02. Permintaan


Akhirnya, setelah perdebatan panjang dan sederet kalimat-kalimat kompor sarat provokasi dari Pak Amin, Iriya setuju untuk pulang bersama Reja. Meskipun agak ragu, tapi akhirnya Iriya mau menuruti Pak Amin yang mendadak jadi menyebalkan itu.

Suasana hening menyelimuti kedua orang yang kini tengah duduk bersisian itu. Sesekali, Iriya melirik ke arah Reja yang tengah fokus menyetir. Dari samping, wajah cowok itu tetap terlihat ganteng. Namun, Iriya buru-buru menggeleng, mengenyahkan segala pikiran konyol yang kini tengah bergelayut di kepalanya.

"Depan belok atau lurus?" tanya Reja tiba-tiba yang sukses membuat Iriya gelagapan.

"Eh? Lu-lurus!"

Reja hanya mengangguk singkat, kemudian mengikuti arahan Iriya. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu, sampai Iriya berdehem memecah keheningan. Cewek kumal itu sangat tidak betah berada dalam situasi canggung yang tidak menyenangkan macam begini.

"Lo itu anak baru ya?" tanyanya kemudian. Diliriknya Reja yang hanya menggeleng singkat. "Kok gue nggak pernah liat lo di sekolah?"

"Mungkin karena kita beda lingkungan."

Reja menjawab santai. Tidak disangka, kegiatan isengnya nongkrong di belakang sekolah malah mempertemukannya dengan cewek manis yang agak berantakkan ini. Sebenarnya Reja tadi sedang beristirahat sebentar dari kegiatan OSIS yang menuntutnya mengurusi acara festival. Dirinya pergi ke belakang sekolah dan mencari tempat sepi agar tidak ada yang melihatnya merokok, tapi tanpa disangka ia malah bertemu Iriya yang jatuh dari pohon. Awalnya Reja tidak mengenalnya, tapi langsung tahu siapa cewek selebor ini setelah mengetahui namanya. Siapa sih, yang tidak mengenal cewek yang hobinya bolak-balik ruang kepsek, bukan ruang BK lagi.

"Maksudnya?" tanya Iriya lagi yang sukses dibikin bingung.

"Lo di lingkungan IPS dan gue di IPA. Makanya jadi jarang ketemu, bahkan nggak pernah."

Iriya kemudian mengangguk-angguk. Dirinya sadar betul, kalau hampir dua tahun bersekolah di SMA Nusantara, Iriya hanya menghabiskan waktunya di kelas, lapangan futsal atau pohon mangga belakang sekolah. Baginya, berkunjung ke area jurusan IPA adalah salah satu kegiatan yang paling tidak ada gunanya. Selain karena tidak ada seorang pun yang dikenalnya, berada di sana serasa sedang berada di dunia lain. Iriya selalu merasa asing.

Iriya terus memberi arahan pada Reja, sampai akhirnya mobil SUV yang tengah mereka tumpangi berhenti di depan sebuah gang kecil.

"Sampe sini aja, rumah gue masuk gang," ucap Iriya sambil berusaha membuka pintu mobil.

"Ri, gue ada permintaan," ucap Reja setelah berpikir lama.

Iriya diam sejenak, melupakan pegangannya yang sejak tadi menggenggam pegangan pintu mobil. "Apa?" tanya Iriya tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

"Boleh minta nomer HP lo?" tanya Reja yang kontan membuat Iriya menatap lurus kearahnya.

"Buat apa?"

"Nggak buat apa-apa, cuma biar bisa komunikasi aja," jawab Reja sembari menggaruk tengkuk.

Iriya lagi-lagi hanya diam. Dirinya mulai menimbang-nimbang, apakah harus memberikan nomornya pada Reja atau tidak. Biar bagaimanapun, cowok itu sudah banyak menolongnya hari ini. Tapi disisi lain, Iriya tidak ingin terlibat lebih jauh dengan seorang cowok yang baru saja dia kenal kurang dari dua jam lalu.

