam mood yang hancur berantakkan di pagi hari plus masih dalam masa PMS yang membuatnya selalu emosi.
“Jang, ke lapangan!” Iriya melempar tasnya ke sembarang arah, begitu matanya menatap Ujang yang kini tengah asik tiduran di bangku pojok kelas.
“Masih ngantuk Ri!”
“Cepet! Lima detik nggak bangun, gue siram!”
Tanpa menggubris ucapan Iriya, cowok cungkring blasteran Ciamis-Lembang itu malah semakin menutup matanya rapat-rapat. Berkat pertandingan primer legue semalam, Ujang baru tidur selepas subuh dan beberapa menit setelahnya acara tidurnya sudah terganggu oleh alarm canggih tenaga manusia yang super ampuh. Alias mulut Ambu.
“Satu.”
Sayup-sayup, suara cempreng Iriya mulai mengganggu konsentrasi Ujang untuk masuk ke alam bawah sadarnya.
“Dua.”
Suara itu makin mendekat, di tambah riuh tawa menyebalkan dari murid sekelas, menambah kacau usaha Ujang untuk tidur.
“Tiga!”
Riri mulai mengambil botol minum dari dalam tasnya, sembari membuka tutupnya perlahan.
“Empat!”
“Atuh meuni gandeng pisan si, Riri!”
Dengan cekatan, tangan Iriya yang tengah memegang botol minum saat isinya hampir tumpah ke kepala Ujang, bergerak cepat menutup botol ketika si empunya kepala sudah duduk tegak sambil mengacak rambutnya frustasi. Iriya memberikan senyum andalannya, yang kini di mata Ujang tampak macam seringai laknat anak setan pengganggu tidur paginya.
“Ayo ke lapangan!”
Tanpa menunggu respon Ujang, Iriya sudah menarik lengan kapten timnya itu dengan semangat. Sedangkan Ujang, hanya bisa pasrah sambil sesekali menggaruk kepalanya yang mendadak gatal sambil mengikuti ajakan sesat Iriya. Entah apa yang terjadi pada cewek itu, padahal belum lewat satu minggu dan Ujang tahu kalau sekarang Iriya masih kedatangan tamu bulanannya, tapi malah mengajaknya ke lapangan. Tidak perlu bertanya, Ujang sudah tahu betul kalau Iriya sudah memakai celana trainingnya dan mengajaknya ke lapangan, sudah pasti cewek itu mau main futsal. Hanya saja yang membuat Ujang bingung, tidak biasanya Iriya yang dalam keadaan PMS mau main futsal. Padahal, meski di traktir ketoprak satu gerobak pun, Iriya tidak akan pernah mau menyentuh bola kalau tamunya belum benar-benar pergi.
“Ri, kamu teh masih PMS, kan?” tanya Ujang hati-hati.
“Masih! Makanya nurut aja!”
Iriya melepaskan cengkramannya pada lengan Ujang dan melemparkan bola berbahan kulit yang ukurannya lebih kecil dari bola pada umumnya kepada cowok itu. Di sisi lain, Ujang yang nyawanya belum sepenuhnya terkumpul hanya diam dan mencoba mencerna setiap ucapan dan tindak-tanduk ajaib Iriya pagi ini.
“IMAM, BEBEN, ARYO, KELUAR KALIAAANN!” teriak Iriya dari tengah lapangan.
Jarak lapangan futsal yang memang tidak terlalu jauh dari koridor sekolah, membuat suara Iriya menggema ke seluruh bangunan sekolah dan tanpa menunggu waktu lama, teman-teman satu timnya sudah keluar dari kelas. Tanpa basa-basi atau bertanya terlebih dahulu pada Ujang, Imam, Beben, Aryo dan beberapa murid kelas sepuluh langsung menyambar bola dan main dengan santai, tapi tidak dengan Iriya.
Posisinya sebagai striker benar-benar dimanfaatkannya untuk menyerang Aldo, si kiper dari kelas sepuluh yang hanya bisa cengo melihat amukan Iriya. Sekali lagi, Iriya sama sekali tidak memberikan bola pada siapapun. Kakinya bergerak cepat menggocek bola, hingga sampai di depan gawang, cewek itu berteriak ala Tsubatsa Ozora saat bola melayang begitu saja melewati Aldo.
“Lo kenapa si Ri?” tanya Imam yang sama sekali tidak mengerti situasi dan kondisi yang terjadi pada striker kesayangan mereka itu.
“Tau, lo aneh deh. Dia kenapa sih, Jang?” kini gantian Aryo yang malah melempar pertanyaan pada Ujang.
