01. Pohon mangga kesayangan
Suara sorak sorai penonton dan riuh keramaian dari arah panggung di lapangan sekolah, tak membuat Iriya kehabisan akal untuk menghilang. Ya, hari ini memang sedang diadakan acara panggung festival untuk keperluan sebuah majalah remaja yang memang biasa datang ke sekolah-sekolah dengan membawa banyak artis. Untuk sebagian murid, hal itu adalah anugerah. Karena mereka tidak perlu pusing belajar plus bisa liat artis secara gratis, tapi bagi Iriya, keramaian itu sukses membuat kepalanya pening.
Jadi, di siang bolong yang terik ini, ia memilih untuk berjalan jauh ke area belakang sekolah dan menyepi di atas pohon mangga kesayangannya. Setidaknya, hanya di sanalah Iriya mendapat ketenangan, dan kadang inspirasi, atau malah rasa kantuk. Dengan hati-hati, Iriya mulai memanjat pohon yang konon katanya sudah tumbuh sejak sekolah ini dibangun.
Belum lama ia bersandar di sebuah dahan yang lumayan besar dan kuat untuk menopang tubuhnya, suara Pak Amin sudah mengganggu ketenangannya.
"Neng Riri, turun!" teriak Pak Amin, penjaga sekolah yang juga merangkap sebagai tukang kebun.
"Saya mau tidur siang bentar, Pak! Di kelas rame banget."
"Turun dulu, Neng, Bapak mau nebang pohonnya!"
Sontak Iriya yang tadinya malas menatap wajah keriput Pak Amin, kini sudah mengerahkan seluruh atensinya pada orang yang bahkan sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun di SMA Nusantara itu.
"WHAT?! Pak Amin bercanda, kan? Bapak nggak beneran mau nebang ni pohon, kan?"
"Bapak serius Neng, barusan disuruh sama kepala sekolah," jawab Pak Amin santai, sama sekali tidak memedulikan tatapan tidak percaya Iriya. "Lagian cuma mangkas dahannya aja sedikit, supaya nggak ngalingin sinar matahari ke gudang, biar nggak banyak nyamuk," lanjutnya menjelaskan.
Iriya mengangguk singkat, kemudian menuruti Pak Amin untuk turun dari pohon. "Tapi dahan yang besar itu jangan di tebang ya Pak, itu base camp saya."
"Siap Neng Riri!"
Menjadi penunggu pohon mangga ini sejak tiga semester lalu, membuat Pak Amin tahu betul di mana tempat favorit cewek slebor itu tidur. Dirinya bahkan masih mengingat pertemuan pertamanya dengan Iriya, saat gadis itu tengah duduk sendirian di atas pohon mangga. Pak Amin sempat mengiranya kuntilanak penunggu pohon. Bagaimana tidak? Rambut Iriya selalu acak-acakan tidak terurus, jadi wajar saja kalau Pak Amin sempat mengiranya hantu.
Setelah kedatangan Pak Amin yang sempat mengganggu acara tidur siangnya, Iriya berjalan pelan menuju kantin. Tidak terlalu ramai, sebab hampir semua murid sekarang tengah berada di lapangan untuk menyaksikan penampilan band ternama.
Bukannya tidak suka musik, apalagi grup band indie yang sekarang sedang naik daun itu, hanya saja Iriya paling malas untuk panas-panasan. Dan daripada sibuk panas-panasan sambil joged macam orang kesurupan seperti teman-temannya, ia lebih memilih minum es kelapa Mang Bewok di kantin.
"Riri!"
Yang dipanggil hanya menoleh singkat ke arah sumber suara cempreng barusan, kemudian kembali meminum es kelapa di hadapannya. "Lo kemana aja sih? Tadi band favorit gue udah tampil, mereka keren banget, Ri!"
Lagi-lagi, Iriya hanya mengangguk singkat mendengar cerocosan Anisa yang lebih terdengar seperti petasan di telinganya. Kalau saja Anisa bukan sahabat sekaligus teman sebangkunya, Iriya tidak akan ragu-ragu menyumpal mulut ceriwis itu dengan sedotan yang sedang ia pegang.
"Ri, lo dengerin gue nggak, sih?"
"Denger kok. Telinga gue masih dua, dan dua-duanya masih berfungsi dengan baik," jawabnya datar.
"Terus kenapa lo diam aja? Lo nggak ngerespons omongan gue, lo segitu bencinya sama gue?" ucap Anisa dengan suara cemprengnya. "Ngomong aja Ri, kalo lo udah nggak mau temenan sama gue!"
"Udah?" tanya Iriya sambil menatap lurus Anisa. "Nih makan dulu," lanjutnya sambil memberikan sepotong tahu isi.
"Apaan sih, gue lagi kesel sama lo! Gue nggak lapar!"
