04. Beban
Reja memutar-mutar ponsel di tangannya, menimbang-nimbang apakah dirinya harus menghubungi Iriya atau tidak. Dengan sikap cueknya, Iriya sudah sukses membuat Reja penasaran. Bayangan tampang datar iriya dengan rambut yang dikuncir asal, malah terlintas dalam kepalanya. Dan tanpa membuang waktu lagi, dirinya segera menghubungi nomor Iriya.
"Halo?" terdengar suara cempreng menyahut.
Reja tersenyum singkat, entah bagaimana, hanya dengan mendengar suara Iriya sudah membuat suasana hatinya mendadak baik.
"Ri, nanti pulang bareng gue ya," ucapnya setelah berpikir sejenak.
"Ini siapa?"
"Reja."
Reja masih setia mendengarkan, sedang yang diajak bicara malah asyik ber-oh-ria. Dan sebelum Reja sempat bicara lagi, Iriya buru-buru menolak ajakan tadi. Dengan alasan dirinya sudah terbiasa naik angkutan umum, namun Iriya tidak lekas terbebas begitu saja dari Reja yang entah sejak kapan punya hobi memaksa itu.
"Anggap aja ini bayaran atas hutang budi lo sama gue," tawar Reja lagi.
"Belum saatnya gue bayar hutang itu. Nanti, suatu saat ketika lo benar-benar butuh bantuan gue, baru gue akan bayar lunas hutang gue ke elo. Dan maaf sekali lagi, gue masih bisa pulang sendiri."
Sambungan terputus, bahkan sebelum Reja sempat bicara lagi. Kalau orang yang menelepon bukan Reja, pasti dia sudah kesal setengah mati mendapati perlakuan Iriya yang seenaknya itu. Tapi cowok berwajah lembut itu justru tersenyum dan merasa semakin penasaran pada Iriya.
"Menarik, wajar kalau Fahri sampai tergila-gila sama lo."
***
Suasana kota Bandung yang tengah mendung ditemani gerimis kecil kurang lebih sukses mewakili suasana hati Iriya sore ini. Setelah mengantar Anisa sampai menaiki bus tujuannya, kini giliran Iriya yang harus menungu bus yang bersedia mengantarnya pulang. Ditemani perasaan aneh yang akhir-akhir ini menggelayut di dadanya, Iriya menatap langit sore yang seolah tengah meledeknya.
Tiga puluh menit terlewati begitu saja. Tapi Iriya sama sekali tidak merasakan banyaknya waktu yang terbuang akibat menunggu bus yang tak kunjung datang itu. Pikirannya melayang, berkelana ke semesta yang jauh. Mulai dari kata-kata Anisa, sampai cowok yang seharian ini sudah mengganggu pikirannya.
Tidak, Iriya menggeleng kuat. Tidak seharusnya ia memikirkan Reja. Iriya akan tetap pada pendiriannya.
"Gue nggak akan pernah jatuh, sama yang namanya cinta," ucapnya sambil mengangguk mantap.
Dengan cepat, Iriya bangkit saat di hadapannya sudah berhenti sebuah bus berwarna hijau dengan bercak kehitaman yang menunggunya. Tanpa membuang waktu, Iriya segera menaiki bus tua berkarat itu, tanpa menyadari seseorang tengah memperhatikannya.
Tak butuh waktu lama bagi supir bus ugal-ugalan itu untuk sampai di kawasan tempat tinggal Iriya. Cewek itu turun setelah sebelumnya menyerahkan selembar uang dua ribuan lecek kepada kondektur. Iriya berjalan pelan, entah kenapa rasanya ia lelah sekali hari ini.
Pintu rumah terbuka, tanpa perlu repot didorongnya. Dari ambang pintu, Iriya dapat melihat ibunya sedang duduk bersama seseorang di ruang makan sambil sesekali berbincang santai. Ini sama sekali di luar kendali Iriya. Dirinya tidak pernah menyangka, kalau kesialan hari ini akan terus berulang, bahkan sampai detik ini.
Baru hendak berbalik pergi, suara lembut sang Ibu sudah memanggilnya.
"Sudah pulang kamu nak?"
Dengan perasaan campur aduk, Iriya berusaha menekan emosinya dan berbalik dengan menampilkan senyum di hadapan wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Assalamualaikum Bu," ucap Iriya sembari mencium tangan ibunya.
"Waalaikumsalam, kebetulan sekali ada yang mau Ibu kenalin sama kamu."
Tepat saat ibunya mengatakan hal itu, seorang pria paruh baya bertubuh tinggi tegap menghampiri mereka. Sesaat, Iriya sempat memperhatikan orang asing itu, yang semakin dilihat semakin terlihat asing baginya. Orang itu tersenyum lembut, kemudian mengulurkan tangan kanannya.
"Kenalkan, ini Om Hadi," ucap sang Ibu mewakili.