“Biasa penyakit awewe, PMS.”
Ujang menjawab santai, bahkan sesekali cowok cungkring menyebalkan itu menguap membuat beberapa lalat hampir saja masuk ke dalam gua kematian.
Sekumpulan cowok penuh keringat itu kemudian tertawa dan tawa mereka sukses dihadiahi oleh tabokan satu persatu dari tangan mungil nan halus namun pedas begitu menyentuh kulit, milik Iriya.
“Gue salah apa, Kak?”
Ringisan Aldo terdengar pertama kali. Iriya memicing ke arah Aldo yang kini masih mengusap pipinya.
“Salah lo jadi kiper!” teriak Iriya yang justru disambut tawa oleh yang lainnya. “Jangan ketawa lo pada!”
“Duh, galak bener sih.”
Bukannya dapat pelampiasan, Iriya malah digoda habis-habisan oleh sekumpulan jantan pemakan segala itu. Iriya mendengus kesal, sebelum suara merdu khas kepala sekolah mengalun indah di telinganya.
“Iriya Maharani!”
Mendengar panggilan itu, bukannya berlari mendekat, Iriya justru kabur ke belakang badan Beben yang tinggi besar.
“Umpetin gue Ben,” ucap Iriya sambil mengeratkan pegangannya pada seragam putih Beben.
“Ri, saya tau kamu sembunyi di belakang Bernadin.” ucap suara halus nan mengerikan itu lagi. “Minggir kamu, Bernadin Baharudin.”
Tanpa menunggu respon Iriya, Bernadin Baharudin yang biasa di panggil Beben itu, menggeser tubuhnya sembari melepaskan cengkraman Iriya yang semakin menguat pada seragamnya. Iriya memejamkan matanya kuat-kuat begitu Beben berhasil menyingikir dari hadapannya. Cewek ngeselin yang barusaja menabok satu tim futsal itu, sekarang malah tertunduk takut saat berhadapan dengan kepala sekolah mereka.
“Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan main futsal di luar jam olahraga atau jadwal latihan ekskul futsal?”
“Ma-maaf, Kang,” jawab Beben pelan sedang Iriya masih belum bicara.
“Amar! Kesini kamu!”
“Ujang, Kang!”
“Iya, kamu sini!”
Ujang menarik napas panjang kemudian menghembuskannya pelan. Urusannya panjang kalau Kang Dadang sudah turun tangan.
“Sebagai kapten tim futsal SMA Nusantara, kasih tahu saya hukuman apa yang tepat kalau kalian sampai mengulangi kesalahan ini lagi?”
“Jangan atuh, Kang.”
Kepala sekolah yang mereka panggil Kang Dadang itu malah melipat kedua tangannya di dada. Menatap satu persatu anggota tim futsal yang ketahuan main pagi ini.
“Kalian dikasih jadwal latihan tiga kali seminggu plus boleh main saat jam olahraga, apa masih kurang?”
“Nggak, Kang!” jawab ujang mewakili.
“Yang lain?”
“Idem, Kang!” jawab yang lain bersamaan.
Beberapa mata ikut menyaksikan kegaduhan yang sempat terjadi di lapangan futsal. Ditambah dengan kedatangan kepala sekolah, yang entah mengapa mampu menghentikan kegiatan pagi anggota tim futsal yang memang dikenal barbar dan tidak takut pada omelan guru manapun. Tapi seketika, kumpulan cowok penuh keringat plus satu cewek yang sejak tadi tertunduk itu dibuat patuh.
“Sampai kejadian lagi yang seperti ini, Bapak akan berikan sanksi buat kalian. Untuk tim inti akan di pindahkan ke kursi cadangan, sedangkan pemain cadangan akan Bapak skors selama tiga pertandingan. PAHAM?!”
“PAHAM, KANG!”
“Bagus.” Kang Dadang tersenyum penuh kemenangan, sebelum menepuk pundak Iriya. “Kamu ikut saya ” ucapnya, kemudian menoleh kearah Ujang. “Kamu juga.”
***
“Hah?!”
Ujang mengernyit heran, kalau bukan sedang di ruang kepala sekolah plus bersama kepala sekolahnya sekalian, cowok cungkring yang kini memakai seragamnya asal karena gerah sudah berteriak kencang. Reaksi Iriya kurang lebih sama terkejutnya dengan Ujang, hanya saja Iriya masih bisa mengendalikan diri untuk tidak berteriak.
“Kang Dadang jangan bercanda deh,” ucap Iriya akhirnya.