"Nis, pohon mangga di belakang tadi ditebang sama Pak Amin," ucap Iriya mengalihkan pembicaraan.
"Serius lo? Bagus dong, jadi lo nggak perlu nongkrong di sana terus. Lama-lama jadi kunti lo keseringan manjat pohon mangga."
"Tapi boong!"
"Gelo sia!"
Iriya hanya bisa tertawa melihat reaksi Anisa yang pasti akan mengumpat pakai bahasa Sunda kalau sedang kesal. Si manis bermulut mercon itu memang selalu menjadi mood booster bagi Iriya. Dengan tingkahnya yang blak-blakan ditambah omelan-omelannya yang bikin sakit telinga, selalu bisa membuat suasana hati Iriya yang tadinya sedang kesal karena pohon mangga kesayangannya harus di tebang, mendadak baik.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore dan sekolah sudah sangat sepi, karena ada acara panggung festival jadi mereka bisa pulang cepat. Kecuali Iriya tentunya. Gadis berambut kuncir kuda acak-acakan itu kembali memegangi pinggangnya yang terasa amat nyeri. Ia berjalan pelan, sambil berpegangan pada apapun yang berada di sisi jalan. Kalau dilihat, Iriya sekarang sudah persis seperti nenek-nenek encok.
Sial! Pekiknya dalam hati. Entah kenapa, dirinya malah teringat akan kejadian memalukan yang terjadi satu jam lalu.
Seusai makan es kelapa ditemani ocehan Anisa yang bikin sakit telinga, Iriya memutuskan untuk kembali ke area belakang sekolah. Sedangkan Anisa, masih sambil mengomel, cewek manis berkulit putih itu justru memilih kembali ke kelas. Apa pun yang terjadi, walau badai menghadang sekalipun, Anisa tidak akan pernah mau mengikuti Iriya ke tempat keramatnya itu.
Dan entah memang sedang beruntung atau apa, saat kembali, Pak Amin sudah membereskan tugasnya memangkas pohon mangga. Meski sudah tidak se-rindang sebelumnya, tapi suasana di atas pohon tetap teduh. Desiran angin perlahan menerpa wajah mulus Iriya, membawa rasa kantuk yang sama sekali tidak bisa ditahan gadis itu.
Entah berapa lama Iriya tertidur, karena saat terbangun, ia justru di kejutkan oleh suara Adzan. Iriya yang masih terkejut, buru-buru melirik sebuah jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah Ashar.
"Ashar!"
Entah berapa lama ia tidur, yang ia ingat terakhir dirinya bicara dengan Anisa masih pukul satu siang. Artinya Iriya ketiduran sampai dua jam dan sekarang sudah lewat jam pulang sekolah. Seperti disambar petir, Iriya buru-buru bangkit bahkan dirinya lupa kalau sekarang sedang berada di atas pohon. Berkat gerakan tiba-tibanya barusan, tubuhnya sukses kehilangan keseimbangan dan ....
BUK!
Iriya terjatuh plus pakai acara guling-gulingan segala.
"ADAWW!!" pekiknya sembari memegangi pinggangnya yang mendadak nyeri.
"Eh, lo nggak apa-apa?" tanya seseorang entah darimana.
Iriya buru-buru membenarkan posisinya dan berusaha mencari arah sumber suara tadi. Ia benar-benar terkejut, saat mendapati seorang cowok jangkung kini tengah berdiri di hadapannya.
"Lo siapa? Gue dimana?" tanya Iriya panik.
Sekilas, cowok itu malah tersenyum, memamerkan lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya. Padahal Iriya sudah setengah mati meyakinkan dirinya sendiri kalau ia masih hidup. Di pikirannya cuma satu, habis jatuh dari pohon, dan sekarang dirinya bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang ganteng persis seperti dalam drama serial yang sering Anisa tonton.
"Harusnya gue yang tanya, lo ngapain di sini?"
"Gue ... gue barusan jatoh dari pohon mangga. Kalo lo bisa liat gue, harusnya gue masih hidup, kan ya?" ucapnya panik.
Lagi-lagi cowok itu malah tertawa melihat tingkah absurd Iriya. "Iya lo masih hidup, tapi lo ikut gue ke UKS ya, takutnya lo kenapa-kenapa."
Tanpa berkata apapun, Iriya mengangguk dan bahkan hanya diam saja saat cowok ganteng tadi kini sudah memapah tubuhnya.
"Lo tunggu di sini ya, gue panggil Mbak Ina dulu," ucapnya setelah mereka sampai di UKS.
"Thanks ya."
Cowok itu mengangguk, kemudian kembali lagi tak lama setelahnya bersama Mbak ina, perawat yang memang bertugas di UKS SMA Nusantara.
"Makasih ya Mbak," ucap Iriya begitu Mbak Ina selesai mengoleskan minyak urut ke pinggangnya, dan menempelkan beberapa plester di siku dan lutut Iriya yang sedikit lecet.