"Um ... nggak bisa ya?"

Iriya kembali menatap Reja yang kelihatan salah tingkah. "Bukan gitu, Ja, cuma ... kita baru kenal, jadi agak ...."

"Oh, i-iya. Gue paham, maaf ya," potong Reja sebelum Iriya sempat melanjutkan ucapannya.

"Makasih sekali lagi, ini," ucap Iriya sembari memberikan dua buah mangga yang tadi diberikan Pak Amin. "Gue akan anggap kebaikan lo hari ini sebagai hutang budi. Dan mangga ini sebagai ucapan terimakasih dari gue." lanjutnya kemudian turun dari mobil.

"Thanks, Ri!"

Iriya mengangguk singkat, kemudian membiarkan mobil Reja hilang di tikungan. Entah kenapa, mendadak Iriya merasa jahat. Apa susahnya sih, memberikan nomor telepon pada orang yang sudah begitu baik padanya? Tapi lagi-lagi egonya yang bicara. Tidak! Iriya tidak akan terlibat pada laki-laki asing yang dirinya sendiri tidak tahu, apakah orang itu benar-benar baik atau hanya pura-pura. Iriya masih setia pada prinsipnya. Tidak akan jatuh cinta.

Bukan berarti dirinya akan jatuh cinta pada Reja, hanya saja, cowok asing dengan sejuta pesona macam Reja memiliki kemungkinan untuk merebut hati Iriya. Meskipun hanya satu persen.

***

Sekolah. Ada dua hal yang memenuhi kepala Iriya saat mendengar kata itu: tugas dan keramaian.

Satu masalah sudah ia tuntaskan, sebab semalam dirinya sudah begadang hanya untuk menyelesaikan lima soal matematika yang susahnya minta ampun. Lebih baik Iriya disuruh manjat pohon kelapa daripada harus menyelesaikan soal integral yang bahkan melebihi rumitnya hati perempuan.

Dan masalah satunya adalah, kelasnya yang bahkan lebih ramai dari pasar. Baru masuk saja, Iriya sudah disambut bola plastik hasil tendangan Ujang.

"Jangan main bola di kelas, Jang!" teriak Iriya sambil mengenyahkan bola plastik tadi dari hadapannya.

"Maap atuh, Ri. Abisnya mau main di lapangan nggak ada temennya."

"Ayok! Gue temenin."

Ujang bersorak girang, sementara Iriya buru-buru mengambil celana training andalannya dari dalam tas. Tak butuh waktu lama, Iriya sudah kembali dari toilet dan sudah memakai celana training dengan rok abu-abunya. Cewek itu memang biasa menumpuk pakaiannya seperti itu, alasannya sih, supaya mudah melepasnya.

Tanpa banyak bicara lagi, Iriya sudah bergabung bersama kapten tim futsal Nusantara, Ujang dan beberapa cowok kumal lainnya. Olahraga pagi hari, sangat baik untuk kesehatan, meskipun setelahnya tidak jarang Iriya aka dimarahi guru karena masuk kelas dengan kondisi badan penuh keringat dan bebauan tidak sedap lainnya yang tentusaja berasal dari tubuh Ujang.

"Memangnya kamu teh udah beres ngerjain matematik, Ri?" tanya Ujang di sela kesibukannya menggocek bola.

"Udah lah! Lo sendiri?"

"Belum, pasrah wae lah," jawab Ujang pasrah yang mendapat kekehan dari Iriya.

Iriya kembali sibuk dengan permainannya sambil sesekali melihat jam dinding yang menempel di koridor. Dirinya hanya tidak mau terlambat masuk kelas hanya karena ajakan sesat Ujang.

Di sisi lain, senyum Reja terkembang saat melihat Iriya tengah melakukan selebrasi goyang dumang bersama Ujang setelah si kapten berhasil menangkap umpan darinya dan mencetak gol. Cewek itu unik, langka. Begitu pikirnya, dan kalau Iriya tahu akan hal itu, cewek itu pasti marah besar. Tentu saja, memangnya Iriya lumba-lumba air tawar yang unik dan langka?