Kang Dadang hanya menghela napas pasrah. Dua orang muridnya ini entah kenapa menjadi yang paling sulit diajak kompromi.
“Saya serius. Kamu harus cari siswi lain yang mau gabung ekskul futsal, supaya SMA Nusantara punya tim futsal putri. Ini demi kamu juga, Ri.” Kang Dadang menghela napas, kemudian menyesap secangkir kopi hitam di hadapannya. “Memangnya kamu mau terus-terusan latihan, tapi nggak ikut kompetisi?”
Iriya menggeleng pelan. Dirinya memang selalu ikut latihan futsal, dan soal kemampuannya menggiring bola sudah tidak diragukan lagi. Hanya saja, futsal adalah permainan tim, dan menjadi satu-satunya pemain cewek di tim futsal Nusantara membuat langkahnya untuk ikut kompetisi atau turnamen antar sekolah jadi terhambat. Karena Iriya tidak mungkin memangkas habis rambutnya dan mengaku sebagai laki-laki supaya bisa ikut kompetisi. Tapi mungikin boleh dicoba.
“Kang Dadang kan tau, satu-satunya spesies betina yang mau main futsal di sekolah ini ya cuma Riri.” Ujang mencoba menjelaskan, tapi hal itu malah membuat Kang Dadang menggeleng pelan.
“Cari dulu! Kalau memang benar-benar nggak ada yang mau, yasudah saya nggak maksa.”
“Iya, Kang!”
Iriya akhirnya menurut. Malas rasanya jika harus berurusan lebih lama dengan kepala sekolah muda yang sekaligus merangkap sebagai pelatih tim futsal SMA Nusantara itu. Dan untuk yang satu itu, demi kemaslahatan bersama dan juga image yang sudah dibangun Kang Dadang selama ini, seluruh anggota tim futsal Nusantara diwajibkan untuk merahasiakannya dan membiarkan siapa sosok pelatih futsal mereka menjadi misteri bagi murid lain.
“Oke.” Kang Dadang mengangguk puas pada Iriya. “Tapi jangan panggil saya Kang Dadang kalau di luar lapangan, kasih tau anak-anak yang lain. Nanti murid lain selain tim futsal malah ikut-ikutan!”
Ujang menghela napas, entah sudah yang keberapa kalinya. “Emang kenapa atuh? Kang Dadang belum terlalu tua untuk di panggil Bapak, ketemu Abah wae cium tangan.”
Ucap Ujang yang membuat Iriya terkikik geli. Dirinya masih ingat saat Abah Ujang datang ke sekolah mengantarkan seragam wajib tim futsal milik Ujang yang tertinggal di rumah, dan dengan sopannya kepala sekolah merangkap pelatih futsal mereka yang usianya jauh lebih muda dibanding Abah malah mencium tangan laki-laki lima puluh delapan tahun itu. Jangankan Iriya, seluruh anggota tim futsal yang hadir waktu itu tertawa, dan terus-terusan menggoda Kang Dadang.
“Itu namanya etika, sama yang lebih tua! Lagian memangnya saya tukang parkir minimarket pertigaan, kalian panggil Kang Dadang?”
“Atuh iya, Kang Dadang juga baru 28 tahun, masa mau di panggil bapak sama kami yang hanya lebih muda dua belas tahun?”
Ucapan Ujang sedikit banyak memang ada benarnya, tapi entah mengapa malah membuat kepala sekolah itu pusing. Bukan kepalanya sekolah, tapi kepala si kepala sekolah yang pusing. Iya, kepalanya yang pusing. Dan sekarang, Kang Dadang malah pusing sendiri dengan sederet kalimat yang ada di kepalanya.
“Udahlah, balik kelas aja sana kalian! Bikin pusing.” lagi-lagi Iriya hanya bisa tertawa, sedang Kang Dadang kemudian memijit keningnya. Bisa gila lama-lama kalau terus-terusan bersama duo tukang rusuh itu.
Sebelum mereka benar-benar pergi, Kang Dadang sempat berpesan untuk tidak lupa mencari kandidat siswi yang mau bergabung bersama tim futsal mereka. Tidak banyak yang bisa Iriya lakukan selain mengangguk patuh, sisanya paling ia akan meminta bantuan Ujang.
“Nanti urang minta bantuan sama OSIS aja deh,”
“Terserah lo aja lah, gue ikut.”
************************************************
Catatan kaki
Hampura: Maaf
Gandeng : berisik
Idem (ini bahasa Indonesia) : sama
____________________________________
Selamat membaca :)
Jangan lupa vote dan komentarnya ya XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top