Iriya balas tersenyum, meski dirinya tahu senyum itu sama sekali tidak terlihat bagus. "Iriya, Om," ucapnya singkat sambil mencium tangan orang yang bernama Om Hadi itu.
"Om sudah banyak dengar tentang kamu dari ibumu."
"Oh, ya? Bagus dong, jadi saya nggak perlu mengenalkan diri lagi," ucap Iriya tegas.
"Riri...."
"Riri lupa Bu, ada tugas kelompok. Riri pergi dulu Bu, Assalamualaikum," ucap Iriya cepat, memotong perkataan Ibunya.
Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya maupun Om Hadi, Iriya sudah berjalan cepat meninggalkan rumahnya yang sudah tidak lagi terasa rumah. Tak banyak juga yang bisa dilakukan Dian pada anak perempuan satu-satunya itu. Dirinya hanya bisa memaklumi sikap Iriya, sebab biar bagaimanapun Dian tahu kalau Iriya sangat menyayangi Almarhum Bapaknya sehingga sulit bagi gadis itu untuk menerima orang baru dalam hidupnya.
Di luar, hujan sudah tak lagi berupa gerimis, melainkan sudah menjelma menjadi tetes-tetes air yang sekiranya mampu membuat tubuh Iriya basah. Dengan langkah cepat, Iriya berjalan menuju halte bus yang setidaknya mampu menjadi tempatnya berteduh. Duduk diam dalam keheningan suasana sore yang beranjak malam. Iriya menatap nanar pada langit yang terus saja meneteskan hujan. Bahkan langitpun turut mengasihaninya.
Halte bus yang tadinya sepi, mendadak ramai saat hujan semakin deras. Beberapa pengendara motor mulai menepikan kendaraan mereka hanya untuk memakai jas hujan bagi yang membawanya, dan sisanya ikutan menanti hujan yang kian deras bersama Iriya. Di tengah suasana ramai, lagi-lagi pikirannya menerawang jauh. Otaknya kembali memutar adegan beberapa menit yang lalu, dan jujur saja hatinya sangat sakit. Meskipun Ibunya tidak mengatakan apa tujuan Om Hadi datang, tapi Iriya mengerti siapa sebenarnya laki-laki itu. Iriya tahu, kalau Ibunya memang sudah lama berhubungan dengan orang itu.
Bayangan sang Bapak tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya. Iriya memang masih sangat kecil saat Bapaknya meninggal, tapi kenangan akan kebersamaan mereka terlalu banyak bahkan untuk dilupakan. Bagi Iriya, hidup tanpa sosok Bapak selama bertahun-tahun lamanya sudah menyakitkan, dan entah bagaimana ibunya bisa berpikir untuk menggantikan posisi Bapak dengan orang lain. Sekeras apapun Iriya mencoba menerima, hatinya tetap akan menolak.
Iriya menghela napas kasar. Dinginnya hujan sudah tak lagi berpengaruh pada tubuhnya. Kabut yang perlahan turun beserta hujan, sama sekali tidak mengurungkan niatnya untuk menaiki sebuah bus berwarna kuning yang kebetulan berhenti di depan halte. Saat ini, hanya ada satu tempat yang menjadi tujuannya.
***
Bus berhenti di depan sebuah kompleks perumahan. Setelah membayar ongkos, Iriya turun dari bus dan berjalan pelan ke arah sebuah rumah yang sangat di ingatnya. Langkahnya terhenti, begitu ia sampai di depan sebuah bangunan sederhana bercat putih pudar. Tanpa banyak berpikir, Iriya segera mengetuk pintu berwarna cokelat yang kini sudah ada di hadapannya.
"Assalamualaikum, Nis!" panggilnya sambil terus mengetuk pintu.
Tak lama, Anisa keluar dengan tampang ngantuk dan rambut kepangnya yang berantakkan. Cewek ceriwis itu memperhatikan Iriya sekilas, melihat sahabatnya yang kini terlihat lebih berantakkan dari dirinya.
"Waalaikumsalam. Riri?"
Dengan cepat, Anisa membawa Iriya kedalam rumahnya. Mempersilahkannya duduk dan membawakan beberapa pakaian ganti.
"Ganti baju dulu, nanti masuk angin," ucap Anisa seraya memberikan sebuah kaus dan celana training pada Iriya.
Iriya hanya bisa mengangguk kemudian menuruti ucapan Anisa. Dirinya memang sudah sering menginap di sini, tapi sebelumnya tidak pernah dengan sebuah alasan. Biasanya Iriya menginap kalau Ibunya tidak pulang atau dinas keluar kota, tapi kali ini berbeda. Bahkan Anisa sedang tidak minta ditemani nonton film remaja romantis yang selalu bikin Iriya mual.
Tak lama, Iriya keluar dari kamar mandi, sedangkan Anisa sudah membongkar tas Iriya dan mengeluarkan semua buku yang basah dari dalam tas.
"Teh angetnya di minum dulu, Ri," ucap seorang wanita yang kini sedang tersenyum padanya.
"Makasih Bunda."