***

"Amar Sudrajat! Maju kamu!"

Iriya terus menertawakan temannya itu, sedang yang di panggil namanya barusan oleh guru paling galak se-Nusantara hanya bisa tertunduk lesu.

"Maksud kamu apa, ngumpulin buku kosong begini?! Kamu mau ngerjain saya ya?!" omel Bu Sukma sambil melotot.

"Tadi kan, Ibu teh nyuruh kumpulin buku tugas, ya udah saya kumpulin. Kecuali Bu Suk teh nyurunya kumpulkan buku tugas yang tugasnya sudah di kerjakan, baru saya nggak kumpulin." jelas Ujang panjang lebar, yang membuat Bu Sukma tambah naik pitam. Ditambah dengan panggilan Bu-Suk, yang bikin orang salah paham itu.

"Oh, jadi kamu menyalahkan saya?!" teriak Bu Sukma sambil memukul meja dengan penggaris besar. Suasana kelas yang tadinya riuh sebab menertawakan kelakuan Ujang, mendadak kembali senyap. "Kamu itu sudah dewasa, kelas dua SMA bukan lagi anak TK. Kalau memang kamu tidak ada minat mengikuti pelajaran saya, lebih baik kamu keluar!"

Tidak ada bantahan lagi setelah itu. Semua sudah tahu, kalau setiap ucapan Bu Sukma adalah mutlak, dan Ujang juga sangat tahu hal itu. Jadi, tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal atau kalimat basa-basi lainnya, cowok cungkring plus kumal itu memilih berjalan gontai keluar kelas. Dari dalam, Iriya hanya bisa tersenyum. Kagum akan keberanian teman satu timnya itu. Meskipun dirinya juga kasihan pada Ujang yang harus di hukum karena kebodohannya.

"Emang dasar budak kehed si Ujang!" omel Anisa sambil berbisik. "Lo jangan deket-deket lagi Ri, sama si Ujang! Ntar ketularan gelo!" lanjutnya.

Iriya hanya bisa mengangguk singkat, sambil terus mencatat beberapa rumus dari papan tulis yang nampak bagai benang kusut. Dirinya sudah bertekad, akan menyusul Ujang di lapangan setelah pelajaran ini selesai. Iriya sudah tahu betul dimana tempat persembunyian Ujang kalau sedang di usir dari kelas. Biar bagaimanapun, Ujang adalah kawan senasib, seperjuangan juga satu tim futsalnya. Iriya tidak akan tega melihat Ujang kesusahan, meskipun aslinya cowok itu sama sekali tidak sedang kesusahan. Malahan sekarang Ujang sedang makan ketoprak di kantin.

***

Tidak disangka, pelajaran matematika yang memusingkan berlangsung amat lama, atau ini hanya perasaan Iriya saja. Sebab bel istirahat baru saja berbunyi setelah Bu Sukma memberi dua puluh soal matematika yang bikin sakit kepala.

"Kumpulkan di pertemuan selanjutnya ya! Jangan di ulangi kelakukan temanmu itu." pesan Bu Sukma sebelum meninggalkan kelas.

Buru-buru Iriya bergegas hendak menyusul Ujang, tapi langkahnya terhenti saat dilihatnya Ujang sedang asyik bermain bola bersama seseorang yang entah kenapa rasanya Iriya harus menghindarinya. Beberapa murid tampak antusias menyaksikan pertandingan antar dua orang itu, dan sisanya —terutama para siswi— berteriak histeris.

Melihat kejadian aneh ini, Iriya buru-buru berbalik dan bergegas menjauh dari lapangan, sampai suara Ujang menggema di udara.

"RIRI!" panggilnya yang seketika membuat langkah Iriya terhenti.

"Ayo sparring! " teriak Ujang lagi.

Mendengar kata 'sparring' mendadak Iriya yang tadinya hendak melarikan diri, seketika membalik badannya. Lapangan yang sebelumnya cuma ada Ujang dan Reja, sekarang sudah ramai dengan anak-anak tim futsal Nusantara dan beberapa murid IPA yang sama sekali tidak Iriya kenal.