"Iya, lain kali jangan manjat pohon lagi. Kamu itu perempuan Ri, kalau kepala sekolah tahu kamu sering tidur di sana, udah di tebang beneran itu pohon."
"Ya Mbak Ina jangan bilang-bilang sama Kang Dadang."
Mbak Ina hanya bisa geleng-geleng kepala mendangar ucapan Iriya barusan. Menyuruh Iriya berhenti memanjat pohon, sama saja seperti mengajak Shawn Mendes kawin lari, alias mustahil!
"Yaudah, saya balik ke kantor ya. Kamu pulang aja, udah sore."
Iriya mengangguk, kemudian keluar dari dalam UKS masih dalam posisi memegangi pinggangnya yang agak nyeri, sampai dirinya di kejutkan oleh seorang cowok jangkung yang tengah berdiri di depan pintu.
"Ngapain?"
"Eh, lo udah nggak apa-apa?" Iriya mengangguk menjawab pertanyaan cowok yang sama sekali tidak dikenalnya itu. "Syukur deh. Oh iya, nama lo siapa?"
"Riri, lo?"
"Gue Reja, kelas sebelas IPA2."
Iriya mengangguk lagi, sampai kemudian dirinya kembali teringat kalau tasnya masih tertinggal di kelas. "Makasih ya, lo balik duluan aja gue mau ambil tas dulu."
"Serius? Lo nggak pa-pa sendiri?"
"Gue cuma abis jatoh dari pohon, bukan abis ketabrak tronton," jawab Iriya datar, yang kemudian dibalas kekehan oleh cowok yang mengaku bernama Reja tadi.
"Yaudah, baliknya hati-hati."
Lagi-lagi, untuk yang kesekian kali, Iriya mengangguk. Membiarkan Reja menghilang di balik koridor, kemudian kembali ke kelasnya untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sana.
Dan saat ini, setelah semua kejadian panjang satu jam yang lalu, Iriya masih harus berjuang untuk pulang, setelah sebelumnya menunaikan kewajiban di Masjid sekolah dan istirahat sebentar. Lagi-lagi pinggangnya terasa ngilu, membuatnya refleks memegangi bagian belakang tubuhnya itu. Dan sungguh, pose ini sangat memalukan!
"Neng Riri kenapa jalannya kayak ninik-ninik begitu?" tanya Pak Amin yang kini tengah duduk santai di pos satpam.
"Abis jatoh dari pohon," jawab Iriya singkat, yang justru sukses membuat tawa Pak Amin pecah.
"Duh, maap Neng Riri. Bapak nggak maksud ngetawain Neng Riri kok, makanya besok-besok nggak usah manjat pohon lagi deh," ucap Pak Amin disela tawa, sedang Iriya hanya bisa mendengus kesal. "Nih Bapak kasih mangga deh, biar neng Riri nggak marah."
Raut wajah Iriya yang sebelumnya kusut macam cucian belum di setrika, mendadak cerah saat sekantung plastik mangga hasil menebang pohon tadi diberikan padanya. "Makasih pak!"
"Khusus buat neng Riri yang hobi manjat pohon mangga tapi nggak pernah ngambil mangganya, Bapak kasih buahnya yang udah mateng."
"Makasih, loh, Pak Amin yang baik hati dan tidak sombong."
"Riri!"
Sontak, Iriya yang sebelumnya tengah asyik ngobrol dengan Pak Amin terkejut dengan kehadiran seorang cowok ganteng yang kini tengah duduk di balik kemudi sebuah mobil SUV mewah yang entah milik siapa.
"Pulang bareng gue aja, Ri, pinggang lo masih sakit juga, kan?" tanya cowok bernama Reja tadi masih dari dalam mobil berwarna hitam nan mewah yang sepertinya adalah miliknya.
"Nggak usah Re—"
"Ciyee neng Riri teh boga pacar sekarang?" ledek Pak Amin sambil menaik-turunkan alisnya yang membuat Iriya seratus persen ingin muntah dibuatnya. "Sok atuh dah, nebeng wae. Daripada jalan kaki mah, capek, Neng."
Lagi-lagi Pak Amin malah bicara yang tidak-tidak. Diliriknya Reja yang masih setia menunggunya, kemudian beralih pada Pak Amin yang masih memasang ekspresi menyebalkannya itu. Kalau pinggangnya tidak se-sakit ini, pasti iriya sudah kabur sekarang.
"Neng, jangan diem aja atuh."
Duh, nabok orang tua dosa nggak sih?
*************************************************
Holaaa XD
Aku coba buat cerita yang agak panjang dikit nih, moga kalian suka yaaa^^
Kalau udah selesai baca, boleh banget kasih komentar atau dukungannya... terimakasih, selamat membaca!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top