Iriya kemudian menghampiri Anisa di ruang tengah, saat wanita yang tadi dipanggil Bunda sudah beranjak ke dapur. Iriya tidak tahu lagi harus kemana kalau tidak ada Anisa. Mungkin dia akan nekat pergi ke makam Bapaknya di Bekasi.
"Ada apa? Kenapa lo ujan-ujanan?" tanya Anisa saat Iriya sudah duduk di hadapannya.
"Ibu, dia... dia bawa calonnya ke rumah," ucap Iriya pelan.
Anisa mengangguk singkat, dirinya paham betul atas apa yang tengah Iriya alami sekarang. Anisa yang sudah mengenal Iriya sejak SMP tahu betul, kalau Iriya sangat menyayangi Bapaknya. Dan fakta kalau Ibunya akan menikah lagi, sudah pasti menjadi hal besar bagi Iriya.
"Yaudah, sekarang lo istirahat aja. Nanti gue bilang Bunda supaya minta izin sama Ibu lo."
Iriya mengangguk, lalu berjalan pelan menuju kamar Anisa. Dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya kalau tidak ada Anisa.
"Makasih banyak ya Nis, gue nggak tau lagi mesti kemana kalau nggak ada lo," ucap Iriya tulus.
"Tapi nggak selamanya lo harus melarikan diri, suatu saat lo harus hadapi masalah ini." Anisa duduk di tepi ranjang, menatap lurus Iriya yang semakin tertunduk. "Apa lo nggak capek, lari terus?"
Iriya diam, sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Ucapan Anisa terlalu tepat sasaran, membuat lidahnya kelu bahkan untuk mengelak.
Sejujurnya, Iriya bukannya lari. Masalah ini terlalu banyak hingga membuatnya kadang tidak mampu memikulnya sendiri. Gadis itu hanya butuh ruang, dimana seseorang ada di sisinya. Dimana akan ada lengan yang memeluknya, akan ada bahu yang bersedia memikul bersama bebannya, dan Anisa adalah orang itu. Meski tahu, pada akhirnya Anisa akan mengomel padanya, Iriya tetap yakin kalau tidak ada orang lain yang mengerti dirinya selain Anisa.
"Maafin gue, Nis. Terlalu banyak masalah yang gue buat, yang bahkan gue sendiri nggak tahu gimana menyelesaikannya," ucap Iriya pelan.
"Setiap masalah pasti punya solusi, dan gue yakin hal itu juga berlaku sama masalah lo. Asalkan lo jangan lari."
Iriya mengangguk sekali lagi. Entah berapa banyak kata terimakasih yang harus diucapkannya pada Anisa.
***
"Cepet Jang, nanti telat!" teriak Iriya sambil memukul-mukul pundak Ujang.
"Iya-iya."
Setelah menyadari kecerobohannya semalam, Iriya cepat-cepat meminta Ujang untuk mengantarnya pulang. Beruntung rumah Ujang memang dekat dengan Anisa, jadi tidak perlu waktu lama untuk menjemput Iriya. Tapi masalahnya sekarang adalah, motor bebek keluaran lama milik Ujang jalannya sangat lambat.
Sekali lagi, Iriya menepuk bahu Ujang, memintanya untuk berkendara lebih cepat. Begitu sampai di rumah, Iriya segera mengambil beberapa buku pelajaran dari dalam lemari belajarnya dan segera bergegas pergi lagi, sampai suara sang Ibu menghentikan langkahnya.
"Sarapan dulu Nak," ucap Dian lembut.
Iriya yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya, kemudian hanya menggeleng pelan. "Riri udah telat, Bu."
Tanpa bicara lagi, Iriya mencium tangan Ibunya dan bergegas menghampiri Ujang yang masih menunggunya di depan rumah. Tak banyak yang bisa dilakukan Dian. Sebagai seorang Ibu, seharusnya dia bisa lebih dekat dengan anak tunggalnya itu. Tapi kesibukan dan pekerjaannya selama ini, malah membuat tembok besar anatara dirinya dan Iriya semakin berdiri kokoh. Begitu juga bagi Iriya, semakin hari, melihat Dian malah semakin terlihat asing.
Iriya segera menghampiri Ujang, duduk di boncengan dengan tenang dan membiarkan si kapten futsal berkelakuan absurd itu membawanya menembus jalanan pagi yang padat. Pikirannya lagi-lagi menerawang jauh, menyadari betapa egois dirinya.
"Aakh! Bodo amat!" pekiknya sambil mengacak rambut.
"Naon si, Ri?" Ujang berucap kencang, saat tiba-tiba Iriya teriak tepat di telinganya.
"Gue nggak ngomong sama lo!"
************************************************
Duh, maafkan ya kalau part ini agak... apa banget gitu hehehe ^^;
Komen, vote, kritik dan sarannya jangan lupa yaw XD karena sesungguhnya kritik dari kalian sangat membantu aku agar bisa menjadi lebih baik lagi :))
Selamat membaca :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top