Dengan cepat, cewek selebor itu menghampiri Ujang dengan seringainya. Biasanya, kalau ada kata 'sparring' dari mulut Ujang, akan ada 'bayaran' juga bagi tim pemenang.

"Sparring sama siapa Jang?" tanya Iriya, masih dengan senyum terkembang.

"Nih, sama anak IPA."

Iriya berbalik, menatap Reja yang kini tengah tersenyum kearahnya. "Oke, yang menang dapet apa nih?" tanya Iriya, seperti biasanya.

"Terserah lo aja" jawab Reja, masih dengan senyumnya.

"Gratis makan ketoprak di kantin selama seminggu, gimana?" tawar Iriya, yang tanpa disangka segera disetujui oleh Reja.

Sedangkan cowok itu, semakin melebarkan senyumnya. Ia maju selangkah, mendekatkan bibirnya pada telinga Iriya membuat cewek itu bergidig geli.

"Tapi, kalau gue yang menang, lo harus kasih nomer HP lo."

Sejenak, Iriya menatap Reja dengan tatapan tidak biasa. Cewek itu mengernyit, mencoba mencari tujuan dari ucapan Reja, tapi nihil. Yang di dapatnya hanya seringai dari cowok itu. Entah apa yang diinginkan cowok itu dengan nomor teleponnya, permintaan yang sangat aneh. Tapi sedetik kemudian, Iriya justru menyetujui permintaan cowok itu.

"Deal!"

Tanpa banyak bicara lagi, Iriya segera merebut bola dari Ujang. Kali ini, dirinya tidak akan kalah dari cowok itu. Entah apa dan bagaimana, Iriya hanya merasa, kalau permintaan Reja padanya punya maksud tersendiri. Jadi dengan segenap tenaga dan kemampuan bekerjasama yang baik, Iriya akan berusaha untuk menang dalam pertandingan ini. Bagaimanapun caranya!

"Riri!" panggilan Ujang barusan, membuat Iriya seketika menoleh.

Dengan cepat, Iriya menggocek bola dan mengopernya pada Ujang sampai si kapten dengan kaki jenjangnya berhasil memasukkan bola kedalam gawang.

"Goooool!" teriak Iriya sambil berlari menghampiri Ujang yang kini malah menatapnya heran.

"Kok, kamu malah seneng, Ri?" tanya Ujang heran.

"Lah, barusan lo nyetak gol, Jang."

"Atuh iya, tapi kan saya nggak satu tim sama kamu, Ri. Saya satu tim sama dia." ucap Ujang sembari menunjuk Reja, dan hal itu sukses membuat rahang Iriya jatuh.

Gadis itu masih menganga lebar, mencoba mencerna setiap kalimat yang barusaja meluncur dari mulut Ujang. Itu artinya, dirinya harus menerima kekalahan, setelah berjuang sekuat tenaga. Mendadak Iriya merasa kesal setengah mati, dirinya merasa dibohongi.

"Makanya Riri, kalau orang ngomong di dengerin dulu sampe tuntas. Jangan main deal aja!" kini giliran Imam yang mengomel padanya.

"Tau lo Ri, hilang deh kesempatan makan gratis seminggu." lanjut seorang lagi yang entah siapa, sebab kepala Iriya sudah benar-benar kosong saat suara bel masuk mengalun indah di telinganya.

Ditatapnya lagi wajah masam teman-teman satu timnya, sampai pandangannya berhenti pada seseorang yang sekarang malah melempar senyum bahagia ke arahnya. Mendadak, darah Iriya serasa mendidih. Wajahnya bahkan sampai memerah saking kesalnya, belum pernah Iriya merasa semarah ini.

"Jangan senyum-senyum lo! Ini bukan lagi casting iklan pepsodent!"

**************************************************

Selamat membaca :D

Boleh di klik bintangnya yaaa... makasih ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top